Tanda Tangan Sakti
Bapak butuh pupuk untuk sawah kami. Dan kebetulan aku ada tabungan dari hasil gerobak kopi.
Oleh Henri Koreyanto
Sumber: Cerpen Kompas Digital - 21 Nov 2025 16:41 WIB ·
Ia menginginkan bertani dan berkebun menjadi tradisi kuat di desanya. Dulu, banyak warga sukses sebab dua profesi itu. Bunyi pesan terakhir di Whatsapp-ku sebelum masuk tengah malam. Aku merasa lega, pesan itu datang sesaat sebelum aku membentang layar melepas tali tambat pergi meraih mimpi menuju pulau kapuk.
***
Pagi yang manja memaksa mataku terhenyak dari kapuk randu yang harum, empuk, dan hangat. Tak terdengar suara azan, tak juga terdengar alunan salawat. Jangan-jangan!!! Sekejap kutengok benda bulat menempel di dinding. Betapa aku terkejut, jarum jam tegas menunjuk pukul enam lebih sedikit. Seketika aku duduk meringis kesakitan. Sepertinya palu godam baru saja menghantam keras tepat di batok kepalaku. Aku berusaha bangkit, kemudian segera membasuh muka walau harus dengan kondisi tergontai.
”Nyenyak sekali tidurmu. Asoy.”
”Bangsat! Tahu begini, tak sudi aku melayani mereka.”
”Sabar! Mereka itu pelanggan setia kita! Ingat! Pelanggan adalah raja.”
”Usang sudah pepatahmu itu. Mana ada raja ngopi di emper gerbang kampus.”
Mungkin karena kurang tidur kepalaku terasa pening sekali. Orang-orang itu memang tidak bisa dikasih hati. Besok-besok kutulis saja. Gerobak tutup pukul satu malam.
”Maaf kawan, aku harus segera berangkat,” tukas Roni, terlihat rapi komplet tas ransel 35 liter di pundak sambil mengenakan sepatu hiking.
”Eh! Baru kali ini aku tahu orang pergi mendaki berkemeja rapi,” timpalku sesaat.
”Pagi ini aku ada janji di kantin kampus satu bertemu Pak Saipul,” ujarnya sembari bangkit dan menstarter Honda Legenda kesayangannya.
Mendengar itu, tanpa permisi pening kepalaku sirna. Aku mendekati sahabat karibku itu. Kemudian menghaluskan suara, ”Ron! Kamu yakin!”
Roni hanya melempar senyum.
”Ron! Aku serius!”
”Semoga.”
Sesaat, Honda Legenda itu melaju pelan kemudian senyap.
Mulai nanti malam, aku sudah tidak lagi mendorong gerobak kopi. Aku berencana besok pagi pulang ke desa menikmati masa santai entah sampai berapa lama aku tidak tahu. Padahal, tiga hari ini ramai mahasiswa dari luar pulau sudah banyak yang berdatangan. Sebab dua minggu lagi jadwal kuliah sudah mulai aktif kembali. Kondisi seperti ini tentu sangat baik bagi kesehatan dompetku yang bersumber dari secangkir kopi.
Aku punya gerobak kopi dengan desain minimalis. Tidak besar, hanya berukuran 80 cm x 80 cm dengan tinggi meja 1 meter sejajar perut, disertai atap melengkung yang ditopang 4 besi hollow setinggi 1 meter. Memiliki gagang dorong yang dapat dilipat serta dua laci dilengkapi kunci. Semua kerangka terbuat dari besi dengan aksen kayu.
Gerobak kopi itu sebenarnya hasil usaha Roni demi menghadangku cuti kuliah. Namun, persoalan yang kualami saat ini tidak sama persis seperti saat itu. Dulu hampir saja aku cuti karena sedari awal bapak sudah mewanti. Ia hanya bisa bantu sampai semester dua. Setelahnya, tidak tahu. Sebab kebutuhan dua adikku juga tidak sedikit.
Suatu siang saat masih libur semester, setelah membantu Bapak panen, aku duduk santai di pematang sawah. Roni, yang saat itu masih asisten dosen, tiba-tiba datang dengan khas dandanan seperti orang hendak mendaki. Mula-mula Roni mendekatiku, kemudian suaranya sedikit pelan.
”Bro... Tolong bantu lagi?”
”Proyek!!!” sahutku singkat.
”Jangka panjang,” timpal Roni.
”Apa yang bisa kubantu?”
”Cukup kau kerjakan malam hari. Dan saat pagi tiba kau bisa kuliah kembali.” Terang Roni sembari menunjukkan foto gerobak kopi yang sudah berdiri gagah di galeri ponsel pintar miliknya.
Butuh modal yang tidak sedikit untuk sebuah gerobak minimalis seperti itu. Aku lalu bertanya. ”Kau melibatkan Pak Saipul?”
Sesaat aku mendengar tarikan napas yang dalam lalu menjawab. ”Aku hanya berkeluh kesah, tetapi ia malah menawarkan gerobak itu.”
”Tentu tidak gratis, kan?”
”Menurutmu cukup kan enam bulan untuk bisa balik modal?” Roni balik bertanya.
Aku mengangguk.
Tak terhitung berapa jumlah kebaikan Pak Saipul mengalir kepada kami berdua. Mungkin juga kepada mahasiswa yang lain. Pak Saipul adalah dosen di kampus kami yang kebetulan mengajar mata kuliah kewirausahaan. Ia dosen yang dikenal dengan nilai B. Menurut Pak Saipul, nilai A hanya khusus untuk mahasiswanya yang mau kreatif di bidang usaha. Walaupun sekadar gimik untuk satu semester saja, nilai A sudah pasti di kantong. Begitu memang Pak Saipul, tidak berubah dari zaman ke zaman.
Pernah suatu ketika aku terlibat megaproyek yang dipelopori Roni di desa kami, yaitu sebuah perpustakaan mini. Awal mula memang mini, tetapi karena sambutan dari warga desa sangat antusias perpustakaan semakin besar. Bangunannya bergandengan dengan gedung SD di desa kami. Roni yang memasok buku-buku itu. Mulai dari majalah Bobo, komik, novel, hingga buku bertema perikanan, perkebunan, dan pertanian.
Setiap satu bulan sekali, aku pulang pergi dari desa tempat tinggalku menuju kota tempat Roni kos hanya untuk menjemput buku-buku yang sudah dibungkus rapi untuk khazanah rak buku di perpustakaan kami. Semenjak saat itu, timbul keinginanku untuk ikut masuk kampus ambil jurusan yang berkaitan dengan pertanian. Aku rasa belum terlambat walau sudah satu tahun aku lulus dari bangku SMA.
Suatu sore selepas dari kampus Roni berkunjung ke sebuah toko buku bekas langganannya. Roni mengira penjual di toko buku bekas langganannya itu adalah pemilik toko asli. Akan tetapi, tiba-tiba saja Roni terkejut kedatangan seorang pria paruh baya. Ia adalah Pak Saipul. Saat ia datang, si penjual tiba-tiba menunduk lalu meraih dan menyalami tangan Pak Saipul. Sejak saat itu, Roni tahu Pak Saipul adalah pemilik toko buku bekas yang sebenarnya. Dan sejak pertemuan itu pula mereka berdua semakin akrab.
***
Pagi menjelang siang sang bagaskara menunjukkan kegagahannya. Teriknya merangsek tembok beton melalui bilik lubang udara, suhu kos mirip ubi cilembu yang mulai mengeluarkan manis madu di tungku panggang. Baling-baling kipas yang konon katanya mampu menyulap udara menjadi sejuk ternyata hanya isapan jempol belaka. Kaus oblong di punggung basah kuyup, lama sekali kuperhatikan, teringat dua jendela belum kudorong ke arah luar.
Bapak butuh pupuk untuk sawah kami. Dan kebetulan aku ada tabungan dari hasil gerobak kopi.
Sebelumnya, tiga hari yang lalu Roni begitu tampak murung. Ia lebih banyak diam. Aku tak berani menyapa, tetapi aku masih sempat membuatkannya secangkir kopi campur gula aren kesukaannya. Aku mungkin sudah membuatnya kecewa, tetapi ini sudah menjadi pilihan akhir. Aku harus ambil blangko cuti. Dan tanggal pengajuan sudah mepet jadi aku segera menaruhnya di bagian ruang administrasi kemahasiswaan. Bapak butuh pupuk untuk sawah kami. Dan kebetulan aku ada tabungan dari hasil gerobak kopi. Aku tahu itu tabungan untuk ongkos paket SKS dan SPP. Hal ini tentu pukulan keras bagi Roni sebab aku terlambat bercerita.
Sesaat ponselku berdering singkat, satu pesan masuk melalui aplikasi Whatsapp. Aku bergegas membacanya.
”Bro, apakah paket buku dari Pak Saipul sudah datang?” bunyi pesan itu.
”Oh sudah, dong. Bahkan aku baru selesai membaginya menjadi dua bungkus kardus bekas mi instan kita,” tulisku, sembari menunggu balasan karena terlihat tiga titik gelombang bergerak berulang.
”Ok, Sipp! Tapi... Bisa hadir ke kampus sekarang?”
”Kalo sekarang, ya enggak bisa?”
”Kenapa?”
”Aku belum mandi. Kalo mau, ya habis mandi, gimana?”
”Dobol!”
Aku membalas ikon dua jari, tiga kali berderet.
”Langsung ke ruang seperti biasa.”
Aku membalas lagi dengan ikon kuning vespa diikuti ikon asap berkebul.
Siang itu pemandangan kampus tak begitu ramai seperti hari-hari biasa. Hanya beberapa fotokopi dan loket jual alat tulis yang masih buka. Semilir angin menghantam mukaku. Sejuk sekali udara hari ini. Berbeda sekali dengan di kosku tadi. Jam di tangan menunjukkan angka sebelas. Aku berlari kecil menuju tangga ke lantai dua tempat di mana ruang sahabat karibku berada. Sesaat kulihat dari bingkai daun pintu yang terbuka Roni dan Pak Saipul menyandarkan diri di antara daun jendela kaca sepertinya mereka sedang mengobrol serius. Roni manggut-manggut memperhatikan.
Tiba-tiba Pak Saipul menoleh, ”Eh! Masuk, Mas,” Sapanya.
Aku bergegas masuk, kuraih tangannya dan kutempelkan pada kening sesaat. Roni mengulurkan tangan ke arah Pak Saipul, isyarat kalau Pak Saipul mau berbicara.
”Mas! Saya sudah dengar Roni cerita. Kalau saya jadi sampean, saya melakukan hal yang sama. Tapi, Mas! Sebelum bertindak sampean cerita dulu ke Roni biar urusannya bisa lebih enak, ok!”
”I-iya Pak, maaf Pak. Tapi sa-saya sungk...” Sesaat Pak Saipul memotong.
”Halah! Ya, sudah. Blangko SKS sudah saya titipkan di Roni. Nanti sampean ngobrol saja sama Roni,” ujar Pak Saipul sembari meraih tas laptopnya dan bergegas pamit. ”Ron, bantu sampai beres! Saya pulang dulu nanti jam dua ada penerbangan ke Jakarta.”
”Siap, Pak!!!” balas Roni keras.
Sebelum jauh, lalu aku bergegas lagi meraih tangan Pak Saipul dan menunduk. ”Sukses, ya, Mas.”
Saya mengangguk.
Seketika ruangan berubah sunyi menyisakan aku dan Roni saling diam berdiri.
”Bro...” Sapa Roni mengulungkan blangko SKS dilengkapi tanda tangan yang bagiku tidak asing.
”Ron...!” Panggilku segera menerima blangko itu setengah percaya setengah tidak. Aku melanjutkan. ”Jangan-jangan! Pak Saipul...”
”Beliau diminta mengajar di universitas ternama di Jakarta.” Timpal Roni.
”Jadi... Kamu sekarang!” jari telunjukku mengarah ke kursi milik Pak Saipul.
”Aku mau ada Zoom meeting. Jadi! Selesaikan dulu urusanmu di bagian input data SKS. Ayo, cepat buruan!” ujarnya sembari duduk dengan telapak tangannya goyang berulang seperti mengusir gerombolan anak ayam.
”Ron...!” panggilku lagi sembari menunjuk tanda tangan di blangko SKS.
”Aman! Pak Saipul tadi sempat bilang tanda tangannya masih sakti.”
Setelah mendengar itu aku bergegas pergi, meninggalkannya. Sesaat kusempatkan menoleh ke arah Roni sebelum melewati daun pintu. Caranya berpakaian, tas ransel di dekat meja, dan sepatu hiking yang dikenakan membuat mataku terasa berbeda. Sahabatku itu lebih mirip pendaki gunung daripada seorang dosen.
***
Gresik, 05 Desember 2024
Henri Koreyanto, lahir di Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah, tahun 1985. Lulusan Teknik Elektronika Institut Teknologi Nasional di Malang, Jawa Timur. Sejak 2013 bermukim di Gresik, bekerja sebagai Juru Gambar Teknik. Pernah menulis esai di Terminal Mojok, Mojok.co.
Penulis:Henri Koreyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar