Kamis, 20 November 2025

Jual Tanah

JUAL TANAH
Karya Luh Arik Sariadi

Cuaca masih menyembunyikan cahaya mentari di atas rangka jalan layang. Udara sudah sangat dingin karena awan gelap memeluk besi-besi rangka itu. Barangkali di atas bukit hujan sedang bercinta dengan pohon-pohon yang akan dibabat untuk jalan layang. Bukit terlihat sangat gelap, terasa tak ikhlas berbagi keindahan dengan setiap orang yang coba memandangnya dari kaki bukit.
Suni tidak bisa lebih lama lagi memandang rangka jalan layang itu. Rambu-rambu larangan ke proyek jalan layang sudah ditutup sejak beberapa hari karena cuaca buruk. Suni ingin melihat lagi tanah sepupunya yang kena jalur pembuatan jalan layang. Sepupunya mendadak kaya lantaran pemerintah memberi uang pengganti akibat proyek jalur layang. Bibi Suni bisa investasi emas setelah mendapatkan uang ganti rugi itu.
“Bagaimana Sun, apakah kamu tidak menjual tanahmu?” kata bibi Suni.
“Saya mau jual, Bi, tapi tanah saya tidak kena jalur.” jawab Suni kepada bibinya. 
Dalam hatinya, Suni merasa sangat sedih karena hanya tanahnya yang tidak kena jalur proyek. Sementara, kelima sepupu dan seorang bibinya sudah berlomba-lomba menyimpan uang dalam bentuk emas batangan. 
Seolah kasihan kepada Suni, bibinya menyegarkan hati dengan berkata, “Sabar, Sun. Pemerintah akan membuat proyek lagi suatu hari nanti. Tanahmu pasti laku lebih mahal dari tanah kami.”
Suni tersenyum tetapi pikirannya masih terganggu dengan orang kaya mendadak. Tanah yang dimilikinya tidak menjadi jalur jalan layang karena memiliki sumber mata air. Menurut kepala desa yang menjadi makelar tanah proyek itu, mata air itu akan sulit menyangga jalan layang. Para arsitek dan para lulusan teknik sipil tidak mau ambil risiko dengan memakai tanah Suni. Suni ingat kata-kata kepala desa, “Sun, saya akan sampaikan kepada pengembang yang menangani proyek ini bahwa tanahmu dikasi lebih murah dari tanah-tanah yang lainnya asalkan komisi yang kamu berikan ke saya 20%, bagaimana?” Waktu itu, Suni tidak memberi jawaban karena mendiang ayahnya berpesan agar Suni tetap menjaga tanah warisan itu. Itu adalah tanah pemberian raja yang diberikan secara turun temurun ke anak cucunya. 
Tanah itu memang menghasilkan buah durian, alpukat, pisang, dan keladi, tetapi pekerjaan Suni sebagai pegawai negeri sipil di Dinas Pendidikan Kabupaten tidak memungkinkan dirinya mengurus perkebunan itu lagi. Karena itu, Suni meminta tetangganya merawat tanah dengan sistem bagi hasil. Suni tidak pernah memperhitungkan apapun yang diberikan oleh penyakapnya. Baginya, wasiat ayahnya adalah wujud bakti kepada leluhur.
“Sebaiknya dijual saja, Suni! Nanti komisinya belakangan saja kita perhitungkan,” pinta kepala desa. 
Suni tetap mempertahankan keyakinannya hingga akhirnya kepala desa tidak datang lagi merayunya untuk menjual satu-satunya aset tanah yang dimilikinya. Aset itu sangat berguna bagi Suni. Dengan sertifikat kepemilikan tanah, ia bisa melanjutkan kuliahnya hingga ke Arab. Ayahnya dulu meminjam uang untuk anak satu-satunya yang cerdas dan menjadikan sertifikat tanah itu sebagai jaminan di bank. Setelah lulus S1 di luar negeri, Suni mengikuti tes calon pegawai negeri sipil dan lolos sebagai pegawai negeri sipil. Ketika ia menjadi PNS, ayahnya membuat selamatan yang mengundang warga sekampung. Pesta sate gule kambing dilakukan dari pagi hingga malam. Musik dangdut dan doa pujaan terhadap Tuhan silih berganti dari rumah Suni. Keesokan harinya, ayahnya meminta Suni kuliah lagi untuk meraih gelar magister. Suni tidak pernah menolak perintah ayahnya walaupun di sekolah atau kampus, Suni merupakan orang yang kritis dan terkenal tidak menerima pendapat orang lain tanpa alasan dan data yang jelas.
Suni memandang kembali rangka jembatan layang yang sedang dirakit dari kejauhan. Ia melihat hujan telah reda. Besi-besi yang tampak kokoh itu telah mengusik kekokohan hatinya untuk mempertahankan tanah warisan ayahnya. Satu sisi, ia sangat menghormati keputusannya sendiri dan di sisi lain terngiang kata-kata sepupunya. 
“Sun, nanti kalau kamu mau jalan-jalan pakai mobilku saja! Jangan malu-malu! Uangku sangat banyak setelah mendapat kompensasi jalan layang,” kata Marko, sepupunya yang sejak SMP naksir Suni. 
“Ya, Marko. Aku pasti minta tolong sama kamu,” jawab Suni menepis kekecewaan akibat tidak menjual tanahnya.
“Dengan tidak menjual tanah itu, kamu sudah mengambil keputusan yang benar. Dengan uang kompensasi tanahku saja, kalau kamu mau, kita bisa menikah,” kata Marko.
Suni sangat terkejut dengan ucapan sepupunya. Ia tidak mengira sepupu yang selalu diajak bermain, menangkap jengkrik dan tonggeret akan mengungkapkan rasa cintanya. Marko selama ini tidak pernah mendekati Suni dengan kata-kata cintanya mungkin karena menyadari bahwa dirinya memiliki pendidikan yang berbeda dengan Suni. Suni lulusan universitas luar negeri sedangkan Marko hanya seorang petani lulusan SMA. Ketika tanah Marko dilintasi proyek jembatan layang, Marko tidak lagi menjadi petani. Dengan uang kompensasinya, Marko membuat toko fotocopy yang menjual alat tulis di dekat sekolah di desanya. Suni tidak menjawab perkataan Marko bukan karena Suni sudah punya pacar atau berpendidikan lebih tinggi, tetapi ia masih memikirkan tanah warisan ayahnya. 
“Sun, kamu belum bisa memutuskan mau menikah denganku, tidak apa-apa. Aku siap menunggu jawabanmu, bahkan jika aku harus tidak menikah seumur hidup, aku bersedia. Aku hanya menunggumu, Sun.” katanya lagi.
Suni tidak ingin salah membuat keputusan lagi. Suni hanya tersenyum melihat keberanian sepupunya. Padahal, selama ini Marko adalah sosok pemuda yang pendiam. Ia jarang didekati perempuan, bahkan bisa dihitung kawannya hanya 2 orang, Saleh dan Haliman. Ketika Suni hanya tersenyum, Marko menjadi kikuk dan keduanya sama-sama menatap rangka jalan layang yang dikerjakan dengan alat berat oleh para pekerja dari luar negeri.
“Marko, bagaimana menurutmu jika aku jual tanah warisan ayahku?” Suni tiba-tiba mengejutkan Marko dengan memberi pertanyaan yang sangat sulit. Marko yang sebenarnya tidak ingin menjual tanahnya juga, terpaksa menjualnya karena kepala desa hampir setiap hari datang ke rumahnya dan merayu ibunya. Lantas, ibunya meminta Marko menjual saja tanah itu agar bisa menikahi Suni. Ternyata, keputusan yang diambil Marko tidak berhasil membuat Suni menerima lamarannya. Bagi Marko, uang tetap tidak bisa membuat wanita pujaan hatinya menetapkan pilihan. Dengan pemikiran itu, Marko menjawab pertanyaan Suni dengan sangat tegas sesuai dengan pemikirannya sendiri. Ia tidak peduli Suni suka atau tidak.
“Sebaiknya kamu jangan menjualnya! Itu adalah tanah penghijauan yang tersisa di desa kita. Kalau ibuku dan kepala desa tidak mendesakku terus untuk menjual tanah ini, sebenarnya aku ingin tetap mempertahankannya.” jawab Marko.
“Mengapa?”
“Jika semua lahan di desa kita dijual, tidak akan ada lagi tanah resapan. Apalagi, aku tahu lahanmu berisi sumber mata air yang menjadi satu-satunya mata air untuk menghidupi kami semua, bahkan desa-desa di dataran yang lebih rendah. Kalau tanahmu itu dijual, bagaimana nasib kita semua?”
“Kita semua jadi punya uang banyak,” jawab Suni.
“Uang? Uang tidak bisa menyelesaikan segalanya!” 
“Buktinya, kita ingin sesuatu perlu uang,” tambah Suni.
“Memang benar uang bisa membeli yang kita inginkan, tetapi tidak segalanya keinginan kita bisa didapat dengan uang,” kata Marko sambil memperbaiki posisi duduknya yang awalnya bersandar di kursi, kini tegak dengan bumi.
“Tapi, aku juga ingin seperti kalian yang punya mobil dan uang banyak setelah menjual tanah!” kata Suni.
“Kamu tidak perlu menjual tanah hanya untuk itu,” kata Marko dengan mengubah posisinya lagi. Kini kedua bola mata Marko simetris, pandang memandang dengan kedua bola mata Suni.
Suni yang ditatap setegar itu, merasa hatinya bergetar. Sejak kecil mereka bersama, bermain, dan tanpa ada rasa di dada. Marko yang dulu terlihat kotor karena memelihara puluhan ekor sapi, telah membuat hati Suni gemetar. Apakah yang membuat perasaan berbeda itu? Suni tidak peduli, di dalam hatinya hanya ada satu pertanyaan, bagaimana caranya menjual tanah warisan itu supaya ia bisa sejajar dengan sepupu-sepupunya?
“Kamu bisa menikah denganku, dan aku akan memberi mas kawin mobil, emas, dan uang yang kamu inginkan!” kata Marko lagi. 
Getaran di dada Suni semakin keras karena Marko menggenggam kedua tangan Suni dan memohon untuk menikah. Apa yang harus dijawab? Harta milik sendiri tentu berbeda dengan harta orang lain yang diberikan kepadanya. Suni tidak ingin dibutakan oleh cinta dan melupakan tujuan utamanya untuk menjual tanah warisan ayahnya.
“Suni, kamu akan tetap memiliki tanah itu. Jika kamu mau, kalau kita sudah menikah, aku akan menyewa tanahmu. Aku akan memelihara puluhan ekor sapi di tanahmu. Kalau sapi itu dijual, keuntungan penjualnya untuk kamu saja,” ucapan Marko sungguh menggiurkan, tetapi Suni tidak tahu apakah ada rasa cinta untuk Marko di hatinya?
Suni kembali hanya menjawab dengan senyuman. Sebelum Marko pamit untuk pulang, ia mengatakan sebuah kalimat lagi, “Aku selalu menunggumu, Sun!”
***
Hujan sudah tidak datang beberapa bulan. Musim kemarau membuat rerumputan mengering, tetapi perkebunan milik Suni tidak pernah kering. Sepanjang aliran sungai yang berhulu di selatan kebun Suni, sapi-sapi berjejer sampai ke bagian utara desa saling menjilat. Musim kemarau tidak pernah membuat sapi-sapi itu berhenti bercinta. Terlihat Marko memandikan sapi-sapinya. 
“Ayah, nanti setelah memandikan sapi segera pulang ya! Ada berkas yang harus disalin dari dinas sosial. Besok jam 10 disuruh antar ke kantor!” kata Sumi yang masih berpakaian seragam PNS. 
Panggilan ayah yang diucapkan Suni kepada Marko dan puluhan ekor sapi yang antre minta dimandikan, membuat Marko bergerak lebih cepat, bahkan lebih cepat dari pembuatan rangka jalan layang. Sehabis mengurus peternakan sapi bersama beberapa warga yang dipekerjakan, Marko kembali ke toko untuk menyalin berkas-berkas sesuai pelanggannya. Marko bekerja sangat keras hingga memenangkan hati Suni. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

UNGGULAN

Lomba Membaca Cerpen Nyonya Suartini

Para peserta telah mengumpulkan karya 1. Khazin - Denpasar Klik untuk menyaksikan video! 2. Pandu - Singaraja Klik untuk menyaksikan video! ...