Cerpen Kompas
Nyanyian Hutan Cendana
Hutan Cendana berbeda dari yang ia bayangkan. Cahaya matahari merembes melalui celah dedaunan, menciptakan suasana magis.
Oleh Dhias Thafari Luthfi Ramadhan
26 Nov 2025 16:17 WIB · Cerpen
Malam merangkak perlahan di atas Desa Anggara. Angin menyelusup dingin, membelai daun-daun pepohonan yang rapat, membisikkan rahasia kuno yang hanya dimengerti oleh mereka yang percaya akan mitos. Di balik bukit yang mengelilingi desa, tersembunyi sebuah hutan bernama Cendana—tempat yang dipercayai penduduk sebagai pintu menuju dunia lain.
Lara, seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, memandang ke arah hutan itu dari jendela kamarnya. Mata hitamnya penuh tanda tanya, sementara jemarinya menggenggam sebuah liontin tua. Liontin itu adalah peninggalan ibunya yang hilang tujuh tahun lalu saat memberanikan diri masuk ke Hutan Cendana. Hingga kini, tak ada yang tahu apa yang terjadi pada ibunya itu.
“Jangan terlalu lama menatap ke sana, Lara.” Suara lembut neneknya memecah keheningan. Nenek Suri berdiri di ambang pintu, membawa secangkir teh jahe hangat.
“Aku merasa… Ibu masih hidup di sana, Nek.” Lara menghela napas pelan.
Mata nenek Suri mengerut, menyiratkan kekhawatiran yang tak mampu disembunyikan. “Hutan itu bukan untuk kita, Nak. Banyak yang hilang di dalamnya. Bahkan orang-orang terkuat sekalipun tidak pernah kembali.”
Namun, Lara tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, tapi hatinya bergemuruh. Malam itu, ia memutuskan untuk mencari kebenaran sendiri.
Udara pagi terasa segar saat Lara melangkah keluar rumah. Ia membawa tas kecil berisi air, roti, dan liontin ibunya. Dengan tekad yang telah membulat, ia menyusuri jalan setapak menuju Hutan Cendana. Pepohonan menjulang tinggi seperti penjaga bisu, bayangannya menciptakan pola-pola yang menari di atas tanah.
Saat ia tiba di tepi hutan, angin mendadak berhenti. Dunia seolah membeku, hanya menyisakan suara gemerisik kecil yang entah berasal dari mana. Lara menggenggam liontin itu erat-erat, lalu melangkah masuk.
Hutan Cendana berbeda dari yang ia bayangkan. Cahaya matahari merembes melalui celah dedaunan, menciptakan suasana magis. Bunga-bunga kecil yang bercahaya tumbuh di antara akar pohon, dan udara dipenuhi aroma manis seperti madu.
“Lara,” sebuah suara lembut memanggil. Lara berhenti, dadanya berdegup kencang. Ia menoleh ke sekeliling, namun tak melihat apa pun.
“Siapa itu?” Lara mencoba tetap tegar.
“Ikuti nyanyian ini….” Suara itu terdengar lagi, diiringi alunan melodi yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Suara itu seperti berasal dari dalam dirinya, menggerakkan langkah kakinya tanpa ragu.
Semakin jauh Lara masuk ke dalam hutan, semakin nyata keanehan yang ia temui. Seekor burung berwarna ungu terbang di sampingnya, mengeluarkan kicauan yang menyerupai tawa. Bunga-bunga cendana berbisik, seolah berbicara satu sama lain, meski Lara tak mengerti bahasanya.
Lara tiba di sebuah danau kecil. Airnya jernih, memantulkan wajahnya seperti cermin. Di tepi danau, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun putih yang tampak seperti kabut.
“Ibu?” Suara Lara pecah, bergetar penuh harap.
Wanita itu menoleh. Wajahnya memang mirip dengan ibunya, tetapi ada sesuatu yang aneh.
Matanya terlalu terang, seperti dua bintang di malam hari.
“Lara...” wanita itu tersenyum, namun senyumnya menyimpan rahasia yang kelam. “Kenapa kau datang ke sini?”
“Aku mencarimu, Bu. Semua orang mengatakan kau hilang, tapi aku tahu kau masih hidup.” Lara mulai melangkah maju.
Wanita itu mendekat, menyentuh pipi Lara dengan tangan yang terasa dingin seperti es. “Aku hidup, tapi tidak seperti yang kau bayangkan. Tempat ini telah mengubahku.”
“Apa maksud Ibu?” Lara bertanya, kebingungan.
Wanita itu hanya tersenyum samar, lalu mengangkat tangannya ke arah liontin yang tergantung di leher Lara. “Liontin itu kunci menuju rahasia terbesar Hutan Cendana. Kau tidak boleh tinggal di sini, Lara. Pergilah sebelum terlambat.”
Namun, sebelum Lara sempat menjawab, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanah bergetar, dan angin kencang berhembus, membawa bisikan yang mengerikan. Wanita itu mundur, wajahnya berubah tegang.
“Mereka datang. Lara, sembunyilah!”
Dari balik pepohonan, muncul makhluk-makhluk bayangan dengan bentuk yang tak jelas. Mereka bergerak seperti asap, tetapi memiliki mata merah menyala. Lara merasa tubuhnya membeku oleh ketakutan.
Wanita itu berdiri di hadapan makhluk-makhluk itu, seperti mencoba melindungi Lara. “Kalian tidak boleh mengambilnya! Pergilah!”
Namun, makhluk-makhluk itu semakin mendekat. Salah satu dari mereka melesat ke arah Lara. Dalam kepanikan, liontin di lehernya bersinar terang, menciptakan perisai cahaya yang membuat makhluk itu mundur.
“Gunakan liontin itu, Lara! Hanya kau yang bisa menghentikan mereka.”
Lara menggenggam liontin itu dengan tangan gemetar. Cahaya dari liontin tersebut semakin terang, membentuk pola-pola seperti tulisan kuno di udara. Lara tak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi ia mendengar suara dalam hatinya yang berkata, “Percayalah pada dirimu sendiri.”
Dengan keberanian yang tak ia sadari sebelumnya, Lara mengarahkan liontin itu ke makhluk-makhluk bayangan. Cahaya meledak, memenuhi seluruh hutan. Teriakan makhluk- makhluk itu menggema sebelum mereka menghilang satu per satu.
Ketika semua kembali tenang, wanita itu tersenyum ke arah Lara. Tubuhnya perlahan memudar seperti kabut pagi.
“Ibu?” Lara berlari mendekati ibunya, wajahnya mulai terlihat cemas.
“Kau telah menyelamatkanku, Nak. Tapi tugasku di sini telah selesai. Kini giliranmu menjaga rahasia Hutan Cendana. Ingatlah, hanya mereka yang hatinya murni yang bisa masuk ke sini.”
Sebelum Lara sempat berkata apa-apa, wanita itu menghilang, meninggalkan aroma bunga cendana yang manis. Lara berdiri di tepi danau, memandang liontin di tangannya yang kini bersinar lembut.
Ia tahu hidupnya tak akan pernah sama lagi. Namun, ia juga tahu bahwa ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya. Hutan Cendana bukan sekadar mitos, melainkan tempat di mana rahasia dunia tersimpan—dan kini, ia adalah penjaganya.
Malam kembali turun di Desa Anggara. Dari kejauhan, Hutan Cendana terlihat tenang, seperti biasa. Namun, di dalamnya, seorang gadis muda berjalan dengan penuh keyakinan, membawa cahaya yang menerangi kegelapan.
Dhias Thafari Luthfi Ramadhan. Seorang penulis yang selalu menemukan keindahan dalam setiap kata. Melalui tulisannya, ia mengajak pembaca untuk menyelami cerita-cerita penuh makna, menggugah emosi, dan memancing renungan mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar