Ijazah Palsu
Karya Luh Arik Sariadi
Semua orang menari dengan membawa canang yang berisi 3 batang dupa. Asap dupa memberi wewangian pada udara. Tarian dan asap dupa menandai sakralnya persembahyangan mendak Bhatara. Setelah semua orang mendak Bhatara, semua duduk dengan tenang. Mangku Desa khusus diundang melafalkan mantra-mantra sembari menggerakkan gentanya. Calon Mangku Dadia duduk di belakang Mangku Desa. Ketiganya telah dilukat dengan tirta. Dadia kami belum punya pemangku sejak 50 tahun lamanya pelinggih-pelinggih didirikan. Mangku Desa menyodorkan mangkuk berbahan kuningan. Mangkuk itu berisi beras, hampir memenuhi mangkuk. Di dalam mangkuk sudah diisi 4 buah kwangen. Dari empat kwangen itu, hanya sebuah kwangen yang berisi uang keping bolong. Siapapun yang akan mendapatkannya, ialah yang akan menjadi Mangku Dadia. Kalau ketiga calon tidak mendapatkannya, maka Dadia kami tetap tidak memiliki pemangku dan harus mendatangkan pemangku desa setiap melaksanakan upacara persembahyangan di sanggah.
Gong dibunyikan lagi oleh skha tabuh yang dibayar. Ternyata ayahku yang mendapatkan kwangen yang berisi uang keping bolong, maka jadilah ia pemangku di Dadia.
“Tidak! Saya tidak bersedia menerima dia sebagai pemangku!” kata Made Dodik, sepupuku.
Made Dodik bekerja sebagai advokat. Semua orang tertuju kepadanya. Mereka menenangkan diri, tentu menunggu alasan yang akan disampaikan Dodik.
Seorang advokat adalah figur yang berdiri menantang segala argumen untuk memperjuangkan keadilan. Setiap hari, Dodik bekerja memecahkan satu persatu bahkan secara bersamaan persoalan-persoalan hukum yang rumit. Ia mendengarkan keluhan-keluhan klien, lalu menganalisisnya dengan sangat teliti dan berhati-hati. Di ruang kerjanya, aku pernah melihatnya memeriksa dokumen, menelaah pasal demi pasal, dan menyusun strategi hukum yang paling tepat untuk melakukan pembelaan. Itu dilakukannya saat hari raya Galungan. Aku pernah melihatnya mempelajari berkas perkara, menghitung risiko, dan menyiapkan pembelaan yang kuat dari pagi sampai malam saat aku bertandang ke rumahnya untuk menyampaikan selamat hari raya Nyepi. Semua orang keluar rumah untuk menyaksikan pawai ogoh-ogoh yang diarak keliling desa, tetapi Dodik masih membolak-balik dan mencorat-coret berkas-berkas di atas mejanya dengan stabilo.
Sebagai sepupunya yang sering wara-wiri di depan rumahnya, merasa pusing melihatnya bekerja, bahkan di hari Minggu. Minggu pagi ada beberapa klien datang untuk konsultasi. Seorang klien datang dengan masalah yang menekan: sengketa tanah, persoalan rumah tangga, kasus pidana, atau urusan bisnis. Ketika itu, aku hendak berangkat ke taman kota untuk jalan pagi di lapangan bersama dua anakku. Rumah kami satu halaman dengan rumah Dodik, hanya dibatasi tembok setinggi pinggang. Aku bisa melihat siapa saja yang datang ke rumahnya dan satu persatu masuk ke ruang khusus. Ia tidak hanya memberikan jawaban hukum, tetapi juga ketenangan melalui penjelasan yang sesuai tentang hak dan langkah terbaik yang bisa ditempuh kliennya. Dari sana, perjalanan menuju penyelesaian dimulai.
Aku melihat Dodik memiliki kemampuan yang luar biasa dalam perjalanan menyelesaikan masalah hukum kliennya. Saat harus turun ke lapangan, Dodik mendampingi klien dalam pemeriksaan polisi. Ia pun menemani kliennya dalam negosiasi atau mediasi dengan pihak lawan. Di sini, ia menjadi jembatan yang memastikan klien diperlakukan secara adil, tidak salah langkah, dan tidak terjebak pasal-pasal yang merugikan. Ketika perkara masuk pengadilan, Dodik berdiri tegak di ruang sidang, menyampaikan argumentasi, mengajukan bukti, memeriksa saksi, dan merumuskan pembelaan untuk meyakinkan majelis hakim.
Di tengah padatnya tugas, ia tetap memegang teguh kode etik: menjaga kerahasiaan klien, berlaku jujur, dan membela berdasarkan fakta serta hukum. Dalam setiap perkara, Dodik bukan hanya mengupayakan kemenangan, tetapi juga memastikan keadilan berjalan sesuai jalurnya.
Dengan demikian, profesinya sebagai advokat bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan untuk memperjuangkan hak, melindungi masyarakat, dan menjadikan hukum sebagai tempat mencari kepastian dan kebenaran. Semua orang di keluarga kami, tahu kinerja Dodik yang tidak pernah mau disuap.
Lantas apa yang salah pada pemilihan pemangku dadia hingga ia tidak setuju ketika ayahku menjadi pemangku dadia?
“Apakah untuk menjadi pemangku dadia ada payung hukumnya?” pikirku.
Sebagai seorang pedagang yang kutahu hanya membeli barang dan menjualnya dengan ketentuan sendiri. Aku tidak paham tata cara pemilihan semacam ini. Suasana mencekam. Tidak ada seorangpun berbicara ketika Dodik berkata tidak. Semua orang saling menatap.
“Lanjutkan upacara ini!” perintah Dadong Ranti.
Ia adalah orang yang paling tua di dadia ini. Usianya sudah 90an. Selama ini, ialah yang selalu membantu pelaksanaan persembahyangan. Namun, kakinya kini sudah tidak bisa berjalan lagi karena usia, walaupun ingatannya masih sangat bagus. Bahkan tanpa dia, Jro Mangku Desa yang hadir tidak boleh melafalkan mantra karena sarana persembahyangan selalu diperiksa oleh Dadong Ranti. Ia sangat tahu cara membuat sesajen dan meletakkannya di tempat persembahyagan. Ia sebenarnya hafal mantra, tetapi karena ia seorang perempuan, ia tidak boleh memimpin persembahyangan dan tidak boleh ditunjuk sebagai Mangku Dadia. Ia hanya boleh membantu mengingatkan posisi, kelengkapan, dan makna-makna sesajen.
“Jangan menyalahi tradisi, Dodik! Pamanmu mendapatkan kwangen itu, artinya dialah yang harus kita hormati sebagai Pemangku Dadia!”
“Apa gunanya saya belajar tinggi kalau tidak berguna untuk keluarga?”
“Apa maksudmu?”
“Paman tidak pantas menjadi Pemangku Dadia!”
“Lalu siapa yang pantas?” teriak Dadong Ranti yang kesal.
Aku pun punya pertanyaan yang sama dengan Dadong Ranti. Siapa yang pantas? Ayahku seorang pensiunan guru agama. Ia hafal mantra dan tata cara persembahyangan. Ia berguru kepada seorang nabe yang sangat tersohor. Ayahku juga mampu berdharma wacana. Konten-kontennya di youtube sangat digemari oleh penonton. Subcribernya banyak. Bahkan sebelum dicalonkan menjadi pemangku dadia, ayahku sering diundang ke pura-pura untuk berkhotbah.
Dua calon lainnya tidak memiliki kualifikasi pendidikan tinggi. Pak Dirga hanya seorang ojek yang terpaksa pensiun karena tidak bisa mengikuti zaman, menjadi ojek online. Pekerjaannya kini hanya menjaga cucunya yang ditinggal kerja anak dan mantunya. Sementara itu, Pak Tirta hanya seorang buruh pengangkut gabah dan batu bata. Desa kami sudah tidak memiliki sawah. Karena itulah Pak Tirta lebih sering terlihat santai karena hanya mengandalkan pekerjaan sebagai buruh pengangkut bata. Setiap minggu ia paling hanya bekerja 2 hari. Jadi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia belajar makidung.
Kalau ada orang yang mengadakan persembahyangan, ia diupah untuk makidung dan dibayar dengan sukarela. Secara nyata, ayahku tampak sangat layak menjadi Pemangku Dadia
Apa yang membuatnya tidak layak? Data apa yang dimiliki Dodik untuk menjatuhkan ayahku?
“Dadong, keadilan harus ditegakkan! Seorang Pemangku harus memberi cermin kejujuran. Ia harus menjadi teladan bagi kita semua.”
“Jangan berbelit-belit! Apakah menurutmu, ketiga calon itu tidak memiliki keteladanan?”
“Punya, tetapi masih ada yang kurang!”
“Setiap orang punya kekurangan dan Dadia kita tidak punya Pemangku! Siapa yang tidak punya kekurangan di sini?” teriak Dadong Ranti sambil menangis.
“Maaf, Dadong. Tangisanmu tidak akan menyelesaikan masalah! Berhenti menangis dan membuat kami semua panik”
Aku melihat kegagahan Dodik dan keteladanannya sebagai satu-satunya orang yang memiliki kedudukan formal tinggi di masyarakat. Aku menunggu data yang akan diberikan tentang ayahku.
“Secara kasat mata, setiap orang punya kelemahan, tetapi kelemahan itu kalau bisa ditutup dengan hal-hal baik, tentu kelemahan itu tidak akan terlihat,” tambah Dodik.
Dadong Ranti tampaknya telah lama mengidamkan seorang pemangku dadia di sanggah kami. Ia terus menangis dan wajah kesalnya tampak jelas.
“Kamu mengacaukan segalanya!”
“Maaf, Dadong. Saya terpaksa melakukan ini demi keturunan kita nanti. Dari awal harus benar. Kalau dari awal keliru, maka selamanya kita akan keliru.”
“Keliru apanya? Tolong diperjelas!” pinta Erni, adikku terpaksa menyela.
“Sudah, kamu diam! Kamu seorang perempuan yang sudah menikah, tidak berhak berbicara di tempat ini!
Aku menarik adikku agar tidak ribut. Namun, ia justru semakin memberontak. Suaminya menariknya mundur dan keluar dari sanggah.
Aku sebagai anak ayah tidak berani berbicara karena Dodik adalah sosok sepupu yang sangat aku kagumi. Hanya saja aku belum berbicara bukan karena dilema, satu sisi ayahku, sisi lain seorang advokat. Aku ingin tahu, alat bukti apa yang membuat ayahku cacat di mata Dodik.
“Dadong, saya tahu kita semua sedang merindukan seorang pemangku yang akan membuat dadia kita diakui di desa ini, tetapi jangan lupa. Sebuah kepemimpinan harus didasari oleh fondasi yang kuat. Paman memiliki ijazah palsu. Gelar Drs. yang dimiliki itu adalah milik saudara Dadong.”
“Memangnya kenapa? Kami sudah sepakat memberikan ijazah itu kepada pamanmu.”
“Dadong, kalau hal ini terbongkar, dadia kita akan tercemar!”
“Terlalu berlebihan! Siapa yang akan tahu kalau tidak kita beri tahu!”
“Siapa saja yang ingin dadia kita hangus dari muka bumi ini! Kecanggihan teknologi akan menghancurkan dadia kita kalau kita paksakan paman menjadi pemangku dadia.”
Aku tahu soal ijazah ayah yang palsu. Aku pernah mendengarnya, tetapi aku tidak menyangka itu akan menjadi boomerang bagi ayahku. Kali ini, aku tidak bisa membela ayahku. Semua orang sependapat dengan argumen Dodik. Dadong Ranti yang awalnya begitu keras, pun melunak dengan pemikiran Dodik. Semua orang juga tampak kecewa karena dadia kami belum bisa didaftarkan sebagai dadia penerima sumbangan perbaikan dadia. Itu karena dadia kami tidak punya seorang pemangku dadia. Kalau ayah dipaksakan menjadi pemangku dadia, dia harus melampirkan ijazah palsunya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar