Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 November 2019

Cerpen Kawin


1. Kawin
Oleh Luh Arik Sariadi

Mimpi siapa yang diwujudkan sekarang?
Siapa yang memenangkan dialog hari ini?

Bersaudara enam orang membuat Made selalu bertanya di dalam hatinya. Sebagai anak kedua, mestinya mendapatkan giliran kedua, tetapi tidak dalam hal keluarganya. Made memiliki keluarga yang demokratis. Setiap ada masalah, selalu dirundingkan. Perundingan tidak mesti dilakukan pada waktu khusus dan tempat khusus. Diskusi mengalir begitu saja tanpa batas. Kalaupun sedang makan, kalau ada masalah pasti akan segera dibicarakan sambil makan.
Apalagi kalau masalah yang mendesak, sesibuk apapun keluarga Made, perbincangan selalu ada.  Walaupun Made sedang mandi, kalau dia mendengar pembicaraan adik-adiknya, pasti Made urun pendapat. Saudara-saudaranya pun tidak keberatan mendengarkan semua pandangan yang ada. Mereka berbicara tidak ada giliran tertua atau termuda. Yang paling penting adalah setiap ada waktu berbicara, hati mereka seperti terikat satu dengan yang lainnya. Sepertinya Tuhan telah mengatur supaya giliran berbicara dimanfaatkan setiap anggota keluarga.
Gagasan yang inspiratif sangat di hargai dalam diskusi mereka. Apalagi bila disertai dengan alasan-alasan juga cara-cara praktis untuk mewujudkannya. Made sering mendapat kepercayaan untuk menentukan nasib keluarga karena Made pandai berargumentasi. Kata-katanya sangat membius dan mampu mempengaruhi orang lain.
Di dalam keluarga, Made sangat populer. Keputusan-keputusan yang dipilihnya selalu mendapat dukungan dari saudara-saudaranya. Bahkan ayahnya juga seringkali memuji Made dengan berlebihan di depan anak-anaknya yang lain. Made benar-benar menjadi pusat perhatian.
Di dalam otak Made, berjuta-juta gagasan sudah mendesak untuk memajukan keluarga. Dari enam bersaudara, Made dipilih menjadi sentral pembicaraan. Made seperti seorang ketua yang bisa memutuskan penyelesaian suatu masalah. Made juga sangat dihormati karena ia sudah memiliki gaji tetap untuk menopang ekonomi keluarga.
Selama ini, Made juga sangat loyal terhadap keluarga. Adiknya empat orang laki-laki. Komang Suta, Ketut Marka, Putu Suteja, dan Nengah Karsa. Keempatnya disekolahkan oleh Made. Komang Suta sudah menjadi pegawai bank swasta. Ketut Marka bekerja sebagai pegawai kontrak di dinas pemadam kebakaran. Putu Suteja bekerja sebagai pegawai di dinas pekerjaan umum. Nengah Karsa sedang kuliah di jurusan hukum di perguruan tinggi swasta.  Kakaknya, Wayan Tresna hanya sesekali saja memberi uang saku kepada adik-adiknya karena Wayan Tresna hanya seorang tukang ojek.
Biaya potong gigi juga dikeluarkan oleh Made. Perhitungannya sangat tepat mengenai biaya yang akan dibutuhkan dalam potong gigi. Dana yang dipinjamnya dari bank untuk upacara potong gigi sangat besar dan ia mempertaruhkan surat pengangkatannya sebagai pegawai negeri sipil. Dalam upacara itu, tiga ekor babi yang besar dipotong untuk menyambut para tamu. Untuk tamu yang muslim, dipesankan beraneka masakan yang terbuat dari daging kambing. Dengan upacara potong gigii yang mewah, keluarga  Made menjadi naik derajat.
Sebelum menjadi PNS, rumah Made sangat kotor. Temboknya hanya terbuat dari tanah yang direndam beberapa hari. Sejak Made mendapat gaji tetap, rumahnya diperbaiki, diganti dengan tembok bata yang terbakar matang. Pintu dan jendela rumahnya menggunakan ukiran Bali. Sudah ada kamar mandi bertembok keramik di bagian belakang rumah. Bagian-bagian rumah tertata dengan rapi. Ada bale-bale khusus yang dibuat untuk kegiatan yang berbeda-beda. Segala kelengkapan rumah dipilih oleh Made karena semua uang untuk itu bersumber dari Made.
Waktu Wayan Tresna menikah, Made juga yang membiayai pernikahannya. Foto-foto praweding untuk kartu undangan kakaknya dibuat di beberapa tempat dan latar belakang. Ada latar masa kolonial yang dibuat dibekas-bekas peninggalan penjajahan Belanda. Ada juga latar masa pendudukan Jepang dengan kostum kimono. Beberapa foto diambil saat kakaknya mengenakan pakaian adat Bali madya dan payas agung. Bagi Made, semua hal harus mendasar. Semua peristiwa yang terjadi diusahakan terencana untuk masa depan yang lebih baik. Setiap pilihan tidak boleh disesali karena telah dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum dilakukan. Menurut Made, semua upacara yang digelar adalah pengabdian. Karena itulah, berapapun biaya yang digunakan harus dikeluarkan dengan tulus dan tercatat, sehingga suatu saat nanti akan menjadi sejarah.
“Pernikahan hanya dilakukan sekali, Bli,” kata Made menasihati kakaknya.
“Tapi Bli hanya seorang kacung, tukang ojek, dengan pekerjaan yang tidak tetap.”
“Tidak masalah, Bli. Kita harus menghargai perjuangan bangsa. Kita harus mengenang masa-masa perjuangan para pahlawan.”
“Bli malu, De” jawab kakaknya dengan pelan.
“Mengapa harus malu? Zaman sekarang sudah tidak zaman memelihara rasa malu. Kita harus mensyukuri pemberian Tuhan dengan menggunakannya sebaik-baiknya.”
“Tapi ini terlalu mewah dan tidak layak untuk Bli.”
“Bukan masalah mewah atau murah.”
“Ini baju-baju yang kamu sewa apa tidak membuang-buang uang? Ini pastilah mahal.”
“Bukan masalah harga, Bli. Ini masalah pencatatan kebudayaan. Untuk mempertahankan budaya, mengeluarkan uang tidak masalah. Dengan foto-foto praweding, kita akan mencatat sebuah peristiwa kebudayaan. Sama halnya waktu Bli meluangkan waktu untuk latihan nabuh. Berapa waktu terbuang kalau dihitung dengan uang? Lalu, kalau kita lihat hasilnya dengan uang, tentu tidak seberapa. Berapa orang yang tulus ikhlas mengabdikan diri kepada kebudayaan?”
“Tapi?”
“Sudahlah, Bli! Foto-foto pernikahan Bli nanti akan dilihat oleh anak-anak Bli nanti. Juga oleh keponakan-keponakan Bli. Mereka akan melihat betapa indahnya dunia ini dengan berbagai jenis kostum. Lalu, nanti mereka akan bertanya pakaian apa, dari mana, dan  berbagai pertanyaan akan muncul setelah melihat foto-foto Bli. Kalau semua foto tidak ada, bagaimana kita memperkenalkan kebudayaan kita yang hampir punah.”
“Kamu jangan terlalu berlebihan. Apa tidak terlalu gawat?” tanya Wayan Tresna dengan menggaruk kepala belakangnya.
“Ya, memang gawat dan memprihatinkan!”
Made membuat alasan yang bisa diterima oleh akal sehat, bertujuan mulia, dan bisa diwujudkannya. Semua anggota keluarga menerima gagasan itu. Walaupun hanya lulusan SMP, Wayan Tresna merasa benar semua pendapat adiknya. Dirasakan memang benar bahwa peserta tabuh di desanya semakin hari semakin sedikit. Yang datang juga tidak mengunakan pakaian adat. Mereka yang datang hanya pakai celana panjang. ataupun kalau memakai kamen, sesampainya di tempat latihan nabuh, pastilah banyak yang merasa susah menggunakan kain. Maka itu, dilaksanakanlah semua gagasan Made dengan penuh kebanggaan. Dalam pernikahan itu Wayan Trasna menggunakan pakain dari beberapa kabupaten yang ada di Bali.
Walau hanya seorang perempuan, Made mampu menatur keluarga dengan sangat baik. Made mampu membimbing adik-adiknya menjadi orang-orang sukses. Masyarakat di sekitar rumahnya juga mengakui posisi Made di dalam keluarga besarnya.
Karena ketenarannya, banyak lelaki di desa itu pernah mendekati Made untuk dijadikan pacar. Dari segi fisik, Made bukanlah gadis tercantik di desa itu, tetapi karena semua anggota keluarga sering menceritakan Made kepada para tetangga, maka terkenallah nama Made ke setiap laki-laki lajang. Namun, dengan kemampuannya bicara, tidak ada laki-laki yang terluka kalau ditolak.
Dipikir oleh ayahnya bahwa Made tidak sempat memikirkan dirinya sendiri. Selama ini, Made sibuk di sekolah. Sore hari baru datang. Sesampai di rumah, Made mandi lalu istirahat. Tidak ada laki-laki yang datang tiap malam minggu. Tidak ada juga yang minta izin untuk mengajak Made nonton Band ke gedung kesenian. Di waktu santai, Made hanya mengajak keponakannya ke taman kota atau ke pantai Happy. Di rumah, kalau belum ngantuk, Made akan membaca beberapa buku dan koran yang dibawa dari sekolah.
\Ayahnya hampir lupa kalau Made seorang perempuan. Semua anggota keluarga sudah lupa kalau usia Made sudah 35 tahun. Memang sudah sepatutnya perempuan meninggalkan rumah, tetapi ayah dan adik-adiknya terkejut juga saat Made minta kawin.
“Saya sudah saatnya mencari pasangan. Bape, saya mau kawin.”
Mendengar kata-kata Made, ibunya antara senang dan khawatir. Sebagai seorang perempuan, ibunya sangat memahami hati anaknya. Apalagi mereka sama-sama perempuan. Ibunya sangat bahagia kalau nanti Made memiliki anak yang sepintar da selincah Made. Ibunya memang sudah sangat merindukan cucu dari anak perempuan satu-satunya. Ibunya sudah lama membeli tas untuk nengok cucu. Kebaya merah sudah dipersiapkan sejak lama oleh ibunya. Sokasi yang bertuliskan Made Resini juga sudah dibungkus dengan kresek digudang.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ibunya juga memendam rasa takut sebab hanya Made yang berani mengkritik ayahnya. Hanya Made yang bisa menenangkan putra-putranya yang lain. Bagaimana mungkin keluarga mereka bisa berjalan tanpa Made. Siapa yang meluruskan para lelaki jika Made pergi? Kesedihan itu membuat ibunya gagu, tak sanggup berkata. Kegelisahan itu juga yang membuat ibunya gemetar. Maka, ibunya tidak berani berpendapat sebelum ayahnya bicara.
“Matheeuw namanya, Bape.”
“Siapa lelaki itu?” tanya ayahnya dengan gemetar.
“Lelaki berkebangsaan Inggris. Orangnya sangat baik.”
“Apa tidak ada lelaki yang baik di Buleleng?” Ayahnya berbicara sangat pelan karena bimbang. Bagaimana harus dihadapi anak perempuan kesayangannya?
“Bukan begitu, Bape.”
“Apa Bali sudah kehabisan laki-laki yang baik sesuai dengan seleramu?” tanya Wayan Tresna dengan wajah memerah. Saudara tertua Made sebenarnya tidak berani bicara, tetapi karena kepergian Made benar-benar tidak diinginkannya. Karena itu, tanpa menatap Made, ia bicara mewakili lelaki Bali.
“Bukan begitu, Bli.”
“Lalu apa, De?” Ayahnya bertanya dengan penuh kecemasan.
“Beri penjelasan, Mbok! Apa Mok rela disebut gundik kalau menikah dengan bule?” tanya Ketut Marka.
“Ya, Mbok. Belakangan ini, perempuan yang menikah dengan Bule sering dikira hanya mencari uang bule. Lihat juga para tetangga. Nanti dikira Mbok hanya menginginkan uang mereka.” tambah Putu Suteja.
“Apa Mbok sudah kehabisan uang untuk mengurusi kami sampai-sampai memilih bule sebagai suami?”
“Tidak. Bukan begitu.”
Alasan apa yang bisa diberikan Made kali ini? Harta benda tidak pernah menjadi perhitungan baginya. Walaupun dia hanya PNS, kepandaiannya memanfaatkan internet membuat dia menjadi orang kaya. Alasannya menikah sudah ada. Made menikah karena memang ingin menikah. Tetapi mengapa memilih bule, sama sekali belum ada alasannya. Ia tidak punya alasan yang mungkin disampaikan kepada keluarga tercintanya.
Alasan klasik karena cinta sudah tidak bisa diterima di keluarga ini karena tanpa cinta pun ayah dan ibu Made bisa menikah dan melahirkan anak-anak yang sehat. Alasan agama juga sudah tertutup karena perempuan Bali memang harus pergi dan mengikuti suaminya. Alasan ketampanan Matheeuw juga bukan alasan yang tepat karena di Bali masih banyak ada lelaki yang tampan. Kalau alasan baik hati sudah dipatahkan sejak awal, apalagi yang bisa dijadikan alasan?
“Matheeuw tinggal dari Inggris, kelak akan kembali ke Inggris. Bagaimana ibu nanti menjenguk cucu-cucu yang sepintar kamu? Janganlah jauh-jauh menikah, De.” kata ibunya dengan bibir gemetar.
“Kamu sendiri yang bilang kalau kita harus melestarikan budaya, tetapi mengapa sekarang kamu meninggalkan kebudayaan kita?” balas Wayan Tresna.
“Saya hanya ingin kawin, Bli.”
Teori apa yang bisa digunakannya untuk menangkis semua keraguan keluarganya. Seorang perempuan walau pergi dari rumah, kebudayaan itu tidak akan mudah untuk hilang. Memang ada banyak perempuan yang lupa dengan kebudayaan Bali setelah menikah dengan bule, tetapi Made orangnya pintar. Tidak mungkin dia melupakan kebudayaannya demi seorang lelaki.
Made terus berpikir. Dia mencari jawaban yang tepat untuk semua pertanyaan yang diajukan saudara-saudaranya, juga orangtuanya. Dia bertanya pada dirinya sendiri. Ia menggali berbagai alasan yang kreatif, inspiratif, dan inovatif karena dia tahu benar bahwa keluarganya membutuhkan gagasan-gagasan yang baru. Keluarganya bukan sembarang keluarga! Maka, saat itu pandangan mata Made lepas jauh. Sementara, saudara-saudaranya berdecak dalam hati, bertanya-tanya, dan bimbang harus menyetujui atau tidak. Sebab, mereka telah terbiasa diatur oleh Made. Apalah jadinya keluarga itu tanpa Made. Di dalam hati ayahnya pun terbersit doa supaya Made tidak punya argumentasi yang inovatif. Ibunya diam-diam juga komat-kamit, entah apa yang diucapkan dalam doanya. Apakah berdoa untuk kemerdekaan putrinya? Tapi, kemerdekaan dari apa? Selama ini, Made menjadi penguasa di rumah. Di dalam hati ibunya, Made adalah sosok pemimpin yang hebat. Namun, dia juga sempat berpikir mungkin saja putra-putranya telah menyadari bahwa Made telah lama memimpin di rumah, lalu menyetujui saja pernikahan Made dengan Matheeuw.

Cerpen ini pernah dimuat di Bali Post, tetapi lupa edisi kapan….ketika menikah, saya pindah rumah dan kelipingnya entah dimana.


bantul

BANTUL SUDAH RATA DENGAN TANAH “Bantul kabarnya sudah rata dengan tanah!” desah orang-orang di sebelah. Wajah mereka hampir menunjukkan eks...