Minggu, 30 November 2025

Ijazah Palsu

Ijazah Palsu

Karya Luh Arik Sariadi


Semua orang menari dengan membawa canang yang berisi 3 batang dupa. Asap dupa memberi wewangian pada udara. Tarian dan asap dupa menandai sakralnya persembahyangan mendak Bhatara. Setelah semua orang mendak Bhatara, semua duduk dengan tenang. Mangku Desa khusus diundang melafalkan mantra-mantra sembari menggerakkan gentanya. Calon Mangku Dadia duduk di belakang Mangku Desa. Ketiganya telah dilukat dengan tirta. Dadia kami belum punya pemangku sejak 50 tahun lamanya pelinggih-pelinggih didirikan. Mangku Desa menyodorkan mangkuk berbahan kuningan. Mangkuk itu berisi beras, hampir memenuhi mangkuk. Di dalam mangkuk sudah diisi 4 buah kwangen. Dari empat kwangen itu, hanya sebuah kwangen yang berisi uang keping bolong. Siapapun yang akan mendapatkannya, ialah yang akan menjadi Mangku Dadia. Kalau ketiga calon tidak mendapatkannya, maka Dadia kami tetap tidak memiliki pemangku dan harus mendatangkan pemangku desa setiap melaksanakan upacara persembahyangan di sanggah. 

Gong dibunyikan lagi oleh skha tabuh yang dibayar. Ternyata ayahku yang mendapatkan kwangen yang berisi uang keping bolong, maka jadilah ia pemangku di Dadia. 

“Tidak! Saya tidak bersedia menerima dia sebagai pemangku!” kata Made Dodik, sepupuku.

Made Dodik bekerja sebagai  advokat. Semua orang tertuju kepadanya. Mereka menenangkan diri, tentu menunggu alasan yang akan disampaikan Dodik. 


Seorang advokat adalah figur yang berdiri menantang segala argumen untuk memperjuangkan keadilan. Setiap hari, Dodik bekerja memecahkan satu persatu bahkan secara bersamaan persoalan-persoalan hukum yang rumit. Ia mendengarkan keluhan-keluhan klien, lalu menganalisisnya dengan sangat teliti dan berhati-hati. Di ruang kerjanya, aku pernah melihatnya memeriksa dokumen, menelaah pasal demi pasal, dan menyusun strategi hukum yang paling tepat untuk melakukan pembelaan. Itu dilakukannya saat hari raya Galungan. Aku pernah melihatnya mempelajari berkas perkara, menghitung risiko, dan menyiapkan pembelaan yang kuat dari pagi sampai malam saat aku bertandang ke rumahnya untuk menyampaikan selamat hari raya Nyepi. Semua orang keluar rumah untuk menyaksikan pawai ogoh-ogoh yang diarak keliling desa, tetapi Dodik masih membolak-balik dan mencorat-coret berkas-berkas di atas mejanya dengan stabilo.


Sebagai sepupunya yang sering wara-wiri di depan rumahnya, merasa pusing melihatnya bekerja, bahkan di hari Minggu. Minggu pagi ada beberapa klien datang untuk konsultasi. Seorang klien datang dengan masalah yang menekan: sengketa tanah, persoalan rumah tangga, kasus pidana, atau urusan bisnis. Ketika itu, aku hendak berangkat ke taman kota untuk jalan pagi di lapangan bersama dua anakku. Rumah kami satu halaman dengan rumah Dodik, hanya dibatasi tembok setinggi pinggang. Aku bisa melihat siapa saja yang datang ke rumahnya dan satu persatu masuk ke ruang khusus. Ia tidak hanya memberikan jawaban hukum, tetapi juga ketenangan melalui penjelasan yang sesuai tentang hak dan langkah terbaik yang bisa ditempuh kliennya. Dari sana, perjalanan menuju penyelesaian dimulai. 


Aku melihat Dodik memiliki kemampuan yang luar biasa dalam perjalanan menyelesaikan masalah hukum kliennya. Saat harus turun ke lapangan, Dodik mendampingi klien dalam pemeriksaan polisi. Ia pun menemani kliennya dalam negosiasi atau mediasi dengan pihak lawan. Di sini, ia menjadi jembatan yang memastikan klien diperlakukan secara adil, tidak salah langkah, dan tidak terjebak pasal-pasal yang merugikan. Ketika perkara masuk pengadilan, Dodik berdiri tegak di ruang sidang, menyampaikan argumentasi, mengajukan bukti, memeriksa saksi, dan merumuskan pembelaan untuk meyakinkan majelis hakim.


Di tengah padatnya tugas, ia tetap memegang teguh kode etik: menjaga kerahasiaan klien, berlaku jujur, dan membela berdasarkan fakta serta hukum. Dalam setiap perkara, Dodik bukan hanya mengupayakan kemenangan, tetapi juga memastikan keadilan berjalan sesuai jalurnya.


Dengan demikian, profesinya sebagai advokat bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan untuk memperjuangkan hak, melindungi masyarakat, dan menjadikan hukum sebagai tempat mencari kepastian dan kebenaran. Semua orang di keluarga kami, tahu kinerja Dodik yang tidak pernah mau disuap.


Lantas apa yang salah pada pemilihan pemangku dadia hingga ia tidak setuju ketika ayahku menjadi pemangku dadia?

“Apakah untuk menjadi pemangku dadia ada payung hukumnya?” pikirku.

Sebagai seorang pedagang yang kutahu hanya membeli barang dan menjualnya dengan ketentuan sendiri. Aku tidak paham tata cara pemilihan semacam ini. Suasana mencekam. Tidak ada seorangpun berbicara ketika Dodik berkata tidak. Semua orang saling menatap. 

“Lanjutkan upacara ini!” perintah Dadong Ranti.

Ia adalah orang yang paling tua di dadia ini. Usianya sudah 90an. Selama ini, ialah yang selalu membantu pelaksanaan persembahyangan. Namun, kakinya kini sudah tidak bisa berjalan lagi karena usia, walaupun ingatannya masih sangat bagus. Bahkan tanpa dia, Jro Mangku Desa yang hadir tidak boleh melafalkan mantra karena sarana persembahyangan selalu diperiksa oleh Dadong Ranti. Ia sangat tahu cara membuat sesajen dan meletakkannya di tempat persembahyagan. Ia sebenarnya hafal mantra, tetapi karena ia seorang perempuan, ia tidak boleh memimpin persembahyangan dan tidak boleh ditunjuk sebagai Mangku Dadia. Ia hanya boleh membantu mengingatkan posisi, kelengkapan, dan makna-makna sesajen.

“Jangan menyalahi tradisi, Dodik! Pamanmu mendapatkan kwangen itu, artinya dialah yang harus kita hormati sebagai Pemangku Dadia!”

“Apa gunanya saya belajar tinggi kalau tidak berguna untuk keluarga?”

“Apa maksudmu?”

“Paman tidak pantas menjadi Pemangku Dadia!”

“Lalu siapa yang pantas?” teriak Dadong Ranti yang kesal.

Aku pun punya pertanyaan yang sama dengan Dadong Ranti. Siapa yang pantas? Ayahku seorang pensiunan guru agama. Ia hafal mantra dan tata cara persembahyangan. Ia berguru kepada seorang nabe yang sangat tersohor. Ayahku juga mampu berdharma wacana. Konten-kontennya di youtube sangat digemari oleh penonton. Subcribernya banyak. Bahkan sebelum  dicalonkan menjadi pemangku dadia, ayahku sering diundang ke pura-pura untuk berkhotbah. 


Dua calon lainnya tidak memiliki kualifikasi pendidikan tinggi. Pak Dirga hanya seorang ojek yang terpaksa pensiun karena tidak bisa mengikuti zaman, menjadi ojek online. Pekerjaannya kini hanya menjaga cucunya yang ditinggal kerja anak dan mantunya. Sementara itu, Pak Tirta hanya seorang buruh pengangkut gabah dan batu bata. Desa kami sudah tidak memiliki sawah. Karena itulah Pak Tirta lebih sering terlihat santai karena hanya mengandalkan pekerjaan sebagai buruh pengangkut bata. Setiap minggu ia paling hanya bekerja 2 hari. Jadi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia belajar makidung. 

Kalau ada orang yang mengadakan persembahyangan, ia diupah untuk makidung dan dibayar dengan sukarela. Secara nyata, ayahku tampak sangat layak menjadi Pemangku Dadia 

Apa yang membuatnya tidak layak? Data apa yang dimiliki Dodik untuk menjatuhkan ayahku?

“Dadong, keadilan harus ditegakkan! Seorang Pemangku harus memberi cermin kejujuran. Ia harus menjadi teladan bagi kita semua.”

“Jangan berbelit-belit! Apakah menurutmu, ketiga calon itu tidak memiliki keteladanan?”

“Punya, tetapi masih ada yang kurang!”

“Setiap orang punya kekurangan dan Dadia kita tidak punya Pemangku! Siapa yang tidak punya kekurangan di sini?” teriak Dadong Ranti sambil menangis.

“Maaf, Dadong. Tangisanmu tidak akan menyelesaikan masalah! Berhenti menangis dan membuat kami semua panik”

Aku melihat kegagahan Dodik dan keteladanannya sebagai satu-satunya orang yang memiliki kedudukan formal tinggi di masyarakat. Aku menunggu data yang akan diberikan tentang ayahku. 

“Secara kasat mata, setiap orang punya kelemahan, tetapi kelemahan itu kalau bisa ditutup dengan hal-hal baik, tentu kelemahan itu tidak akan terlihat,” tambah Dodik.

Dadong Ranti tampaknya telah lama mengidamkan seorang pemangku dadia di sanggah kami. Ia terus menangis dan wajah kesalnya tampak jelas. 

“Kamu mengacaukan segalanya!” 

“Maaf, Dadong. Saya terpaksa melakukan ini demi keturunan kita nanti. Dari awal harus benar. Kalau dari awal keliru, maka selamanya kita akan keliru.”

“Keliru apanya? Tolong diperjelas!” pinta Erni, adikku terpaksa menyela. 

“Sudah, kamu diam! Kamu seorang perempuan yang sudah menikah, tidak berhak berbicara di tempat ini!

Aku menarik adikku agar tidak ribut. Namun, ia justru semakin memberontak. Suaminya menariknya mundur dan keluar dari sanggah. 

Aku sebagai anak ayah tidak berani berbicara karena Dodik adalah sosok sepupu yang sangat aku kagumi. Hanya saja aku belum berbicara bukan karena dilema, satu sisi ayahku, sisi lain seorang advokat. Aku ingin tahu, alat bukti apa yang membuat ayahku cacat di mata Dodik.

“Dadong, saya tahu kita semua sedang merindukan seorang pemangku yang akan membuat dadia kita diakui di desa ini, tetapi jangan lupa. Sebuah kepemimpinan harus didasari oleh fondasi yang kuat. Paman memiliki ijazah palsu. Gelar Drs. yang dimiliki itu adalah milik saudara Dadong.”

“Memangnya kenapa? Kami sudah sepakat memberikan ijazah itu kepada pamanmu.”

“Dadong, kalau hal ini terbongkar, dadia kita akan tercemar!”

“Terlalu berlebihan! Siapa yang akan tahu kalau tidak kita beri tahu!”

“Siapa saja yang ingin dadia kita hangus dari muka bumi ini! Kecanggihan teknologi akan menghancurkan dadia kita kalau kita paksakan paman menjadi pemangku dadia.”

Aku tahu soal ijazah ayah yang palsu. Aku pernah mendengarnya, tetapi aku tidak menyangka itu akan menjadi boomerang bagi ayahku. Kali ini, aku tidak bisa membela ayahku. Semua orang sependapat dengan argumen Dodik. Dadong Ranti yang awalnya begitu keras, pun melunak dengan pemikiran Dodik. Semua orang juga tampak kecewa karena dadia kami belum bisa didaftarkan sebagai dadia penerima sumbangan perbaikan dadia. Itu karena dadia kami tidak punya seorang pemangku dadia. Kalau ayah dipaksakan menjadi pemangku dadia, dia harus melampirkan ijazah palsunya lagi. 


Kamis, 27 November 2025

Nyanyian Hutan Cendana

Cerpen Kompas

Nyanyian Hutan Cendana

Hutan Cendana berbeda dari yang ia bayangkan. Cahaya matahari merembes melalui celah dedaunan, menciptakan suasana magis.


Oleh Dhias Thafari Luthfi Ramadhan

26 Nov 2025 16:17 WIB · Cerpen

Malam merangkak perlahan di atas Desa Anggara. Angin menyelusup dingin, membelai daun-daun pepohonan yang rapat, membisikkan rahasia kuno yang hanya dimengerti oleh mereka yang percaya akan mitos. Di balik bukit yang mengelilingi desa, tersembunyi sebuah hutan bernama Cendana—tempat yang dipercayai penduduk sebagai pintu menuju dunia lain.

Lara, seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, memandang ke arah hutan itu dari jendela kamarnya. Mata hitamnya penuh tanda tanya, sementara jemarinya menggenggam sebuah liontin tua. Liontin itu adalah peninggalan ibunya yang hilang tujuh tahun lalu saat memberanikan diri masuk ke Hutan Cendana. Hingga kini, tak ada yang tahu apa yang terjadi pada ibunya itu.

“Jangan terlalu lama menatap ke sana, Lara.” Suara lembut neneknya memecah keheningan. Nenek Suri berdiri di ambang pintu, membawa secangkir teh jahe hangat.

“Aku merasa… Ibu masih hidup di sana, Nek.” Lara menghela napas pelan.

Mata nenek Suri mengerut, menyiratkan kekhawatiran yang tak mampu disembunyikan. “Hutan itu bukan untuk kita, Nak. Banyak yang hilang di dalamnya. Bahkan orang-orang terkuat sekalipun tidak pernah kembali.”

Namun, Lara tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, tapi hatinya bergemuruh. Malam itu, ia memutuskan untuk mencari kebenaran sendiri.

Udara pagi terasa segar saat Lara melangkah keluar rumah. Ia membawa tas kecil berisi air, roti, dan liontin ibunya. Dengan tekad yang telah membulat, ia menyusuri jalan setapak menuju Hutan Cendana. Pepohonan menjulang tinggi seperti penjaga bisu, bayangannya menciptakan pola-pola yang menari di atas tanah.

Saat ia tiba di tepi hutan, angin mendadak berhenti. Dunia seolah membeku, hanya menyisakan suara gemerisik kecil yang entah berasal dari mana. Lara menggenggam liontin itu erat-erat, lalu melangkah masuk.


Hutan Cendana berbeda dari yang ia bayangkan. Cahaya matahari merembes melalui celah dedaunan, menciptakan suasana magis. Bunga-bunga kecil yang bercahaya tumbuh di antara akar pohon, dan udara dipenuhi aroma manis seperti madu.

“Lara,” sebuah suara lembut memanggil. Lara berhenti, dadanya berdegup kencang. Ia menoleh ke sekeliling, namun tak melihat apa pun.

“Siapa itu?” Lara mencoba tetap tegar.

“Ikuti nyanyian ini….” Suara itu terdengar lagi, diiringi alunan melodi yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Suara itu seperti berasal dari dalam dirinya, menggerakkan langkah kakinya tanpa ragu.

Semakin jauh Lara masuk ke dalam hutan, semakin nyata keanehan yang ia temui. Seekor burung berwarna ungu terbang di sampingnya, mengeluarkan kicauan yang menyerupai tawa. Bunga-bunga cendana berbisik, seolah berbicara satu sama lain, meski Lara tak mengerti bahasanya.

Lara tiba di sebuah danau kecil. Airnya jernih, memantulkan wajahnya seperti cermin. Di tepi danau, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun putih yang tampak seperti kabut.


“Ibu?” Suara Lara pecah, bergetar penuh harap.

Wanita itu menoleh. Wajahnya memang mirip dengan ibunya, tetapi ada sesuatu yang aneh.

Matanya terlalu terang, seperti dua bintang di malam hari.


“Lara...” wanita itu tersenyum, namun senyumnya menyimpan rahasia yang kelam. “Kenapa kau datang ke sini?”

“Aku mencarimu, Bu. Semua orang mengatakan kau hilang, tapi aku tahu kau masih hidup.” Lara mulai melangkah maju.

Wanita itu mendekat, menyentuh pipi Lara dengan tangan yang terasa dingin seperti es. “Aku hidup, tapi tidak seperti yang kau bayangkan. Tempat ini telah mengubahku.”

“Apa maksud Ibu?” Lara bertanya, kebingungan.

Wanita itu hanya tersenyum samar, lalu mengangkat tangannya ke arah liontin yang tergantung di leher Lara. “Liontin itu kunci menuju rahasia terbesar Hutan Cendana. Kau tidak boleh tinggal di sini, Lara. Pergilah sebelum terlambat.”

Namun, sebelum Lara sempat menjawab, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanah bergetar, dan angin kencang berhembus, membawa bisikan yang mengerikan. Wanita itu mundur, wajahnya berubah tegang.

“Mereka datang. Lara, sembunyilah!”

Dari balik pepohonan, muncul makhluk-makhluk bayangan dengan bentuk yang tak jelas. Mereka bergerak seperti asap, tetapi memiliki mata merah menyala. Lara merasa tubuhnya membeku oleh ketakutan.

Wanita itu berdiri di hadapan makhluk-makhluk itu, seperti mencoba melindungi Lara. “Kalian tidak boleh mengambilnya! Pergilah!”

Namun, makhluk-makhluk itu semakin mendekat. Salah satu dari mereka melesat ke arah Lara. Dalam kepanikan, liontin di lehernya bersinar terang, menciptakan perisai cahaya yang membuat makhluk itu mundur.

“Gunakan liontin itu, Lara! Hanya kau yang bisa menghentikan mereka.”

Lara menggenggam liontin itu dengan tangan gemetar. Cahaya dari liontin tersebut semakin terang, membentuk pola-pola seperti tulisan kuno di udara. Lara tak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi ia mendengar suara dalam hatinya yang berkata, “Percayalah pada dirimu sendiri.”

Dengan keberanian yang tak ia sadari sebelumnya, Lara mengarahkan liontin itu ke makhluk-makhluk bayangan. Cahaya meledak, memenuhi seluruh hutan. Teriakan makhluk- makhluk itu menggema sebelum mereka menghilang satu per satu.

Ketika semua kembali tenang, wanita itu tersenyum ke arah Lara. Tubuhnya perlahan memudar seperti kabut pagi.

“Ibu?” Lara berlari mendekati ibunya, wajahnya mulai terlihat cemas.

“Kau telah menyelamatkanku, Nak. Tapi tugasku di sini telah selesai. Kini giliranmu menjaga rahasia Hutan Cendana. Ingatlah, hanya mereka yang hatinya murni yang bisa masuk ke sini.”

Sebelum Lara sempat berkata apa-apa, wanita itu menghilang, meninggalkan aroma bunga cendana yang manis. Lara berdiri di tepi danau, memandang liontin di tangannya yang kini bersinar lembut.

Ia tahu hidupnya tak akan pernah sama lagi. Namun, ia juga tahu bahwa ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya. Hutan Cendana bukan sekadar mitos, melainkan tempat di mana rahasia dunia tersimpan—dan kini, ia adalah penjaganya.

Malam kembali turun di Desa Anggara. Dari kejauhan, Hutan Cendana terlihat tenang, seperti biasa. Namun, di dalamnya, seorang gadis muda berjalan dengan penuh keyakinan, membawa cahaya yang menerangi kegelapan.

Dhias Thafari Luthfi Ramadhan. Seorang penulis yang selalu menemukan keindahan dalam setiap kata. Melalui tulisannya, ia mengajak pembaca untuk menyelami cerita-cerita penuh makna, menggugah emosi, dan memancing renungan mendalam.

Jumat, 21 November 2025

Tanda Tangan Sakti


Tanda Tangan Sakti
Bapak butuh pupuk untuk sawah kami. Dan kebetulan aku ada tabungan dari hasil gerobak kopi.

Oleh Henri Koreyanto

Sumber:  Cerpen Kompas Digital - 21 Nov 2025 16:41 WIB · 


Ia menginginkan bertani dan berkebun menjadi tradisi kuat di desanya. Dulu, banyak warga sukses sebab dua profesi itu. Bunyi pesan terakhir di Whatsapp-ku sebelum masuk tengah malam. Aku merasa lega, pesan itu datang sesaat sebelum aku membentang layar melepas tali tambat pergi meraih mimpi menuju pulau kapuk.

***

Pagi yang manja memaksa mataku terhenyak dari kapuk randu yang harum, empuk, dan hangat. Tak terdengar suara azan, tak juga terdengar alunan salawat. Jangan-jangan!!! Sekejap kutengok benda bulat menempel di dinding. Betapa aku terkejut, jarum jam tegas menunjuk pukul enam lebih sedikit. Seketika aku duduk meringis kesakitan. Sepertinya palu godam baru saja menghantam keras tepat di batok kepalaku. Aku berusaha bangkit, kemudian segera membasuh muka walau harus dengan kondisi tergontai.

”Nyenyak sekali tidurmu. Asoy.”

”Bangsat! Tahu begini, tak sudi aku melayani mereka.”

”Sabar! Mereka itu pelanggan setia kita! Ingat! Pelanggan adalah raja.”

”Usang sudah pepatahmu itu. Mana ada raja ngopi di emper gerbang kampus.”

Mungkin karena kurang tidur kepalaku terasa pening sekali. Orang-orang itu memang tidak bisa dikasih hati. Besok-besok kutulis saja. Gerobak tutup pukul satu malam.


”Maaf kawan, aku harus segera berangkat,” tukas Roni, terlihat rapi komplet tas ransel 35 liter di pundak sambil mengenakan sepatu hiking.

”Eh! Baru kali ini aku tahu orang pergi mendaki berkemeja rapi,” timpalku sesaat.

”Pagi ini aku ada janji di kantin kampus satu bertemu Pak Saipul,” ujarnya sembari bangkit dan menstarter Honda Legenda kesayangannya.

Mendengar itu, tanpa permisi pening kepalaku sirna. Aku mendekati sahabat karibku itu. Kemudian menghaluskan suara, ”Ron! Kamu yakin!”

Roni hanya melempar senyum.

”Ron! Aku serius!”

”Semoga.”

Sesaat, Honda Legenda itu melaju pelan kemudian senyap.

Mulai nanti malam, aku sudah tidak lagi mendorong gerobak kopi. Aku berencana besok pagi pulang ke desa menikmati masa santai entah sampai berapa lama aku tidak tahu. Padahal, tiga hari ini ramai mahasiswa dari luar pulau sudah banyak yang berdatangan. Sebab dua minggu lagi jadwal kuliah sudah mulai aktif kembali. Kondisi seperti ini tentu sangat baik bagi kesehatan dompetku yang bersumber dari secangkir kopi.

Aku punya gerobak kopi dengan desain minimalis. Tidak besar, hanya berukuran 80 cm x 80 cm dengan tinggi meja 1 meter sejajar perut, disertai atap melengkung yang ditopang 4 besi hollow setinggi 1 meter. Memiliki gagang dorong yang dapat dilipat serta dua laci dilengkapi kunci. Semua kerangka terbuat dari besi dengan aksen kayu.


Gerobak kopi itu sebenarnya hasil usaha Roni demi menghadangku cuti kuliah. Namun, persoalan yang kualami saat ini tidak sama persis seperti saat itu. Dulu hampir saja aku cuti karena sedari awal bapak sudah mewanti. Ia hanya bisa bantu sampai semester dua. Setelahnya, tidak tahu. Sebab kebutuhan dua adikku juga tidak sedikit.

Suatu siang saat masih libur semester, setelah membantu Bapak panen, aku duduk santai di pematang sawah. Roni, yang saat itu masih asisten dosen, tiba-tiba datang dengan khas dandanan seperti orang hendak mendaki. Mula-mula Roni mendekatiku, kemudian suaranya sedikit pelan.

”Bro... Tolong bantu lagi?”

”Proyek!!!” sahutku singkat.

”Jangka panjang,” timpal Roni.

”Apa yang bisa kubantu?”

”Cukup kau kerjakan malam hari. Dan saat pagi tiba kau bisa kuliah kembali.” Terang Roni sembari menunjukkan foto gerobak kopi yang sudah berdiri gagah di galeri ponsel pintar miliknya.

Butuh modal yang tidak sedikit untuk sebuah gerobak minimalis seperti itu. Aku lalu bertanya. ”Kau melibatkan Pak Saipul?”

Sesaat aku mendengar tarikan napas yang dalam lalu menjawab. ”Aku hanya berkeluh kesah, tetapi ia malah menawarkan gerobak itu.”

”Tentu tidak gratis, kan?”

”Menurutmu cukup kan enam bulan untuk bisa balik modal?” Roni balik bertanya.

Aku mengangguk.

Tak terhitung berapa jumlah kebaikan Pak Saipul mengalir kepada kami berdua. Mungkin juga kepada mahasiswa yang lain. Pak Saipul adalah dosen di kampus kami yang kebetulan mengajar mata kuliah kewirausahaan. Ia dosen yang dikenal dengan nilai B. Menurut Pak Saipul, nilai A hanya khusus untuk mahasiswanya yang mau kreatif di bidang usaha. Walaupun sekadar gimik untuk satu semester saja, nilai A sudah pasti di kantong. Begitu memang Pak Saipul, tidak berubah dari zaman ke zaman.

Pernah suatu ketika aku terlibat megaproyek yang dipelopori Roni di desa kami, yaitu sebuah perpustakaan mini. Awal mula memang mini, tetapi karena sambutan dari warga desa sangat antusias perpustakaan semakin besar. Bangunannya bergandengan dengan gedung SD di desa kami. Roni yang memasok buku-buku itu. Mulai dari majalah Bobo, komik, novel, hingga buku bertema perikanan, perkebunan, dan pertanian.

Setiap satu bulan sekali, aku pulang pergi dari desa tempat tinggalku menuju kota tempat Roni kos hanya untuk menjemput buku-buku yang sudah dibungkus rapi untuk khazanah rak buku di perpustakaan kami. Semenjak saat itu, timbul keinginanku untuk ikut masuk kampus ambil jurusan yang berkaitan dengan pertanian. Aku rasa belum terlambat walau sudah satu tahun aku lulus dari bangku SMA.

Suatu sore selepas dari kampus Roni berkunjung ke sebuah toko buku bekas langganannya. Roni mengira penjual di toko buku bekas langganannya itu adalah pemilik toko asli. Akan tetapi, tiba-tiba saja Roni terkejut kedatangan seorang pria paruh baya. Ia adalah Pak Saipul. Saat ia datang, si penjual tiba-tiba menunduk lalu meraih dan menyalami tangan Pak Saipul. Sejak saat itu, Roni tahu Pak Saipul adalah pemilik toko buku bekas yang sebenarnya. Dan sejak pertemuan itu pula mereka berdua semakin akrab.

***

Pagi menjelang siang sang bagaskara menunjukkan kegagahannya. Teriknya merangsek tembok beton melalui bilik lubang udara, suhu kos mirip ubi cilembu yang mulai mengeluarkan manis madu di tungku panggang. Baling-baling kipas yang konon katanya mampu menyulap udara menjadi sejuk ternyata hanya isapan jempol belaka. Kaus oblong di punggung basah kuyup, lama sekali kuperhatikan, teringat dua jendela belum kudorong ke arah luar.

Bapak butuh pupuk untuk sawah kami. Dan kebetulan aku ada tabungan dari hasil gerobak kopi.

Sebelumnya, tiga hari yang lalu Roni begitu tampak murung. Ia lebih banyak diam. Aku tak berani menyapa, tetapi aku masih sempat membuatkannya secangkir kopi campur gula aren kesukaannya. Aku mungkin sudah membuatnya kecewa, tetapi ini sudah menjadi pilihan akhir. Aku harus ambil blangko cuti. Dan tanggal pengajuan sudah mepet jadi aku segera menaruhnya di bagian ruang administrasi kemahasiswaan. Bapak butuh pupuk untuk sawah kami. Dan kebetulan aku ada tabungan dari hasil gerobak kopi. Aku tahu itu tabungan untuk ongkos paket SKS dan SPP. Hal ini tentu pukulan keras bagi Roni sebab aku terlambat bercerita.

Sesaat ponselku berdering singkat, satu pesan masuk melalui aplikasi Whatsapp. Aku bergegas membacanya.

”Bro, apakah paket buku dari Pak Saipul sudah datang?” bunyi pesan itu.

”Oh sudah, dong. Bahkan aku baru selesai membaginya menjadi dua bungkus kardus bekas mi instan kita,” tulisku, sembari menunggu balasan karena terlihat tiga titik gelombang bergerak berulang.

”Ok, Sipp! Tapi... Bisa hadir ke kampus sekarang?”

”Kalo sekarang, ya enggak bisa?”

”Kenapa?”

”Aku belum mandi. Kalo mau, ya habis mandi, gimana?”

”Dobol!”

Aku membalas ikon dua jari, tiga kali berderet.

”Langsung ke ruang seperti biasa.”

Aku membalas lagi dengan ikon kuning vespa diikuti ikon asap berkebul.

Siang itu pemandangan kampus tak begitu ramai seperti hari-hari biasa. Hanya beberapa fotokopi dan loket jual alat tulis yang masih buka. Semilir angin menghantam mukaku. Sejuk sekali udara hari ini. Berbeda sekali dengan di kosku tadi. Jam di tangan menunjukkan angka sebelas. Aku berlari kecil menuju tangga ke lantai dua tempat di mana ruang sahabat karibku berada. Sesaat kulihat dari bingkai daun pintu yang terbuka Roni dan Pak Saipul menyandarkan diri di antara daun jendela kaca sepertinya mereka sedang mengobrol serius. Roni manggut-manggut memperhatikan.

Tiba-tiba Pak Saipul menoleh, ”Eh! Masuk, Mas,” Sapanya.

Aku bergegas masuk, kuraih tangannya dan kutempelkan pada kening sesaat. Roni mengulurkan tangan ke arah Pak Saipul, isyarat kalau Pak Saipul mau berbicara.

”Mas! Saya sudah dengar Roni cerita. Kalau saya jadi sampean, saya melakukan hal yang sama. Tapi, Mas! Sebelum bertindak sampean cerita dulu ke Roni biar urusannya bisa lebih enak, ok!”

”I-iya Pak, maaf Pak. Tapi sa-saya sungk...” Sesaat Pak Saipul memotong.

”Halah! Ya, sudah. Blangko SKS sudah saya titipkan di Roni. Nanti sampean ngobrol saja sama Roni,” ujar Pak Saipul sembari meraih tas laptopnya dan bergegas pamit. ”Ron, bantu sampai beres! Saya pulang dulu nanti jam dua ada penerbangan ke Jakarta.”

”Siap, Pak!!!” balas Roni keras.

Sebelum jauh, lalu aku bergegas lagi meraih tangan Pak Saipul dan menunduk. ”Sukses, ya, Mas.”

Saya mengangguk.

Seketika ruangan berubah sunyi menyisakan aku dan Roni saling diam berdiri.

”Bro...” Sapa Roni mengulungkan blangko SKS dilengkapi tanda tangan yang bagiku tidak asing.

”Ron...!” Panggilku segera menerima blangko itu setengah percaya setengah tidak. Aku melanjutkan. ”Jangan-jangan! Pak Saipul...”

”Beliau diminta mengajar di universitas ternama di Jakarta.” Timpal Roni.

”Jadi... Kamu sekarang!” jari telunjukku mengarah ke kursi milik Pak Saipul.

”Aku mau ada Zoom meeting. Jadi! Selesaikan dulu urusanmu di bagian input data SKS. Ayo, cepat buruan!” ujarnya sembari duduk dengan telapak tangannya goyang berulang seperti mengusir gerombolan anak ayam.

”Ron...!” panggilku lagi sembari menunjuk tanda tangan di blangko SKS.

”Aman! Pak Saipul tadi sempat bilang tanda tangannya masih sakti.”

Setelah mendengar itu aku bergegas pergi, meninggalkannya. Sesaat kusempatkan menoleh ke arah Roni sebelum melewati daun pintu. Caranya berpakaian, tas ransel di dekat meja, dan sepatu hiking yang dikenakan membuat mataku terasa berbeda. Sahabatku itu lebih mirip pendaki gunung daripada seorang dosen.

***

Gresik, 05 Desember 2024

Henri Koreyanto, lahir di Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah, tahun 1985. Lulusan Teknik Elektronika Institut Teknologi Nasional di Malang, Jawa Timur. Sejak 2013 bermukim di Gresik, bekerja sebagai Juru Gambar Teknik. Pernah menulis esai di Terminal Mojok, Mojok.co.



Penulis:Henri Koreyanto 

Kamis, 20 November 2025

Jual Tanah

JUAL TANAH
Karya Luh Arik Sariadi

Cuaca masih menyembunyikan cahaya mentari di atas rangka jalan layang. Udara sudah sangat dingin karena awan gelap memeluk besi-besi rangka itu. Barangkali di atas bukit hujan sedang bercinta dengan pohon-pohon yang akan dibabat untuk jalan layang. Bukit terlihat sangat gelap, terasa tak ikhlas berbagi keindahan dengan setiap orang yang coba memandangnya dari kaki bukit.
Suni tidak bisa lebih lama lagi memandang rangka jalan layang itu. Rambu-rambu larangan ke proyek jalan layang sudah ditutup sejak beberapa hari karena cuaca buruk. Suni ingin melihat lagi tanah sepupunya yang kena jalur pembuatan jalan layang. Sepupunya mendadak kaya lantaran pemerintah memberi uang pengganti akibat proyek jalur layang. Bibi Suni bisa investasi emas setelah mendapatkan uang ganti rugi itu.
“Bagaimana Sun, apakah kamu tidak menjual tanahmu?” kata bibi Suni.
“Saya mau jual, Bi, tapi tanah saya tidak kena jalur.” jawab Suni kepada bibinya. 
Dalam hatinya, Suni merasa sangat sedih karena hanya tanahnya yang tidak kena jalur proyek. Sementara, kelima sepupu dan seorang bibinya sudah berlomba-lomba menyimpan uang dalam bentuk emas batangan. 
Seolah kasihan kepada Suni, bibinya menyegarkan hati dengan berkata, “Sabar, Sun. Pemerintah akan membuat proyek lagi suatu hari nanti. Tanahmu pasti laku lebih mahal dari tanah kami.”
Suni tersenyum tetapi pikirannya masih terganggu dengan orang kaya mendadak. Tanah yang dimilikinya tidak menjadi jalur jalan layang karena memiliki sumber mata air. Menurut kepala desa yang menjadi makelar tanah proyek itu, mata air itu akan sulit menyangga jalan layang. Para arsitek dan para lulusan teknik sipil tidak mau ambil risiko dengan memakai tanah Suni. Suni ingat kata-kata kepala desa, “Sun, saya akan sampaikan kepada pengembang yang menangani proyek ini bahwa tanahmu dikasi lebih murah dari tanah-tanah yang lainnya asalkan komisi yang kamu berikan ke saya 20%, bagaimana?” Waktu itu, Suni tidak memberi jawaban karena mendiang ayahnya berpesan agar Suni tetap menjaga tanah warisan itu. Itu adalah tanah pemberian raja yang diberikan secara turun temurun ke anak cucunya. 
Tanah itu memang menghasilkan buah durian, alpukat, pisang, dan keladi, tetapi pekerjaan Suni sebagai pegawai negeri sipil di Dinas Pendidikan Kabupaten tidak memungkinkan dirinya mengurus perkebunan itu lagi. Karena itu, Suni meminta tetangganya merawat tanah dengan sistem bagi hasil. Suni tidak pernah memperhitungkan apapun yang diberikan oleh penyakapnya. Baginya, wasiat ayahnya adalah wujud bakti kepada leluhur.
“Sebaiknya dijual saja, Suni! Nanti komisinya belakangan saja kita perhitungkan,” pinta kepala desa. 
Suni tetap mempertahankan keyakinannya hingga akhirnya kepala desa tidak datang lagi merayunya untuk menjual satu-satunya aset tanah yang dimilikinya. Aset itu sangat berguna bagi Suni. Dengan sertifikat kepemilikan tanah, ia bisa melanjutkan kuliahnya hingga ke Arab. Ayahnya dulu meminjam uang untuk anak satu-satunya yang cerdas dan menjadikan sertifikat tanah itu sebagai jaminan di bank. Setelah lulus S1 di luar negeri, Suni mengikuti tes calon pegawai negeri sipil dan lolos sebagai pegawai negeri sipil. Ketika ia menjadi PNS, ayahnya membuat selamatan yang mengundang warga sekampung. Pesta sate gule kambing dilakukan dari pagi hingga malam. Musik dangdut dan doa pujaan terhadap Tuhan silih berganti dari rumah Suni. Keesokan harinya, ayahnya meminta Suni kuliah lagi untuk meraih gelar magister. Suni tidak pernah menolak perintah ayahnya walaupun di sekolah atau kampus, Suni merupakan orang yang kritis dan terkenal tidak menerima pendapat orang lain tanpa alasan dan data yang jelas.
Suni memandang kembali rangka jembatan layang yang sedang dirakit dari kejauhan. Ia melihat hujan telah reda. Besi-besi yang tampak kokoh itu telah mengusik kekokohan hatinya untuk mempertahankan tanah warisan ayahnya. Satu sisi, ia sangat menghormati keputusannya sendiri dan di sisi lain terngiang kata-kata sepupunya. 
“Sun, nanti kalau kamu mau jalan-jalan pakai mobilku saja! Jangan malu-malu! Uangku sangat banyak setelah mendapat kompensasi jalan layang,” kata Marko, sepupunya yang sejak SMP naksir Suni. 
“Ya, Marko. Aku pasti minta tolong sama kamu,” jawab Suni menepis kekecewaan akibat tidak menjual tanahnya.
“Dengan tidak menjual tanah itu, kamu sudah mengambil keputusan yang benar. Dengan uang kompensasi tanahku saja, kalau kamu mau, kita bisa menikah,” kata Marko.
Suni sangat terkejut dengan ucapan sepupunya. Ia tidak mengira sepupu yang selalu diajak bermain, menangkap jengkrik dan tonggeret akan mengungkapkan rasa cintanya. Marko selama ini tidak pernah mendekati Suni dengan kata-kata cintanya mungkin karena menyadari bahwa dirinya memiliki pendidikan yang berbeda dengan Suni. Suni lulusan universitas luar negeri sedangkan Marko hanya seorang petani lulusan SMA. Ketika tanah Marko dilintasi proyek jembatan layang, Marko tidak lagi menjadi petani. Dengan uang kompensasinya, Marko membuat toko fotocopy yang menjual alat tulis di dekat sekolah di desanya. Suni tidak menjawab perkataan Marko bukan karena Suni sudah punya pacar atau berpendidikan lebih tinggi, tetapi ia masih memikirkan tanah warisan ayahnya. 
“Sun, kamu belum bisa memutuskan mau menikah denganku, tidak apa-apa. Aku siap menunggu jawabanmu, bahkan jika aku harus tidak menikah seumur hidup, aku bersedia. Aku hanya menunggumu, Sun.” katanya lagi.
Suni tidak ingin salah membuat keputusan lagi. Suni hanya tersenyum melihat keberanian sepupunya. Padahal, selama ini Marko adalah sosok pemuda yang pendiam. Ia jarang didekati perempuan, bahkan bisa dihitung kawannya hanya 2 orang, Saleh dan Haliman. Ketika Suni hanya tersenyum, Marko menjadi kikuk dan keduanya sama-sama menatap rangka jalan layang yang dikerjakan dengan alat berat oleh para pekerja dari luar negeri.
“Marko, bagaimana menurutmu jika aku jual tanah warisan ayahku?” Suni tiba-tiba mengejutkan Marko dengan memberi pertanyaan yang sangat sulit. Marko yang sebenarnya tidak ingin menjual tanahnya juga, terpaksa menjualnya karena kepala desa hampir setiap hari datang ke rumahnya dan merayu ibunya. Lantas, ibunya meminta Marko menjual saja tanah itu agar bisa menikahi Suni. Ternyata, keputusan yang diambil Marko tidak berhasil membuat Suni menerima lamarannya. Bagi Marko, uang tetap tidak bisa membuat wanita pujaan hatinya menetapkan pilihan. Dengan pemikiran itu, Marko menjawab pertanyaan Suni dengan sangat tegas sesuai dengan pemikirannya sendiri. Ia tidak peduli Suni suka atau tidak.
“Sebaiknya kamu jangan menjualnya! Itu adalah tanah penghijauan yang tersisa di desa kita. Kalau ibuku dan kepala desa tidak mendesakku terus untuk menjual tanah ini, sebenarnya aku ingin tetap mempertahankannya.” jawab Marko.
“Mengapa?”
“Jika semua lahan di desa kita dijual, tidak akan ada lagi tanah resapan. Apalagi, aku tahu lahanmu berisi sumber mata air yang menjadi satu-satunya mata air untuk menghidupi kami semua, bahkan desa-desa di dataran yang lebih rendah. Kalau tanahmu itu dijual, bagaimana nasib kita semua?”
“Kita semua jadi punya uang banyak,” jawab Suni.
“Uang? Uang tidak bisa menyelesaikan segalanya!” 
“Buktinya, kita ingin sesuatu perlu uang,” tambah Suni.
“Memang benar uang bisa membeli yang kita inginkan, tetapi tidak segalanya keinginan kita bisa didapat dengan uang,” kata Marko sambil memperbaiki posisi duduknya yang awalnya bersandar di kursi, kini tegak dengan bumi.
“Tapi, aku juga ingin seperti kalian yang punya mobil dan uang banyak setelah menjual tanah!” kata Suni.
“Kamu tidak perlu menjual tanah hanya untuk itu,” kata Marko dengan mengubah posisinya lagi. Kini kedua bola mata Marko simetris, pandang memandang dengan kedua bola mata Suni.
Suni yang ditatap setegar itu, merasa hatinya bergetar. Sejak kecil mereka bersama, bermain, dan tanpa ada rasa di dada. Marko yang dulu terlihat kotor karena memelihara puluhan ekor sapi, telah membuat hati Suni gemetar. Apakah yang membuat perasaan berbeda itu? Suni tidak peduli, di dalam hatinya hanya ada satu pertanyaan, bagaimana caranya menjual tanah warisan itu supaya ia bisa sejajar dengan sepupu-sepupunya?
“Kamu bisa menikah denganku, dan aku akan memberi mas kawin mobil, emas, dan uang yang kamu inginkan!” kata Marko lagi. 
Getaran di dada Suni semakin keras karena Marko menggenggam kedua tangan Suni dan memohon untuk menikah. Apa yang harus dijawab? Harta milik sendiri tentu berbeda dengan harta orang lain yang diberikan kepadanya. Suni tidak ingin dibutakan oleh cinta dan melupakan tujuan utamanya untuk menjual tanah warisan ayahnya.
“Suni, kamu akan tetap memiliki tanah itu. Jika kamu mau, kalau kita sudah menikah, aku akan menyewa tanahmu. Aku akan memelihara puluhan ekor sapi di tanahmu. Kalau sapi itu dijual, keuntungan penjualnya untuk kamu saja,” ucapan Marko sungguh menggiurkan, tetapi Suni tidak tahu apakah ada rasa cinta untuk Marko di hatinya?
Suni kembali hanya menjawab dengan senyuman. Sebelum Marko pamit untuk pulang, ia mengatakan sebuah kalimat lagi, “Aku selalu menunggumu, Sun!”
***
Hujan sudah tidak datang beberapa bulan. Musim kemarau membuat rerumputan mengering, tetapi perkebunan milik Suni tidak pernah kering. Sepanjang aliran sungai yang berhulu di selatan kebun Suni, sapi-sapi berjejer sampai ke bagian utara desa saling menjilat. Musim kemarau tidak pernah membuat sapi-sapi itu berhenti bercinta. Terlihat Marko memandikan sapi-sapinya. 
“Ayah, nanti setelah memandikan sapi segera pulang ya! Ada berkas yang harus disalin dari dinas sosial. Besok jam 10 disuruh antar ke kantor!” kata Sumi yang masih berpakaian seragam PNS. 
Panggilan ayah yang diucapkan Suni kepada Marko dan puluhan ekor sapi yang antre minta dimandikan, membuat Marko bergerak lebih cepat, bahkan lebih cepat dari pembuatan rangka jalan layang. Sehabis mengurus peternakan sapi bersama beberapa warga yang dipekerjakan, Marko kembali ke toko untuk menyalin berkas-berkas sesuai pelanggannya. Marko bekerja sangat keras hingga memenangkan hati Suni. 

Kamis, 13 November 2025

Biodata Luh Arik Sariadi


Latar Belakang Singkat
    Luh Arik Sariadi lahir di Tukadmungga, 11 Desember 1983. Pendidikan formalnya di SDN 4 Tukadmungga (1996), SMPN 2 Singaraja (1999), SMAN 4 Singaraja (2002), dan Universitas Pendidikan Ganesha Prodi Bahasa Indonesia (2007). Ia menjadi guru Bahasa Indonesia di SMK Negeri 3 Singaraja sejak 2007 hingga saat ini.
Ia mulai belajar menulis sejak 2003 dengan bimbingan I Wayan Artika. Sejak 2003 menulis catatan kecil, prosa liris, puisi, dan cerpen di koran Bali Post atas didikan alm. Umbu Landu Paranggi. Ia mulai belajar bermain teater sejak berkenalan dengan Kadek Sonia Piscayanti di Teater Kampus Seribu Jendela (2003). Bimbingan khusus menulis cerpen dan naskah drama didapatkan dari alm. Cok Sawitri (sejak 2004).

Karya yang Pernah Diterbitkan:
Karya Tunggal
Sejak Lama (2024) Kumpulan Naskah Monolog ISBN: 978-623-8089-47-5
Nyonya Suartini (2025) Kumpulan Cerita Pendek ISBN: 978-634-04-2466-9

Karya Gabungan dengan Orang Lain
Nyunnyan...Nyunnyen (2004) Kumpulan Naskah Drama ISBN: 979-96183-0-9
Menyublim hingga Rahim (2015) Kumpulan Naskah Drama ISBN: 978-979-95454-5-9
Sang Guru (2019) Antologi Puisi ISBN: 978-623-92348-1-2
Pendidikan Seribu Wajah (2021) Antologi Puisi ISBN: 978-623-6168-78-3 
Manusia-manusia (2024) Kumpulan Cerpen ISBN: 978-623-10-4945-2

Pengalaman dan Prestasi:
    Luh Arik Sariadi memenangkan lomba menulis naskah drama berjudul Nyunnyan... Nyunnyen... (2004) yang membawanya ke Taman Ismail Marzuki di bawah asuhan Cok Sawitri. Ia pernah menjadi manajer produksi pementasan “Aib” di Art Center (2005). Ia pernah mementaskan fragmentasi cerpen berjudul “Ruh Adat” di Art Center (2006) bersama Teater Kampus Seribu Jendela. Ia menjadi juara 3 lomba menggubah cerpen Dinas Kebudayaan Taman Budaya Yogyakarta (2005) dan akhirnya diterbitkan pada tahun 2015 dengan judul Menyublim hingga Rahim. la pernah menjadi juara 3 (2005) dan Juara 1 (2006) Lomba Monolog yang diselenggarakan oleh Bali Eksperimental Teater. Dua puisinya terpilih sebagai puisi nominasi dan dibukukan pada Sang Guru (Antologi Puisi Guru se-Bali tahun 2019).

Cita-cita dan Motivasi Menulis
    Luh Arik Sariadi selalu bercerita sejak kelas 4 SD. Jika ada pelajaran bahasa Indonesia, mengarang menjadi aktivitas yang paling membahagiakannya. Karena itulah, menjadi guru dianggap sebagai cita-cita yang paling tepat untuk mencapai cita-cita itu. Namun, profesinya sebagai guru, belum mampu memenuhi hasratnya untuk bercerita karena itulah ia selalu meluangkan waktu untuk menulis dan menyemangati muridnya untuk ikut menulis. 

Alamat dan Kontak
Alamat : Perumahan Krisna Graha 2 Blok F3, Dusun Dharma Kerti, Desa Tukadmungga, Kec. Buleleng, Kab. Buleleng 
Hp : 081238933638
Email : luharik1983@gmail.com
Facebook : idairaskirahul
Instagram : luhariksariadi
Tiktok : luhariksariadi

Rabu, 05 November 2025

SEKOLAH SENJA

SEKOLAH SENJA

Oleh Trudonahu Abdurrahman Raffles

05 Nov 2025 16:02 WIB - Cerpen Kompas Digital


Agak lama ia tertegun menatap pohon itu. Seolah ada banyak hal melintas di benaknya. 

Kalaupun ada yang lebih senyap dari kesunyian, berkesan hening sekaligus berbalut keriuhan, mungkin itu rindu. Tanpa mesti menilik, tanpa harus dikatakan, kerinduan sejatinya selalu tak mudah disembunyikan. 

Dari balik jendela seorang perempuan uzur melangkah menuju bangunan yang konon didirikan seusai meletusnya Gestapu. Rangkaian bangunan tua namun kokoh, jelas lebih teruji dibanding proyek pemerintah di masa sekarang. Batang-batang kayu penahan gentingnya masih membentang tanpa sedikit pun dikeremus rayap. Demikian juga daun pintu serta jendela. Tentu dulu materialnya dari jenis terpilih. Bukan berbahan pokok jati muda yang terlalu awal ditebang sebab ingin segera diuangkan. 

Ada kabar dari sesepuh kampung bahwa proses pengerjaannya terhitung panjang. Si pemborong yang berasal dari kota B bahkan sempat menikahi gadis tercantik di sana lalu memiliki sepasang anak. Setelah proyek selesai, keberadaan si pemborong tak lagi diketahui. Mungkin berpindah proyek dan menikahi gadis lain. Mungkin sudah mati. Dua anaknya kerap berkisah dengan congkak jika bangunan yang dijadikan tempat bermain itu adalah hasil karya bapaknya.  

Bila kebetulan ada tamu atau kerabat yang mengunjungi penduduk sekitar, biasanya mereka berpendapat bahwa bangunan itu awalnya diperuntukkan sebagai rumah sakit. Namun entah kenapa jadi sekolah menengah terluas di wilayah itu. Anggapan yang tak keliru sebetulnya. Desain, ruang kelas, lorong-lorong, seolah menggambarkan pendapat mereka. Terutama untuk yang pertama kali berkunjung dan datang di malam hari. Suara alas kaki akan terdengar nyaring menggema saat melintasi lorongnya. Persis suasana ketika menyusuri selasar rumah sakit. 

Dengan tertatih perempuan tersebut menyusuri kelas demi kelas lalu terhenti di depan lapangan upacara, pada bagian tanah berumput. Ia kemudian duduk di atas bangku beton yang sengaja dibuat untuk menjadi tempat berkumpul para siswa saat jam istirahat. 

Hari berderap membawa serta kesunyian. Kompleks yang terdiri dari sepuluh rumah di sekeliling bangunan sekolah itu ikut pula terbawa suasana bungkam. Hanya suara binatang malam yang mulai sesekali terdengar. Dahulu, saat masih sedikit tenaga pengajar, pihak sekolah menawari guru-guru untuk memiliki tanah di sekeliling sekolah dan dibantu proses pembelian tanahnya. Hal demikian dilakukan berdasarkan beberapa alasan. Pertama, tak ada pengajar yang berasal dari penduduk setempat sehingga didatangkan dari luar daerah, dan mereka memboyong keluarganya. Kedua, supaya tempat tersebut tak berkesan menyeramkan sekaligus terjaga keamanannya. 

”Kau belum pulang, Nak?” tanya si perempuan kepada seorang siswi yang berjalan melintas. 

”Iya, Bu. Kebetulan saya selalu pulang paling akhir dibanding yang lain,” jawab anak itu seraya mendekat dan mencium tangan perempuan tua itu sebagai tanda hormat. 

”Begitu? Duduklah sejenak di sini. Temani ibu.” 


”Baiklah. Dengan senang hati. Sepertinya ibu sedang perlu kawan bicara, tak berbeda seperti saya,” timpal anak itu. 

Keduanya saling tersenyum hangat layaknya ibu dan anaknya, atau nenek dan cucunya, atau juga dua sahabat. 


”Aku pertama mengenal tempat ini sekira lima puluh tahun lalu, saat tak banyak orang berani melewati tempat ini selepas rebah mentari. Sebelum beberapa gedung baru dibangun dengan meratakan bangunan lama, meski yang lama masih sangat layak dipakai.” Perempuan tua mulai menyambung perbincangan. 

Anak itu mengangguk-angguk. 

”Dahulu tak banyak memang yang bisa diharapkan mengenai kesejahteraan. Selain gaji seadanya, kami hanya mendapat jatah beras bulanan dengan kondisi kadang berkutu. Namun, suasana kerja terasa penuh kedamaian. Bila sedang butuh tambahan uang, para pengajar membuat rangkuman dalam bentuk diktat. Itu pun disindir oleh murid dan orangtua murid dengan sebutan diktator: jual diktat, beli motor, he-he-he...” dengan tergelak si ibu berkisah. 

”Sekarang lain. Meski para pengajar terlihat sejahtera, terbukti dari lapangan parkir luas yang penuh oleh mobil-mobil guru, tetapi ada yang terasa hambar. Tak kental lagi etos mendidik dari mereka. Memang masih terlihat, tapi tak macam dahulu.” 

”Hampir semua diukur dengan uang ya, Bu?” ujar si anak perempuan seraya terkekeh. 

”Nah, ternyata kamu juga paham.” 

Keduanya tertawa bersamaan. 


Kemudian beberapa waktu kemudian anak itu berkata, ”Bu, boleh saya bicara?” 

”Tentu saja, Nak. Kau memang kuajak duduk bersama supaya kita dapat saling menemani. Dan bukankah teman biasanya saling bicara?” 

”Sebenarnya saya sudah sejak lama memperhatikan Ibu tanpa Ibu sadari. Orang-orang yang datang ke sini, entah sebagai murid, guru, karyawan, satpam, dan sebagainya, bertujuan untuk mengambil keuntungan. Ya, mengambil keuntungan, sedangkan Ibu, serta penduduk sini, tak banyak diuntungkan selain menerima dampak buruknya. Kebisingan, pengacuhan, entah apa lagi. Jadi saya sangat memahami keresahan yang Ibu sampaikan.” 

Ibu tua menarik napas perlahan, lalu mengeluarkannya dengan mimik penuh kelegaan. Mungkin sebab masih ada yang dapat diajak berbincang pada sore itu. Mungkin pula ia bersyukur menemukan seseorang yang paham isi hatinya. 

”Kamu senang sekolah di sini?” tanya sang ibu tua. 

”Tentu, Bu. Semua anak pada dasarnya senang sekolah. Terutama karena bisa bertemu kawan sebaya.” 

”Hanya.…” Anak itu tiba-tiba menghentikan kalimatnya. 

”Sudahlah. Tak apa jika kau enggan bercerita. Terkadang tidak semua hal harus diceritakan,” ujar si ibu tua seolah memaklumi. 

”Maaf, Bu. Saya sekadar mengumpulkan dulu keberanian untuk menjawab jujur pertanyaan Ibu,” ungkap anak itu. 

”Sebetulnya saya lelah, Bu. Berada di sekolah selama hampir sembilan jam, ditambah perjalanan pergi-pulang, serbuan tugas pelajaran yang bagai ombak memburu pantai, itu sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Belum lagi ekstrakurikuler di luar jam sekolah. Energi saya lumayan terkuras.” 

Iklan - Gulir ke Bawah untuk melajutkan
Iklan

”O begitu. Pantas kau masih di sini, sementara kawan-kawanmu sudah pulang.” 

”Saya juga heran dengan kebijakan sekolah. Para murid diwajibkan membayar sumbangan walau sudah dilarang oleh pemerintah. Ada saja cara sekolah menggiring pembayaran tersebut. Dengan dalih rapat wali murid, lewat pesan telepon, dan sebagainya. Padahal, proposal bangunan yang dirapatkan adalah proposal yang sama dengan sekian tahun lalu,” ungkap anak perempuan itu. 

Saya juga heran dengan kebijakan sekolah. Para murid diwajibkan membayar sumbangan walau sudah dilarang oleh pemerintah.

”Satu waktu mama saya pernah berkata, sekolah terbaik di masa sekarang adalah di rumah. Diajari oleh ibu dan bapaknya. Sekolah umum sebetulnya hanya berfungsi sebagai tambahan. Namun, di zaman ini, orangtua mana yang sanggup mengajar sendiri anak-anaknya di rumah? Kalaupun ada, mungkin hanya sekadarnya.” Siswi perempuan itu seolah ingin terus meluapkan isi hati. 

”Mamamu boleh jadi benar. Sering kali di zaman sekarang, hal-hal yang paradoksal justru lebih pantas dijadikan acuan. Omong-omong, aku suka caramu menyatakan pendapat. Cantik, seperti parasmu, meski sedikit pucat. Mungkin karena kau terlalu lelah.” 

”Ah, Ibu bisa saja,” ujar anak itu sambil tersipu. 

Pandangan mata sang perempuan tua kemudian tertuju pada sebatang pohon semboja yang bunganya sedang bermekaran. Agak lama ia tertegun menatap pohon itu. Seolah ada banyak hal melintas di benaknya. 

”Kadang terasa baru kemarin saja aku sering berjalan melewati pohon semboja itu jika hendak masuk ruang kelas, tapi tak pernah kuperhatikan keindahan bunganya. Mungkin waktu itu pohonnya belum sebesar sekarang. Mungkin pula karena tak punya banyak kesempatan menatapnya lama-lama.” 

”Begitulah kita ini, Bu. Selalu abai pada hal-hal kecil, lalu seolah terkejut setelah segalanya jadi besar. Eh, saya kok terkesan sok tahu ya?” 

Kini ganti perempuan tua itu yang tersenyum. 

”Kamu sungguh menarik, Nak. Sekali lagi, aku suka padamu.” 

”Saya pun menyenangi Ibu. Dan sudah sejak lama. Terima kasih sudah mengajak berbincang. Saya mohon pamit. Masih ada hal lain untuk dikerjakan,” ujar anak itu seraya meraih tangan si perempuan tua dan menciumnya. 

”Baiklah. Lagi pula hari sudah makin gelap. Makin malam nanti kau tiba di rumah. Salam untuk mamamu, ya.” 

Saat azan Maghrib berkumandang, perempuan itu kembali ke rumahnya yang hanya sekian puluh meter dari bangunan sekolah. 

”Ibu dari mana? Kami khawatir Ibu belum pulang, sementara hari menjelang malam. Si Aa tadi sudah mencari Ibu ke rumah tetangga. Siapa tahu Ibu sedang mengobrol dengan mereka. Tapi mereka bilang tak melihat Ibu semenjak siang,” tanya menantu perempuannya. 

”Aku berjalan-jalan sejenak ke sekolah. Sekadar mengilas balik saja. Rasanya baru kemarin aku rutin memasuki kelas-kelas di sana untuk mengajar. Setelah pensiun dan bertahun-tahun tak memperhatikan tempat itu, ternyata banyak juga perubahannya.” 

”O ya, tadi aku bertemu anak perempuan yang masih berkegiatan di sana. Entah apa yang dikerjakan. Tapi dia hanya sendiri. Kami sempat mengobrol sejenak,” tambah perempuan uzur itu.

Menantunya sedikit tertegun dengan pernyataan tersebut. Setahu dia semua aktivitas di sekolah sudah dihentikan semenjak pukul lima sore. Apalagi sejak ada peristiwa tragis terkait tewasnya seorang siswi saat study tour ke tempat wisata di luar provinsi. Peristiwa yang sebetulnya sangat disembunyikan oleh pihak sekolah agar tidak diketahui publik. Anak itu kebetulan menjabat sebagai ketua OSIS. 

Jumat, 2 Mei 2025. 05.00 WIB 

Trudonahu Abdurrahman Raffles, penulis berdarah Minang, tapi lahir di Tanjung Karang, Lampung, April 1974. Sejak kecil bersekolah dan hingga kini berdomisili di Cianjur, Jawa Barat. Beberapa karyanya dimuat oleh media lokal dan nasional. Juara kedua Sayembara Cerpen Nasional yang diadakan oleh Program Pascasarjana UNM Makassar tahun 2013. Buku kumpulan cerpennya, Perjalanan Itu Pendek, Kenangan yang Panjang, diterbitkan pada tahun 2020.

UNGGULAN

Lomba Membaca Cerpen Nyonya Suartini

Para peserta telah mengumpulkan karya 1. Khazin - Denpasar Klik untuk menyaksikan video! 2. Pandu - Singaraja Klik untuk menyaksikan video! ...