Senin, 15 September 2025

bantul

BANTUL SUDAH RATA DENGAN TANAH

“Bantul kabarnya sudah rata dengan tanah!” desah orang-orang di sebelah. Wajah mereka hampir menunjukkan ekspresi yang sama. Muram! Bintang menarik napas panjang. Masih bisakah dia berharap? Seandainya dia mampu, dia ingin segera pulang ke Bantul. Tapi itu cuma seandainya!
“Permisi, Mbak sudah makan siang?” seorang sukarelawan menghampirinya. Bintang tersenyum, teringat beberapa waktu yang lalu ketika dia menghabiskan hari-harinya di barak pengungsian Awas Merapi, “Untuk yang lain saja dulu. Saya belum lapar.” Sukarelawan itu pergi dengan tersenyum juga. Bintang memandangi sekeliling. Pemandangan yang sebenarnya sudah tidak asing lagi baginya. Minggu-minggu terakhir ini dia banyak menghabiskan waktu di barak pengungsian. Tapi situasi kali ini memang sedikit berbeda. Sebelumnya mungkin Bintang hanya bertemu wajah-wajah cemas dan bosan. Tapi yang ada di sekelilingnya kini adalah wajah-wajah berduka. Tangis yang tidak putus dan Bintang menjadi bagian dari semua itu. Sejenak kemudian sukarelawan mulai banyak berdatangan. Para pengungsi itu pun berebut makanan. 
“Mbak, hari ini Mbak yang akan kami pindahkan ke rumah sakit.”
“Yang lain bagaimana?”
“Mbak, Mbak ini sebenarnya harus mendapat penanganan segera. Semua orang memang membutuhkan bantuan sekarang tapi kami tetap harus membuat prioritas bukan?”
Kali ini Bintang harus menurut. Beberapa orang memindahkan tubuhnya ke dalam ambulans. Satu-satunya yang tersisa padanya hanya sebuah tas kecil yang sekarang dipeluknya di dada. Sebelum pintu ambulans ditutup, Bintang sempat melihat sebuah sosok berkemeja putih dan berjaket hitam dengan kamera di tangan. Sepertinya tidak asing lagi, tapi siapa? Mungkin hanya kebetulan mirip dengan seseorang diantara sekian banyak orang yang dikenalnya.
Bintang terbaring dengan punggung tersandar tegak di atas ranjang rumah sakit. Di sebelahnya terbaring seorang wanita paruh baya yang sebelah tangan dan kakinya dibalut perban. Seorang laki-laki muda sekitar belasan tahun terduduk lemas di kursi sebelah ranjang, membelakangi Bintang. Di sebelahnya lagi seorang anak yang sepertinya duduk di bangku SD tertidur dengan tenang setelah semalaman menangis kesakitan. Di sekelilingnya kedua orang tuanya tampak terduduk pasrah dengan wajah dipenuhi luka memar dan lecet.
Bintang mendesah panjang. Sejak tersadar di penampungan hingga dipindahkan ke rumah sakit ini Bintang tidak menemukan siapa pun yang dikenalnya. Semakin tipis harapannya untuk bisa pulang ke Bantul. Satu-satunya yang bisa dilakukannya hanya membaca koran dan mencari informasi dari para sukarelawan. Itupun sangat terbatas. Kadang-kadang dia merasa tengah menunggu seseorang tapi apakah semua itu ada gunanya? Seandainya saja…
“Kita akan mengambil berapa dus?”
“Uang yang ada berapa?”
“Sisa membeli beras tadi, tinggal empat ratusan.”
“Ya, sisakan untuk uang bensin saja.”
“Kalau begitu Kak Restu saja yang membawa uang bensinnya. Berapa?”
Restu tidak segera menjawab karena sedang membaca SMS yang baru sampai, “Lima puluh ribu saja. Nanti kekurangannya biar aku yang menangani. Sebentar ya Bin, aku mau mencari wartel dulu.”
“Memangnya sudah ada yang buka?”
“Makanya aku mau mencari dulu.”
“Kalau begitu sekalian aku nitip beli voucher.”
“Jam segini yang ada itu penjual sayur. Kamu juga sih, sudah tahu berangkat pagi-pagi kenapa tidak dari kemarin-kemarin membeli pulsa.”
“Aku lupa. Kemarin aku masih harus mengurus uang yang terkumpul di Debi. Dia orangnya agak ceroboh. Masa uang sumbangan dicampur dengan uang pribadi? Catatan yang dia buat juga tercecer.”
“Kamu juga, sudah tahu Debi orangnya seperti itu.”
Bintang hanya diam. Kalau dilawan, perdebatan ini akan menjadi panjang. Padahal Bintang ingin bertanya, mengapa Restu harus mencari wartel? Apa pulsanya juga habis?
“Ini uang bensinnya….”
“Simpan dulu, nanti saja.”
“Nanti aku tunggu Kak Restu dimana?”
“Cuma sebentar. Kamu di sini saja, sekalian langsung urus pembayarannya.”
Restu pergi. Entah mencari wartel di sebelah mana. Bintang memesan delapan dus mi instant. Setelah itu dia duduk di kursi yang disodorkan pelayan toko sementara beberapa pembeli juga mulai kelihatan agak gerah menunggu giliran diladeni. Dari pesanan mereka Bintang menduga mereka itu adalah para pemilik warung. Mungkin belanja untuk dijual kembali. Kalau seperti ini, udara dingin tidak lagi begitu berarti. Bintang membuka retsleting jaketnya lalu….
“Kamu suka bengong akhir-akhir ini!”
Bintang kaget. Seseorang duduk di tepi ranjangnya dengan kamera di tangan. 
“Maaf, sepertinya pernah ketemu. Siapa ya?”
“Kion. Kita satu kampus dan….” Kion memperlihatkan layar kamera digitalnya kepada Bintang. Bintang tertawa tidak percaya, “Itu kan….”
“Iya, kamu waktu pulang kuliah, terus waktu di barak pengungsian Merapi, waktu di penampungan terus yang ini waktu dibawa ke ambulans dan yang ini waktu kamu bengong tadi….”
Bintang menatap wajah serius di depannya. Bukan! Bukan serius, Cuma wajah seseorang yang sepertinya begitu menikmati dirinya. 
“Oya, aku rasa setelah di sini kamu akan membutuhkan tempat. Rencananya kamu kemana?”
Bintang mendesah pelan, “Aku ingin pulang ke Bantul.”
Kion memasukkan kameranya ke dalam tas punggungnya lalu menatap wajah Bintang, “Aku tahu kamu pasti bisa menghadapi ini.”
“Apa kamu tahu sesuatu?”
“Sebenarnya kamu sendiri sudah bisa menduga kan?”
“Aku Cuma ingin memastikan.”
“Atau mungkin kamu sedang menunggu seseorang?”
Bintang Cuma diam. Seseorang? Bagaimana nasibnya? Bintang baru menyadari bahwa sekelumit kecemasan kini mulai merayapi hatinya. Bagaimana keluarganya? Apakah benar seperti yang dikatakan Kion?
“Ini, kamu harus makan supaya kuat menunggu. Aku pergi dulu.”
Kion pun menghilang. Bintang menatap bungkusan di pangkuannya. Bungkusan yang diberikan Kion. Kion yang tiba-tiba datang dan bersikap seolah-olah mereka telah saling kenal selama bertahun-tahun. Kion adalah orang pertama yang memberinya perhatian sebagai orang yang mengenalnya — bukan sebagai sukarelawan — dan membawakan makanan untuknya. Bintang bahkan belum tahu apa jurusannya, semester berapa, darimana asalnya, bagaimana keadaannya — kenapa dia bisa selamat, dan masih banyak cerita lainnya yang seharusnya dibahas oleh dua orang yang baru saja bertemu. Perlahan bungkusan itu dibukanya lalu tanpa sanggup ditahan — entah sejak kapan Bintang menjadi begitu sensitif — air matanya tumpah. Tapi tiba-tiba sekilat cahaya seperti menimpa wajahnya. Spontan Bintang menoleh dan menemukan Kion tersenyum dengan kamera di tangan, “Ini keajaiban. Harus diabadikan kan?” lalu lelaki itu pergi. 
“Aku tahu dari Kion.” 
“Kak Restu mengenal Kak Kion?”
“Dia satu angkatan denganku.”
“Bagaimana dengan teman-teman yang lain?”
“Aku juga belum tahu. Waktu itu aku terlalu panik. Tapi syukurlah, kamu masih hidup.”
“Tapi mungkin aku Cuma akan menjadi beban bagi mereka yang masih hidup.”
Restu terdiam, tertunduk menatap kedua kaki Bintang. 
“Apa kata dokter?”
“Harapan itu pasti ada. Sekarang tinggal masalah waktu saja. Aku rasa akan perlu waktu yang sangat panjang, mungkin seumur hidup.”
Restu mendesah. Desah yang membuat Bintang sedikit mengerti tentang apa yang dipikirkan Restu saat ini. Desah yang seolah menjadi sebuah peringatan untuk Bintang. 
“Kak Restu tidak apa-apa kan?”
Wajah Restu sedikit memerah, “Iya. Kamu lihat sendiri.”
“Ah, iya.”
“Ibu menyuruhku pulang.”
“Aku mengerti. Orang tua Kak Restu pasti khawatir. Kapan berangkat?”
“Mungkin besok. Aku harus naik bis ke Solo dulu. Bandara di sini rusak.”
“Ah, iya.”
“Tidak ada yang tersisa.”
“Itu hanya pikiran kamu saja.”
“Ternyata memang benar. Tidak ada orang yang bisa mengerti selain orang yang mengalaminya sendiri.”
“Itu namanya kamu memperburuk keadaan.”
“Kak Kion bisa bicara seperti itu…..”
“Tuhan masih menyisakan sesuatu yang paling berharga untuk kamu bukan?”
“Apa?”
“Kamu hidup.”
“Hidup yang seperti ini….”
“Kamu berkata seperti itu hanya karena kamu baru saja ditinggalkan oleh orang yang sebenarnya sangat kamu harapkan ada di sini. Aku betul bukan?”
Bintang terdiam. Kion ini seolah bisa membaca setiap hal yang dipikirkannya. 
“Kalau memang harus menangis, tidak ada salahnya.”
“Kak Kion ini bicara apa?”
“Aku tahu, kamu terlalu memaksakan diri.”
“Lucu bukan? Aku yang biasanya menyemangati para pengungsi sekarang malah meratapi nasib?”
“Kamu saja yang menganggap itu lucu. Ada kalanya kita harus memberi waktu pada diri sendiri untuk menikmati kesedihan itu. Cuma sebentar. Setelah itu, kamu bisa bangkit lagi dan menyemangati orang lagi. Lihat sekeliling kamu, mereka sangat terbebani dan mereka dengan lugu mengakui itu. Kamu juga harus mengakui, ini juga berat untuk kamu.” Bintang kembali menebar pandangannya ke sekeliling ruangan. Wajah-wajah yang hanyut dalam duka mereka sendiri. Tidak ada yang peduli, bahwa Bintang yang selama ini hanya sendiri sekarang sudah ditemani oleh seorang Kion.
“Tapi janji, jangan potret aku lagi!” Bintang merengek dengan senyum mengembang di bibirnya sementara pundaknya mulai terguncang dan bulir-bulir air mata mulai deras berjatuhan dari kedua matanya yang agak sipit. Kion memasukkan kameranya ke dalam tas lalu mendekat ke arah Bintang, “Sini, aku pinjami pundakku.” Bintang pun ambruk di dada Kion. “Hei, aku pinjami pundak, kamu malah mengambil dadaku.”
“Bawel!”

“Ini! Kamu harus banyak makan!” 
“Terima kasih.”
“Rumah sakit ini mulai sesak.”
“Iya. Aku sebenarnya ingin keluar.”
“Aku masih belum bisa mengusahakan kursi roda.”
“Kak Kion tidak usah repot seperti ini. Aku bahkan belum sempat bertanya tentang Kak Kion.”
“Kamu akan tahu dengan sendirinya. Atau mungkin kamu ingin tahu kenapa aku bisa selamat?”
“Iya. Tentu saja.”
“Waktu itu aku sedang di jalan.”
“Pagi-pagi sudah ada di jalan.”
“Kamu sendiri?”
Bintang kembali diam. Memikirkan kembali apa yang terjadi pagi itu membuatnya merasa mencelos. Sampai detik ini dia belum mendapat informasi yang jelas tentang Bantul dan keluarganya. Seandainya pagi itu Bintang tidak berada di dalam toko. Tapi apakah dengan berada di tempat lain Bintang sudah pasti akan selamat?
“Maaf, aku ….”
“Tidak apa-apa, Kak.”
“Waktu itu aku berencana ikut ke barak pengungsian. Aku melihat teman-teman kita menaikkan beras ke atas truk di depan pasar. Aku bermaksud mendekati mereka lalu…semua itu pun terjadi. Semua orang panik. Aku baru menyadari kamu tidak ada bersama kami ketika kami berkumpul.”
“Apa Kak Restu tidak memberi tahu?”
“Aku tidak melihat Restu. Debi hanya memberi tahu bahwa kalian sedang membeli mie.”
“Bagaimana Kak Kion menemukan aku?”
“Kebetulan yang menguntungkan. Aku bukan pencerita yang baik. Sayangnya aku juga tidak sempat mengabadikannya.”
“Toko itu ramai. Bagaimana nasib yang lain?”
“Aku sudah mengatakan padamu bahwa aku bukan pencerita yang baik. Lagipula, mungkin saat itu egoku sedikit berkuasa sampai-sampai aku tidak sempat memperhatikan yang lain.” 
Bintang tersenyum tipis. Kemana Restu waktu itu?
“Rasanya tidak enak. Aku bisa tidur di atas ranjang sementara banyak orang tua yang terpaksa dirawat di emper.”
“Tapi kamu sendiri masih belum bisa keluar. Kamu belum boleh bergerak sedikit pun.”
“Aku bosan di sini. Tapi kalau keluar juga mau kemana?”
“Bersabar dulu. Cuma lagi sebentar. Begitu mendapat kursi roda, aku akan membawa kamu keluar dari sini.”
“Kemana?”
“Ke rumahku.”
“Rumah Kak Kion?”
“Bukan sih! Rumah orang tuaku.”
“Dimana?”
“Malang. Mau?”
Bintang tertawa, “Malu ah. Aku kan bukan siapa-siapa.”
“Kalau begitu tunggu dulu sampai kamu menjadi siapa-siapa.”
“Ngaco ah!” mereka tertawa pelan. Lalu….jepret! Kion kembali mengabadikan wajah Bintang, “Ini tawa pertama setelah terlepas dari beban.” Ujarnya.
“Tapi aku ingin pulang ke Bantul.” Wajah Bintang kembali muram. Kion hanya menatapnya dengan desah panjang.
“Maaf, aku tahu Kak Kion pasti sedang melakukan banyak hal. Tapi tumben kemarin seperti benar-benar menghilang?”
“Kamu tenang saja! Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Bin.”
“Bukan begitu maksudku.”
“Ya. Aku tahu ini perlu waktu. Suatu saat kamu pasti bisa merasakan betapa kangennya kamu seandainya aku tidak ada. Iya?”
“Kak Kion selalu suka bergurau.” Sebuah senyum kecil menghiasi wajah Bintang yang tampak lebih kurus. Kion menatapnya, “Aku senang akhirnya kamu bisa ceria lagi.”
“Ya, mungkin benar. Kalau kesedihan itu dinikmati dengan seharusnya, dia akan lewat begitu saja. Aku masih hidup bukan? Ada yang pernah mengatakan padaku bahwa itu hal yang paling berharga.” Kion tersenyum, “Kemarin aku pergi ke Bantul.”
“Bagaimana keadaan di sana? Apakah Kak Kion bertemu seseorang…maksudku…”
“Kita sudah menduga sebelumnya bukan? Dan aku pergi ke sana untuk memastikan.”
“Maksud Kak Kion….”
“Kamu masih takut dengan kepastian itu bukan?”
“Setidaknya aku harus menemukan mereka terlebih dahulu…..tapi kalau keadaanku seperti ini…”
“Aku sudah menemukan mereka.”
“Lalu bagaimana….”
“Seperti dugaanku. Sebenarnya kamu masih menyimpan harapan.”
“Lalu bagaimana?”
“Bin….” Bintang menatap Kion dengan putus asa, “Tidak! Kak Kion jangan bercanda seperti ini….Kak….”
“Bin!” Kion menunjukkan wajah yang tidak ingin dimengerti oleh Bintang. Meskipun sebenarnya Bintang sangat mengerti itu. Meskipun sebenarnya Bintang berusaha untuk menganggap semua ini sebagai sekadar mimpi buruk. Tapi tatapan Kion membangunkannya begitu saja dan membeberkan di hadapannya sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindarinya. “Kalau begitu, sekarang aku benar-benar sendiri…..” kalimat yang sebenarnya ditujukan Bintang untuk dirinya sendiri. Kion menarik lembut kepala Bintang ke dadanya, “Tidak! Masih ada aku.” Entah Bintang bisa mendengar itu atau tidak. 
“Bagaimana kabarmu, Bin?”
“Seperti yang Kak Restu lihat sendiri. Aku masih belum bisa keluar dari sini.”
“Iya.”
“Kak Restu sendiri?”
“Oh, aku…Aku baru tiba dari Surabaya.”
“Baru tiba…”
“Sebenarnya sudah kemarin.”
“Bagaimana kabar teman-teman yang lain? Apakah Kak Restu pernah bertemu mereka?”
“Tidak. Belum. Aku hanya bertemu Kion. Tadi…baru saja. Apa..”
“Iya. Dia baru saja pergi.”
“Oh, begitu. Bagaimana…”
“Dia muncul begitu saja….dan… biasanya menemani aku berbincang-bincang.”
“Apa dia menceritakan sesuatu?”
“Kalau iya, kenapa?”
“Bin, aku bisa menjelaskan semuanya.”
“Iya, Kak Restu bisa menjelaskan semuanya sekarang…”
“Bin, maafkan aku. Dia yang memulai, bukan aku.”
“Aku rasa masalahnya bukan pada siapa yang memulai. Aku bisa mengerti. Kak Restu pernah bersamanya selama bertahun-tahun. Pasti sangat sulit untuk menghindar bukan?”
“Bin, waktu itu aku bertemu dia secara tidak sengaja. Aku sudah mengatakan bahwa aku ingin mencari wartel. Aku tidak tahu kenapa …..”
“Seingatku, Kak Restu mencari wartel setelah menerima SMS dari seseorang….”
“Bin…”
“Kak Restu menyuruhku menunggu di sana. Aku menunggu Kak Restu lama sekali. Tapi syukurlah, dengan begitu Kak Restu bisa selamat. Jika seandainya Kak Restu cepat-cepat kembali mencari aku, mungkin Kak Restu juga akan terluka.”
“Kamu menyalahkan aku?”
“Bukan. Aku hanya mencoba memahami apa yang telah terjadi.”
“Tapi tetap saja aku merasa bahwa kamu menyalahkan aku.”
“Itu hanya perasaan Kak Restu saja. Lagipula aku sudah tidak punya hak.”
“Bin, aku tahu kamu sedang terbebani oleh banyak hal tapi kamu jangan bicara seperti itu.”
“Itu bukan karena aku merasa terbebani oleh banyak hal tapi aku bicara kenyataan.”
“Apa maksud kamu, Bin?”
“Aku rasa Kak Restu mengerti apa maksudku.”
“Tapi sekarang aku ada di sini, Bin.”
“Dan aku yakin itu karena Kak Kion.”
“Dan kamu menjadi seperti ini karena kamu sudah bersama Kion?”
“Bagiku dia memang malaikat. Dan dia tidak pantas dijadikan alasan atas semua ini.”
“Lalu apa maksudnya mencampuri urusan kita?”
“Dia tidak pernah bercerita apa pun tentang Kak Restu. Aku baru saja mendengar semua itu dari Kak Restu sendiri. ”
Wajah Restu memerah.
“Kak Kion sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita. Kak Restu sudah meninggalkan aku. Bagiku itu sudah cukup jelas.”
“Kamu yakin dengan keputusan kamu?”
“Iya. Aku yakin.”
“Tapi kamu akan kemana? Kamu sudah.......Ah, iya. Aku lupa. Masih ada Kion. Meskipun kamu mengatakan dia bukan siapa-siapa.”
“Seseorang tidak perlu menjadi siapa-siapa untuk membantu meringankan beban orang lain bukan? Setidaknya dia bersamaku.”
***
“Wajah Kak Kion kenapa?”
“Tidak apa-apa. Anggap saja tanda keberuntungan.”
“Kalau begitu aku tidak mau makan ini.”
“Ancaman yang lemah tapi sangat melemahkan aku. Baiklah. Aku bertemu Restu. Itu saja. Aku rasa kamu tahu lanjutannya.”
“Aku sudah mengatakan padanya bahwa ini tidak ada hubungannya dengan Kak Kion.”
“Dia akan selalu menganggap ada hubungannya. Aku sendiri sangat berharap memang ada.”
“Kak Kion ini bicara apa? Kapan seriusnya?”
“Selalu. Kamu saja yang menganggap aku tidak pernah serius.”
Bintang menatap Kion yang dengan sikap santai mengeluarkan isi dalam tas punggungnya. Semuanya makanan untuk Bintang.
“Aku tahu semua ini perlu waktu, Bin. Aku sudah pernah mengatakan padamu bahwa aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Meskipun pada akhirnya kita memang bukan siapa-siapa.”
“Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya Kak Kion meninggalkan aku. Aku mengatakan pada Kak Restu bahwa keberadaan Kak Kion tidak ada hubungannya dengan kami karena aku tidak pernah memikirkan bagaimana jika Kak Kion pergi meninggalkan aku tapi aku....”
“Aku tidak terburu-buru, Bin.”
“Tapi mungkin ini akan memerlukan waktu....”
“Kita memiliki begitu banyak waktu.”
“Kak Kion tidak keberatan?”
“Aku sudah menunggu sejak lama. Bahkan sebelum Restu muncul di hadapan kamu. Aku rasa menunggu sedikit lagi bukanlah masalah besar.”
“Terima kasih.” Suara Bintang hampir tidak terdengar. Rasa haru memenuhi dadanya.
“Seperti janjiku, aku akan mengajak kamu keluar dari sini. Aku sudah mendapatkan kursi roda untuk kamu.”
“Tapi kemana?”
“Awalnya aku ingin mengajak kamu pulang ke Malang. Tapi teman-teman kita sekarang ditugaskan untuk menjalani masa KKN mereka di daerah-daerah bencana. Jadi aku rasa kamu tidak akan merasa kesepian. Kamu hanya perlu menyiapkan diri untuk melihat apa yang kamu lihat di kameraku secara langsung. Kita akan pulang ke Bantul.”
“Kita?”
“Iya. Kita!”
Sekali lagi Bintang membenamkan wajahnya di dada Kion. Sulit digambarkan apa alasan yang tepat baginya atas air mata yang dikeluarkannya saat ini.

Ni Luh Putu Mahaputri

Malam Demi Malam, Tenggelam

Malam Demi Malam, Tenggelam
Karya I Gusti Putu Krisna Narendra

“Kenapa sih kamu selalu begini? Terlalu berlebihan! Aku capek menghadapi sifatmu yang seperti anak kecil!” Suara gadis itu pecah, memecah keheningan malam yang sebenarnya indah. Lampu jalan berkelip samar, sementara angin berhembus pelan seolah ikut menyaksikan pertarungan batin dua insan muda yang berdiri di bawahnya.
Remaja laki-laki di hadapannya terdiam. Senyumnya yang biasanya mampu menghangatkan suasana kini memudar, seperti cahaya lilin yang hampir padam. “Aku… aku cuma ingin membuatmu bahagia. Apa salah kalau aku jadi diri sendiri di depanmu?” Suaranya lirih, namun menusuk seperti jarum kecil yang perlahan masuk ke dalam daging.
Gadis itu menggertakkan gigi. Dalam dadanya, ada pertarungan antara hatinya yang ingin melunak dan egonya yang menuntut untuk bertahan. Ia sebenarnya tahu bahwa laki-laki di hadapannya tak pernah berniat menyakitinya. Justru sebaliknya, ia selalu berusaha membuat segalanya terasa ringan. Namun entah mengapa, sikap kekanak-kanakan itu kerap membuatnya sesak. Ia ingin seseorang yang lebih dewasa, lebih tenang, bukan seseorang yang sering bertingkah konyol hanya untuk membuatnya tersenyum.
“Aku cuma… ingin ruang. Aku ingin tenang. Tapi kamu selalu datang dengan candaanmu yang kadang nggak pada tempatnya. Aku butuh seseorang yang bisa aku andalkan, bukan yang selalu terlihat seperti bocah!” suaranya bergetar, setengah marah, setengah putus asa.
Remaja itu menunduk. Kata-kata itu seperti palu godam, menghantam kepalanya berulang kali. Ia hanya ingin diterima. Ia hanya ingin mencintai dengan caranya sendiri, sederhana, polos, mungkin kekanak-kanakan, tapi setidaknya itu tulus dari hatinya.
“Kalau terus begini,” gadis itu akhirnya mengucapkannya, dengan suara yang dipaksa tegas meski hatinya retak, “mungkin lebih baik… hancurkan aku dan jangan pernah kembali.”

Hening. Dunia seperti berhenti berputar. Angin malam membawa keheningan itu, menampar pipi keduanya. Mereka saling berpaling, tanpa ucapan pamit, tanpa tatapan terakhir. Dua punggung menjauh, dua hati retak, dan dua jiwa yang saling mencintai kini terpisahkan oleh gengsi.
Malam itu seharusnya berakhir dengan tawa, namun justru meninggalkan sayatan yang dalam. Gadis itu berjalan pulang dengan langkah cepat, seakan ingin meninggalkan semua yang baru saja terjadi. Namun semakin ia menjauh, semakin keras gema kata-katanya berulang dalam kepala.
"Hancurkan aku dan jangan pernah kembali." Kata-kata itu meluncur begitu saja, padahal bukan itu yang ia maksud. Ia hanya ingin dimengerti, hanya ingin ruang untuk bernapas, bukan menolak kehadiran laki-laki itu sepenuhnya. Namun gengsinya terlalu tebal.
Di kamarnya yang sunyi, ia duduk di tepi ranjang. Lampu redup menyoroti wajahnya yang masih memerah karena emosi. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup tak karuan.
"Kenapa aku harus membentaknya? Dia kan cuma ingin dekat denganku…" pikirnya. Namun segera suara lain dalam dirinya membantah, “Tapi dia yang salah! Dia terlalu kekanak-kanakan, aku kan maunya sama cowok yang bersifat dewasa.”
Ia terbaring menatap langit-langit kamar, tapi tidur tak juga datang. Ada sesuatu yang menusuk-nusuk dada. Rasa bersalah, bercampur dengan gengsi yang masih mengikat erat. Hari-hari berikutnya, gadis itu mencoba bersikap biasa. Ia tertawa bersama teman, menyalin catatan, pura-pura lupa pada malam yang menyayat itu. Namun di sudut hatinya, ada suara lirih yang terus mengganggu:
"Bagaimana kabarnya? Apa dia baik-baik saja? Atau… jangan-jangan dia benar-benar membenciku?"
Ia ingin mengirim pesan. Jari-jarinya seringkali sudah menyentuh layar ponsel, mengetik “Maaf” lalu menghapusnya lagi. Gengsinya seperti jeruji besi, mengurung kata hati yang ingin bebas.
Malam demi malam, ia tertidur dengan hati yang kering kerontang. Rasa bersalah itu mulai membusuk, seperti luka yang tak diobati. Ia tak tahu bahwa di tempat lain, seseorang sedang menanggung luka yang jauh lebih parah.
Sementara itu, di kamarnya yang gelap, remaja laki-laki itu duduk memeluk lutut di pojok tempat tidur. Kata-kata sang gadis malam itu terus memantul dalam kepalanya, seperti gema di gua yang tak berujung.
"Kalau terus begini, lebih baik hancurkan aku dan jangan pernah kembali." 
Ia menutup telinga, tapi suara itu tetap terdengar. Ia memukul-mukul kepalanya, berharap bisa merontokkan kenangan pahit itu. Namun semakin keras ia berusaha melupakan, semakin tajam luka itu menancap.
“Kenapa… kenapa setiap kali aku mencoba jadi diriku sendiri, aku malah ditolak?” gumamnya lirih.
Air mata mengalir tanpa ia sadari. Tangannya bergetar, jantungnya terasa seperti diremas. “Bukankah cinta itu seharusnya menerima, bukan menolak? Bukankah aku mencintainya dengan seluruh hal yang kumiliki?”
Malam demi malam, tenggelam. Tidak ada pelampung, tidak ada tangan yang menggapai. Teman-temannya mulai melihat perubahan: ia yang dulu ceria, kini lebih sering diam. Ia yang suka bercanda, kini duduk termenung. Ia mencoba menulis perasaannya dalam buku kecil. Kata-katanya berantakan, tintanya basah oleh air mata.
"Aku ingin diterima, meski dengan segala kekonyolanku. Aku ingin ia tahu, aku begini bukan untuk main-main, tapi untuk membuatnya tersenyum. Tapi ternyata… yang kulakukan justru membuatnya muak."
Hari-hari itu baginya terasa panjang, melelahkan, dan hampa. Seolah dunia telah mencabut semua warna, meninggalkan hanya abu-abu yang mencekik. Ketika ia menatap cermin, ia melihat sosok yang asing. Mata yang kosong, senyum yang sudah mati, jiwa yang tak lagi bersemangat.
----------------------- Dua minggu berlalu.
Sunyi.
Tak ada pesan, tak ada kabar.
Gadis itu mulai merasa ada yang aneh. Biasanya, meski mereka bertengkar, remaja itu selalu mencoba mendekat lagi, mengirim pesan konyol, atau tiba-tiba muncul di depan rumah. Tapi kali ini, tak ada satu pun. Di kelas, ia duduk termenung. Rasa bersalah mencakar-cakar dadanya. Akhirnya, ia menyerah pada gengsi. “Aku harus minta maaf. Aku nggak bisa terus begini. Dia pasti menungguku.”
Dengan langkah bergegas, ia menuju kelas si remaja. Namun yang ia temui bukanlah senyum ceria yang ia rindukan. 
“Dia nggak masuk udah seminggu,” kata salah satu temannya. “Sebelumnya juga aneh, nggak kayak biasanya. Murung terus, diem, nggak pernah cerita apa-apa lagi.” Deg. Jantung gadis itu serasa diremas. Nafasnya tercekat. Firasat buruk menamparnya. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar sekolah, menuju rumah remaja itu.
Rumah itu sepi. Pintu dan jendela terkunci rapat. Gadis itu panik, mengetuk berkali-kali. Tak ada jawaban. Ia akhirnya menghantam pintu dengan besi hingga terbuka paksa.

“HEY! Aku masuk!” suaranya gemetar. 
Ia menapaki lantai yang dingin, hingga tiba di depan kamar. Saat pintu terbuka, dunia seolah runtuh.
Tubuh remaja itu tergantung lemas di langit-langit kamar. Mata gadis itu membelalak, tubuhnya bergetar hebat. “TIDAKKK…!!” jeritnya pecah, parau, seakan merobek dada. Di dinding kamar, tergores tulisan dengan cat merah: "Aku Menyerah." Di bawahnya, menempel sebuah surat kecil. Dengan tangan gemetar, gadis itu meraih surat tersebut.

---
Surat tersebut bertuliskan :
*"Aku hanya ingin menghabiskan waktuku bersamamu. Kau adalah sinar yang membuatku bertahan.
Tapi setiap kali aku berusaha membuatmu tertawa, kau malah menjauh.
Saat kau membentakku malam itu… rasanya seluruh dunia menutup pintu untukku. Aku tak lagi punya tempat.
Jika menjadi diriku sendiri membuatmu muak, maka lebih baik aku menghilang. Aku menyerah… kepada hidup, kepada diriku, kepada cintaku padamu."*

---

Surat itu terjatuh dari tangannya. Air matanya mengalir deras, jatuh berhamburan di lantai. Gadis itu berlutut, memegangi dadanya yang seolah diremukkan palu.
“Aku… aku bodoh… Kenapa aku nggak bisa menurunkan egoku? Kenapa aku nggak bisa menerima dia… seperti dia menerima semua kekuranganku…” Tangisnya berubah menjadi jeritan lirih, seakan memohon pada waktu untuk berputar mundur.
Namun sudah terlambat.
Senyum anak kecil yang dulu membuatnya nyaman telah padam. Jiwa yang ingin dicintai apa adanya telah terlepas dari dunia.




Radio

Dari Radio
karya Luh Putu Dea Widiantari

Malam itu, langit tampak seperti menyimpan sesuatu. Awan hitam menggantung rendah, menelan cahaya bulan hingga halaman sekolah terlihat lebih kelam dari biasanya. Angin berhembus lirih, menyapu halaman yang kosong, hanya menyisakan suara ranting beradu. Dari kejauhan, bangunan sekolah itu seperti bernafas pelan, seolah menyembunyikan banyak rahasia di balik temboknya.
Dina berdiri di balik gerbang, memandangi gedung yang sunyi. Matanya yang bulat menyiratkan semangat yang sudah lama ia kumpulkan, sekaligus sebuah kegelisahan yang sulit ia abaikan. Malam ini berbeda. Ada rasa aneh di dadanya, seakan sekolah itu tidak lagi menjadi tempat yang netral baginya, melainkan sesuatu yang sedang menguji tekadnya. “Besok, pengumuman OSIS,” gumamnya pelan. Suaranya nyaris ditelan angin.
Sudah berminggu-minggu Dina menunggu momen ini. Ia masih ingat betul bagaimana ia mengisi formulir pendaftaran OSIS dengan jantung berdegup cepat. Setiap huruf yang ia tulis, setiap jawaban yang ia isi di kertas itu, ia tuliskan dengan penuh keyakinan. Baginya, OSIS bukan sekadar organisasi. Itu adalah ruang untuk tumbuh, wadah untuk membuktikan dirinya, dan kesempatan untuk keluar dari bayangan ketidakberdayaan seperti yang diajarkan ibunya sebelum meninggal.
Sejak SMP, Dina dikenal sebagai siswi yang cerdas tapi pendiam. Ia jarang berbicara banyak, lebih suka menulis di buku hariannya ketimbang bercerita panjang pada teman-temannya. Namun, dalam hatinya ada mimpi besar, ingin berani berdiri di depan orang banyak, ingin seperti Drupadi yang menjadikan laki-laki seketika bodoh dalam meja perjudian. Ia ingin seperti Drupadi yang menghancurkan medan perang Kuru, medan perang yang selalu mengagungkan kekuatan dan kemaskulinan laki-laki, lantas seketika menghabiskan para lelaki yang terlibat perang. OSIS adalah jalannya mencapai tujuan itu.
Hari itu, ruang aula penuh dengan siswa-siswi yang mendaftar OSIS. Bau kertas formulir bercampur dengan aroma tinta spidol. Papan tulis besar di depan dipenuhi tulisan jadwal wawancara dan daftar nama. Suasana riuh, penuh bisikan dan tawa gugup.
Dina duduk di bangku tengah, tangannya menggenggam erat pena, seperti Drupadi yang mulai mencuri perhatian Kurawa dan Pandawa dengan menebar harum tubuh. Ia melirik sekeliling, melihat calon-calon lain yang tampak percaya diri. Ada yang bercanda sambil tertawa lepas, ada yang sibuk menghafal teks visi misi, ada juga yang sibuk memperbaiki kerah seragamnya. Dina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.“Dina Antari,” suara panitia memanggil.
Degupan jantungnya langsung melonjak, seperti ketika perjudian memutuskan kain Drupadi harus segera ditarik karena Pandawa telah kalah dalam permainan dadunya. Ia berdiri, langkahnya sedikit kaku menuju meja wawancara. Di sana duduk tiga orang penguji seorang guru pembina OSIS dan dua pengurus lama. Tatapan mereka tajam, seolah bisa membaca isi hati.“Perkenalkan dirimu,” ujar salah satu penguji.
Dina menatap mereka dengan gugup, lalu mulai bicara. Anehnya, semakin ia berbicara, rasa takutnya berangsur hilang. Ia seperti Drupadi yang melepaskan kutukan kepada Kurawa yang telah menelanjangi tubuhnya. Ia bicara tentang mimpinya ingin membawa kegiatan OSIS lebih inklusif, tentang ide membuat program literasi untuk siswa, dan tentang harapannya agar sekolah ini punya wadah bagi siswa yang sering terabaikan.
Mata penguji sempat membesar seperti mata Sangkuni yang licik dan hendak membuat taktik baru membalikkan bantahan menjadi sanjungan. Bahkan, salah satu pengurus lama tersenyum tipis, seakan kagum dengan jawaban Dina. Saat itu, hatinya melambung. Ia yakin, dirinya punya peluang besar. Hari pengumuman tiba. Papan pengumuman dipasang di depan ruang OSIS, seperti biasa ditempeli kertas-kertas yang akan jadi pusat perhatian seluruh siswa. Kerumunan langsung memenuhi halaman. Semua berdesakan, berebut posisi agar bisa melihat lebih cepat.
Beberapa siswa lain berlalu-lalang sambil tertawa, membicarakan hal yang hanya mereka pahami, tapi Dina tidak bergabung. Matanya hanya terpaku pada papan pengumuman yang berada tak jauh darinya papan yang sempat ia tatap penuh harapan, namun kini justru membuat dadanya sesak. Dina ikut berdiri di sana, jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Ia menunggu, hingga akhirnya papan itu terbuka. Daftar nama pengurus OSIS baru terpampang jelas. Matanya menyapu baris demi baris. Mencari. Membaca ulang. Memastikan. Tapi namanya… tidak ada. Ia seperti Drupadi yang ditinggal Pandawa ke medan perang. Hatinya gelisah, menanti sebuah kemenangan.
Ia mengucek mata, mencoba meyakinkan diri kalau ia salah baca. Ia telusuri lagi. Dari ketua, wakil, sekretaris, bendahara, hingga bidang-bidang lain. Tetap tidak ada. Nama Dina benar-benar tidak tercantum. Jantungnya seakan berhenti. Suara riuh siswa yang bersorak bahagia terdengar jauh, seperti gema yang memekakkan. Tubuhnya kaku.
Senyum-senyum lebar dari teman-teman yang lolos hanya membuat luka itu semakin dalam. Ada yang berlari menghampiri sahabatnya sambil berteriak gembira, ada yang saling berpelukan. Tapi Dina? Ia hanya berdiri di sana, seperti bayangan yang terlupakan. “Kenapa…?” bisiknya lirih. Dadanya terasa sesak. Ia merasa seluruh semangatnya direnggut begitu saja. Hari-hari setelah pengumuman, Dina seperti kehilangan arah. Di kelas, ia masih tersenyum kecil saat ditanya teman, tapi dalam hatinya ia rapuh. Setiap kali ia melihat pengurus OSIS baru berbaris rapi, mengenakan jas hitam dengan emblem kebanggaan, hatinya diremas lagi. Itu seharusnya bisa jadi miliknya. Seharusnya ia berdiri di barisan itu. 
Di rumah, ia lebih sering berdiam diri. Buku hariannya penuh dengan coretan keluh kesah, tinta yang hampir sobek karena ditekan terlalu keras. Ia menulis, menulis, dan menulis, seolah dengan cara itu ia bisa meluapkan luka yang tak pernah ia ucapkan pada siapa pun. “Aku sudah berusaha. Aku sudah berani bicara. Aku sudah percaya diri. Tapi kenapa aku tidak dipilih? Apa aku kurang baik? Apa aku tidak layak?” 
Setiap kata adalah pisau yang ia arahkan pada dirinya sendiri. Ia seperti Drupadi yang menyalahkan dirinya terlahir dari api. Ia mulai meragukan kemampuan yang tadinya ia banggakan. Rasa percaya diri yang baru ia pupuk kembali runtuh, hancur berkeping-keping.
 "Api mestinya mampu membakar, tetapi aku sendiri terbakar!" Dina berteriak histeris karena tidak mampu memenangkan dirinya sebagai Drupadi. Dina ingin menjadi besar untuk mengalahkan ayahnya yang selalu membanggakan dirinya sebagai laki-laki. Dina tidak bisa mebuktikan bahwa perempuan mampu memimpin. Perjuangannya benar-benar kandas, ia tidak bisa memperbaiki posisi ibunya yang selalu ditindas oleh ayahnya. Ia sudah terpanggang di medan perang Kuru Setra. Tubuhnya lunglai, lemas. 
Malam itu, Dina duduk di depan jendela kamarnya. Langit sedang cerah, bulan tampak bulat sempurna. Ia termenung, menatap kosong. Di meja kecilnya, buku harian terbuka, halaman terakhir penuh coretan hitam tebal, “Aku kecewa.” Namun malam itu, sesuatu membuatnya terdiam lama. Dina melihat radio kecil dengan antena panjang menjulang ke langit. Itu adalah radio mendiang neneknya. Dulu radio itu memperdengarkan sandiwara “Nini Pelet” yang dulu ketika bayi tidak dia pahami, tetapi karena neneknya selalu menceritakan kisah dari radio itu, ia hafal jalan ceritanya hingga kini. Dina bergegas mengambil batre bulat besar dari lacinya dan memasangnya di radio itu. Dia putar-putar hingga tedengar suara yang agak jelas. Suara radio kecil di kamar itu memutar sebuah pidato motivasi. Kalimatnya sederhana, tapi menusuk dalam “Apa aku kurang pantas? Apa aku terlalu biasa?” bisiknya pada diri sendiri. Dina terus mendengarkan suara radio walau kadang suaranya menipis, bisa juga membuatnya tesentuh.
Dina bukan tipe yang mudah menangis di depan orang lain. Tapi malam itu, air matanya mengalir. Hanya sebentar, tapi cukup membuatnya sadar bahwa luka ini nyata. Drupadi yang penuh amarah, berasal dari api, tidak mampu memenangkan Pandawa atau Kurawa karena perang sesungguhnya masih berkecamuk. Ketika itu, ia tidak ingin lagi menjadi Drupadi persi dirinya yang ingin mengalahkan ayahnya, yang mengusirnya karena ia seorang perempuan yang sering merengek minta beli coklat. Ia ingin menjadi dirinya sendiri, seorang Dina.
“Kadang, kegagalan bukan berarti kau tidak pantas. Kadang, itu berarti ada jalan lain yang lebih tepat untukmu.” Dina tertegun. Kata-kata itu berputar di kepalanya. Ia mengulang-ulang kalimat itu, mencoba memaknainya. Benarkah kegagalannya di OSIS bukan akhir? Benarkah ada jalan lain yang belum ia lihat? Keesokan harinya, Dina mencoba sesuatu yang berbeda. Ia tidak lagi menatap iri ke arah ruang OSIS. Sebaliknya, ia mendekati perpustakaan sekolah. Tempat yang selama ini sepi, hanya dikunjungi segelintir siswa.
Di sana, ia mulai membantu pustakawan membereskan buku, menyusun katalog, hingga membuat pojok baca. Lama-kelamaan, beberapa siswa mulai datang karena penasaran. Dina mulai mengajak mereka berdiskusi, bahkan menulis cerita bersama. Dari kegiatan kecil itu, sebuah komunitas lahir: kelompok literasi sekolah. Tanpa ia sadari, komunitas itu tumbuh semakin besar. Siswa-siswi yang awalnya minder menemukan ruang untuk berkarya. Mereka menulis puisi, membuat majalah dinding, bahkan mengadakan lomba menulis antar kelas. Semua dipimpin oleh Dina siswi yang gagal masuk OSIS, tapi justru melahirkan wadah baru yang tak kalah berharga.
Suatu sore, saat melewati ruang OSIS, Dina melihat para pengurus sibuk rapat. Hatinya tidak lagi sakit. Ia hanya tersenyum kecil, lalu berjalan melewati mereka dengan kepala tegak. Ia sadar kini, tidak semua jalan menuju mimpi harus lewat pintu yang sama. Ia gagal masuk OSIS, benar. Tapi dari kegagalan itu, ia menemukan keberanian yang lebih tulus: keberanian untuk membangun sesuatu dari nol, tanpa nama besar, tanpa panggung.
Di buku hariannya, ia menulis kembali. Kali ini, tintanya tenang, tidak lagi terburu-buru. “Aku memang tidak jadi bagian OSIS. Tapi aku tetap bisa memimpin. Aku bisa menjadi cahaya, bahkan di tempat yang paling sepi.” Langit malam kembali kelam, seperti saat ia pertama kali menunggu pengumuman OSIS. Tapi kali ini berbeda. Dina menatap langit dengan senyum. Ia tahu, jalan yang ia tempuh mungkin tidak sama dengan orang lain, tapi itu adalah jalannya sendiri.
Malam itu, Dina duduk di depan cermin. Bedanya, kali ini ia melihat bayangan yang berbeda. Mata itu lebih berani, senyum itu lebih tulus. “Aku gagal jadi OSIS, gagal menjadi Drupadi,” katanya pada bayangan sendiri.  “Tapi aku tidak gagal jadi diriku.” katanya bersemangat. Untuk pertama kalinya sejak pengumuman itu ditempel, Dina benar-benar merasa lega. Kecewa yang dulu menyakitkan kini berubah jadi kekuatan. Ia belajar bahwa gagal tidak selalu berarti kalah. Kadang, itu adalah awal dari petualangan yang lebih indah.
Waktu terus berjalan, dan Dina yang dulu pernah kecewa karena gagal masuk OSIS kini berdiri tegak sebagai ketua KSPAN di sekolahnya. Awalnya, ia tak pernah membayangkan akan sampai di titik itu. Namun semangatnya untuk tetap berkontribusi membawa langkahnya menuju jalan yang berbeda, yang ternyata jauh lebih berarti.
Di bawah kepemimpinannya, KSPAN berkembang pesat. Program penyuluhan tentang bahaya narkoba yang diinisiasi Dina, berhasil membuka mata banyak siswa. Kegiatan donor darah dan kampanye hidup sehat yang digagasnya mendapat sambutan hangat dari guru maupun siswa. Bahkan, sekolah mereka dinobatkan sebagai salah satu sekolah dengan program KSPAN terbaik di kabupaten. Prestasi demi prestasi itu membuat nama Dina semakin dikenal. Namun, bagi Dina, yang paling berharga bukanlah penghargaan, melainkan kepercayaan yang kembali ia dapatkan. Ia merasa dipulihkan. 
Dari seorang siswi yang pernah merasa gagal dan tidak dianggap, kini ia menjadi pemimpin yang membawa perubahan nyata. Saat berdiri di depan ratusan siswa dalam acara peringatan Hari AIDS Sedunia, Dina menutup pidatonya dengan suara tegas penuh keyakinan, “Dulu aku pernah merasa pintu untukku tertutup rapat. Tapi ternyata, Tuhan menyiapkan pintu lain yang lebih besar. Menjadi bagian dari KSPAN mengajarkan saya arti kepedulian, arti keberanian, dan arti kegigihan. Ingatlah teman-teman, gagal bukan berarti kalah. Kadang, itu hanya tanda bahwa kita disiapkan untuk sesuatu yang lebih baik di tempat lain.”
Sorak tepuk tangan menggema di aula. Entah hadiah keberapa sudah diterimanya. Uangnya ditabung untuk biaya sekolah. Guru-guru pun menatapnya dengan kagum. Saat itu, Dina tahu, perjalanan panjangnya yang penuh luka telah berbuah manis. Ia tidak hanya menjadi ketua KSPAN, tetapi juga simbol semangat bagi banyak siswa lain yang mungkin pernah merasa gagal seperti dirinya.
Di dalam kamar itu, hanya ada satu suara ratapan seorang gadis yang akhirnya sadar bahwa menjadi seorang perempuan, tidak memanfaatkan fisiknya untuk meraih kemenangan, tetapi juga menggunakan perasaannya untuk berjaya.
"Anakku, ayah sangat bangga kepadamu. Kamu cerdas, tidak seperti ibumu yang selalu memelas minta uang dari suaminya. Kalau tidak diberikan, ia ngamuk dan menyulut kemarahan ayah yang berpenghasilan pas-pasan. Ayah terpaksa memukul ibumu, biar ngerti." Ayah Dina memberi selamat.















Minggu, 14 September 2025

desak

Desak Ari
Karya Luh Arik Sariadi

Hari-hari penantian, sudah tidak bisa ditunggu.
Sangat sunyi dalam kesendirian
"Ini tahun kesekian ibu meninggal." Hati Desak Ari menangis bersama lumut di tembok-tembok kamar itu.
Tembok seperti paham dengan keadaan Desak Ari. Dari tembok, air merambat membasahi lantai, sama persis dengan keadaan Desak Ari yang kehilangan ibunya. Usia tua, pada usia 43 tahun, bukanlah waktu yang tepat untuk menangis meraung-raung ketika kehilangan ibu. Namun, tembok terlanjur ikut menangis, seperti Desak Ari yang tidak tega melepas ibunya yang berusia 97 tahun, meniggal karena masa tua di tengah kejayaan anak-anaknya.
Lumut muncul dari tembok itu, diawali dengan munculnya pasir-pasir putih yang lebih menyerupai garam. Ketika Desak Ari terisak lagi hingga air matanya dikecap oleh lidahnya sendiri, kerak-kerak tembok mengelupas dan muncul lumut kekuningan menyerupai kuning telur. Tembok menjadi bersisik, terlihat sangat kotor. 
Namun, tembok yang kotor dan mulai kehitaman itu, tidak menunjukkan kesedihan yang sama seperti kesedihan Desak Ari, bahkan lebih dalam dari kesedihan ketika Ibu Siti Hartinah (Ibu Tien) berpulang. Saat itu, seluruh rakyat Indonesia menangis karena Ibu Siti Hartinah sangat keibuan, pengasih, penyayang, dan bijaksana, bahkan  bukan darah dagingnya disayang oleh Ibu Tien.
Lantai keramik bercorak kayu semakin digenangi air mata. Kamarnya tidak lagi hanya kubangan, tetapi menjadi danau uang berwarna kecoklatan. Desak Ari tidak bisa menghentikan tangisannya. Ia tenggelam bahkan ketika ia berhenti menangis, tembok masih merasakan kesedihan Desak Ari yang ditahan.
***
Bersaudara 13 orang, Desak Ari tidak pernah kesepian. Tinggal di rumah yang halamannya sangat luas, ayah dan ibunya selalu membuatkan rumah baru di halaman itu untuk anak-anaknya yang mau menikah. Ketika pernikahan dirayakan, mempelai sudah disiapkan dengan rumah yang berisi 2 kamar. Bangunannya tipe 36 dengan kamar mandi dan dapur yang modern. 
Desak Ari yang memiliki 7 kakak laki-laki tidak pernah merasa kesepian karena anak pertama dari saudara laki-lakinya sebaya dengannya dan sama-sama perempuan. Di halaman yang luas ini sudah berdiri 8 bangunan rumah yang tidak terpisahkan oleh pagar, tidak seperti rumah-rumah subsidi yang ketika ditempati, pagar-pagarnya menjulang tinggi. Rasanya maling pun tidak mau berhenti di rumah subsidi untuk mencuri. Semua orang di rumah subsidi, hidup dengan utang-utangnya sendiri hingga tidak sempat bertegur sapa dengan tetangga, tetapi tidak demikian dengan keluarga Desak Ari. Tidak ada tembok yang menjulan untuk memisahkan satu keluarga dengan keluarga lainnya. Keluarga Desak Ari selalu ramai, walaupun rumahnya agak berjauhan, tetapi mereka saling menawarkan masakan mereka masing-masing. Setiap malam mereka berkumpul di rumah ibu Desak Ari untuk karoke atau bermain kartu, tanpa taruhan.
Rumah yang ditempati Desak Ari sejak lahir menjadi bangunan utama dengan 5 kamar yang berukuran sama. Desak Ari dan saudara-saudaranya yang belum menikah bebas tidur dimana saja, tidak dipisahkan oleh gender. Ayah dan ibu Desak Ari tidak pernah membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. 
Sebelum ayah Desak Ari meninggal, ia membuat wasiat pembagian harta kekayaan berupa aset tanah sawah di beberapa desa. Anak laki maupun perempuan mendapat lahan sawah yang hampir sama luasnya. Bahkan Desak Ari waktu itu berusia 10 tahun, sudah mendapat bagian aset tanah sawah yang pengolahannya diberikan kepada kakak kedua yang laki-laki. Dengan bagian masing-masing 10 hektar, kakak-kakak Desak Ari sudah bertambah kekayaannya. Semua kakaknya yang sudah cukup usia untuk memiliki tanah, telah mengubah nama kepemilikan tanah menjadi nama mereka masing-masing. 
Desak Ari tidak pernah merasa kesepian karena kakak-kakaknya selalu membuat kejutan. Halaman rumahnya selalu ramai. Ada saja acara yang dibuat, ada saja yang punya acara atau yadnya.
"Desak Ari, hari ini adalah ulang tahunmu ke 17 tahun. Ibu sudah memesan 5 ekor be guling utuk merayakannya," kata ibunya sembari mengelus rambut Desak Ari yang panjang sepinggang.
"Desak Ari, begitu sayang ibu kepadamu, ayo cepat mandi, sebentar lagi gulingnya akan tiba dan kita akan pesta," kata Desak Yuni menambahkan untuk menunjukkan rasa sayangnya kepada adik Bungsunya.
Sebenarnya, Desak Ari adalah anak yang tidak diinginkan. Ibunya sudah memiliki 12 anak saat itu. Anak laki-lakinya sudah 5 orang menikah saat itu dan sudah memiliki anak, ada yang satu, ada yang sudah dua anak. Hampir semua orangtua berpesan bahwa banyak anak banyak rezeki, tetapi kehadiran Desak Ari benar-benar sangat memalukan saat itu karena saat hamil, ibu Desak Ari sudah berusia 53 tahun. Benar-benar memalukan jika Desak Ari terlahir saat itu. 
"Desak Biang, sing ngejang-ngejang buang!" Begitu katanya orang-orang di pasar mencibirinya. 
Ketika kandungannya masih berusia 3 bulan, Desak Ari nyaris digugurkan dari kandungan. Ibu Desak Ari minum alkohol, nanas, dan ramuan lainnya yang dipercaya dapat menggugurkan kandungan. Ibu Desak Ari, tidak berhasil menggugurkannya hingga usia kandungannya sudah 5 bulan. Akhirnya, ibu Desak Ari menyerah dan membiarkan Desak Ari terlahir. Walaupun terlahir dengan selamat, ibu Desak Ari tidak bahagia karena rasa malunya lebih besar dari kebahagiaannya memiliki anak ke-13. Desak Ari yang kehadirannya tidak diharapkan, justru mendapat kasih sayang yang melimpah dari kakak-kakaknya. Keberlimpahan ini bukan tanpa alasan. Desak Ari sejak kecil sangat ramah, lucu, dan rajin membantu orangtuanya. 
"Sak, istirahat dulu, jangan langsung kerja! Apalagi, Biang dengar ada tetangga bilang ibu menyiksa anak di bawah umur!" Kata Desak Turing, Ibu Desak Ari yang sangat cantik dengan nada membentak.
"Tidak, Biang. Saya harus menyelesaikan pekerjaan dulu, baru istirahat," jawab Desak Ari dengan lembut. 
"Sudah terlambat kalau kamu mau mati sekarang karena kelelahan! Mengapa kamu tidak mati saja saat aku gugurkan?" 
"Maaf, Biang. Saya tidak lelah." jawab Desak Ari yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain ketimang kepentingan dirinya sendiri. Kalau pekerjaan yang dibebankan kepadanya belum selesai, ia tidak akan pernah beristirahat. 
Dengan kemampuannya mengelola pekerjaan sejak belia, saat bekerja di Dinas Pendidikan, Desak Ari selalu berhasil membuat program-program yang menarik dan bisa dilakukan banyak orang. Kakak-kakaknya sangat bangga kepadanya. Desak Ari benar-benar sudah sangat dewasa dan matang dalam segala hal.
"Desak, kamu kapan nikah? Kamu sudah bekerja. Apakah pacarmu belum tertarik sama kamu untuk menikah?" tanya Desak Made Ramen, kakak peremuan Desak Ari. Sebagai kakak perempuan tertua, Desak Ramen selalu mendesak Desak Ari untuk menikah. 
"Kamu sudah mapan. Pekerjaanmu selalu beres. Tabunganmu banyak. Bli Dewa Raka sudah memindahkan aset warisan ayah menjadi atas namamu. Apalagi yang ditunggu? Ayo segera menikah! Tahun ini kamu memasuki usia 30 tahun. Ponakanmu saja, Desak Suini sudah menikah. Dia kan ponakanmu yang sebaya. Anaknya sebentar lagi masuk SD. Apa yang kamu takutkan?" Desak Ramen terus mendesak Desak Ari untuk menikah.
"Apa yang ditakutkan? Adikmu takut kehilangan warisan! Dia mau semuanya! Betapa serakahnya kamu, Desak Ari!" Kata ibunya menyela dengan ketus.
"Tidak, Biang. Tidak seperti itu. Tunggu dulu, Mbok. Saya masih ingin bersama Biang. Kasihan Biang, semakin tua. Kalau saya tinggal sendirian, siapa nanti yang urus, Biang?" Desak Ari menahan tangis. 
"Sak, kamu jangan menjadikan Biang sebagai alasan tidak menikah. I Kadek, pacarmu sudah berulang meminang kamu. Dia merayu Biang supaya kamu mau menikah. Nanti, Biang dikira tidak merestui kamu. Kalian tentu tahu bahwa Biang tidak pernah membedakan gender. Mau laki-laki atau perempuan, status kalian sebagai anak Biang sama saja, asalkan kalian sudah punya kerjaan dan siap memikul tanggung jawab, Biang izinkan kalian menikah. Kalian juga tidak perlu memertahankan kasta. Bagi Biang, kasta itu hanya suratan takdir bahwa kamu terlahir sebagai satria. Tidak seorangpun bisa menentukan akan terlahir di kasta Barahmana, Kesatria, Waisya, atau Sudra. Jadi, apa alasanmu menolak lamaran I Kadek Rena kalau bukan untuk menyakiti ibu?"
"Ibu, jangan berkata seperti itu. Saya tidak pernah ingin melukai ibu. Saya ingin lebih lama bersama ibu. Rumah ini sangat besar. Kakak sudah punya keluarga dan rumah sendiri, kalau saya menikah, siapa yang ngurus rumah ini?"
"Ah, alasan saja! Sejak dalam kandungan, kamu sudah mempermalukan Biang! Sekarang kamu tidak ingin menikah? Tahukah kamu bahwa orang-orang di pasar mengatakan yang tidak-tidak tentang kamu. Kamu tidak menikah karena Biang mengikatmu dengan upacara di Kemulan. Belakangan, mereka bilang, kamu itu ingin operasi kelamin jadi laki-laki hanya demi mendapat warisan yang lebih banyak!" Desak Biang Turing yang berambut pendek menunjukkan mata mendelik hingga anak-anaknya tidak berani lagi menyahut. 
"Sak! Jangan sekali-sekali kamu menjadikan rasa kasihanmu kepada Biang sebagai alasan untuk tidak menikah. Biang sudah sangat lama menanggung malu karena kelahiranmu! Ayahmu meninggalkan deposito yang sangat besar untuk Biang. Untuk perawatan, Biang bisa panggil suster. Banyak kok lulusan SMK Kesehatan yang nganggur, mereka juga bisa Biang suruh merawat Biang. Oh ya, anak Putu Nadi yang tinggal di depan rumah kita, pernah minta tolong dicarikan kerja. Dia lulusan SMK Kesehatan, pasti bisa rawat Biang karena saat dulu sekolah, dia sangat pintar dan praktiknya di rumah sakit umum."
"Bu, mengapa saya diusir seperti ini? Saya belum mau menikah. Saya ingin merawat Biang. Saya ingin menemani masa tua Biang."
" Apakah Biang orang yang cacat sehingga harus kamu urus? Sampai kapan, Sak? Sampai Biang mati? Bagaimana kalau Biang diberi umur panjang? Kamu akan menua, dan sendirian! Apakah Biang harus mati dulu, supaya kamu berhenti membuat Biang malu?" Bentak Desak Biang Turing.
"Biang, saya sering dibentak. Tidak seperti kakak-kakak lainnya, yang selalu Biang sayangi dan Biang manjakan. Saya tahu, saya anak yang tidak Biang harapkan. Karena itulah saya selalu melakukan yang terbaik agar Biang bisa lebih sayang kepada saya. Tolonglah, Biang. Berikan saya kasih sayang sama seperti anak lainnya!" Desak Ari menangis sambil bersimpuh di kaki ibunya. Ibunya tidak bersedia mendengarkan tangisan Desak Ari dan berdiri tegak dengan melipat kedua tangannya di depan. Lantas ibu Desak Ari menjauhi rengekan.
"Berhenti menangis! Kakak-kakakmu sangat jarang menangis dan tidak cerewet seperti kamu! Jelas saja kamu berbeda dengan kakak-kakakmu!" Ibu Desak Ari menegaskan. 
"Mengapa, Biang? Apakah salah saya terlahir ke dunia ini? Bahkan seekor singa, tidak akan menggigit anaknya! Mengapa sejak kecil saya diperlakukan sangat berbeda dengan kakak?"
"Menikahlah! Usiamu sudah semakin bertambah!" Tegas ibu Desak Ari tanpa menoleh sedikitpun ke arah Desak Ari.
"Sebelum saya diperlakukan sama seperti kakak, saya tidak mau menikah!" Desak Ari memberontak dan kembali memegang kaki ibunya.
Desak Meri dan Desak Yuni yang kebetulan datang di rumah mendekati ibunya. Sementara saudara yang lainnya yang sudah berada di tempat itu sejak perdebatan pernikahan Desak Ari, hanya diam dan patuh dengan posisinya sebagai anak yang penurut.
"Biang, jangan semarah itu dengan Desak Ari. Dia juga anak Biang. Kalau sudah saatnya, dia pasti akan menikah! Jangan dipaksakan seperti itu!" Desak Meri memohon kepada ibunya dan Desak Yuni menenangkan Desak Ari agar berhenti menangis.
"Kalian tidak mengerti. Karena Biang sangat menyayanginya, makanya Biang memintanya segera menikah. Sejak kecil Biang sangat keras dengannya karena Biang tidak tahu kapan akan meninggal. Biang sudah tua, dia harus berjuang untuk bertahan hidup. Kalau Biang tidak kejam kepadanya, mungkinkah dia sepintar sekarang dan mendapat jabatan di dinas pendidikan?"
Desak Turing terjatuh dari pendiriannya yang teguh. Seketika semua terkejut, mengerumuninya dan melihat tarikan nafas terakhir Desak Turing.
***
Desak Ari sudah menikah. Dia selalu pulang ke rumah ibunya membawa oleh-oleh jaje laklak, jus tomat, atau madu asli kle-kle sebotol. Semua itu dikemas dalam sesajian berupa penek-sesajen untuk leluhur yang sudah diabenyang dihaturkan di paibon-tempat sembahyang leluhur. Ia sangat ingat bahwa ibunya sangat suka minum madu dan makanan itu. Desak Ari datang setiap hari raya Galungan, Kuningan, dan Pagerwesi. Saat berkunjung ke rumah, tidak ada siapa-siapa. Kakak-kakaknya sangat sibuk dengan urusan mereka sendiri. Kakak-kakaknya sudah punya beberapa villa, bahkan ada yang memiliki hotel. Sawah-sawah warisan mereka sudah dikelola oleh penyakap. Beberapa kakaknya, sudah punya toko sembako. Satu kakak laki-lakinya sudah punya perusahaan nasional di bidang galian sumber daya mineral. Rumah ibu Desak Ari menjadi sangat sepi. Lumut-lumut sudah semakin banyak di tembok-tembok itu. Datang ke rumah itu, Desak Ari hanya sempat menyapu lantai dan membersihkan kaca dari debu. Ibunya kini telah meninggal. Warga yang berbelanja di pasar masih sangat sering membicarakan kematian Desak Turing telah dibunuh oleh anaknya sendiri, Desak Ari. Itulah yang membuat Desak Ari selalu menangis. Ia yang masih sangat ingat peristiwa kematian ibu negara Tien Soeharto, masih memendam kesedihan, bertambah sedih lagi karena kematian ibunya sendiri. Sebagian anak mungkin saja bisa melupakan kematian orangtuanya pada usia senja, tidak demikian dengan Desak Ari yang bahkan belum lupa dengan kematian seorang ibu negarawan. Sementara anak-anak bangsa yang lain mungkin sudah lupa bersedih akibat ditinggal oleh mendiang Ibu Tien Soeharto, atau bahkan sudah tidak mengenal Siti Hartinah.

Bungkulan-Tukadmungga, September 2025
Seorang anak harus tetap berbakti

Kamis, 28 Agustus 2025

Kegiatan Guru Wali, 29 Agustus 2026

Hari, tgl: Jumat, 29 Agustus 2026
Tempat: Ruang 9
Kegiatan: Pertemuan awal dengan siswa asuha
Topik : 
Menekankan kepatuhan terhadap aturan sekolah
Meminta siswa menghadalkan senam Anak Indonesia Sehat


Selasa, 26 Agustus 2025

Keni dan Kanis

Profil Ketut Keni dan Luh Kanis selalu berurutan di setiap penerbitan buku. Kalau buku ditutup, foto mereka selalu bertemu. Ini semata-mata karena huruf awal nama mereka berurutan dari KK ke LK. Penerbit buku selalu mengatur profil penulis secara berurutan. 
Selain itu, di negeri ini memang belum ada atau mungkin tidak akan ada penulis berinisial KL atau berinisial LL, sehingga ketika ada penerbit yang menawarkan kesempatan menulis untuk penerbitan buku yang sama, tidak akan ada yang memisahkan keduanya. 
Sebenarnya, awalnya keduanya merupakan penulis dan penggemar. Keni seorang penulis puisi dan cerpen yang pandai membacakan karyanya sehingga penonton bersorak sorai dan bertepuk tangan kagum setelah ia membacakan puisi. Kanis menjadi penggemar Keni yang selalu membeli tiket pertunjukan Keni sejak Keni SD. Walaupun dari tempat berbeda, mereka dipertemukan di radio yang memfasilitasi anak- anak SD untuk membacakan puisinya. 
Saat itu Kanis terpesona dengan keterampilan Keni, karena itu Kanis segera minta tanda tangan Keni. Kanis takut pertemuan itu adalah pertemuan terakhir mereka. 
***
Ketika masa pengenalan kampus tiba, Luh Kanis bertemu kembali dengan Ketut Keni. Keduanya samar-samar dalam ingatan hingga pada hitungan kesebelas, mereka saling mengenali dan berpelukan.
"Wah, kita sudah kuliah. Kamu jauh lebih cantik dari foto-foto yang kamu kirim." Kata Ketut Keni setelah melepas pelukan, sadar bahwa pelukan semacam mereka akan membuat orang memandang mereka. Kampus sangat ramai. Banyak orang yang bertemu setelah beberapa tahun terpisah. Ada yang bertemu tetapi merasa asing karena pertemanan mereka di sosial media hanya basa-basi. 
"Maaf, awalnya aku ragu, ternyata benar, sahabat penaku, Luh Kanis. Kamu ambil jurusan apa?" Tanya Keni kepada Kanis.
"Aku ambil seni rupa. Kamu ambil apa?" Tanya Kanis sembari masih memegang erat tangan Keni. 
"Aku ambil Public Relation."
"Jadi, kamu masih ingin menjadi duta Indonesia?" 
"Tentu," kata Keni sembari menarik tangan Kanis dan menuju ke sebuah meja beton di taman kampus.
Mereka bercerita panjang lebar seolah mengkonfirmasi surat-surat mereka. Walaupun sosial media sangat masif digunakan para remaja, keduanya memutuskan terus berbalas surat. 
Keduanya benar-benar gila, mereka tinggal di kota yang sama, tetapi mereka masih surat menyurat. 
"Mengapa kamu tidak main saja ke rumahnya? Bapak tahu rumah Keni."
"Tidak, Pak. Saya juga tahu rumahnya karena kebetulan teman sekelas saya jadi tetangganya."
"Apalagi seperti itu. Kamu main sana kan bisa belajar banyak. Bapak tahu dia sangat pintar, terutama dalam berbahasa Inggris." tambah Bapaknya.
"Saya juga tahu, Pak. Bapak tidak sadar kalau anakmu ini juga jago bahasa Inggris?" tambah Kanis membanggakan diri.
"Bapak, tidak tahu. Bapak tidak pernah lihat kamu ngomong dengan bahasa Inggris."
"I think you realize that your child is able to speak English." Kanis yang waktu itu dibonceng ayahnya menggunakan bahasa Inggris menjawab pernyataan ayahnya. Dengan ayahnya, Kanis bisa saja menggunakan bahasa Inggris dengan grammar yang salah, tetapi dengan Keni, apakah dia harus menggunakan bahasa Inggris juga, seperti halnnya beberapa surat yang mereka kirim dan balas? Kanis sangat ingin mencoba berkomunikasi dengan bahasa Inggris, tetapi ia menjadi sangat canggung manakala Keni benar-benar mencari program Public Relation. 
"What's wrong? Why are you silent?" tanya Keni. 
Kanis menyadari bahwa suatu hari saat surat menyurat dengan Keni, ia pernah berjanji bahwa suatu hari nanti jika mereka bertemu, mereka harus menggunakan bahasa Inggris. 
"Nothing. I only remember your novel entitled 'Captive Man'. Have you got a someone like that?" Tanya Kanis kepada Keni.
"I haven't found a man like that yet. What about you?" Keni rupanya bukan hanya sahabat pena, tetapi benar-benar ingin tahu banyak tentang Kanis. 
"I haven't either. I'm not allowed to date yet.' jawab Kanis. 
Keduanya sering bertemu saat tidak ada matakuliah. Keni sering mengunjungi Kanis yang sedang melukis di studio kampus. Mereka sangat sering berdiskusi sembari menuangkan ide. Keni menulis banyak cerpen dan puisi dalam bahasa Indonesia dna bahasa Inggris. Sembari melukis, Kanis mendengarkan Keni membacakan karyanya. Mereka sangat akrab sehingga seringkali muncul gosip-gosip tentang hubungan sejenis diantara mereka. Keni dan Kanis tidak pernah peduli dengan perkataan orang. Keduanya terus melahirkan karya dan aktif di organisasi. Keni menjadi Ketua Senat Mahasiswa dan Kanis menjadi sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa. Keduanya hanya terpisah saat rapat dan kuliah karena organisasi itu sedikit berbeda sesuai jenjangnya. Ketika rapat selesai, mereka akan berdiakusi lagi soal masalah-masalah teraktual. Keni dan Kanis sering membaca tugas mereka dan bertukar materi pelajaran. Ketika topik perkuliahan Bahasa Indinesia, mereka mendapat tugas 

Jumat, 22 Agustus 2025

Luh Putu Dea Widiantari

TINTA KEHIDUPAN

Luh Putu Dea Widiantari

Sunyi gersang redup Itulah diriku Sebelas tahun sudah aku menimbang Ilmu dengan rasa pilu Diriku hanya insan biasa Yang masih kaku dalam mencarimu Aku harus bangkit, bangkit, dan bangkit Demi sebuah kemenangan sejati

Tiga belas tahun sudah aku bersamamu Entah mengapa aku begitu akrab dengan tinta Hingga tanganku berkata "kita seperti saudara" Di sini bukan masalah gelar ataupun pangkat Namun, masalah jati diri Bukan untuk menjadi pahlawan Bukan! Cukup menjadi sebuah Acuan dalam kehidupan Di negeri ini aku menuntun ilmu Mencari hal baru dalam sebuah titik temu


Senin, 18 Agustus 2025

Analisis Puisi-Puisi Terakhir Cok Sawitri - Bali Politika

Analisis Puisi-puisi Terakhir Cok Sawitri


Bu, aku berusaha paham
perasaan perasaanku kini
tak sempat meminta
buat dipahami
ingatan itu dikerjap mata
hampanya menyemai di hati
Bu, dalam dadaku kini
Denyut itu tatap matamu
hingga berdiam dalam tarikan nafas
senyum entah buat apa
Kenanglah, saat aku menari di depanmu
Lalu tanganmu bergoyang
Bu, berapa puisi akan tenangkan aku (?)

13 Maret 2024


Pagi

semua pagi menjaga ingatanku
jadikan aku anak yang manja
hingga setua ini
terjaga aku di sebelahmu
selalu
pun bila kini
terjaga aku
menyapamu di hati :
kopi manis gulanya pasir
bubur sumsum gulanya senyum
Bu, bolehkah kelak bercakap cakap
menembang sesuka sukanya aku
bermalasan tak peduli pagi
Bu, semua pagi menjaga ingatanku
tentang genggam jemarimu!

14 Maret 2024



Bu, lambaian tangan kami
Bukan hendak berpisah
Tapi memanggil pulang
"Entungang ke pasih. Apang ibu enggal mulih"
Bu, tak ada yang tahu seperti apa
Tapi keyakinanmu itu
Bikin aku tersenyum
Juga susah jelaskan
bila tiba pertanyaan pertanyaan itu
"Yang mati itu aku, bukan kamu!"
Bu...kembalilah pulang!

15 Maret 2024


Kemana perginya tegur sapa itu kini (?)
doa doa pun kemana perginya
Bu, aku hanya menatapmu
beri aku waktu
sedikit hari lagi
agar aku bisa menangis
dan tahu
kemana doa doa itu pergi

(Menuju kadasa: miss you)

18 Maret 2024


Rembulan

di langit bersih 
Mengusap hela nafasku 
membawaku dalam genang airmata Menyisihkan
Cerita cerita itu
Bu, aku teramat cinta
Padamu.

(Kadasa, di jaba tengah, memandangi malam)

23 Maret 2024


Sumber: 
Puisi-Puisi Terakhir Cok Sawitri - Bali Politika 
https://share.google/B2gY3iuvR3X4GoZ9z

1. Mengapa postingan-postingan tanpa judul itu dikatakan puisi?
2. Mengapa waktu dan tempat penulisan puisi itu tidak dimasukkan pada puisi sebagai latar puisi oleh penyair?
3. Bagaimana pandangan penyair tentang seorang ibu?
4. Apa maksud penyair tentang baris puisi ini:
Bu, aku berusaha paham
perasaan perasaanku kini
5. Mengapa penyair memilih frasa "genang airmata"?
6. Bagaimana pemahaman penyair tentang kematian kalau dilihat dari : 
"Yang mati itu aku, bukan kamu!"
Bu...kembalilah pulang!



Sabtu, 16 Agustus 2025

renungan suci


Singaraja, 16 Agustus 2025, Perwakilan siswa SMK Negeri 3 Singaraja mengikuti Upacara Apel Kehormatan dan Renungan Suci dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Ke 80 Kemerdekaan Republik Indonesia di Kabupaten Buleleng Tahun 2025. Kegiatan ini dilaksanakan pukul 23.30 Wita di Taman Makam Pahlawan Qurasthana Singaraja. Kegiatan ini bertujuan mengenang, menghormati, dan menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur dalam perjuangan kemerdekaan. Bagi siswa, kegiatan ini mampu menumbuhkan rasa bangga serta menjadi refleksi untuk mengisi kemerdekaan dengan karya nyata. Dengan renungan ini, siswa menunjukkan rasa syukur dan amanah dan bertekad memajukan bangsa Indonesia.

bantul

BANTUL SUDAH RATA DENGAN TANAH “Bantul kabarnya sudah rata dengan tanah!” desah orang-orang di sebelah. Wajah mereka hampir menunjukkan eks...