SULUR SIRIH
Meliuk bahagia dengan rasa cinta
Senin, 01 Desember 2025
Lomba Membaca Cerpen Nyonya Suartini
Minggu, 30 November 2025
Ijazah Palsu
Ijazah Palsu
Karya Luh Arik Sariadi
Semua orang menari dengan membawa canang yang berisi 3 batang dupa. Asap dupa memberi wewangian pada udara. Tarian dan asap dupa menandai sakralnya persembahyangan mendak Bhatara. Setelah semua orang mendak Bhatara, semua duduk dengan tenang. Mangku Desa khusus diundang melafalkan mantra-mantra sembari menggerakkan gentanya. Calon Mangku Dadia duduk di belakang Mangku Desa. Ketiganya telah dilukat dengan tirta. Dadia kami belum punya pemangku sejak 50 tahun lamanya pelinggih-pelinggih didirikan. Mangku Desa menyodorkan mangkuk berbahan kuningan. Mangkuk itu berisi beras, hampir memenuhi mangkuk. Di dalam mangkuk sudah diisi 4 buah kwangen. Dari empat kwangen itu, hanya sebuah kwangen yang berisi uang keping bolong. Siapapun yang akan mendapatkannya, ialah yang akan menjadi Mangku Dadia. Kalau ketiga calon tidak mendapatkannya, maka Dadia kami tetap tidak memiliki pemangku dan harus mendatangkan pemangku desa setiap melaksanakan upacara persembahyangan di sanggah.
Gong dibunyikan lagi oleh skha tabuh yang dibayar. Ternyata ayahku yang mendapatkan kwangen yang berisi uang keping bolong, maka jadilah ia pemangku di Dadia.
“Tidak! Saya tidak bersedia menerima dia sebagai pemangku!” kata Made Dodik, sepupuku.
Made Dodik bekerja sebagai advokat. Semua orang tertuju kepadanya. Mereka menenangkan diri, tentu menunggu alasan yang akan disampaikan Dodik.
Seorang advokat adalah figur yang berdiri menantang segala argumen untuk memperjuangkan keadilan. Setiap hari, Dodik bekerja memecahkan satu persatu bahkan secara bersamaan persoalan-persoalan hukum yang rumit. Ia mendengarkan keluhan-keluhan klien, lalu menganalisisnya dengan sangat teliti dan berhati-hati. Di ruang kerjanya, aku pernah melihatnya memeriksa dokumen, menelaah pasal demi pasal, dan menyusun strategi hukum yang paling tepat untuk melakukan pembelaan. Itu dilakukannya saat hari raya Galungan. Aku pernah melihatnya mempelajari berkas perkara, menghitung risiko, dan menyiapkan pembelaan yang kuat dari pagi sampai malam saat aku bertandang ke rumahnya untuk menyampaikan selamat hari raya Nyepi. Semua orang keluar rumah untuk menyaksikan pawai ogoh-ogoh yang diarak keliling desa, tetapi Dodik masih membolak-balik dan mencorat-coret berkas-berkas di atas mejanya dengan stabilo.
Sebagai sepupunya yang sering wara-wiri di depan rumahnya, merasa pusing melihatnya bekerja, bahkan di hari Minggu. Minggu pagi ada beberapa klien datang untuk konsultasi. Seorang klien datang dengan masalah yang menekan: sengketa tanah, persoalan rumah tangga, kasus pidana, atau urusan bisnis. Ketika itu, aku hendak berangkat ke taman kota untuk jalan pagi di lapangan bersama dua anakku. Rumah kami satu halaman dengan rumah Dodik, hanya dibatasi tembok setinggi pinggang. Aku bisa melihat siapa saja yang datang ke rumahnya dan satu persatu masuk ke ruang khusus. Ia tidak hanya memberikan jawaban hukum, tetapi juga ketenangan melalui penjelasan yang sesuai tentang hak dan langkah terbaik yang bisa ditempuh kliennya. Dari sana, perjalanan menuju penyelesaian dimulai.
Aku melihat Dodik memiliki kemampuan yang luar biasa dalam perjalanan menyelesaikan masalah hukum kliennya. Saat harus turun ke lapangan, Dodik mendampingi klien dalam pemeriksaan polisi. Ia pun menemani kliennya dalam negosiasi atau mediasi dengan pihak lawan. Di sini, ia menjadi jembatan yang memastikan klien diperlakukan secara adil, tidak salah langkah, dan tidak terjebak pasal-pasal yang merugikan. Ketika perkara masuk pengadilan, Dodik berdiri tegak di ruang sidang, menyampaikan argumentasi, mengajukan bukti, memeriksa saksi, dan merumuskan pembelaan untuk meyakinkan majelis hakim.
Di tengah padatnya tugas, ia tetap memegang teguh kode etik: menjaga kerahasiaan klien, berlaku jujur, dan membela berdasarkan fakta serta hukum. Dalam setiap perkara, Dodik bukan hanya mengupayakan kemenangan, tetapi juga memastikan keadilan berjalan sesuai jalurnya.
Dengan demikian, profesinya sebagai advokat bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan untuk memperjuangkan hak, melindungi masyarakat, dan menjadikan hukum sebagai tempat mencari kepastian dan kebenaran. Semua orang di keluarga kami, tahu kinerja Dodik yang tidak pernah mau disuap.
Lantas apa yang salah pada pemilihan pemangku dadia hingga ia tidak setuju ketika ayahku menjadi pemangku dadia?
“Apakah untuk menjadi pemangku dadia ada payung hukumnya?” pikirku.
Sebagai seorang pedagang yang kutahu hanya membeli barang dan menjualnya dengan ketentuan sendiri. Aku tidak paham tata cara pemilihan semacam ini. Suasana mencekam. Tidak ada seorangpun berbicara ketika Dodik berkata tidak. Semua orang saling menatap.
“Lanjutkan upacara ini!” perintah Dadong Ranti.
Ia adalah orang yang paling tua di dadia ini. Usianya sudah 90an. Selama ini, ialah yang selalu membantu pelaksanaan persembahyangan. Namun, kakinya kini sudah tidak bisa berjalan lagi karena usia, walaupun ingatannya masih sangat bagus. Bahkan tanpa dia, Jro Mangku Desa yang hadir tidak boleh melafalkan mantra karena sarana persembahyangan selalu diperiksa oleh Dadong Ranti. Ia sangat tahu cara membuat sesajen dan meletakkannya di tempat persembahyagan. Ia sebenarnya hafal mantra, tetapi karena ia seorang perempuan, ia tidak boleh memimpin persembahyangan dan tidak boleh ditunjuk sebagai Mangku Dadia. Ia hanya boleh membantu mengingatkan posisi, kelengkapan, dan makna-makna sesajen.
“Jangan menyalahi tradisi, Dodik! Pamanmu mendapatkan kwangen itu, artinya dialah yang harus kita hormati sebagai Pemangku Dadia!”
“Apa gunanya saya belajar tinggi kalau tidak berguna untuk keluarga?”
“Apa maksudmu?”
“Paman tidak pantas menjadi Pemangku Dadia!”
“Lalu siapa yang pantas?” teriak Dadong Ranti yang kesal.
Aku pun punya pertanyaan yang sama dengan Dadong Ranti. Siapa yang pantas? Ayahku seorang pensiunan guru agama. Ia hafal mantra dan tata cara persembahyangan. Ia berguru kepada seorang nabe yang sangat tersohor. Ayahku juga mampu berdharma wacana. Konten-kontennya di youtube sangat digemari oleh penonton. Subcribernya banyak. Bahkan sebelum dicalonkan menjadi pemangku dadia, ayahku sering diundang ke pura-pura untuk berkhotbah.
Dua calon lainnya tidak memiliki kualifikasi pendidikan tinggi. Pak Dirga hanya seorang ojek yang terpaksa pensiun karena tidak bisa mengikuti zaman, menjadi ojek online. Pekerjaannya kini hanya menjaga cucunya yang ditinggal kerja anak dan mantunya. Sementara itu, Pak Tirta hanya seorang buruh pengangkut gabah dan batu bata. Desa kami sudah tidak memiliki sawah. Karena itulah Pak Tirta lebih sering terlihat santai karena hanya mengandalkan pekerjaan sebagai buruh pengangkut bata. Setiap minggu ia paling hanya bekerja 2 hari. Jadi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia belajar makidung.
Kalau ada orang yang mengadakan persembahyangan, ia diupah untuk makidung dan dibayar dengan sukarela. Secara nyata, ayahku tampak sangat layak menjadi Pemangku Dadia
Apa yang membuatnya tidak layak? Data apa yang dimiliki Dodik untuk menjatuhkan ayahku?
“Dadong, keadilan harus ditegakkan! Seorang Pemangku harus memberi cermin kejujuran. Ia harus menjadi teladan bagi kita semua.”
“Jangan berbelit-belit! Apakah menurutmu, ketiga calon itu tidak memiliki keteladanan?”
“Punya, tetapi masih ada yang kurang!”
“Setiap orang punya kekurangan dan Dadia kita tidak punya Pemangku! Siapa yang tidak punya kekurangan di sini?” teriak Dadong Ranti sambil menangis.
“Maaf, Dadong. Tangisanmu tidak akan menyelesaikan masalah! Berhenti menangis dan membuat kami semua panik”
Aku melihat kegagahan Dodik dan keteladanannya sebagai satu-satunya orang yang memiliki kedudukan formal tinggi di masyarakat. Aku menunggu data yang akan diberikan tentang ayahku.
“Secara kasat mata, setiap orang punya kelemahan, tetapi kelemahan itu kalau bisa ditutup dengan hal-hal baik, tentu kelemahan itu tidak akan terlihat,” tambah Dodik.
Dadong Ranti tampaknya telah lama mengidamkan seorang pemangku dadia di sanggah kami. Ia terus menangis dan wajah kesalnya tampak jelas.
“Kamu mengacaukan segalanya!”
“Maaf, Dadong. Saya terpaksa melakukan ini demi keturunan kita nanti. Dari awal harus benar. Kalau dari awal keliru, maka selamanya kita akan keliru.”
“Keliru apanya? Tolong diperjelas!” pinta Erni, adikku terpaksa menyela.
“Sudah, kamu diam! Kamu seorang perempuan yang sudah menikah, tidak berhak berbicara di tempat ini!
Aku menarik adikku agar tidak ribut. Namun, ia justru semakin memberontak. Suaminya menariknya mundur dan keluar dari sanggah.
Aku sebagai anak ayah tidak berani berbicara karena Dodik adalah sosok sepupu yang sangat aku kagumi. Hanya saja aku belum berbicara bukan karena dilema, satu sisi ayahku, sisi lain seorang advokat. Aku ingin tahu, alat bukti apa yang membuat ayahku cacat di mata Dodik.
“Dadong, saya tahu kita semua sedang merindukan seorang pemangku yang akan membuat dadia kita diakui di desa ini, tetapi jangan lupa. Sebuah kepemimpinan harus didasari oleh fondasi yang kuat. Paman memiliki ijazah palsu. Gelar Drs. yang dimiliki itu adalah milik saudara Dadong.”
“Memangnya kenapa? Kami sudah sepakat memberikan ijazah itu kepada pamanmu.”
“Dadong, kalau hal ini terbongkar, dadia kita akan tercemar!”
“Terlalu berlebihan! Siapa yang akan tahu kalau tidak kita beri tahu!”
“Siapa saja yang ingin dadia kita hangus dari muka bumi ini! Kecanggihan teknologi akan menghancurkan dadia kita kalau kita paksakan paman menjadi pemangku dadia.”
Aku tahu soal ijazah ayah yang palsu. Aku pernah mendengarnya, tetapi aku tidak menyangka itu akan menjadi boomerang bagi ayahku. Kali ini, aku tidak bisa membela ayahku. Semua orang sependapat dengan argumen Dodik. Dadong Ranti yang awalnya begitu keras, pun melunak dengan pemikiran Dodik. Semua orang juga tampak kecewa karena dadia kami belum bisa didaftarkan sebagai dadia penerima sumbangan perbaikan dadia. Itu karena dadia kami tidak punya seorang pemangku dadia. Kalau ayah dipaksakan menjadi pemangku dadia, dia harus melampirkan ijazah palsunya lagi.
Kamis, 27 November 2025
Nyanyian Hutan Cendana
Jumat, 21 November 2025
Tanda Tangan Sakti
Kamis, 20 November 2025
Jual Tanah
Kamis, 13 November 2025
Biodata Luh Arik Sariadi
Rabu, 05 November 2025
SEKOLAH SENJA
SEKOLAH SENJA
Oleh Trudonahu Abdurrahman Raffles
05 Nov 2025 16:02 WIB - Cerpen Kompas Digital
Agak lama ia tertegun menatap pohon itu. Seolah ada banyak hal melintas di benaknya.
Kalaupun ada yang lebih senyap dari kesunyian, berkesan hening sekaligus berbalut keriuhan, mungkin itu rindu. Tanpa mesti menilik, tanpa harus dikatakan, kerinduan sejatinya selalu tak mudah disembunyikan.
Dari balik jendela seorang perempuan uzur melangkah menuju bangunan yang konon didirikan seusai meletusnya Gestapu. Rangkaian bangunan tua namun kokoh, jelas lebih teruji dibanding proyek pemerintah di masa sekarang. Batang-batang kayu penahan gentingnya masih membentang tanpa sedikit pun dikeremus rayap. Demikian juga daun pintu serta jendela. Tentu dulu materialnya dari jenis terpilih. Bukan berbahan pokok jati muda yang terlalu awal ditebang sebab ingin segera diuangkan.
Ada kabar dari sesepuh kampung bahwa proses pengerjaannya terhitung panjang. Si pemborong yang berasal dari kota B bahkan sempat menikahi gadis tercantik di sana lalu memiliki sepasang anak. Setelah proyek selesai, keberadaan si pemborong tak lagi diketahui. Mungkin berpindah proyek dan menikahi gadis lain. Mungkin sudah mati. Dua anaknya kerap berkisah dengan congkak jika bangunan yang dijadikan tempat bermain itu adalah hasil karya bapaknya.
Bila kebetulan ada tamu atau kerabat yang mengunjungi penduduk sekitar, biasanya mereka berpendapat bahwa bangunan itu awalnya diperuntukkan sebagai rumah sakit. Namun entah kenapa jadi sekolah menengah terluas di wilayah itu. Anggapan yang tak keliru sebetulnya. Desain, ruang kelas, lorong-lorong, seolah menggambarkan pendapat mereka. Terutama untuk yang pertama kali berkunjung dan datang di malam hari. Suara alas kaki akan terdengar nyaring menggema saat melintasi lorongnya. Persis suasana ketika menyusuri selasar rumah sakit.
Dengan tertatih perempuan tersebut menyusuri kelas demi kelas lalu terhenti di depan lapangan upacara, pada bagian tanah berumput. Ia kemudian duduk di atas bangku beton yang sengaja dibuat untuk menjadi tempat berkumpul para siswa saat jam istirahat.
Hari berderap membawa serta kesunyian. Kompleks yang terdiri dari sepuluh rumah di sekeliling bangunan sekolah itu ikut pula terbawa suasana bungkam. Hanya suara binatang malam yang mulai sesekali terdengar. Dahulu, saat masih sedikit tenaga pengajar, pihak sekolah menawari guru-guru untuk memiliki tanah di sekeliling sekolah dan dibantu proses pembelian tanahnya. Hal demikian dilakukan berdasarkan beberapa alasan. Pertama, tak ada pengajar yang berasal dari penduduk setempat sehingga didatangkan dari luar daerah, dan mereka memboyong keluarganya. Kedua, supaya tempat tersebut tak berkesan menyeramkan sekaligus terjaga keamanannya.
”Kau belum pulang, Nak?” tanya si perempuan kepada seorang siswi yang berjalan melintas.
”Iya, Bu. Kebetulan saya selalu pulang paling akhir dibanding yang lain,” jawab anak itu seraya mendekat dan mencium tangan perempuan tua itu sebagai tanda hormat.
”Begitu? Duduklah sejenak di sini. Temani ibu.”
”Baiklah. Dengan senang hati. Sepertinya ibu sedang perlu kawan bicara, tak berbeda seperti saya,” timpal anak itu.
Keduanya saling tersenyum hangat layaknya ibu dan anaknya, atau nenek dan cucunya, atau juga dua sahabat.
”Aku pertama mengenal tempat ini sekira lima puluh tahun lalu, saat tak banyak orang berani melewati tempat ini selepas rebah mentari. Sebelum beberapa gedung baru dibangun dengan meratakan bangunan lama, meski yang lama masih sangat layak dipakai.” Perempuan tua mulai menyambung perbincangan.
Anak itu mengangguk-angguk.
”Dahulu tak banyak memang yang bisa diharapkan mengenai kesejahteraan. Selain gaji seadanya, kami hanya mendapat jatah beras bulanan dengan kondisi kadang berkutu. Namun, suasana kerja terasa penuh kedamaian. Bila sedang butuh tambahan uang, para pengajar membuat rangkuman dalam bentuk diktat. Itu pun disindir oleh murid dan orangtua murid dengan sebutan diktator: jual diktat, beli motor, he-he-he...” dengan tergelak si ibu berkisah.
”Sekarang lain. Meski para pengajar terlihat sejahtera, terbukti dari lapangan parkir luas yang penuh oleh mobil-mobil guru, tetapi ada yang terasa hambar. Tak kental lagi etos mendidik dari mereka. Memang masih terlihat, tapi tak macam dahulu.”
”Hampir semua diukur dengan uang ya, Bu?” ujar si anak perempuan seraya terkekeh.
”Nah, ternyata kamu juga paham.”
Keduanya tertawa bersamaan.
Kemudian beberapa waktu kemudian anak itu berkata, ”Bu, boleh saya bicara?”
”Tentu saja, Nak. Kau memang kuajak duduk bersama supaya kita dapat saling menemani. Dan bukankah teman biasanya saling bicara?”
”Sebenarnya saya sudah sejak lama memperhatikan Ibu tanpa Ibu sadari. Orang-orang yang datang ke sini, entah sebagai murid, guru, karyawan, satpam, dan sebagainya, bertujuan untuk mengambil keuntungan. Ya, mengambil keuntungan, sedangkan Ibu, serta penduduk sini, tak banyak diuntungkan selain menerima dampak buruknya. Kebisingan, pengacuhan, entah apa lagi. Jadi saya sangat memahami keresahan yang Ibu sampaikan.”
Ibu tua menarik napas perlahan, lalu mengeluarkannya dengan mimik penuh kelegaan. Mungkin sebab masih ada yang dapat diajak berbincang pada sore itu. Mungkin pula ia bersyukur menemukan seseorang yang paham isi hatinya.
”Kamu senang sekolah di sini?” tanya sang ibu tua.
”Tentu, Bu. Semua anak pada dasarnya senang sekolah. Terutama karena bisa bertemu kawan sebaya.”
”Hanya.…” Anak itu tiba-tiba menghentikan kalimatnya.
”Sudahlah. Tak apa jika kau enggan bercerita. Terkadang tidak semua hal harus diceritakan,” ujar si ibu tua seolah memaklumi.
”Maaf, Bu. Saya sekadar mengumpulkan dulu keberanian untuk menjawab jujur pertanyaan Ibu,” ungkap anak itu.
”Sebetulnya saya lelah, Bu. Berada di sekolah selama hampir sembilan jam, ditambah perjalanan pergi-pulang, serbuan tugas pelajaran yang bagai ombak memburu pantai, itu sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Belum lagi ekstrakurikuler di luar jam sekolah. Energi saya lumayan terkuras.”
”O begitu. Pantas kau masih di sini, sementara kawan-kawanmu sudah pulang.”
”Saya juga heran dengan kebijakan sekolah. Para murid diwajibkan membayar sumbangan walau sudah dilarang oleh pemerintah. Ada saja cara sekolah menggiring pembayaran tersebut. Dengan dalih rapat wali murid, lewat pesan telepon, dan sebagainya. Padahal, proposal bangunan yang dirapatkan adalah proposal yang sama dengan sekian tahun lalu,” ungkap anak perempuan itu.
Saya juga heran dengan kebijakan sekolah. Para murid diwajibkan membayar sumbangan walau sudah dilarang oleh pemerintah.
”Satu waktu mama saya pernah berkata, sekolah terbaik di masa sekarang adalah di rumah. Diajari oleh ibu dan bapaknya. Sekolah umum sebetulnya hanya berfungsi sebagai tambahan. Namun, di zaman ini, orangtua mana yang sanggup mengajar sendiri anak-anaknya di rumah? Kalaupun ada, mungkin hanya sekadarnya.” Siswi perempuan itu seolah ingin terus meluapkan isi hati.
”Mamamu boleh jadi benar. Sering kali di zaman sekarang, hal-hal yang paradoksal justru lebih pantas dijadikan acuan. Omong-omong, aku suka caramu menyatakan pendapat. Cantik, seperti parasmu, meski sedikit pucat. Mungkin karena kau terlalu lelah.”
”Ah, Ibu bisa saja,” ujar anak itu sambil tersipu.
Pandangan mata sang perempuan tua kemudian tertuju pada sebatang pohon semboja yang bunganya sedang bermekaran. Agak lama ia tertegun menatap pohon itu. Seolah ada banyak hal melintas di benaknya.
”Kadang terasa baru kemarin saja aku sering berjalan melewati pohon semboja itu jika hendak masuk ruang kelas, tapi tak pernah kuperhatikan keindahan bunganya. Mungkin waktu itu pohonnya belum sebesar sekarang. Mungkin pula karena tak punya banyak kesempatan menatapnya lama-lama.”
”Begitulah kita ini, Bu. Selalu abai pada hal-hal kecil, lalu seolah terkejut setelah segalanya jadi besar. Eh, saya kok terkesan sok tahu ya?”
Kini ganti perempuan tua itu yang tersenyum.
”Kamu sungguh menarik, Nak. Sekali lagi, aku suka padamu.”
”Saya pun menyenangi Ibu. Dan sudah sejak lama. Terima kasih sudah mengajak berbincang. Saya mohon pamit. Masih ada hal lain untuk dikerjakan,” ujar anak itu seraya meraih tangan si perempuan tua dan menciumnya.
”Baiklah. Lagi pula hari sudah makin gelap. Makin malam nanti kau tiba di rumah. Salam untuk mamamu, ya.”
Saat azan Maghrib berkumandang, perempuan itu kembali ke rumahnya yang hanya sekian puluh meter dari bangunan sekolah.
”Ibu dari mana? Kami khawatir Ibu belum pulang, sementara hari menjelang malam. Si Aa tadi sudah mencari Ibu ke rumah tetangga. Siapa tahu Ibu sedang mengobrol dengan mereka. Tapi mereka bilang tak melihat Ibu semenjak siang,” tanya menantu perempuannya.
”Aku berjalan-jalan sejenak ke sekolah. Sekadar mengilas balik saja. Rasanya baru kemarin aku rutin memasuki kelas-kelas di sana untuk mengajar. Setelah pensiun dan bertahun-tahun tak memperhatikan tempat itu, ternyata banyak juga perubahannya.”
”O ya, tadi aku bertemu anak perempuan yang masih berkegiatan di sana. Entah apa yang dikerjakan. Tapi dia hanya sendiri. Kami sempat mengobrol sejenak,” tambah perempuan uzur itu.
Menantunya sedikit tertegun dengan pernyataan tersebut. Setahu dia semua aktivitas di sekolah sudah dihentikan semenjak pukul lima sore. Apalagi sejak ada peristiwa tragis terkait tewasnya seorang siswi saat study tour ke tempat wisata di luar provinsi. Peristiwa yang sebetulnya sangat disembunyikan oleh pihak sekolah agar tidak diketahui publik. Anak itu kebetulan menjabat sebagai ketua OSIS.
Jumat, 2 Mei 2025. 05.00 WIB
Trudonahu Abdurrahman Raffles, penulis berdarah Minang, tapi lahir di Tanjung Karang, Lampung, April 1974. Sejak kecil bersekolah dan hingga kini berdomisili di Cianjur, Jawa Barat. Beberapa karyanya dimuat oleh media lokal dan nasional. Juara kedua Sayembara Cerpen Nasional yang diadakan oleh Program Pascasarjana UNM Makassar tahun 2013. Buku kumpulan cerpennya, Perjalanan Itu Pendek, Kenangan yang Panjang, diterbitkan pada tahun 2020.
Minggu, 05 Oktober 2025
Darju Prasetya
Lembaran-lembaran Koran yang Mengeluh
Tapi ternyata, nasibku tak lebih baik. Orang-orang hanya peduli pada gorengan yang kubungkus, tak ada yang melirik tulisan di tubuhku.
Aku tergeletak di sudut ruang satpam sekolah, terlipat rapi namun diabaikan. Hari demi hari berlalu, tak ada yang menyentuhku. Guru-guru berlalu lalang, siswa-siswi berseragam rapi melintas, tapi tak seorang pun melirikku. Aku hanyalah setumpuk kertas berisi berita yang tak lagi hangat, menunggu untuk dibaca namun terabaikan.
SAAT kutanyai diriku sendiri, mengapa tak ada yang peduli? Apakah aku sudah ketinggalan zaman? Atau mungkin isiku terlalu membosankan? Tapi bukankah aku masih menyimpan banyak informasi penting? Berita-berita terkini, opini-opini cerdas, bahkan teka-teki silang yang mengasah otak. Namun tetap saja, aku hanya bisa mengeluh dalam diam, berharap ada tangan yang akan membuka lipatanku.
Hari-hariku diisi dengan mengamati rutinitas sekolah. Pagi-pagi buta, satpam datang membuka gerbang. Ia melirikku sekilas, tapi tak pernah menyentuhku. Lalu satu per satu guru berdatangan, sibuk dengan tas dan berkas masing-masing. Beberapa menit kemudian, murid-murid mulai berdatangan. Mereka berlarian, tertawa-tawa, sibuk dengan ponsel di tangan. Tak ada yang tertarik padaku.
Suatu pagi, seorang guru muda memasuki ruang satpam. Ia terlihat gelisah, mondar-mandir sambil sesekali melirik jam tangannya. Akhirnya, ia duduk di kursi plastik tepat di sebelahku. Jantungku berdebar. Mungkinkah ini saatnya aku dibaca?
Hujan turun deras, angin kencang bertiup, tapi tak ada yang peduli padaku.
Guru itu merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah buku tebal. Harapanku pupus seketika. Ia asyik membaca bukunya, sementara aku masih tergeletak tak berdaya di sampingnya. Ingin rasanya aku berteriak, "Hei, aku di sini! Bacalah aku!" Tapi tentu saja, aku hanya bisa diam.
Siang itu, seorang siswa masuk ke ruang satpam. Ia terlihat kebingungan mencari sesuatu. Matanya menyapu seluruh ruangan, hingga akhirnya tertumbuk padaku. Ia mengulurkan tangan, hampir menyentuhku. Aku menahan napas. Namun ternyata, ia hanya mengambil pulpen yang tergeletak di atasku. Lagi-lagi, aku hanya bisa menghela napas kecewa.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Aku masih di sana, di sudut ruang satpam, menyaksikan musim berganti. Hujan turun deras, angin kencang bertiup, tapi tak ada yang peduli padaku. Bahkan ketika listrik padam dan semua orang kebingungan mencari informasi, tak ada yang teringat bahwa aku ada di sini, siap memberikan berita terkini.
Suatu hari, seorang petugas kebersihan masuk ke ruang satpam. Ia membawa sapu dan pengki, bersiap membersihkan ruangan. Hatiku mencelos. Apakah ini akhir hidupku? Akankah aku dibuang begitu saja, tanpa pernah dibaca?
Petugas itu mengangkatku, membolak-balik halaman depanku. Aku berharap ia akan membacaku, tapi ternyata ia hanya mengecek tanggal terbitku. "Wah, sudah tiga bulan rupanya," gumamnya. Ia hendak memasukkanku ke dalam kantong sampah, tapi tiba-tiba berhenti.
"Sayang sekali kalau dibuang," katanya pada diri sendiri. "Masih bisa dipakai untuk pembungkus."
Begitulah, aku diselamatkan dari pembuangan, tapi bukan untuk dibaca. Aku dibawa ke kantin sekolah, di mana aku digunakan untuk membungkus gorengan. Setidaknya, pikirku, aku masih bisa berguna. Mungkin ada yang akan membacaku sambil menikmati gorengan?
Tapi ternyata, nasibku tak lebih baik. Orang-orang hanya peduli pada gorengan yang kubungkus, tak ada yang melirik tulisan di tubuhku. Bahkan ada yang langsung membuangku ke tempat sampah setelah menghabiskan gorengannya.
Aku mulai bertanya-tanya, apakah memang sudah tidak ada gunanya lagi koran di zaman sekarang? Apakah orang-orang lebih suka membaca berita dari ponsel mereka? Tapi bukankah membaca koran punya sensasi tersendiri? Aroma kertas yang khas, bunyi halaman yang dibalik, sensasi tinta yang menempel di jari. Apakah semua itu sudah tidak lagi menarik?
Suatu hari, seorang siswa membeli gorengan yang kubungkus. Ia duduk di bangku kantin, perlahan membuka lipatanku. Matanya tertuju pada salah satu artikel di tubuhku. Ia mulai membaca. Hatiku berbunga-bunga. Akhirnya, ada yang membacaku!
Siswa itu asyik membaca, bahkan sampai lupa pada gorengannya yang mulai dingin. Ia tampak serius, sesekali mengerutkan dahi. Lalu tiba-tiba ia berseru, "Pak Heru! Pak Heru!"
Seorang guru yang kebetulan lewat menghampirinya. "Ada apa, Dani?"
"Pak, lihat ini," kata siswa itu sambil menunjuk artikel yang dibacanya. "Ada berita tentang penemuan arkeolog di dekat kota kita. Bukankah ini menarik untuk bahan diskusi di kelas sejarah nanti?"
Guru itu membaca artikel yang ditunjuk, lalu tersenyum lebar. "Wah, ini informasi bagus, Dani! Terima kasih sudah memberitahu. Nanti kita bahas di kelas ya."
Aku merasa bangga. Meski hanya satu artikel, setidaknya aku telah memberikan informasi berharga. Siswa itu lalu melipat halaman yang berisi artikel tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. Sisa tubuhku memang tetap dibuang, tapi setidaknya sebagian dariku telah berguna.
Sejak saat itu, aku mulai melihat perubahan. Beberapa siswa mulai membeli koran dan membacanya di waktu istirahat. Para guru juga kadang membahas berita dari koran di kelas. Bahkan kepala sekolah memerintahkan agar koran selalu tersedia di perpustakaan.
Sisa tubuhku memang tetap dibuang, tapi setidaknya sebagian dariku telah berguna.
Aku merasa lega. Mungkin memang benar, zaman sudah berubah. Orang-orang lebih suka membaca berita dari ponsel atau komputer. Tapi setidaknya, masih ada yang menghargai keberadaan koran. Masih ada yang menyadari bahwa membaca koran punya manfaat tersendiri.
Suatu hari, aku mendengar percakapan antara dua orang guru di ruang satpam.
"Kau tahu tidak," kata salah satu guru, "sejak anak-anak mulai membaca koran, kemampuan literasi mereka meningkat lho."
"Oh ya?" sahut guru satunya. "Kok bisa?"
"Iya, mereka jadi lebih kritis dalam memahami informasi. Tidak asal percaya pada berita yang mereka baca di media sosial. Mereka jadi lebih suka mencari sumber berita yang terpercaya."
"Wah, bagus itu. Padahal awalnya kukira koran sudah ketinggalan zaman."
"Justru di zaman seperti sekarang ini koran semakin penting. Kita perlu mengajari anak-anak untuk memilah informasi, membedakan fakta dan opini. Koran bisa jadi sarana yang bagus untuk itu."
Mendengar percakapan itu, aku merasa terharu. Ternyata keberadaanku masih dibutuhkan. Mungkin memang tidak sebanyak dulu, tapi setidaknya masih ada yang menghargai.
Sejak saat itu, aku tidak lagi mengeluh. Aku sadar, meski zaman berubah, peranku tetap penting. Mungkin aku tidak lagi menjadi sumber utama informasi, tapi aku bisa menjadi pelengkap, menjadi alternatif di tengah banjir informasi digital.
Kini, setiap pagi aku selalu menunggu dengan antusias. Menunggu tangan-tangan yang akan membalik halamanku, mata-mata yang akan menelusuri kata demi kata yang tercetak di tubuhku. Aku mungkin bukan lagi primadona seperti dulu, tapi setidaknya aku masih punya peran.
Dan ketika akhirnya masa hidupku berakhir, ketika tintaku mulai pudar dan kertasku mulai menguning, aku bisa pergi dengan tenang. Karena aku tahu, aku telah menjalankan tugasku dengan baik. Aku telah menyampaikan informasi, membuka wawasan, dan mungkin mengubah cara pandang seseorang.
Mungkin suatu hari nanti, ketika teknologi semakin canggih, keberadaan koran akan benar-benar punah. Tapi selama masih ada orang yang menghargai aroma kertas, bunyi halaman yang dibalik, dan sensasi tinta di jari, aku akan tetap ada. Aku akan tetap menunggu di sudut ruang satpam, di meja kantin, atau di rak perpustakaan. Menunggu untuk dibaca, untuk dibagi, untuk dimanfaatkan.
Karena bagaimanapun juga, aku adalah saksi zaman. Aku adalah catatan sejarah yang tercetak di atas kertas. Dan selama masih ada yang peduli pada sejarah, aku akan tetap relevan.
Jadi, jika suatu hari nanti kau melihatku tergeletak di suatu tempat, jangan ragu untuk mengulurkan tangan. Bukalah lipatanku, bacalah isinya. Mungkin kau akan menemukan sesuatu yang menarik, sesuatu yang bisa mengubah cara pandangmu terhadap dunia.
Karena aku, si lembaran koran yang dulu sering mengeluh ini, kini telah menemukan tujuanku. Aku ada untuk dibaca, untuk dibagi, untuk menginspirasi. Dan selama masih ada yang mau membacaku, aku akan terus ada. Terus bercerita. Terus menjadi jendela dunia bagi siapa saja yang mau membukaku. (*)
Darju Prasetya, pengarang adalah pengajar di Jatirogo, Tuban, Jawa Timur. Telah menerbitkan beberapa buku antologi cerpen. Buku Antologi cerpen terbarunya berjudul “Dunia dalam Warna-Warni”.
Rabu, 24 September 2025
Cinta Semata Wayang
Kamis, 28 Agustus 2025
Kegiatan Guru Wali, 29 Agustus 2026
Senin, 18 Agustus 2025
Analisis Puisi-Puisi Terakhir Cok Sawitri - Bali Politika
UNGGULAN
Lomba Membaca Cerpen Nyonya Suartini
Para peserta telah mengumpulkan karya 1. Khazin - Denpasar Klik untuk menyaksikan video! 2. Pandu - Singaraja Klik untuk menyaksikan video! ...
-
Negosiasi adalah peoses menyelesaikan masalah dari beberapa pihak yang sedang bersengketa. Dalam sengketa itu, setiap pihak menyampaikan pan...
-
Pengertian Drama Sebelumnya, kamu sudah tahu belum apa itu drama? Drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat ...