BANTUL SUDAH RATA DENGAN TANAH
“Bantul kabarnya sudah rata dengan tanah!” desah orang-orang di sebelah. Wajah mereka hampir menunjukkan ekspresi yang sama. Muram! Bintang menarik napas panjang. Masih bisakah dia berharap? Seandainya dia mampu, dia ingin segera pulang ke Bantul. Tapi itu cuma seandainya!
“Permisi, Mbak sudah makan siang?” seorang sukarelawan menghampirinya. Bintang tersenyum, teringat beberapa waktu yang lalu ketika dia menghabiskan hari-harinya di barak pengungsian Awas Merapi, “Untuk yang lain saja dulu. Saya belum lapar.” Sukarelawan itu pergi dengan tersenyum juga. Bintang memandangi sekeliling. Pemandangan yang sebenarnya sudah tidak asing lagi baginya. Minggu-minggu terakhir ini dia banyak menghabiskan waktu di barak pengungsian. Tapi situasi kali ini memang sedikit berbeda. Sebelumnya mungkin Bintang hanya bertemu wajah-wajah cemas dan bosan. Tapi yang ada di sekelilingnya kini adalah wajah-wajah berduka. Tangis yang tidak putus dan Bintang menjadi bagian dari semua itu. Sejenak kemudian sukarelawan mulai banyak berdatangan. Para pengungsi itu pun berebut makanan.
“Mbak, hari ini Mbak yang akan kami pindahkan ke rumah sakit.”
“Yang lain bagaimana?”
“Mbak, Mbak ini sebenarnya harus mendapat penanganan segera. Semua orang memang membutuhkan bantuan sekarang tapi kami tetap harus membuat prioritas bukan?”
Kali ini Bintang harus menurut. Beberapa orang memindahkan tubuhnya ke dalam ambulans. Satu-satunya yang tersisa padanya hanya sebuah tas kecil yang sekarang dipeluknya di dada. Sebelum pintu ambulans ditutup, Bintang sempat melihat sebuah sosok berkemeja putih dan berjaket hitam dengan kamera di tangan. Sepertinya tidak asing lagi, tapi siapa? Mungkin hanya kebetulan mirip dengan seseorang diantara sekian banyak orang yang dikenalnya.
Bintang terbaring dengan punggung tersandar tegak di atas ranjang rumah sakit. Di sebelahnya terbaring seorang wanita paruh baya yang sebelah tangan dan kakinya dibalut perban. Seorang laki-laki muda sekitar belasan tahun terduduk lemas di kursi sebelah ranjang, membelakangi Bintang. Di sebelahnya lagi seorang anak yang sepertinya duduk di bangku SD tertidur dengan tenang setelah semalaman menangis kesakitan. Di sekelilingnya kedua orang tuanya tampak terduduk pasrah dengan wajah dipenuhi luka memar dan lecet.
Bintang mendesah panjang. Sejak tersadar di penampungan hingga dipindahkan ke rumah sakit ini Bintang tidak menemukan siapa pun yang dikenalnya. Semakin tipis harapannya untuk bisa pulang ke Bantul. Satu-satunya yang bisa dilakukannya hanya membaca koran dan mencari informasi dari para sukarelawan. Itupun sangat terbatas. Kadang-kadang dia merasa tengah menunggu seseorang tapi apakah semua itu ada gunanya? Seandainya saja…
“Kita akan mengambil berapa dus?”
“Uang yang ada berapa?”
“Sisa membeli beras tadi, tinggal empat ratusan.”
“Ya, sisakan untuk uang bensin saja.”
“Kalau begitu Kak Restu saja yang membawa uang bensinnya. Berapa?”
Restu tidak segera menjawab karena sedang membaca SMS yang baru sampai, “Lima puluh ribu saja. Nanti kekurangannya biar aku yang menangani. Sebentar ya Bin, aku mau mencari wartel dulu.”
“Memangnya sudah ada yang buka?”
“Makanya aku mau mencari dulu.”
“Kalau begitu sekalian aku nitip beli voucher.”
“Jam segini yang ada itu penjual sayur. Kamu juga sih, sudah tahu berangkat pagi-pagi kenapa tidak dari kemarin-kemarin membeli pulsa.”
“Aku lupa. Kemarin aku masih harus mengurus uang yang terkumpul di Debi. Dia orangnya agak ceroboh. Masa uang sumbangan dicampur dengan uang pribadi? Catatan yang dia buat juga tercecer.”
“Kamu juga, sudah tahu Debi orangnya seperti itu.”
Bintang hanya diam. Kalau dilawan, perdebatan ini akan menjadi panjang. Padahal Bintang ingin bertanya, mengapa Restu harus mencari wartel? Apa pulsanya juga habis?
“Ini uang bensinnya….”
“Simpan dulu, nanti saja.”
“Nanti aku tunggu Kak Restu dimana?”
“Cuma sebentar. Kamu di sini saja, sekalian langsung urus pembayarannya.”
Restu pergi. Entah mencari wartel di sebelah mana. Bintang memesan delapan dus mi instant. Setelah itu dia duduk di kursi yang disodorkan pelayan toko sementara beberapa pembeli juga mulai kelihatan agak gerah menunggu giliran diladeni. Dari pesanan mereka Bintang menduga mereka itu adalah para pemilik warung. Mungkin belanja untuk dijual kembali. Kalau seperti ini, udara dingin tidak lagi begitu berarti. Bintang membuka retsleting jaketnya lalu….
“Kamu suka bengong akhir-akhir ini!”
Bintang kaget. Seseorang duduk di tepi ranjangnya dengan kamera di tangan.
“Maaf, sepertinya pernah ketemu. Siapa ya?”
“Kion. Kita satu kampus dan….” Kion memperlihatkan layar kamera digitalnya kepada Bintang. Bintang tertawa tidak percaya, “Itu kan….”
“Iya, kamu waktu pulang kuliah, terus waktu di barak pengungsian Merapi, waktu di penampungan terus yang ini waktu dibawa ke ambulans dan yang ini waktu kamu bengong tadi….”
Bintang menatap wajah serius di depannya. Bukan! Bukan serius, Cuma wajah seseorang yang sepertinya begitu menikmati dirinya.
“Oya, aku rasa setelah di sini kamu akan membutuhkan tempat. Rencananya kamu kemana?”
Bintang mendesah pelan, “Aku ingin pulang ke Bantul.”
Kion memasukkan kameranya ke dalam tas punggungnya lalu menatap wajah Bintang, “Aku tahu kamu pasti bisa menghadapi ini.”
“Apa kamu tahu sesuatu?”
“Sebenarnya kamu sendiri sudah bisa menduga kan?”
“Aku Cuma ingin memastikan.”
“Atau mungkin kamu sedang menunggu seseorang?”
Bintang Cuma diam. Seseorang? Bagaimana nasibnya? Bintang baru menyadari bahwa sekelumit kecemasan kini mulai merayapi hatinya. Bagaimana keluarganya? Apakah benar seperti yang dikatakan Kion?
“Ini, kamu harus makan supaya kuat menunggu. Aku pergi dulu.”
Kion pun menghilang. Bintang menatap bungkusan di pangkuannya. Bungkusan yang diberikan Kion. Kion yang tiba-tiba datang dan bersikap seolah-olah mereka telah saling kenal selama bertahun-tahun. Kion adalah orang pertama yang memberinya perhatian sebagai orang yang mengenalnya — bukan sebagai sukarelawan — dan membawakan makanan untuknya. Bintang bahkan belum tahu apa jurusannya, semester berapa, darimana asalnya, bagaimana keadaannya — kenapa dia bisa selamat, dan masih banyak cerita lainnya yang seharusnya dibahas oleh dua orang yang baru saja bertemu. Perlahan bungkusan itu dibukanya lalu tanpa sanggup ditahan — entah sejak kapan Bintang menjadi begitu sensitif — air matanya tumpah. Tapi tiba-tiba sekilat cahaya seperti menimpa wajahnya. Spontan Bintang menoleh dan menemukan Kion tersenyum dengan kamera di tangan, “Ini keajaiban. Harus diabadikan kan?” lalu lelaki itu pergi.
“Aku tahu dari Kion.”
“Kak Restu mengenal Kak Kion?”
“Dia satu angkatan denganku.”
“Bagaimana dengan teman-teman yang lain?”
“Aku juga belum tahu. Waktu itu aku terlalu panik. Tapi syukurlah, kamu masih hidup.”
“Tapi mungkin aku Cuma akan menjadi beban bagi mereka yang masih hidup.”
Restu terdiam, tertunduk menatap kedua kaki Bintang.
“Apa kata dokter?”
“Harapan itu pasti ada. Sekarang tinggal masalah waktu saja. Aku rasa akan perlu waktu yang sangat panjang, mungkin seumur hidup.”
Restu mendesah. Desah yang membuat Bintang sedikit mengerti tentang apa yang dipikirkan Restu saat ini. Desah yang seolah menjadi sebuah peringatan untuk Bintang.
“Kak Restu tidak apa-apa kan?”
Wajah Restu sedikit memerah, “Iya. Kamu lihat sendiri.”
“Ah, iya.”
“Ibu menyuruhku pulang.”
“Aku mengerti. Orang tua Kak Restu pasti khawatir. Kapan berangkat?”
“Mungkin besok. Aku harus naik bis ke Solo dulu. Bandara di sini rusak.”
“Ah, iya.”
“Tidak ada yang tersisa.”
“Itu hanya pikiran kamu saja.”
“Ternyata memang benar. Tidak ada orang yang bisa mengerti selain orang yang mengalaminya sendiri.”
“Itu namanya kamu memperburuk keadaan.”
“Kak Kion bisa bicara seperti itu…..”
“Tuhan masih menyisakan sesuatu yang paling berharga untuk kamu bukan?”
“Apa?”
“Kamu hidup.”
“Hidup yang seperti ini….”
“Kamu berkata seperti itu hanya karena kamu baru saja ditinggalkan oleh orang yang sebenarnya sangat kamu harapkan ada di sini. Aku betul bukan?”
Bintang terdiam. Kion ini seolah bisa membaca setiap hal yang dipikirkannya.
“Kalau memang harus menangis, tidak ada salahnya.”
“Kak Kion ini bicara apa?”
“Aku tahu, kamu terlalu memaksakan diri.”
“Lucu bukan? Aku yang biasanya menyemangati para pengungsi sekarang malah meratapi nasib?”
“Kamu saja yang menganggap itu lucu. Ada kalanya kita harus memberi waktu pada diri sendiri untuk menikmati kesedihan itu. Cuma sebentar. Setelah itu, kamu bisa bangkit lagi dan menyemangati orang lagi. Lihat sekeliling kamu, mereka sangat terbebani dan mereka dengan lugu mengakui itu. Kamu juga harus mengakui, ini juga berat untuk kamu.” Bintang kembali menebar pandangannya ke sekeliling ruangan. Wajah-wajah yang hanyut dalam duka mereka sendiri. Tidak ada yang peduli, bahwa Bintang yang selama ini hanya sendiri sekarang sudah ditemani oleh seorang Kion.
“Tapi janji, jangan potret aku lagi!” Bintang merengek dengan senyum mengembang di bibirnya sementara pundaknya mulai terguncang dan bulir-bulir air mata mulai deras berjatuhan dari kedua matanya yang agak sipit. Kion memasukkan kameranya ke dalam tas lalu mendekat ke arah Bintang, “Sini, aku pinjami pundakku.” Bintang pun ambruk di dada Kion. “Hei, aku pinjami pundak, kamu malah mengambil dadaku.”
“Bawel!”
“Ini! Kamu harus banyak makan!”
“Terima kasih.”
“Rumah sakit ini mulai sesak.”
“Iya. Aku sebenarnya ingin keluar.”
“Aku masih belum bisa mengusahakan kursi roda.”
“Kak Kion tidak usah repot seperti ini. Aku bahkan belum sempat bertanya tentang Kak Kion.”
“Kamu akan tahu dengan sendirinya. Atau mungkin kamu ingin tahu kenapa aku bisa selamat?”
“Iya. Tentu saja.”
“Waktu itu aku sedang di jalan.”
“Pagi-pagi sudah ada di jalan.”
“Kamu sendiri?”
Bintang kembali diam. Memikirkan kembali apa yang terjadi pagi itu membuatnya merasa mencelos. Sampai detik ini dia belum mendapat informasi yang jelas tentang Bantul dan keluarganya. Seandainya pagi itu Bintang tidak berada di dalam toko. Tapi apakah dengan berada di tempat lain Bintang sudah pasti akan selamat?
“Maaf, aku ….”
“Tidak apa-apa, Kak.”
“Waktu itu aku berencana ikut ke barak pengungsian. Aku melihat teman-teman kita menaikkan beras ke atas truk di depan pasar. Aku bermaksud mendekati mereka lalu…semua itu pun terjadi. Semua orang panik. Aku baru menyadari kamu tidak ada bersama kami ketika kami berkumpul.”
“Apa Kak Restu tidak memberi tahu?”
“Aku tidak melihat Restu. Debi hanya memberi tahu bahwa kalian sedang membeli mie.”
“Bagaimana Kak Kion menemukan aku?”
“Kebetulan yang menguntungkan. Aku bukan pencerita yang baik. Sayangnya aku juga tidak sempat mengabadikannya.”
“Toko itu ramai. Bagaimana nasib yang lain?”
“Aku sudah mengatakan padamu bahwa aku bukan pencerita yang baik. Lagipula, mungkin saat itu egoku sedikit berkuasa sampai-sampai aku tidak sempat memperhatikan yang lain.”
Bintang tersenyum tipis. Kemana Restu waktu itu?
“Rasanya tidak enak. Aku bisa tidur di atas ranjang sementara banyak orang tua yang terpaksa dirawat di emper.”
“Tapi kamu sendiri masih belum bisa keluar. Kamu belum boleh bergerak sedikit pun.”
“Aku bosan di sini. Tapi kalau keluar juga mau kemana?”
“Bersabar dulu. Cuma lagi sebentar. Begitu mendapat kursi roda, aku akan membawa kamu keluar dari sini.”
“Kemana?”
“Ke rumahku.”
“Rumah Kak Kion?”
“Bukan sih! Rumah orang tuaku.”
“Dimana?”
“Malang. Mau?”
Bintang tertawa, “Malu ah. Aku kan bukan siapa-siapa.”
“Kalau begitu tunggu dulu sampai kamu menjadi siapa-siapa.”
“Ngaco ah!” mereka tertawa pelan. Lalu….jepret! Kion kembali mengabadikan wajah Bintang, “Ini tawa pertama setelah terlepas dari beban.” Ujarnya.
“Tapi aku ingin pulang ke Bantul.” Wajah Bintang kembali muram. Kion hanya menatapnya dengan desah panjang.
“Maaf, aku tahu Kak Kion pasti sedang melakukan banyak hal. Tapi tumben kemarin seperti benar-benar menghilang?”
“Kamu tenang saja! Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Bin.”
“Bukan begitu maksudku.”
“Ya. Aku tahu ini perlu waktu. Suatu saat kamu pasti bisa merasakan betapa kangennya kamu seandainya aku tidak ada. Iya?”
“Kak Kion selalu suka bergurau.” Sebuah senyum kecil menghiasi wajah Bintang yang tampak lebih kurus. Kion menatapnya, “Aku senang akhirnya kamu bisa ceria lagi.”
“Ya, mungkin benar. Kalau kesedihan itu dinikmati dengan seharusnya, dia akan lewat begitu saja. Aku masih hidup bukan? Ada yang pernah mengatakan padaku bahwa itu hal yang paling berharga.” Kion tersenyum, “Kemarin aku pergi ke Bantul.”
“Bagaimana keadaan di sana? Apakah Kak Kion bertemu seseorang…maksudku…”
“Kita sudah menduga sebelumnya bukan? Dan aku pergi ke sana untuk memastikan.”
“Maksud Kak Kion….”
“Kamu masih takut dengan kepastian itu bukan?”
“Setidaknya aku harus menemukan mereka terlebih dahulu…..tapi kalau keadaanku seperti ini…”
“Aku sudah menemukan mereka.”
“Lalu bagaimana….”
“Seperti dugaanku. Sebenarnya kamu masih menyimpan harapan.”
“Lalu bagaimana?”
“Bin….” Bintang menatap Kion dengan putus asa, “Tidak! Kak Kion jangan bercanda seperti ini….Kak….”
“Bin!” Kion menunjukkan wajah yang tidak ingin dimengerti oleh Bintang. Meskipun sebenarnya Bintang sangat mengerti itu. Meskipun sebenarnya Bintang berusaha untuk menganggap semua ini sebagai sekadar mimpi buruk. Tapi tatapan Kion membangunkannya begitu saja dan membeberkan di hadapannya sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindarinya. “Kalau begitu, sekarang aku benar-benar sendiri…..” kalimat yang sebenarnya ditujukan Bintang untuk dirinya sendiri. Kion menarik lembut kepala Bintang ke dadanya, “Tidak! Masih ada aku.” Entah Bintang bisa mendengar itu atau tidak.
“Bagaimana kabarmu, Bin?”
“Seperti yang Kak Restu lihat sendiri. Aku masih belum bisa keluar dari sini.”
“Iya.”
“Kak Restu sendiri?”
“Oh, aku…Aku baru tiba dari Surabaya.”
“Baru tiba…”
“Sebenarnya sudah kemarin.”
“Bagaimana kabar teman-teman yang lain? Apakah Kak Restu pernah bertemu mereka?”
“Tidak. Belum. Aku hanya bertemu Kion. Tadi…baru saja. Apa..”
“Iya. Dia baru saja pergi.”
“Oh, begitu. Bagaimana…”
“Dia muncul begitu saja….dan… biasanya menemani aku berbincang-bincang.”
“Apa dia menceritakan sesuatu?”
“Kalau iya, kenapa?”
“Bin, aku bisa menjelaskan semuanya.”
“Iya, Kak Restu bisa menjelaskan semuanya sekarang…”
“Bin, maafkan aku. Dia yang memulai, bukan aku.”
“Aku rasa masalahnya bukan pada siapa yang memulai. Aku bisa mengerti. Kak Restu pernah bersamanya selama bertahun-tahun. Pasti sangat sulit untuk menghindar bukan?”
“Bin, waktu itu aku bertemu dia secara tidak sengaja. Aku sudah mengatakan bahwa aku ingin mencari wartel. Aku tidak tahu kenapa …..”
“Seingatku, Kak Restu mencari wartel setelah menerima SMS dari seseorang….”
“Bin…”
“Kak Restu menyuruhku menunggu di sana. Aku menunggu Kak Restu lama sekali. Tapi syukurlah, dengan begitu Kak Restu bisa selamat. Jika seandainya Kak Restu cepat-cepat kembali mencari aku, mungkin Kak Restu juga akan terluka.”
“Kamu menyalahkan aku?”
“Bukan. Aku hanya mencoba memahami apa yang telah terjadi.”
“Tapi tetap saja aku merasa bahwa kamu menyalahkan aku.”
“Itu hanya perasaan Kak Restu saja. Lagipula aku sudah tidak punya hak.”
“Bin, aku tahu kamu sedang terbebani oleh banyak hal tapi kamu jangan bicara seperti itu.”
“Itu bukan karena aku merasa terbebani oleh banyak hal tapi aku bicara kenyataan.”
“Apa maksud kamu, Bin?”
“Aku rasa Kak Restu mengerti apa maksudku.”
“Tapi sekarang aku ada di sini, Bin.”
“Dan aku yakin itu karena Kak Kion.”
“Dan kamu menjadi seperti ini karena kamu sudah bersama Kion?”
“Bagiku dia memang malaikat. Dan dia tidak pantas dijadikan alasan atas semua ini.”
“Lalu apa maksudnya mencampuri urusan kita?”
“Dia tidak pernah bercerita apa pun tentang Kak Restu. Aku baru saja mendengar semua itu dari Kak Restu sendiri. ”
Wajah Restu memerah.
“Kak Kion sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita. Kak Restu sudah meninggalkan aku. Bagiku itu sudah cukup jelas.”
“Kamu yakin dengan keputusan kamu?”
“Iya. Aku yakin.”
“Tapi kamu akan kemana? Kamu sudah.......Ah, iya. Aku lupa. Masih ada Kion. Meskipun kamu mengatakan dia bukan siapa-siapa.”
“Seseorang tidak perlu menjadi siapa-siapa untuk membantu meringankan beban orang lain bukan? Setidaknya dia bersamaku.”
***
“Wajah Kak Kion kenapa?”
“Tidak apa-apa. Anggap saja tanda keberuntungan.”
“Kalau begitu aku tidak mau makan ini.”
“Ancaman yang lemah tapi sangat melemahkan aku. Baiklah. Aku bertemu Restu. Itu saja. Aku rasa kamu tahu lanjutannya.”
“Aku sudah mengatakan padanya bahwa ini tidak ada hubungannya dengan Kak Kion.”
“Dia akan selalu menganggap ada hubungannya. Aku sendiri sangat berharap memang ada.”
“Kak Kion ini bicara apa? Kapan seriusnya?”
“Selalu. Kamu saja yang menganggap aku tidak pernah serius.”
Bintang menatap Kion yang dengan sikap santai mengeluarkan isi dalam tas punggungnya. Semuanya makanan untuk Bintang.
“Aku tahu semua ini perlu waktu, Bin. Aku sudah pernah mengatakan padamu bahwa aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Meskipun pada akhirnya kita memang bukan siapa-siapa.”
“Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya Kak Kion meninggalkan aku. Aku mengatakan pada Kak Restu bahwa keberadaan Kak Kion tidak ada hubungannya dengan kami karena aku tidak pernah memikirkan bagaimana jika Kak Kion pergi meninggalkan aku tapi aku....”
“Aku tidak terburu-buru, Bin.”
“Tapi mungkin ini akan memerlukan waktu....”
“Kita memiliki begitu banyak waktu.”
“Kak Kion tidak keberatan?”
“Aku sudah menunggu sejak lama. Bahkan sebelum Restu muncul di hadapan kamu. Aku rasa menunggu sedikit lagi bukanlah masalah besar.”
“Terima kasih.” Suara Bintang hampir tidak terdengar. Rasa haru memenuhi dadanya.
“Seperti janjiku, aku akan mengajak kamu keluar dari sini. Aku sudah mendapatkan kursi roda untuk kamu.”
“Tapi kemana?”
“Awalnya aku ingin mengajak kamu pulang ke Malang. Tapi teman-teman kita sekarang ditugaskan untuk menjalani masa KKN mereka di daerah-daerah bencana. Jadi aku rasa kamu tidak akan merasa kesepian. Kamu hanya perlu menyiapkan diri untuk melihat apa yang kamu lihat di kameraku secara langsung. Kita akan pulang ke Bantul.”
“Kita?”
“Iya. Kita!”
Sekali lagi Bintang membenamkan wajahnya di dada Kion. Sulit digambarkan apa alasan yang tepat baginya atas air mata yang dikeluarkannya saat ini.
Ni Luh Putu Mahaputri