Lembaran-lembaran Koran yang Mengeluh
Tapi ternyata, nasibku tak lebih baik. Orang-orang hanya peduli pada gorengan yang kubungkus, tak ada yang melirik tulisan di tubuhku.
Aku tergeletak di sudut ruang satpam sekolah, terlipat rapi namun diabaikan. Hari demi hari berlalu, tak ada yang menyentuhku. Guru-guru berlalu lalang, siswa-siswi berseragam rapi melintas, tapi tak seorang pun melirikku. Aku hanyalah setumpuk kertas berisi berita yang tak lagi hangat, menunggu untuk dibaca namun terabaikan.
SAAT kutanyai diriku sendiri, mengapa tak ada yang peduli? Apakah aku sudah ketinggalan zaman? Atau mungkin isiku terlalu membosankan? Tapi bukankah aku masih menyimpan banyak informasi penting? Berita-berita terkini, opini-opini cerdas, bahkan teka-teki silang yang mengasah otak. Namun tetap saja, aku hanya bisa mengeluh dalam diam, berharap ada tangan yang akan membuka lipatanku.
Hari-hariku diisi dengan mengamati rutinitas sekolah. Pagi-pagi buta, satpam datang membuka gerbang. Ia melirikku sekilas, tapi tak pernah menyentuhku. Lalu satu per satu guru berdatangan, sibuk dengan tas dan berkas masing-masing. Beberapa menit kemudian, murid-murid mulai berdatangan. Mereka berlarian, tertawa-tawa, sibuk dengan ponsel di tangan. Tak ada yang tertarik padaku.
Suatu pagi, seorang guru muda memasuki ruang satpam. Ia terlihat gelisah, mondar-mandir sambil sesekali melirik jam tangannya. Akhirnya, ia duduk di kursi plastik tepat di sebelahku. Jantungku berdebar. Mungkinkah ini saatnya aku dibaca?
Hujan turun deras, angin kencang bertiup, tapi tak ada yang peduli padaku.
Guru itu merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah buku tebal. Harapanku pupus seketika. Ia asyik membaca bukunya, sementara aku masih tergeletak tak berdaya di sampingnya. Ingin rasanya aku berteriak, "Hei, aku di sini! Bacalah aku!" Tapi tentu saja, aku hanya bisa diam.
Siang itu, seorang siswa masuk ke ruang satpam. Ia terlihat kebingungan mencari sesuatu. Matanya menyapu seluruh ruangan, hingga akhirnya tertumbuk padaku. Ia mengulurkan tangan, hampir menyentuhku. Aku menahan napas. Namun ternyata, ia hanya mengambil pulpen yang tergeletak di atasku. Lagi-lagi, aku hanya bisa menghela napas kecewa.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Aku masih di sana, di sudut ruang satpam, menyaksikan musim berganti. Hujan turun deras, angin kencang bertiup, tapi tak ada yang peduli padaku. Bahkan ketika listrik padam dan semua orang kebingungan mencari informasi, tak ada yang teringat bahwa aku ada di sini, siap memberikan berita terkini.
Suatu hari, seorang petugas kebersihan masuk ke ruang satpam. Ia membawa sapu dan pengki, bersiap membersihkan ruangan. Hatiku mencelos. Apakah ini akhir hidupku? Akankah aku dibuang begitu saja, tanpa pernah dibaca?
Petugas itu mengangkatku, membolak-balik halaman depanku. Aku berharap ia akan membacaku, tapi ternyata ia hanya mengecek tanggal terbitku. "Wah, sudah tiga bulan rupanya," gumamnya. Ia hendak memasukkanku ke dalam kantong sampah, tapi tiba-tiba berhenti.
"Sayang sekali kalau dibuang," katanya pada diri sendiri. "Masih bisa dipakai untuk pembungkus."
Begitulah, aku diselamatkan dari pembuangan, tapi bukan untuk dibaca. Aku dibawa ke kantin sekolah, di mana aku digunakan untuk membungkus gorengan. Setidaknya, pikirku, aku masih bisa berguna. Mungkin ada yang akan membacaku sambil menikmati gorengan?
Tapi ternyata, nasibku tak lebih baik. Orang-orang hanya peduli pada gorengan yang kubungkus, tak ada yang melirik tulisan di tubuhku. Bahkan ada yang langsung membuangku ke tempat sampah setelah menghabiskan gorengannya.
Aku mulai bertanya-tanya, apakah memang sudah tidak ada gunanya lagi koran di zaman sekarang? Apakah orang-orang lebih suka membaca berita dari ponsel mereka? Tapi bukankah membaca koran punya sensasi tersendiri? Aroma kertas yang khas, bunyi halaman yang dibalik, sensasi tinta yang menempel di jari. Apakah semua itu sudah tidak lagi menarik?
Suatu hari, seorang siswa membeli gorengan yang kubungkus. Ia duduk di bangku kantin, perlahan membuka lipatanku. Matanya tertuju pada salah satu artikel di tubuhku. Ia mulai membaca. Hatiku berbunga-bunga. Akhirnya, ada yang membacaku!
Siswa itu asyik membaca, bahkan sampai lupa pada gorengannya yang mulai dingin. Ia tampak serius, sesekali mengerutkan dahi. Lalu tiba-tiba ia berseru, "Pak Heru! Pak Heru!"
Seorang guru yang kebetulan lewat menghampirinya. "Ada apa, Dani?"
"Pak, lihat ini," kata siswa itu sambil menunjuk artikel yang dibacanya. "Ada berita tentang penemuan arkeolog di dekat kota kita. Bukankah ini menarik untuk bahan diskusi di kelas sejarah nanti?"
Guru itu membaca artikel yang ditunjuk, lalu tersenyum lebar. "Wah, ini informasi bagus, Dani! Terima kasih sudah memberitahu. Nanti kita bahas di kelas ya."
Aku merasa bangga. Meski hanya satu artikel, setidaknya aku telah memberikan informasi berharga. Siswa itu lalu melipat halaman yang berisi artikel tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. Sisa tubuhku memang tetap dibuang, tapi setidaknya sebagian dariku telah berguna.
Sejak saat itu, aku mulai melihat perubahan. Beberapa siswa mulai membeli koran dan membacanya di waktu istirahat. Para guru juga kadang membahas berita dari koran di kelas. Bahkan kepala sekolah memerintahkan agar koran selalu tersedia di perpustakaan.
Sisa tubuhku memang tetap dibuang, tapi setidaknya sebagian dariku telah berguna.
Aku merasa lega. Mungkin memang benar, zaman sudah berubah. Orang-orang lebih suka membaca berita dari ponsel atau komputer. Tapi setidaknya, masih ada yang menghargai keberadaan koran. Masih ada yang menyadari bahwa membaca koran punya manfaat tersendiri.
Suatu hari, aku mendengar percakapan antara dua orang guru di ruang satpam.
"Kau tahu tidak," kata salah satu guru, "sejak anak-anak mulai membaca koran, kemampuan literasi mereka meningkat lho."
"Oh ya?" sahut guru satunya. "Kok bisa?"
"Iya, mereka jadi lebih kritis dalam memahami informasi. Tidak asal percaya pada berita yang mereka baca di media sosial. Mereka jadi lebih suka mencari sumber berita yang terpercaya."
"Wah, bagus itu. Padahal awalnya kukira koran sudah ketinggalan zaman."
"Justru di zaman seperti sekarang ini koran semakin penting. Kita perlu mengajari anak-anak untuk memilah informasi, membedakan fakta dan opini. Koran bisa jadi sarana yang bagus untuk itu."
Mendengar percakapan itu, aku merasa terharu. Ternyata keberadaanku masih dibutuhkan. Mungkin memang tidak sebanyak dulu, tapi setidaknya masih ada yang menghargai.
Sejak saat itu, aku tidak lagi mengeluh. Aku sadar, meski zaman berubah, peranku tetap penting. Mungkin aku tidak lagi menjadi sumber utama informasi, tapi aku bisa menjadi pelengkap, menjadi alternatif di tengah banjir informasi digital.
Kini, setiap pagi aku selalu menunggu dengan antusias. Menunggu tangan-tangan yang akan membalik halamanku, mata-mata yang akan menelusuri kata demi kata yang tercetak di tubuhku. Aku mungkin bukan lagi primadona seperti dulu, tapi setidaknya aku masih punya peran.
Dan ketika akhirnya masa hidupku berakhir, ketika tintaku mulai pudar dan kertasku mulai menguning, aku bisa pergi dengan tenang. Karena aku tahu, aku telah menjalankan tugasku dengan baik. Aku telah menyampaikan informasi, membuka wawasan, dan mungkin mengubah cara pandang seseorang.
Mungkin suatu hari nanti, ketika teknologi semakin canggih, keberadaan koran akan benar-benar punah. Tapi selama masih ada orang yang menghargai aroma kertas, bunyi halaman yang dibalik, dan sensasi tinta di jari, aku akan tetap ada. Aku akan tetap menunggu di sudut ruang satpam, di meja kantin, atau di rak perpustakaan. Menunggu untuk dibaca, untuk dibagi, untuk dimanfaatkan.
Karena bagaimanapun juga, aku adalah saksi zaman. Aku adalah catatan sejarah yang tercetak di atas kertas. Dan selama masih ada yang peduli pada sejarah, aku akan tetap relevan.
Jadi, jika suatu hari nanti kau melihatku tergeletak di suatu tempat, jangan ragu untuk mengulurkan tangan. Bukalah lipatanku, bacalah isinya. Mungkin kau akan menemukan sesuatu yang menarik, sesuatu yang bisa mengubah cara pandangmu terhadap dunia.
Karena aku, si lembaran koran yang dulu sering mengeluh ini, kini telah menemukan tujuanku. Aku ada untuk dibaca, untuk dibagi, untuk menginspirasi. Dan selama masih ada yang mau membacaku, aku akan terus ada. Terus bercerita. Terus menjadi jendela dunia bagi siapa saja yang mau membukaku. (*)
Darju Prasetya, pengarang adalah pengajar di Jatirogo, Tuban, Jawa Timur. Telah menerbitkan beberapa buku antologi cerpen. Buku Antologi cerpen terbarunya berjudul “Dunia dalam Warna-Warni”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar