Senin, 15 September 2025

Radio

Dari Radio
karya Luh Putu Dea Widiantari

Malam itu, langit tampak seperti menyimpan sesuatu. Awan hitam menggantung rendah, menelan cahaya bulan hingga halaman sekolah terlihat lebih kelam dari biasanya. Angin berhembus lirih, menyapu halaman yang kosong, hanya menyisakan suara ranting beradu. Dari kejauhan, bangunan sekolah itu seperti bernafas pelan, seolah menyembunyikan banyak rahasia di balik temboknya.
Dina berdiri di balik gerbang, memandangi gedung yang sunyi. Matanya yang bulat menyiratkan semangat yang sudah lama ia kumpulkan, sekaligus sebuah kegelisahan yang sulit ia abaikan. Malam ini berbeda. Ada rasa aneh di dadanya, seakan sekolah itu tidak lagi menjadi tempat yang netral baginya, melainkan sesuatu yang sedang menguji tekadnya. “Besok, pengumuman OSIS,” gumamnya pelan. Suaranya nyaris ditelan angin.
Sudah berminggu-minggu Dina menunggu momen ini. Ia masih ingat betul bagaimana ia mengisi formulir pendaftaran OSIS dengan jantung berdegup cepat. Setiap huruf yang ia tulis, setiap jawaban yang ia isi di kertas itu, ia tuliskan dengan penuh keyakinan. Baginya, OSIS bukan sekadar organisasi. Itu adalah ruang untuk tumbuh, wadah untuk membuktikan dirinya, dan kesempatan untuk keluar dari bayangan ketidakberdayaan seperti yang diajarkan ibunya sebelum meninggal.
Sejak SMP, Dina dikenal sebagai siswi yang cerdas tapi pendiam. Ia jarang berbicara banyak, lebih suka menulis di buku hariannya ketimbang bercerita panjang pada teman-temannya. Namun, dalam hatinya ada mimpi besar, ingin berani berdiri di depan orang banyak, ingin seperti Drupadi yang menjadikan laki-laki seketika bodoh dalam meja perjudian. Ia ingin seperti Drupadi yang menghancurkan medan perang Kuru, medan perang yang selalu mengagungkan kekuatan dan kemaskulinan laki-laki, lantas seketika menghabiskan para lelaki yang terlibat perang. OSIS adalah jalannya mencapai tujuan itu.
Hari itu, ruang aula penuh dengan siswa-siswi yang mendaftar OSIS. Bau kertas formulir bercampur dengan aroma tinta spidol. Papan tulis besar di depan dipenuhi tulisan jadwal wawancara dan daftar nama. Suasana riuh, penuh bisikan dan tawa gugup.
Dina duduk di bangku tengah, tangannya menggenggam erat pena, seperti Drupadi yang mulai mencuri perhatian Kurawa dan Pandawa dengan menebar harum tubuh. Ia melirik sekeliling, melihat calon-calon lain yang tampak percaya diri. Ada yang bercanda sambil tertawa lepas, ada yang sibuk menghafal teks visi misi, ada juga yang sibuk memperbaiki kerah seragamnya. Dina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.“Dina Antari,” suara panitia memanggil.
Degupan jantungnya langsung melonjak, seperti ketika perjudian memutuskan kain Drupadi harus segera ditarik karena Pandawa telah kalah dalam permainan dadunya. Ia berdiri, langkahnya sedikit kaku menuju meja wawancara. Di sana duduk tiga orang penguji seorang guru pembina OSIS dan dua pengurus lama. Tatapan mereka tajam, seolah bisa membaca isi hati.“Perkenalkan dirimu,” ujar salah satu penguji.
Dina menatap mereka dengan gugup, lalu mulai bicara. Anehnya, semakin ia berbicara, rasa takutnya berangsur hilang. Ia seperti Drupadi yang melepaskan kutukan kepada Kurawa yang telah menelanjangi tubuhnya. Ia bicara tentang mimpinya ingin membawa kegiatan OSIS lebih inklusif, tentang ide membuat program literasi untuk siswa, dan tentang harapannya agar sekolah ini punya wadah bagi siswa yang sering terabaikan.
Mata penguji sempat membesar seperti mata Sangkuni yang licik dan hendak membuat taktik baru membalikkan bantahan menjadi sanjungan. Bahkan, salah satu pengurus lama tersenyum tipis, seakan kagum dengan jawaban Dina. Saat itu, hatinya melambung. Ia yakin, dirinya punya peluang besar. Hari pengumuman tiba. Papan pengumuman dipasang di depan ruang OSIS, seperti biasa ditempeli kertas-kertas yang akan jadi pusat perhatian seluruh siswa. Kerumunan langsung memenuhi halaman. Semua berdesakan, berebut posisi agar bisa melihat lebih cepat.
Beberapa siswa lain berlalu-lalang sambil tertawa, membicarakan hal yang hanya mereka pahami, tapi Dina tidak bergabung. Matanya hanya terpaku pada papan pengumuman yang berada tak jauh darinya papan yang sempat ia tatap penuh harapan, namun kini justru membuat dadanya sesak. Dina ikut berdiri di sana, jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Ia menunggu, hingga akhirnya papan itu terbuka. Daftar nama pengurus OSIS baru terpampang jelas. Matanya menyapu baris demi baris. Mencari. Membaca ulang. Memastikan. Tapi namanya… tidak ada. Ia seperti Drupadi yang ditinggal Pandawa ke medan perang. Hatinya gelisah, menanti sebuah kemenangan.
Ia mengucek mata, mencoba meyakinkan diri kalau ia salah baca. Ia telusuri lagi. Dari ketua, wakil, sekretaris, bendahara, hingga bidang-bidang lain. Tetap tidak ada. Nama Dina benar-benar tidak tercantum. Jantungnya seakan berhenti. Suara riuh siswa yang bersorak bahagia terdengar jauh, seperti gema yang memekakkan. Tubuhnya kaku.
Senyum-senyum lebar dari teman-teman yang lolos hanya membuat luka itu semakin dalam. Ada yang berlari menghampiri sahabatnya sambil berteriak gembira, ada yang saling berpelukan. Tapi Dina? Ia hanya berdiri di sana, seperti bayangan yang terlupakan. “Kenapa…?” bisiknya lirih. Dadanya terasa sesak. Ia merasa seluruh semangatnya direnggut begitu saja. Hari-hari setelah pengumuman, Dina seperti kehilangan arah. Di kelas, ia masih tersenyum kecil saat ditanya teman, tapi dalam hatinya ia rapuh. Setiap kali ia melihat pengurus OSIS baru berbaris rapi, mengenakan jas hitam dengan emblem kebanggaan, hatinya diremas lagi. Itu seharusnya bisa jadi miliknya. Seharusnya ia berdiri di barisan itu. 
Di rumah, ia lebih sering berdiam diri. Buku hariannya penuh dengan coretan keluh kesah, tinta yang hampir sobek karena ditekan terlalu keras. Ia menulis, menulis, dan menulis, seolah dengan cara itu ia bisa meluapkan luka yang tak pernah ia ucapkan pada siapa pun. “Aku sudah berusaha. Aku sudah berani bicara. Aku sudah percaya diri. Tapi kenapa aku tidak dipilih? Apa aku kurang baik? Apa aku tidak layak?” 
Setiap kata adalah pisau yang ia arahkan pada dirinya sendiri. Ia seperti Drupadi yang menyalahkan dirinya terlahir dari api. Ia mulai meragukan kemampuan yang tadinya ia banggakan. Rasa percaya diri yang baru ia pupuk kembali runtuh, hancur berkeping-keping.
 "Api mestinya mampu membakar, tetapi aku sendiri terbakar!" Dina berteriak histeris karena tidak mampu memenangkan dirinya sebagai Drupadi. Dina ingin menjadi besar untuk mengalahkan ayahnya yang selalu membanggakan dirinya sebagai laki-laki. Dina tidak bisa mebuktikan bahwa perempuan mampu memimpin. Perjuangannya benar-benar kandas, ia tidak bisa memperbaiki posisi ibunya yang selalu ditindas oleh ayahnya. Ia sudah terpanggang di medan perang Kuru Setra. Tubuhnya lunglai, lemas. 
Malam itu, Dina duduk di depan jendela kamarnya. Langit sedang cerah, bulan tampak bulat sempurna. Ia termenung, menatap kosong. Di meja kecilnya, buku harian terbuka, halaman terakhir penuh coretan hitam tebal, “Aku kecewa.” Namun malam itu, sesuatu membuatnya terdiam lama. Dina melihat radio kecil dengan antena panjang menjulang ke langit. Itu adalah radio mendiang neneknya. Dulu radio itu memperdengarkan sandiwara “Nini Pelet” yang dulu ketika bayi tidak dia pahami, tetapi karena neneknya selalu menceritakan kisah dari radio itu, ia hafal jalan ceritanya hingga kini. Dina bergegas mengambil batre bulat besar dari lacinya dan memasangnya di radio itu. Dia putar-putar hingga tedengar suara yang agak jelas. Suara radio kecil di kamar itu memutar sebuah pidato motivasi. Kalimatnya sederhana, tapi menusuk dalam “Apa aku kurang pantas? Apa aku terlalu biasa?” bisiknya pada diri sendiri. Dina terus mendengarkan suara radio walau kadang suaranya menipis, bisa juga membuatnya tesentuh.
Dina bukan tipe yang mudah menangis di depan orang lain. Tapi malam itu, air matanya mengalir. Hanya sebentar, tapi cukup membuatnya sadar bahwa luka ini nyata. Drupadi yang penuh amarah, berasal dari api, tidak mampu memenangkan Pandawa atau Kurawa karena perang sesungguhnya masih berkecamuk. Ketika itu, ia tidak ingin lagi menjadi Drupadi persi dirinya yang ingin mengalahkan ayahnya, yang mengusirnya karena ia seorang perempuan yang sering merengek minta beli coklat. Ia ingin menjadi dirinya sendiri, seorang Dina.
“Kadang, kegagalan bukan berarti kau tidak pantas. Kadang, itu berarti ada jalan lain yang lebih tepat untukmu.” Dina tertegun. Kata-kata itu berputar di kepalanya. Ia mengulang-ulang kalimat itu, mencoba memaknainya. Benarkah kegagalannya di OSIS bukan akhir? Benarkah ada jalan lain yang belum ia lihat? Keesokan harinya, Dina mencoba sesuatu yang berbeda. Ia tidak lagi menatap iri ke arah ruang OSIS. Sebaliknya, ia mendekati perpustakaan sekolah. Tempat yang selama ini sepi, hanya dikunjungi segelintir siswa.
Di sana, ia mulai membantu pustakawan membereskan buku, menyusun katalog, hingga membuat pojok baca. Lama-kelamaan, beberapa siswa mulai datang karena penasaran. Dina mulai mengajak mereka berdiskusi, bahkan menulis cerita bersama. Dari kegiatan kecil itu, sebuah komunitas lahir: kelompok literasi sekolah. Tanpa ia sadari, komunitas itu tumbuh semakin besar. Siswa-siswi yang awalnya minder menemukan ruang untuk berkarya. Mereka menulis puisi, membuat majalah dinding, bahkan mengadakan lomba menulis antar kelas. Semua dipimpin oleh Dina siswi yang gagal masuk OSIS, tapi justru melahirkan wadah baru yang tak kalah berharga.
Suatu sore, saat melewati ruang OSIS, Dina melihat para pengurus sibuk rapat. Hatinya tidak lagi sakit. Ia hanya tersenyum kecil, lalu berjalan melewati mereka dengan kepala tegak. Ia sadar kini, tidak semua jalan menuju mimpi harus lewat pintu yang sama. Ia gagal masuk OSIS, benar. Tapi dari kegagalan itu, ia menemukan keberanian yang lebih tulus: keberanian untuk membangun sesuatu dari nol, tanpa nama besar, tanpa panggung.
Di buku hariannya, ia menulis kembali. Kali ini, tintanya tenang, tidak lagi terburu-buru. “Aku memang tidak jadi bagian OSIS. Tapi aku tetap bisa memimpin. Aku bisa menjadi cahaya, bahkan di tempat yang paling sepi.” Langit malam kembali kelam, seperti saat ia pertama kali menunggu pengumuman OSIS. Tapi kali ini berbeda. Dina menatap langit dengan senyum. Ia tahu, jalan yang ia tempuh mungkin tidak sama dengan orang lain, tapi itu adalah jalannya sendiri.
Malam itu, Dina duduk di depan cermin. Bedanya, kali ini ia melihat bayangan yang berbeda. Mata itu lebih berani, senyum itu lebih tulus. “Aku gagal jadi OSIS, gagal menjadi Drupadi,” katanya pada bayangan sendiri.  “Tapi aku tidak gagal jadi diriku.” katanya bersemangat. Untuk pertama kalinya sejak pengumuman itu ditempel, Dina benar-benar merasa lega. Kecewa yang dulu menyakitkan kini berubah jadi kekuatan. Ia belajar bahwa gagal tidak selalu berarti kalah. Kadang, itu adalah awal dari petualangan yang lebih indah.
Waktu terus berjalan, dan Dina yang dulu pernah kecewa karena gagal masuk OSIS kini berdiri tegak sebagai ketua KSPAN di sekolahnya. Awalnya, ia tak pernah membayangkan akan sampai di titik itu. Namun semangatnya untuk tetap berkontribusi membawa langkahnya menuju jalan yang berbeda, yang ternyata jauh lebih berarti.
Di bawah kepemimpinannya, KSPAN berkembang pesat. Program penyuluhan tentang bahaya narkoba yang diinisiasi Dina, berhasil membuka mata banyak siswa. Kegiatan donor darah dan kampanye hidup sehat yang digagasnya mendapat sambutan hangat dari guru maupun siswa. Bahkan, sekolah mereka dinobatkan sebagai salah satu sekolah dengan program KSPAN terbaik di kabupaten. Prestasi demi prestasi itu membuat nama Dina semakin dikenal. Namun, bagi Dina, yang paling berharga bukanlah penghargaan, melainkan kepercayaan yang kembali ia dapatkan. Ia merasa dipulihkan. 
Dari seorang siswi yang pernah merasa gagal dan tidak dianggap, kini ia menjadi pemimpin yang membawa perubahan nyata. Saat berdiri di depan ratusan siswa dalam acara peringatan Hari AIDS Sedunia, Dina menutup pidatonya dengan suara tegas penuh keyakinan, “Dulu aku pernah merasa pintu untukku tertutup rapat. Tapi ternyata, Tuhan menyiapkan pintu lain yang lebih besar. Menjadi bagian dari KSPAN mengajarkan saya arti kepedulian, arti keberanian, dan arti kegigihan. Ingatlah teman-teman, gagal bukan berarti kalah. Kadang, itu hanya tanda bahwa kita disiapkan untuk sesuatu yang lebih baik di tempat lain.”
Sorak tepuk tangan menggema di aula. Entah hadiah keberapa sudah diterimanya. Uangnya ditabung untuk biaya sekolah. Guru-guru pun menatapnya dengan kagum. Saat itu, Dina tahu, perjalanan panjangnya yang penuh luka telah berbuah manis. Ia tidak hanya menjadi ketua KSPAN, tetapi juga simbol semangat bagi banyak siswa lain yang mungkin pernah merasa gagal seperti dirinya.
Di dalam kamar itu, hanya ada satu suara ratapan seorang gadis yang akhirnya sadar bahwa menjadi seorang perempuan, tidak memanfaatkan fisiknya untuk meraih kemenangan, tetapi juga menggunakan perasaannya untuk berjaya.
"Anakku, ayah sangat bangga kepadamu. Kamu cerdas, tidak seperti ibumu yang selalu memelas minta uang dari suaminya. Kalau tidak diberikan, ia ngamuk dan menyulut kemarahan ayah yang berpenghasilan pas-pasan. Ayah terpaksa memukul ibumu, biar ngerti." Ayah Dina memberi selamat.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bantul

BANTUL SUDAH RATA DENGAN TANAH “Bantul kabarnya sudah rata dengan tanah!” desah orang-orang di sebelah. Wajah mereka hampir menunjukkan eks...