Minggu, 14 September 2025

desak

Desak Ari
Karya Luh Arik Sariadi

Hari-hari penantian, sudah tidak bisa ditunggu.
Sangat sunyi dalam kesendirian
"Ini tahun kesekian ibu meninggal." Hati Desak Ari menangis bersama lumut di tembok-tembok kamar itu.
Tembok seperti paham dengan keadaan Desak Ari. Dari tembok, air merambat membasahi lantai, sama persis dengan keadaan Desak Ari yang kehilangan ibunya. Usia tua, pada usia 43 tahun, bukanlah waktu yang tepat untuk menangis meraung-raung ketika kehilangan ibu. Namun, tembok terlanjur ikut menangis, seperti Desak Ari yang tidak tega melepas ibunya yang berusia 97 tahun, meniggal karena masa tua di tengah kejayaan anak-anaknya.
Lumut muncul dari tembok itu, diawali dengan munculnya pasir-pasir putih yang lebih menyerupai garam. Ketika Desak Ari terisak lagi hingga air matanya dikecap oleh lidahnya sendiri, kerak-kerak tembok mengelupas dan muncul lumut kekuningan menyerupai kuning telur. Tembok menjadi bersisik, terlihat sangat kotor. 
Namun, tembok yang kotor dan mulai kehitaman itu, tidak menunjukkan kesedihan yang sama seperti kesedihan Desak Ari, bahkan lebih dalam dari kesedihan ketika Ibu Siti Hartinah (Ibu Tien) berpulang. Saat itu, seluruh rakyat Indonesia menangis karena Ibu Siti Hartinah sangat keibuan, pengasih, penyayang, dan bijaksana, bahkan  bukan darah dagingnya disayang oleh Ibu Tien.
Lantai keramik bercorak kayu semakin digenangi air mata. Kamarnya tidak lagi hanya kubangan, tetapi menjadi danau uang berwarna kecoklatan. Desak Ari tidak bisa menghentikan tangisannya. Ia tenggelam bahkan ketika ia berhenti menangis, tembok masih merasakan kesedihan Desak Ari yang ditahan.
***
Bersaudara 13 orang, Desak Ari tidak pernah kesepian. Tinggal di rumah yang halamannya sangat luas, ayah dan ibunya selalu membuatkan rumah baru di halaman itu untuk anak-anaknya yang mau menikah. Ketika pernikahan dirayakan, mempelai sudah disiapkan dengan rumah yang berisi 2 kamar. Bangunannya tipe 36 dengan kamar mandi dan dapur yang modern. 
Desak Ari yang memiliki 7 kakak laki-laki tidak pernah merasa kesepian karena anak pertama dari saudara laki-lakinya sebaya dengannya dan sama-sama perempuan. Di halaman yang luas ini sudah berdiri 8 bangunan rumah yang tidak terpisahkan oleh pagar, tidak seperti rumah-rumah subsidi yang ketika ditempati, pagar-pagarnya menjulang tinggi. Rasanya maling pun tidak mau berhenti di rumah subsidi untuk mencuri. Semua orang di rumah subsidi, hidup dengan utang-utangnya sendiri hingga tidak sempat bertegur sapa dengan tetangga, tetapi tidak demikian dengan keluarga Desak Ari. Tidak ada tembok yang menjulan untuk memisahkan satu keluarga dengan keluarga lainnya. Keluarga Desak Ari selalu ramai, walaupun rumahnya agak berjauhan, tetapi mereka saling menawarkan masakan mereka masing-masing. Setiap malam mereka berkumpul di rumah ibu Desak Ari untuk karoke atau bermain kartu, tanpa taruhan.
Rumah yang ditempati Desak Ari sejak lahir menjadi bangunan utama dengan 5 kamar yang berukuran sama. Desak Ari dan saudara-saudaranya yang belum menikah bebas tidur dimana saja, tidak dipisahkan oleh gender. Ayah dan ibu Desak Ari tidak pernah membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. 
Sebelum ayah Desak Ari meninggal, ia membuat wasiat pembagian harta kekayaan berupa aset tanah sawah di beberapa desa. Anak laki maupun perempuan mendapat lahan sawah yang hampir sama luasnya. Bahkan Desak Ari waktu itu berusia 10 tahun, sudah mendapat bagian aset tanah sawah yang pengolahannya diberikan kepada kakak kedua yang laki-laki. Dengan bagian masing-masing 10 hektar, kakak-kakak Desak Ari sudah bertambah kekayaannya. Semua kakaknya yang sudah cukup usia untuk memiliki tanah, telah mengubah nama kepemilikan tanah menjadi nama mereka masing-masing. 
Desak Ari tidak pernah merasa kesepian karena kakak-kakaknya selalu membuat kejutan. Halaman rumahnya selalu ramai. Ada saja acara yang dibuat, ada saja yang punya acara atau yadnya.
"Desak Ari, hari ini adalah ulang tahunmu ke 17 tahun. Ibu sudah memesan 5 ekor be guling utuk merayakannya," kata ibunya sembari mengelus rambut Desak Ari yang panjang sepinggang.
"Desak Ari, begitu sayang ibu kepadamu, ayo cepat mandi, sebentar lagi gulingnya akan tiba dan kita akan pesta," kata Desak Yuni menambahkan untuk menunjukkan rasa sayangnya kepada adik Bungsunya.
Sebenarnya, Desak Ari adalah anak yang tidak diinginkan. Ibunya sudah memiliki 12 anak saat itu. Anak laki-lakinya sudah 5 orang menikah saat itu dan sudah memiliki anak, ada yang satu, ada yang sudah dua anak. Hampir semua orangtua berpesan bahwa banyak anak banyak rezeki, tetapi kehadiran Desak Ari benar-benar sangat memalukan saat itu karena saat hamil, ibu Desak Ari sudah berusia 53 tahun. Benar-benar memalukan jika Desak Ari terlahir saat itu. 
"Desak Biang, sing ngejang-ngejang buang!" Begitu katanya orang-orang di pasar mencibirinya. 
Ketika kandungannya masih berusia 3 bulan, Desak Ari nyaris digugurkan dari kandungan. Ibu Desak Ari minum alkohol, nanas, dan ramuan lainnya yang dipercaya dapat menggugurkan kandungan. Ibu Desak Ari, tidak berhasil menggugurkannya hingga usia kandungannya sudah 5 bulan. Akhirnya, ibu Desak Ari menyerah dan membiarkan Desak Ari terlahir. Walaupun terlahir dengan selamat, ibu Desak Ari tidak bahagia karena rasa malunya lebih besar dari kebahagiaannya memiliki anak ke-13. Desak Ari yang kehadirannya tidak diharapkan, justru mendapat kasih sayang yang melimpah dari kakak-kakaknya. Keberlimpahan ini bukan tanpa alasan. Desak Ari sejak kecil sangat ramah, lucu, dan rajin membantu orangtuanya. 
"Sak, istirahat dulu, jangan langsung kerja! Apalagi, Biang dengar ada tetangga bilang ibu menyiksa anak di bawah umur!" Kata Desak Turing, Ibu Desak Ari yang sangat cantik dengan nada membentak.
"Tidak, Biang. Saya harus menyelesaikan pekerjaan dulu, baru istirahat," jawab Desak Ari dengan lembut. 
"Sudah terlambat kalau kamu mau mati sekarang karena kelelahan! Mengapa kamu tidak mati saja saat aku gugurkan?" 
"Maaf, Biang. Saya tidak lelah." jawab Desak Ari yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain ketimang kepentingan dirinya sendiri. Kalau pekerjaan yang dibebankan kepadanya belum selesai, ia tidak akan pernah beristirahat. 
Dengan kemampuannya mengelola pekerjaan sejak belia, saat bekerja di Dinas Pendidikan, Desak Ari selalu berhasil membuat program-program yang menarik dan bisa dilakukan banyak orang. Kakak-kakaknya sangat bangga kepadanya. Desak Ari benar-benar sudah sangat dewasa dan matang dalam segala hal.
"Desak, kamu kapan nikah? Kamu sudah bekerja. Apakah pacarmu belum tertarik sama kamu untuk menikah?" tanya Desak Made Ramen, kakak peremuan Desak Ari. Sebagai kakak perempuan tertua, Desak Ramen selalu mendesak Desak Ari untuk menikah. 
"Kamu sudah mapan. Pekerjaanmu selalu beres. Tabunganmu banyak. Bli Dewa Raka sudah memindahkan aset warisan ayah menjadi atas namamu. Apalagi yang ditunggu? Ayo segera menikah! Tahun ini kamu memasuki usia 30 tahun. Ponakanmu saja, Desak Suini sudah menikah. Dia kan ponakanmu yang sebaya. Anaknya sebentar lagi masuk SD. Apa yang kamu takutkan?" Desak Ramen terus mendesak Desak Ari untuk menikah.
"Apa yang ditakutkan? Adikmu takut kehilangan warisan! Dia mau semuanya! Betapa serakahnya kamu, Desak Ari!" Kata ibunya menyela dengan ketus.
"Tidak, Biang. Tidak seperti itu. Tunggu dulu, Mbok. Saya masih ingin bersama Biang. Kasihan Biang, semakin tua. Kalau saya tinggal sendirian, siapa nanti yang urus, Biang?" Desak Ari menahan tangis. 
"Sak, kamu jangan menjadikan Biang sebagai alasan tidak menikah. I Kadek, pacarmu sudah berulang meminang kamu. Dia merayu Biang supaya kamu mau menikah. Nanti, Biang dikira tidak merestui kamu. Kalian tentu tahu bahwa Biang tidak pernah membedakan gender. Mau laki-laki atau perempuan, status kalian sebagai anak Biang sama saja, asalkan kalian sudah punya kerjaan dan siap memikul tanggung jawab, Biang izinkan kalian menikah. Kalian juga tidak perlu memertahankan kasta. Bagi Biang, kasta itu hanya suratan takdir bahwa kamu terlahir sebagai satria. Tidak seorangpun bisa menentukan akan terlahir di kasta Barahmana, Kesatria, Waisya, atau Sudra. Jadi, apa alasanmu menolak lamaran I Kadek Rena kalau bukan untuk menyakiti ibu?"
"Ibu, jangan berkata seperti itu. Saya tidak pernah ingin melukai ibu. Saya ingin lebih lama bersama ibu. Rumah ini sangat besar. Kakak sudah punya keluarga dan rumah sendiri, kalau saya menikah, siapa yang ngurus rumah ini?"
"Ah, alasan saja! Sejak dalam kandungan, kamu sudah mempermalukan Biang! Sekarang kamu tidak ingin menikah? Tahukah kamu bahwa orang-orang di pasar mengatakan yang tidak-tidak tentang kamu. Kamu tidak menikah karena Biang mengikatmu dengan upacara di Kemulan. Belakangan, mereka bilang, kamu itu ingin operasi kelamin jadi laki-laki hanya demi mendapat warisan yang lebih banyak!" Desak Biang Turing yang berambut pendek menunjukkan mata mendelik hingga anak-anaknya tidak berani lagi menyahut. 
"Sak! Jangan sekali-sekali kamu menjadikan rasa kasihanmu kepada Biang sebagai alasan untuk tidak menikah. Biang sudah sangat lama menanggung malu karena kelahiranmu! Ayahmu meninggalkan deposito yang sangat besar untuk Biang. Untuk perawatan, Biang bisa panggil suster. Banyak kok lulusan SMK Kesehatan yang nganggur, mereka juga bisa Biang suruh merawat Biang. Oh ya, anak Putu Nadi yang tinggal di depan rumah kita, pernah minta tolong dicarikan kerja. Dia lulusan SMK Kesehatan, pasti bisa rawat Biang karena saat dulu sekolah, dia sangat pintar dan praktiknya di rumah sakit umum."
"Bu, mengapa saya diusir seperti ini? Saya belum mau menikah. Saya ingin merawat Biang. Saya ingin menemani masa tua Biang."
" Apakah Biang orang yang cacat sehingga harus kamu urus? Sampai kapan, Sak? Sampai Biang mati? Bagaimana kalau Biang diberi umur panjang? Kamu akan menua, dan sendirian! Apakah Biang harus mati dulu, supaya kamu berhenti membuat Biang malu?" Bentak Desak Biang Turing.
"Biang, saya sering dibentak. Tidak seperti kakak-kakak lainnya, yang selalu Biang sayangi dan Biang manjakan. Saya tahu, saya anak yang tidak Biang harapkan. Karena itulah saya selalu melakukan yang terbaik agar Biang bisa lebih sayang kepada saya. Tolonglah, Biang. Berikan saya kasih sayang sama seperti anak lainnya!" Desak Ari menangis sambil bersimpuh di kaki ibunya. Ibunya tidak bersedia mendengarkan tangisan Desak Ari dan berdiri tegak dengan melipat kedua tangannya di depan. Lantas ibu Desak Ari menjauhi rengekan.
"Berhenti menangis! Kakak-kakakmu sangat jarang menangis dan tidak cerewet seperti kamu! Jelas saja kamu berbeda dengan kakak-kakakmu!" Ibu Desak Ari menegaskan. 
"Mengapa, Biang? Apakah salah saya terlahir ke dunia ini? Bahkan seekor singa, tidak akan menggigit anaknya! Mengapa sejak kecil saya diperlakukan sangat berbeda dengan kakak?"
"Menikahlah! Usiamu sudah semakin bertambah!" Tegas ibu Desak Ari tanpa menoleh sedikitpun ke arah Desak Ari.
"Sebelum saya diperlakukan sama seperti kakak, saya tidak mau menikah!" Desak Ari memberontak dan kembali memegang kaki ibunya.
Desak Meri dan Desak Yuni yang kebetulan datang di rumah mendekati ibunya. Sementara saudara yang lainnya yang sudah berada di tempat itu sejak perdebatan pernikahan Desak Ari, hanya diam dan patuh dengan posisinya sebagai anak yang penurut.
"Biang, jangan semarah itu dengan Desak Ari. Dia juga anak Biang. Kalau sudah saatnya, dia pasti akan menikah! Jangan dipaksakan seperti itu!" Desak Meri memohon kepada ibunya dan Desak Yuni menenangkan Desak Ari agar berhenti menangis.
"Kalian tidak mengerti. Karena Biang sangat menyayanginya, makanya Biang memintanya segera menikah. Sejak kecil Biang sangat keras dengannya karena Biang tidak tahu kapan akan meninggal. Biang sudah tua, dia harus berjuang untuk bertahan hidup. Kalau Biang tidak kejam kepadanya, mungkinkah dia sepintar sekarang dan mendapat jabatan di dinas pendidikan?"
Desak Turing terjatuh dari pendiriannya yang teguh. Seketika semua terkejut, mengerumuninya dan melihat tarikan nafas terakhir Desak Turing.
***
Desak Ari sudah menikah. Dia selalu pulang ke rumah ibunya membawa oleh-oleh jaje laklak, jus tomat, atau madu asli kle-kle sebotol. Semua itu dikemas dalam sesajian berupa penek-sesajen untuk leluhur yang sudah diabenyang dihaturkan di paibon-tempat sembahyang leluhur. Ia sangat ingat bahwa ibunya sangat suka minum madu dan makanan itu. Desak Ari datang setiap hari raya Galungan, Kuningan, dan Pagerwesi. Saat berkunjung ke rumah, tidak ada siapa-siapa. Kakak-kakaknya sangat sibuk dengan urusan mereka sendiri. Kakak-kakaknya sudah punya beberapa villa, bahkan ada yang memiliki hotel. Sawah-sawah warisan mereka sudah dikelola oleh penyakap. Beberapa kakaknya, sudah punya toko sembako. Satu kakak laki-lakinya sudah punya perusahaan nasional di bidang galian sumber daya mineral. Rumah ibu Desak Ari menjadi sangat sepi. Lumut-lumut sudah semakin banyak di tembok-tembok itu. Datang ke rumah itu, Desak Ari hanya sempat menyapu lantai dan membersihkan kaca dari debu. Ibunya kini telah meninggal. Warga yang berbelanja di pasar masih sangat sering membicarakan kematian Desak Turing telah dibunuh oleh anaknya sendiri, Desak Ari. Itulah yang membuat Desak Ari selalu menangis. Ia yang masih sangat ingat peristiwa kematian ibu negara Tien Soeharto, masih memendam kesedihan, bertambah sedih lagi karena kematian ibunya sendiri. Sebagian anak mungkin saja bisa melupakan kematian orangtuanya pada usia senja, tidak demikian dengan Desak Ari yang bahkan belum lupa dengan kematian seorang ibu negarawan. Sementara anak-anak bangsa yang lain mungkin sudah lupa bersedih akibat ditinggal oleh mendiang Ibu Tien Soeharto, atau bahkan sudah tidak mengenal Siti Hartinah.

Bungkulan-Tukadmungga, September 2025
Seorang anak harus tetap berbakti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bantul

BANTUL SUDAH RATA DENGAN TANAH “Bantul kabarnya sudah rata dengan tanah!” desah orang-orang di sebelah. Wajah mereka hampir menunjukkan eks...