Selasa, 25 April 2023

Analisis Puisi "Sajak Seenggok Jagung"

1. Tema

Puisi “Seonggok Jagung”, bila dianalisis secara umum, temanya mengenai pendidikan. Puisi tersebut berbicara mengenai kegagalan dalam pendidikan dan kurangnya lapangan pekerjaan. Jika dilihat pada bait pertama,

"Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda yang kurang sekolahan"

Pembaca tentunya mudah menafsirkan bahwa puisi tersebut berbicara tentang pendidikan. Bait tersebut menjelaskan bahwa ada seorang pemuda yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini didukung pula pada tiap bait, dari bait kedua hingga bait ketujuh. Pada tiap bait puisi tersebut terdapat penggunaan kata-kata yang mengambarkan pendidikan. Kata-kata tersebut antara lain; kurang sekolahan, tammat S.L.A, buku, pendidikan, dan

Puisi ini juga bertemakan kritik terhadap dunia pendidikan. W. S. Rendra menciptakan puisi “Seonggok Jagung” tersebut pada tahun 1975. Jika menilik kenyataan sejarah, pada tahun 1974 terjadi peristiwa malari (malapetaka 15 Januari). Saat itu timbul kritik yang keras terhadap industrialisasi dan penanaman modal asing. Rendra termasuk penyair yang mengkhawatirkan bahwa dengan adanya industrialisasi akan mengakibatkan rakyat jelata semakin miskin. Ia bersikap terlalu pesimistis terhadap industrialisasi dan penanaman modal asing, sehingga kritik yang dikemukakan begitu keras.


2. Nada/Suasana

Seorang penyair dalam menulis puisi mempunyai sikap tertentu terhadap

bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca (Waluyo, 1987:125). Nada yang terdapat dalam puisi “Seonggok Jagung” adalah nada bercerita sambil menyindir. Contoh nada bercerita sambil menyindir yang digunakan penyair

dapat dilihat pada bait pertama, kedua, dan bait kedelapan.

Bait pertama:

Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda yang kurang sekolahan

Bait kedua:

Memandang jagung itu, sang pemuda melihat ladang ia melihat petani;

ia melihat panen; dan suatu hari subuh,

para wanita dengan gendongan pergi ke pasar ... Dan ia juga melihat

suatu pagi hari di dekat sumur gadis-gadis bercanda sambil menumbuk jagung menjadi maisena.

Sedang di dalam dapur tungku-tungku menyala. Di dalam udara murni tercium bau kuwe jagung.

Bait kedelapan:

Aku bertanya:

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya ?

Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibu kota

kikuk pulang ke daerahnya ? ...

Bait pertama dan kedua, penyair menceritakan seorang pemuda yangb erpendidikan dan yang tidak mampu melanjutkan pendidikan.

Suasana yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Penyair berharap pembaca dapat mendukung ketidakpuasannya terhadap dunia pendidikan yang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa yang tetap bercita-cita mencapai masyarakat adil dan makmur, maka ketidakadilan dalam dunia pendidikan harus diberantas.


3. Diksi
Diksi adalah pilihan kata di dalam tulisan yang digunakan untuk memberi makna sesuai dengan keinginan penulis. Syarat diksi adalah tepat, benar, dan lazim. Pemilihan diksi yang tidak tepat menyebabkan perbedaan makna dan pesan penulis tidak tersampaikan. Diksi termasuk dalam pembahasan aspek kata dalam sajak.
W.S. Rendra memilih kata-kata sehari-hari untuk menuangkan ide. Namun yang membuat unik dari diksi W. S Rendra adalah penggunaan kata seonggok. Mengapa ada jagung di kamar? Kata-kata itu diulang beberapa kali untuk memberi penekanan. Itulah kata yang dipilih oleh penyair untuk menyatakan kemiskinan yang terjadi.

4. Majas
Majas yang digunakan pada puisi "Sajak Seonggok Jagung" adalah sebagai berikut.

a) Metafora

Metafora adalah sebuah kiasan langsung tapi tidak menggunakan kata pembanding, atau melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker viaPradopo, 2009:66). Penggunaan metafora pada puisi “Seonggok Jagung” terdapat pada bait kedua dan keenam.

Bait ke dua:

Memandang jagung itu, sang pemuda melihat ladang ia melihat petani;

ia melihat panen; ...

Bait ke enam:

Ia memandang jagung itu

dan melihat dirinya terlunta-lunta.

Ia melihat dirinya ditendang dari discotique. Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalage. Ia melihat saingannya naik sepeda motor.

Ia melihat nomor-nomor lotre.

Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal. ...

5. Kata Konkret
6. Kata Konotatif
7. Pencitraan
8. Tipografi 
9. Ritme
10. Rima

Analisis Puisi "Pada Suatu Hari Nanti"

1. Tema
Tema menjadi dasar proses kreatif penyair dalam melahirkan puisi. Tema mewakili ekspresi jiwa penyair terhadap perkembangan masyarakat. Penyair yang peka, menangkap dan mengekspresikan tema-tema yang berkembang atau sedang hangat dibicarakan.
Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" mengangkat tema demokrasi. Hal ini terlihat jelas dalam kutipan berikut, "Suaraku tak terdengar lagi". Suara identik dengan aspirasi masyarakat kepada para pejabat atau yang menyerap aspirasi masyarakat. Dalam hal ini, penyair menyadari betapa demokrasi menjadi hal yang dikritik karena aspirasi masyarakat kurang terserap aspirasi pada masa itu, yakni sesuai dengan penciptaan puisi sekitar tahun 1990an. Pada masa itu pula, Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah sebagai pelaksana aspirasi rakyat. 

2. Nada/Suasana
Nada adalah sikap seorang penyair dalam puisinya sehingga efeknya terasa oleh pembaca. Nada adalah cara penyair menyampaikan puisinya sesuai dengan pilihan kata-katanya. Misalnya, puisi yang bernada protes, sinis, marah, serius, bahagia, haru, sedih, semangat, hingga bersenda gurau.
Suasana adalah perasaan pembaca setelah membaca puisi. Jika nada adalah cara penyair menyampaikan puisinya, suasana adalah efek yang dirasakan pembaca setelah membaca atau mendengar puisi yang dibacakan oleh penyair. Misalnya, saat penyair membacakan puisi penuh semangat, pembaca akan merasakan suasana yang sama. Pembaca juga dapat merasakan suasana puisi melalui pilihan kata yang digunakan penyair dalam puisi. Misalnya, saat membaca puisi yang menggambarkan kondisi alam, pembaca akan merasa damai.
Penulis puisi "Pada Suatu Hari Nanti" sangat menekankan proses kreatifnya pada nada berteriak, menakuti, dan mengkritisi pemerintah yang tak mau mendengar suara lagi.  Bait 1, penyair meneriakkan bahwa akan selalu memantau dengan baris, "Tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri" Begitulah cara rakyat memantau pemerintahan yang berkuasa. 

3. Diksi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan.
Penyair pada puisi ini, memilih kata-kata yang menyeramkan seperti penggunaan kata "jasadku", "kusiasati" seolah terjadi perang. Siapa yang melawan dan siapa yang dilawan tidak ditunjukkan secara jelas pada puisi ini. Namun, apa yang diteriakkan sangat jelas dengan mengulang syair, "Pada Suatu Hari Nanti" Dalam hal ini, penyair memiliki visi dengan memilih kata-kata itu sebagai hal yang ingin diraih. 

4. Majas
Majas atau gaya bahasa yaitu pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu yang membuat sebuah karya sastra semakin hidup, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.

Dengan mengulang kata-kata, "Pada Suatu Hari Nanti" penyair membuat pengulangan pada awal baris. Ini adalah majas pararelisme. 

5. Kata Konkret
Kata konkret adalah kata yang berwujud, dapat dilihat, dapat diraba.
Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" menggunakan kata konkret seperti jazad, larik-larik sajak, dan bait-bait sajak.

6. Kata Konotatif
Makna konotatif adalah makna kata yang tidak sebenarnya, kata yang sudah mengalami penambahan makna dasarnya yakni yang memberi nilai rasa baik positif atau negatif.
Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" menggunakan kata bermakna jazad yang memiliki makna lain, yakni badan, tubuh, atau wujud. Jazad memiliki makna yang lebih luas/meluas daripada tubuh.

7. Pencitraan
Pencitraan adalah proses memberi gambaran seakan-akan kita mendengar, melihat, merasakan sebagaimana digambarkan oleh puisi yang dibaca atau dengar.
Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" menggunakan penceritaan pengelihatan dengan menggunakan kata jazad. Selain itu, puisi ini juga menggunakan penceritaan pendengaran dengan menggunakan kata suaraku.

8. Tipografi 
Dari segi tipografi, puisi "Pada Suatu Hari Nanti" menggunakan penulisan rata kiri. Tiap bait memiliki 4 baris.

9. Ritme
Ritme puisi adalah alunan yang terjadi akibat pengulangan serta pergantian kesatuan bunyi. Ritme puisi "Pada Suatu Hari Nanti" disusun dengan pengulangan jumlah bunyi sebagai contoh baris pertama, pada tiap bait memiliki jumah suku kata yang sama. Begitu pula baris-baris lainnya menggunkan jumlah suku kata yang relatif sama.

10. Rima
Rima pengulangan bunyi yang ada dalam kata maupun suku kata yang ada dalam puisi. Biasanya, rima puisi akan terletak pada bagian akhir baris puisi. Dengan adanya rima puisi, maka puisi pun akan menjadi lebih indah dan memiliki efek intelektual maupun efek magis.
"Pada Suatu Hari Nanti" disusun dengan pengulangan bunyi i pada tiap akhir baris. Jadi, kalau puisi ini dinyanyikan, akan sangat mudah mencari ritme musiknya.
1. Tema
Tema menjadi dasar proses kreatif penyair dalam melahirkan puisi. Tema mewakili ekspresi jiwa penyair terhadap perkembangan masyarakat. Penyair yang peka, menangkap dan mengekspresikan tema-tema yang berkembang atau sedang hangat dibicarakan.
Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" mengangkat tema demokrasi. Hal ini terlihat jelas dalam kutipan berikut, "Suaraku tak terdengar lagi". Suara identik dengan aspirasi masyarakat kepada para pejabat atau yang menyerap aspirasi masyarakat. Dalam hal ini, penyair menyadari betapa demokrasi menjadi hal yang dikritik karena aspirasi masyarakat kurang terserap aspirasi pada masa itu, yakni sesuai dengan penciptaan puisi sekitar tahun 1990an. Pada masa itu pula, Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah sebagai pelaksana aspirasi rakyat. 

2. Nada/Suasana
Nada adalah sikap seorang penyair dalam puisinya sehingga efeknya terasa oleh pembaca. Nada adalah cara penyair menyampaikan puisinya sesuai dengan pilihan kata-katanya. Misalnya, puisi yang bernada protes, sinis, marah, serius, bahagia, haru, sedih, semangat, hingga bersenda gurau.

Suasana adalah perasaan pembaca setelah membaca puisi. Jika nada adalah cara penyair menyampaikan puisinya, suasana adalah efek yang dirasakan pembaca setelah membaca atau mendengar puisi yang dibacakan oleh penyair. Misalnya, saat penyair membacakan puisi penuh semangat, pembaca akan merasakan suasana yang sama. Pembaca juga dapat merasakan suasana puisi melalui pilihan kata yang digunakan penyair dalam puisi. Misalnya, saat membaca puisi yang menggambarkan kondisi alam, pembaca akan merasa damai.
Penulis puisi "Pada Suatu Hari Nanti" sangat menekankan proses kreatifnya pada nada berteriak, menakuti, dan mengkritisi pemerintah yang tak mau mendengar suara lagi.  Bait 1, penyair meneriakkan bahwa akan selalu memantau dengan baris, "Tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri" Begitulah cara rakyat memantau pemerintahan yang berkuasa. 

3. Diksi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan.
Penyair pada puisi ini, memilih kata-kata yang menyeramkan seperti penggunaan kata "jasadku", "kusiasati" seolah terjadi perang. Siapa yang melawan dan siapa yang dilawan tidak ditunjukkan secara jelas pada puisi ini. Namun, apa yang diteriakkan sangat jelas dengan mengulang syair, "Pada Suatu Hari Nanti" Dalam hal ini, penyair memiliki visi dengan memilih kata-kata itu sebagai hal yang ingin diraih. 

4. Majas
Majas atau gaya bahasa yaitu pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu yang membuat sebuah karya sastra semakin hidup, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.

Dengan mengulang kata-kata, "Pada Suatu Hari Nanti" penyair membuat pengulangan pada awal baris. Ini adalah majas pararelisme. 

5. Kata Konkret
Kata konkret adalah kata yang berwujud, dapat dilihat, dapat diraba.
Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" menggunakan kata konkret seperti jazad, larik-larik sajak, dan bait-bait sajak.

6. Kata Konotatif
Makna konotatif adalah makna kata yang tidak sebenarnya, kata yang sudah mengalami penambahan makna dasarnya yakni yang memberi nilai rasa baik positif atau negatif.
Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" menggunakan kata bermakna jazad yang memiliki makna lain, yakni badan, tubuh, atau wujud. Jazad memiliki makna yang lebih luas/meluas daripada tubuh.

7. Pencitraan
Pencitraan adalah proses memberi gambaran seakan-akan kita mendengar, melihat, merasakan sebagaimana digambarkan oleh puisi yang dibaca atau dengar.
Puisi "Pada Suatu Hari Nanti" menggunakan penceritaan pengelihatan dengan menggunakan kata jazad. Selain itu, puisi ini juga menggunakan penceritaan pendengaran dengan menggunakan kata suaraku.

8. Tipografi 
Dari segi tipografi, puisi "Pada Suatu Hari Nanti" menggunakan penulisan rata kiri. Tiap bait memiliki 4 baris.

9. Ritme
Ritme puisi adalah alunan yang terjadi akibat pengulangan serta pergantian kesatuan bunyi. Ritme puisi "Pada Suatu Hari Nanti" disusun dengan pengulangan jumlah bunyi sebagai contoh baris pertama, pada tiap bait memiliki jumah suku kata yang sama. Begitu pula baris-baris lainnya menggunkan jumlah suku kata yang relatif sama.

10. Rima
Rima pengulangan bunyi yang ada dalam kata maupun suku kata yang ada dalam puisi. Biasanya, rima puisi akan terletak pada bagian akhir baris puisi. Dengan adanya rima puisi, maka puisi pun akan menjadi lebih indah dan memiliki efek intelektual maupun efek magis.
"Pada Suatu Hari Nanti" disusun dengan pengulangan bunyi i pada tiap akhir baris. Jadi, kalau puisi ini dinyanyikan, akan sangat mudah mencari ritme musiknya.

Naskah Bebondres

Bondres merupakan salah satu kesenian tradisional Bali. Pada mulanya, Bondres merupakan selingan dalam kesenian topeng di Bali. Namun, belak...