Sabtu, 24 April 2021
Pembelajaran Genre Teks Cerpen Berbasis Masalah
CERPEN
BERBASIS MASALAH
OLEH
LUH ARIK SARIADI, S.Pd.
PESERTA PPG DALAM JABATAN
ANGKATAN 1 TAHUN 2021
PEMBELAJARAN GENRE TEKS CERPEN
BERBASIS MASALAH DALAM KURIKULUM 2013
PENDAHULUAN
Deskripsi Singkat
................................................................................................ 2
Relevansi ............................................................................................................. 2
Petunjuk Belajar .................................................................................................. 2
INTI
Capaian Pembelajaran......................................................................................... 3
Subcapaian Pembelajaran.................................................................................... 3
Uraian Materi ..................................................................................................... 3
A. Pengertian
Cerpen .......................................................................................... 3
B. Struktur Cerpen .............................................................................................. 4
C. Unsur-unsur Pembangun Cerpen.................................................................... 10
D. Unsur
Kebahasaan Cerpen ............................................................................. 15
Forum Diskusi..................................................................................................... 16
PENUTUP
Rangkuman ......................................................................................................... 18
Tes Formatif ........................................................................................................ 18
Daftar Pustaka
PENDAHULUAN
Deskripsi Singkat
Pada kegiatan belajar ini, Anda akan mempelajari cerpen sebagai bagian dari genre teks
dalam Kurikulum 2013. Kajian
didasarkan pada Kompetensi Dasar terkait genre teks fiksi jenjang SMA/MA/SMK dalam Kurikulum 2013.
Kegiatan belajar ini difokuskan pada materi cerpen. Dengan metode pembelajaran
berbasis masalah (Problem Base Learning), pembelajaran genre teks cerpen
dikemas secara sederhana agar peserta didik mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan dalam membaca dan menulis cerpen.
Relevansi
Modul ini relevan untuk mendukung pembelajaran teks berbasis genre pada jenjang SMA/MA/SMK.
Dalam pembelajaran dengan Kurikulum 2013, KD 3.9
Menganalisis unsur-unsur pembangun cerita pendek dalam buku kumpulan cerita
pendek dan KD 4.9 Mengkonstruksi sebuah cerita pendek dengan memerhatikan unsur-unsur
pembangun cerpen, berada pada
tingkat XI. Dua pasang KD ini sangat relevan dengan pembelajaran berbasis
masalah dengan pengembangan keterampilan membaca dan menulis.
Petunjuk Belajar
Ada beberapa
hal yang
perlu Anda perhatikan terkait
dengan
pembelajaran ini.
1. Bacalah
dengan cermat berbagai materi yang terdapat pada modul ini agar Anda dapat memahami setiap
konsep
yang disajikan.
2. Berilah
tanda-tanda tertentu
dan catatan khusus
bagian-bagian yang Anda anggap penting.
3. Anda
harus mengaitkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lain yang
telah Anda pelajari sebelumnya.
4. Anda
juga harus menghubungkan berbagai konsep tersebut dengan berbagai kegiatan pembelajaran sehingga Anda dapat memahami dan menjelaskan
manfaat konsep tersebut dalam
proses pembelajaran.
5. Buatlah rangkuman setelah selesai membaca modul ini. Rangkuman yang Anda buat sesuai pemahaman
Anda sendiri dibandungkan dengan rangkuman yang ada pada modul ini.
6. Untuk mengetahui penguasaan materi yang telah Anda baca, kerjakan tugas atau
latihan yang terdapat pada
modul ini. Kerjakan dengan sungguh-sungguh tanpa melihat kunci jawaban terlebih dahulu. Setelah selesai mengerjakan, Anda boleh
mencocokkan dengan kunci jawaban.
INTI
Capaian pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran ini, Anda mampu membaca dan menulis
cerpen.
Subcapaian Pembelajaran
1.
Mampu menganalisis
unsur-unsur pembangun cerita pendek dalam buku kumpulan cerita pendek.
2.
Mampu mengkonstruksi sebuah cerita
pendek dengan memerhatikan unsur-unsur pembangun cerpen,
Uraian Materi
A. Pengertian Cerpen
Anda mungkin memiliki pendapat bahwa cerpen
merupakan suatu karya sastra dalam bentuk tulisan yang mengisahkan tentang
sebuah cerita fiksi lalu dikemas secara pendek, jelas dan ringkas.
Cerpen biasanya hanya mengisahkan cerita pendek tentang permasalahan yang
dialami satu tokoh saja. Cerpen juga bisa disebut sebagai fiksi prosa karena
cerita yang disuguhkan hanya berfokus pada satu konflik permasalahan yang
dialami oleh tokoh mulai dari pengenalah karakter hingga penyelesaian
permasalahan yang dialami oleh tokoh. Cerpen juga terdiri tidak lebih dari
10.000 kata saja. Banyak orang menyebutkan bahwa cerpen itu singkatan dari
cerita pendek. Saat membaca cerpen biasanya sangat cepat selesai. Selain itu,
isi cerpen juga sangat mudah dipahami karena ceritanya yang relatif pendek.
Oleh karena itu, banyak orang yang suka dengan cerita pendek.
Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang cerpen,
mari kita cermati berbagai pandangan tentang cerpen.
1. Menurut KBBI
Cerpen merupakan
cerita pendek yang berisi tentang kisah cerita yang berisi tidak lebih dari 10
ribu kata. Pada umumnya cerita pada cerpen bisa memberikan kesan dominan dan
berkonsentrasi pada permasalahan satu tokoh. Menurutnya dalam cerpen tidak ada
cerita hingga 100 halaman.
2. Menurut Nugroho Notosusanto Dalam Tarigan
Menurut Nugroho
Notosusanto cerpen adalah kisah cerita pendek yang dibuat dalam jumlah kata
mulai dari 5000 kata beserta memperkirakan 17 pp kuarto spasi ganda. Selain itu
kisah pada cerpen hanya berpusat pada dirinya sendiri yang berarti hanya pada
satu tokoh saja.
3. Menurut J.S Badudu
Menurut J.S Badudu
cerpen adalah cerita pendek yang yang berfokus dan berkonsentrasi pada satu
peristiwa kejadian. Pada peristiwa kejadian tersebut hanya mengisahkan satu
tokoh cerita saja.
4. Menurut Sumardjo
Menurutnya cerpen
adalah kisah cerita yang tidak benar-benar terjadi di dunia nyata. Namun cerita
tersebut bisa terjadi dimana dan kapan saja bahkan di dunia nyata dan ceritanya
relatif singkat dan pendek.
5. Menurut Hendy
Menurut Hendy,
cerpen merupakan cerita pendek yang ditulis secara singkat dan pendek. Tulisan
pada cerpen tidak diceritakan terlalu panjang serta berisi tentang kisah narasi
tunggal.
6. Menurut J.S Badudu
Menurut Badudu
cerpen adalah suatu karya cerita yang berpusat pada satu peristiwa kejadian
yang dialami oleh satu tokoh saja. Kisah yang terjadi pada cerpen terjadi
karena peristiwa yang menumbuhkan peristiwa tersebut.
7. Menurut Aoh. K.H
Menurut Aoh. K.H
cerpen merupakan prosa pendek dimana kisah ceritanya ditulis secara fiksi dan
fantasi.
8. Menurut H.B Jassin
Cerpen merupakan
sebuah cerita pendek yang memiliki bagian dimana terdapat struktur yang lengkap
mulai dari perkenalan, permasalahan dan penyelesaian dari masalah tersebut.
9. Menurut Saini
Menurut Saini
cerpen merupakan sebuah cerita pendek yang bersifat fiksi dan tidak terjadi di
dunia nyata akan tetapi dapat terjadi kapan saja serta dimana saja dalam kisah
cerita yang relatif singkat dan jelas.
10. Menurut A. Bakar Hamid
Menurut Hamid
cerpen merupakan cerita pendek yang memiliki ciri-ciri seperti jumlah kata yang
sedikit antara 500 hingga 10.000 kata dalam satu cerpen serta hanya memiliki
satu karakter tokoh saja.
B. Struktur
Cerpen
Berbicara
mengenai struktur teks cerpen, maka
beberapa
hal
berikut perlu
dipelajari. Cerpen
terdiri atas bagian-bagian
berikut.
1.
Abstrak
Abstrak disebut
juga ringkasan atau inti cerita yang akan dikembangkan pengarang
menjadi Rangkaian peristiwa yang dialami tokoh.
Teks cerpen ini bersifat opsional,
artinya sebuah teks cerpen bisa saja tidak melalui tahapan
ini.
2. Orientasi
Struktur orientasi merupakan bagian pendahuluan dalam
sebuah cerita
baik pengenalan
sifat
tokoh, latar cerita, maupun alur cerita.
3. Komplikasi
Struktur komplikasi atau konflik dapat terdiri dari satu
masalah. Berbagai konflik tersebut
akhirnya mengarah pada klimaks.
4. Evaluasi
Pada struktur
evaluasi, konflik yang terjadi diarahkan pada pemecahan masalah sehingga mulai
tampak
penyelesaiannya.
5. Resolusi
Pada tahap resolusi pengarang akan mengungkapkan solusi dari berbagai konflik yang dialami tokoh
6. Koda
Koda merupakan bagian akhir
dalam sebuah cerita.
Mari
kita cermati struktur teks cerpen Mati Sunyi karya Cok Sawitri!
1.
Abstrak
Koran-koran menulis tentang kematian
Bibiku. Banyak tokoh berkomentar bahwa bangsa ini telah kehilangan salah satu
anaknya yang terbaik. Seorang pejuang kemanusiaan telah pergi! Bangsa ini
berduka. Televisi pun tak kalah haru birunya, mulai berlomba menayangkan kisah
sang anak bangsa. Bahkan pemerintah mengumumkan pengibaran bendera setengah
tiang. Penghormatan diberikan karena anak bangsa ini telah mengharumkan nama
bangsa. Tercatat, di masa bangsa disorot sebagai bangsa yang kurang menghargai
hak asasi manusia, telah tampil seorang perempuan yang setiap kata dan
tindakannya menggetarkan hati. Membuat bangsa ini sanggup tegak menghadapi
hujan kritik atas berbagai persoalan kemanusiaan.
Andai saja politik sempit tidak ikut
bermain, seharusnya dialah yang pantas tahun lalu mendapatkan Nobel
Perdamaian!” begitu salah satu komentar koran lokal dengan sebuah berita yang
nyaris emosional mengutip komentar seorang tokoh nasional.
2. Orientasi
Sebagai keponakan, tiba-tiba aku
dianggap sebagai salah satu narasumber yang pas untuk memberi komentar mengenai
Bibiku-mungkin karena aku juga aktif di beberapa kegiatan sosial. Apalagi
akibat koran lokal yang tahu aku ada hubungan keluarga dengan Bibiku, namaku
sontak populer dan akibatnya aku pun sibuk menjawab pertanyaan wartawan
nasional dan internasional. Sibuk memberi penjelasan mengenai banyak hal,
termasuk rencana upacara kematian, upacara ngaben.
Tetapi alangkah sulitnya menjawab
pertanyaan-pertanyaan para wartawan dengan jujur. Apa yang mesti kukomentari?
Semua kisah hidup Bibi telah diketahui umum. Semua sepak terjang Bibi selalu
menjadi headline. Padahal, mereka kini ingin mencari yang lain, yang unik, yang
bisa didapat dari kisah hidup Bibiku. Bila perlu yang eksotik dan bernilai
berita, yang tersembunyi dalam hidup Bibiku. Ah, hidup Bibiku berjalan normal.
Perkawinannya bagus. Anak-anaknya pun tak ada yang aneh-aneh. Semua normal dan
lancar. Bibi seorang ibu, seorang istri. Manusia yang normal-normal saja.
Apalagi yang mesti ditulis?
3. Komplikasi
Yah, akhirnya mereka menjadikan
upacara ngaben itu sebagai angle penulisan. Lumayanlah untuk nilai keunikan.
Bukankah Bibi yang selama ini dikenal sangat modern, independen, dan berjarak
dengan adat bahkan sering mengkritik adat, ternyata di saat kematiannya akan
mengikuti ritus adat.
Bagi para pengejar berita, para
pengagum Bibi, rencana upacara itu dijadikan sebagai ungkapan kekaguman, betapa
Bibi, biarpun sudah mendunia, ternyata tetap setia pada tradisi. Waduh! Pejuang
kemanusiaan itu memang memiliki akar yang kuat. Akar tradisi dan kearifan
lokal. Sebagai bukti, betapa teguh kepribadiannya menghadapi berbagai perubahan
sekaligus berada dalam perubahan itu… terbukti biarpun berperilaku global…
upacara ngaben akan dilaksanakan… dst! dst!
Aku merunduk menahan sakit kepala.
Haruskah aku bilang, bagi desa ini,
desa di mana Bibi dilahirkan dan dibesarkan hingga remaja, Bibiku bukanlah
siapa- siapa. Sekalipun di masa hidupnya Bibi dan almarhum suaminya pernah
menjadi pejabat di kabupaten. Dan jika dirunut dari keturunan, Bibi dan
suaminya adalah keturunan bangsawan. Biarpun setiap hari Bibi jadi berita,
setiap minggu mendapat penghargaan.., tetap saja bagi masyarakat desa ini Bibi
bukan warga istimewa.
Bibi dan suaminya telah lama
meninggalkan desa ini, mengejar kemajuan. Ketika suaminya meninggal, Bibi
kemudian aktif di kegiatan kemanusiaan. Di era reformasi nama Bibi meroket
ketika menggerakkan aksi-aksi perdamaiannya. Namanya berkibar bukan saja di
tingkat nasional. Di kalangan internasional pun Bibi dihormati. Seruannya
didengarkan oleh para pemimpin dunia, juga para pemimpin spiritual.
Sebaliknya sejak lama, bagi desa ini,
Bibi tidak lagi bagian masyarakat. Bibi dan paman sudah lama tidak aktif di
banjar. Begitu pun anak-anaknya. Tidak pernah lagi mengikuti berbagai kegiatan
upacara dan sosial masyarakat desa. Kalaupun sesekali datang, mereka datang
untuk berlibur. Mengurus rumah dan tanah warisan. Atau pulang seperti sekarang,
di saat mati.
Ya, di jalan-jalan desa memang
berkibar bendera setengah tiang. Tetapi hampir tiga hari ini, sejak jasad Bibi
disemayamkan di rumah warisan, hanya beberapa warga desa saja yang datang
melayat. Mereka yang melayat itu, aku tahu, bukan karena hormat pada Bibi,
tetapi karena mengingat hubungan dengan keluarga yang lain. Mereka mengingat
pertemuan dengan ayahku, dengan para paman juga bibi-bibi yang lain. Sedangkan
warga lain memilih pura-pura tidak tahu-menahu.
Begitu pun dalam keluarga besar,
hampir semua memang datang melayat, tetapi semua bersikap sebagai tamu, tak ada
yang berlama-lama, semua seakan memberi isyarat. Dulu, bukankah begini caranya
Bibimu memperlakukan kami jika kami menghadapi kematian?
Aku mengerti sikap mereka. Keluarga
lain pun sama-sama memahami. Pembicaraan mengenai sikap Bibi semasa hidup
terhadap masyarakat dan keluarga memang sudah lama menjadi pergunjingan. Dan
sudah barang tentu, para sepupuku, anak-anak bibiku, tidak menyadari bahwa
diam-diam masyarakat dan keluarga tengah menghukum Bibi dan keluarga.
Protes khas atas sikap Bibi dan
anak-anaknya yang memang jarang pulang ke desa, jarang punya waktu untuk
acara-acara keluarga, tengah bergulir, diembuskan dalam udara desa yang tenang.
Begitu tenangnya, setenang perdamaian yang diperjuangkan oleh Bibiku.
Sudah diduga sejak lama akan datang
balasan semacam ini dari warga desa terhadap Bibi dan anak-anaknya. Balasannya
yang begitu halus, jauh dari komentar. Tanpa umpatan atau sesal mengenai sikap
Bibi selama hidup. Mereka tahu, jalan diam adalah yang terbaik menghadapi orang
yang sudah mati.
Yah, sejak lama aku pun mengalami
kegamangan. Setiap kali bermain ke Jakarta atau bertemu dengan beberapa tokoh
di negeri ini, lalu mereka bertanya dan menempatkan Bibi seolah-olah orang yang
amat berpengaruh di daerah asalnya, aku selalu tersedak dan hanya bisa
tersenyum miring.
Oh-ho! Bibi memang berjalan di atas
ide dan gagasannya sendiri. Pantas dikagumi. Wajar semua kagum atas sepak
terjangnya, apalagi kemajuan media massa, terutama koran-koran bila menuliskan
sikap keberpihakan Bibi terhadap kemanusiaan. Membuat Bibi di mana-mana
ditunggu kehadirannya. Dipanutkan dan didengarkan kata-katanya. Komentar Bibi
berpengaruh, selalu dikutip. Bibi memang hebat. Konsisten dan tidak diragukan
kejujurannya!
Tetapi, haruskah aku bilang kepada
para pengagumnya bahwa apa pun yang dilakukan Bibi tidak terkait dengan
masyarakat tempat asal-muasalnya. Semua aktivitasnya jauh dari desa ini. Ide
dan gagasan Bibi adalah untuk manusia dunia. Bukan manusia di desa. Sekalipun
desa kelahiran Bibi tak kalah banyak memiliki persoalan kemanusiaan; dari
kemiskinan sampai kriminal. Dari politik sampai kerusuhan. Sama seperti desa-
desa lain. Sama seperti persoalan-persoalan umum yang dihadapi masyarakat di
zaman ini. Sama seperti yang menjadi bahan perjuangan Bibiku.
Namun, Bibiku tidak pernah melibatkan
diri untuk mencari solusi dari persoalan di desanya sendiri. Yang diperjuangkan
Bibi adalah kemanusiaan nasional, internasional… seperti komentar seorang tokoh,
“Dia memang perempuan yang mendahului zamannya!”
Dan sungguh selalu membuatku tersenyum
miring, setiap kali ingat betapa banyak aktivis yang terkenal itu
terkagum-kagum pada Bibi dan mengira Bibi tentulah memiliki pengikut yang
fanatik dan solid. Astaga, haruskah aku bilang, Bibi tidaklah seperti tokoh
informal yang lazimnya dikenal di pedesaan. Yang dicintai buta oleh
masyarakatnya. Bibi bukan siap-siapa di desa kelahirannya. Bahkan andai dicoba
Bibi dilibatkan mengatasi suatu persoalan di desa kelahirannya, tidak usah
dipartaruhkan, apa pun saran Bibi tidak akan didengar oleh masyarakat desa
kelahirannya. Ironis memang, Bibi paling akan dikutip koran-koran. Seolah
komentarnya akan mengubah sikap seisi desa, tetapi itu hanya berita di koran.
Masyarakat desa punya tokoh sendiri. Tokoh yang hadir setiap saat dalam suka
dan duka, dalam bahasa mereka sendiri. Dan panutannya sendiri.
“Ibumu memang terkenal, tapi apa
gunanya keterkenalannya saat ini?! Kamu pikir semua orang akan datang membantu
mengurus upacara kematian ibumu?! Hanya karena dia orang terkenal?!”
Aku tercekat.
Paman Bungsuku mulai meraung dan
melotot kepada anak bibiku yang paling sulung. Sebagai salah satu pengurus Desa
Adat, Paman Bungsuku tentu tahu apa yang telah digunjingkan masyarakat terhadap
rencana ngaben Bibiku.
“Dari dulu telah aku sarankan, jika
ibumu meninggal, kremasi saja di Jawa! Jangan bermimpi membuat upacara kematian
yang besar. Biarpun kamu punya duit, bisa membeli apa saja, tetapi apa
gunanya?! Semua orang di desa ini enggan melayat. Enggan menolong kalian.
Karena apa? Karena kalian tidak pernah menganggap mereka ada dan hidup! Tanya
pada dirimu, apa pernah kamu ikut terlibat meneteskan keringat jika mereka
bikin upacara?! Sekarang kamu menuntut hak sebagai warga desa. Kewajibanmu
sendiri apa pernah kamu penuhi?! Apa begini yang namanya keadilan yang
diperjuangkan ibumu itu? Sekarang menuntut perlakuan yang sama. Tetapi apa
pernah ibumu memperlakukan mereka dengan adil?! Ibumu hanya bisa mengkritik
adat! Hanya bisa mengusulkan perubahan. Menyarankan persamaan sikap. Sekarang
mereka telah mematuhi ajaran ibumu. Menjalankan persamaan sikap terhadap sikap
ibumu kepada mereka!”
“Jadi, jangan muluk-muluk! Ibumu hanya
besar dalam berita. Tetapi dia sudah kehilangan akar. Kehilangan ikatan dengan
manusia yang dia perjuangkan! Terutama dengan manusia desa ini!”
Aku menyingkir jauh.
Para sepupuku tentu sulit mengerti.
Mereka sejak kecil jauh dari desa ini. Bahkan jauh dari negeri ini. Yang mereka
tahu, ibu mereka seorang terkenal, humanis yang dihormati oleh banyak orang.
Seorang ibu yang selalu penuh perhatian kepada banyak orang. Ibu yang penuh
kasih dan perhatian terhadap berbagai peristiwa ketidakadilan!
Logikanya, tentulah masyarakat desa
bangga pada ibunya. Tentulah desa ini akan berkabung berhari-hari, bersedih
atas kematian salah satu warganya yang ditempatkan sebagai tokoh kemanusiaan
dunia! Sewajarnya, masyarakat akan bergerak, tanpa diminta bahumembahu
menyukseskan upacara ngaben untuk kematian ibu mereka. Apalagi, bukankah dalam
buku-buku kisah desa ini dituturkan mengenai kuatnya tradisi gotong royong,
kasih sayang, dan harga-menghargai?
Teriakan-teriakan antara Paman
Bungsuku dan para sepupu itu perlahan lenyap. Lenyap oleh rumah besar yang
tetap sunyi sepi.
Pelayat-pelayat yang datang dari jauh,
yang mengenal Bibi dari koran dan ruang-ruang diskusi, yang kagum karena ide
dan gagasan Bibi, setiap kali datang tak dapat menahan ketersentakannya. Tak
sanggup menyembunyikan keheranan di mata mereka: kenapa sepi nian rumah besar
ini?! Bukankah dari yang mereka dengar dan baca, jika ada kematian, warga desa
akan datang berduyun-duyun melakukan kerja bakti. Apalagi akan ada rencana
upacara ngaben besar seorang tokoh yang begitu berpengaruh. Bukankah biasanya
bila salah satu warga saja yang mati, semua warga bila perlu berhari-hari
menginap di rumah duka sebagai tanda solidaritas dan penghormatan? Tetapi
inilah kenyataannya. Yang melayat Bibi hanyalah mereka yang dari jauh, yang
dekat seolah tidak tahu bahwa ada jasad di dalam rumah.
Oh, kembali perdebatan itu terdengar.
Kenapa tidak dikremasi di Jawa saja?
Atau di Denpasar? Sekarang toh bisa ngaben cepat tanpa harus menggunakan
upacara lengkap?! Kenapa anak- anak bibi merasa perlu memberi hadiah terakhir
sebuah upacara pengabenan lengkap? Astaga! Mereka tentu tidak bisa dilarang
membawa jasad bibi pulang. Tentu tidak bisa dilarang untuk merancang membuat
rencana upacara besar. Mereka ingin menghormati ibu mereka. Juga mereka punya
uang. Tetapi tahukah mereka, ngaben tidak cuma perlu uang tetapi perlu dukungan
masyarakat? Dan tahukah mereka, Bibi tidak pernah sekalipun melakukan kerja
bakti untuk kegiatan apa pun di desa ini? Menyumbang pun tidak. Bibi entah
kenapa, kepada keluarga dan masyarakatnya sendiri begitu pelit dan kritis,
bahkan cenderung sinis. Entah kenapa… .
Apa mereka kira ini semacam resepsi
perkawinan? Yang bisa segalanya total dibeli? Atau dilangsungkan di hotel?
Aku merasakan kengerian berindap-indap
di tiap wajah keluarga malam itu ketika duduk bersama untuk merapatkan rencana
upacara ngaben bibiku.
4. Evaluasi
Anak-anak bibiku tetap ngotot dengan
rencana mereka. Yang menakjubkan lagi, upacara ngaben Bibi akan dihadiri pula
banyak wartawan dan pejabat.
“Kamu pikir mengundang tamu itu mudah?
Siapa yang akan mengurus? Apa kamu pikir dengan bade bertingkat tidak perlu
manusia untuk mengusungnya ke kuburan? Kamu pikir akan mudah menyuruh
orang-orang mengusung bade ibumu?!” Semua mulai histeris, membayangkan upacara
yang kacau.
“Tenanglah! Saya sudah membuat
kepanitiaan. Saya tahu, tidak mungkin mendapat bantuan masyarakat desa ini.
Karena itu, untuk akomodasi, perjamuan para tamu kita sewa katering. Untuk
mengusung bade ke kuburan, kita sewa buruh- buruh bangunan. Kemudian
transportasi sudah ada, travel yang akan mengurus,” anak Bibi yang tertua, yang
kini menjadi pengusaha kaya, menyampaikan rencananya.
“Hanya satu yang kami mohon, sudilah
semua keluarga hadir. Agar di mata teman-teman Ibu, kita tetap tampak kompak.
Ibu dan kami memang bersalah… janganlah ibu dihukum seperti ini.”
Aku merunduk. Isak tangis pun mulai
pecah. Entah kenapa, walau semua pekerjaan dan perlengkapan yang diperlukan
untuk ngaben telah dipesan, telah disewa, tetap saja ada kesunyian yang
mencekam di rumah besar ini. Seperti ada yang patah, lalu jatuh di tengah tanah
yang sunyi. Desaunya membuat hati dilanda perasaan sendiri. Begitu sendiri.
5. Resolusi
Segalanya telah dirancang rapi.
Akhirnya, seluruh keluarga mau terlibat sebagai panitia. Bukan karena Bibi,
tetapi lebih karena menjaga nama keluarga!
Dan hari-H pun tiba. Ratusan mobil
berderet di jalan. Para pelayat yang datang dari jauh, dari berbagai kota dan
berbagai negara, berdatangan sejak pagi. Suara gamelan, penyambut tamu dan
perjamuan, berlangsung lancar. Rapi. Bahkan terlalu rapi. Semua tertata nyaris
sempurna.
Kemudian prosesi upacara ngaben pun
dimulai. Juga lancar dipandu oleh penata acara yang piawai. Para pengusung bade
dengan seragam yang masih bau toko mulai bergerak mengusung jasad Bibi menuju
kuburan, bersorak dengan semangat. Menjadi sasaran kamera dan kekaguman.
Jalanan desa begitu ramai. Semua
penduduk desa keluar rumah, tetapi cuma duduk-duduk di depan rumah masing-
masing, hanya sebagai penonton prosesi ngaben bibiku. Yah. Hanya menonton.
Seolah prosesi ini bukan bagian dari desa ini. Semua hanya menonton! Dengan
sorot mata yang sulit diterjemahkan. Jauh berbeda dengan para pelayat, teman,
dan pengagum Bibi saat larut dalam prosesi dilanda keharuan hebat karena
merasakan betapa agung dan meriahnya upacara ngaben bibiku. Seakan kembali
mendengar seruan Bibiku, marilah hidup dalam kebersamaan. Marilah hidup dalam
keragaman! Karena sejatinya kita adalah manusia, yang sama!
Lalu setibanya di kuburan, sebelum
jasad dibakar dengan kompor sewaan, seorang menteri berpidato dan beberapa
tokoh politik yang katanya berpeluang jadi presiden memberikan sambutan
kenangan. Kilat blitz serta sorot kamera tak henti-henti. Karangan bunga duka
cita bertumpuk-tumpuk menutupi tempat pembakaran. Semuanya lancar, rapi dan
tepat waktu seperti sikap Bibiku yang selalu disiplin dan tepat waktu.
Tepat menjelang tengah hari, jasad
bibi pun mulai dibakar. Api meliuk ke langit. Langit cerah. Ditingkahi suara
gamelan. Keheningan sesaat memaksa air mata menetes. Kematian selalu membuat
rasa kehilangan. Dan saat itu para pelayat, para tokoh, wartawan, dan
orang-orang yang mengagumi Bibi mulai berpamitan. Satu per satu menyalami
anak-anak Bibi dengan keharuan.
6. Koda
Seorang anak bangsa telah pergi.
Pejuang kemanusiaan itu telah pergi. Sayup-sayup aku mendengar suara penyiar
yang menyampaikan pandangan mata secara langsung dari kuburan. Dan ketika api
padam, aku terbebas dari lamunan, dari keharuan. Lalu menoleh kiri dan kanan.
Menghitung jumlah orang yang masih ada di kuburan. Yah, tinggal keluarga dan orang-orang
sewaan saja yang tengah sibuk menghitung- hitung jam kerja dan upah yang akan
mereka terima.
Aku mencari ayahku dengan mata
tergetar. Aku juga mencari wajah para sepupuku. Aku mencari wajah semua
keluarga. Bau asap jasad menghentikan pikiranku. Menghentikan hatiku. Aku
merasa tiba-tiba begitu sendiri. Sendiri dan jauh dari dunia. Jauh dari
teman-teman, jauh dari semuanya. Jauh sekali. Oh, seperti hidup di dunia yang
lain. Begitu lain.
Dan bibi pun kini berada di dunia
lain. Sendiri. Tetap tak perlu siapa-siapa selain dirinya. Sama seperti saat
hidupnya.
C. Unsur-unsur
Pembangun Cerpen
1.
Unsur intrinsik
cerpen
Sebuah
cerpen atau cerita pendek memiliki suatu unsur pembentuk yang harus ada di
dalam cerpen. Unsur ini dinamakan dengan unsur intrinsik. Unsur intrinsik akan
membangun kisah cerita yang ingin disampaikan oleh penulis. Berikut ini
beberapa unsur intrinsik:
a) Tema
Sebuah cerpen harus memiliki tema
cerita. Hal ini karena tema menjadi unsur utama yang ingin disampaikan penulis
pada kisah ceritanya.
Contoh:
Koran-koran menulis
tentang kematian Bibiku. Banyak tokoh berkomentar bahwa bangsa ini telah
kehilangan salah satu anaknya yang terbaik. Seorang pejuang kemanusiaan telah
pergi! Bangsa ini berduka. Televisi pun tak kalah haru birunya, mulai berlomba
menayangkan kisah sang anak bangsa. Bahkan pemerintah mengumumkan pengibaran
bendera setengah tiang. Penghormatan diberikan karena anak bangsa ini telah
mengharumkan nama bangsa. Tercatat, di masa bangsa disorot sebagai bangsa yang kurang
menghargai hak asasi manusia, telah tampil seorang perempuan yang setiap kata
dan tindakannya menggetarkan hati. Membuat bangsa ini sanggup tegak menghadapi
hujan kritik atas berbagai persoalan kemanusiaan.
(Cok Sawitri, 2004. Mati Sunyi)
Dari kutipan tersebut, tema cerpen Mati Sunyi adalah kepahlawanan. Cerpen itu menceritakan seorang
pejuang kemanusiaan yang meninggal dan masyarakat sangat menghormatinya. Namun,
pada sisi lain, kepahlawanan itu menjadi sebuah ironi, karena sosok pahlawan
yang dihormati itu secara lokal atau di daerah tidak terkenal.
b) Alur atau Plot
Alur atau plot merupakan urutan
peristiwa atau jalan cerita pada sebuah cerpen. Pada umumnya alur pada cerpen
diawali dengan perkenalan, konflik masalah, lalu penyelesaian. Namun ada
beberapa jenis alur cerita yaitu alur maju, alur mundur, dan alur campuran.
1) Alur Maju atau Progresif
Jenis alur ini adalah jenis alur yang
lazim ditemui dalam sebuah cerita. Dalam alur ini, cerita diawali dengan
pengenalan awal yang terdiri dari pengenalan toko beserta wataknya, pengenalan
latar tempat, waktu, dan peristiwa, serta latar suasana yang hendak di bangun
dalam suatu cerita.
Setelah semua itu diperkenalkan,
permasalahan pun tiba-tiba muncul dalam sebuah cerita. Masalah atau konflik
tersebut ditandai dengan pertikaian dua tokoh di dalam cerita atau munculnya
ketegangan di dalam suatu cerita. Masalah yang muncul itu pun berkembang dan
semakin rumit. Tahap merumitnya suatu permasalahan disebut dengan tahap konflik
meningkat atau klimaks.
Setelah konflik kian merumit atau
klimaks, si tokoh pun pelahan-lahan bangkit dan menemukan solusi atas konflik
yang dia hadapi. Ditemukannya solusi atas konflik yang dialami sang tokoh biasa
disebut sebagai antiklimaks. Setelah solusi ditemukan, masalah atau konflik pun
akhirnya terselesaikan, dan cerita pun telah sampai di tahapan penyelesaian.
2)
Alur Mundur atau Regresi
Alur ini adalah kebalikan dari alur maju. Di dalam alur
ini, cerita justru diawali oleh tahapan penyelesaian yang kemudian terus mundur
ke tahapan antiklimaks, klimaks, kemunculan konflik, dan berakhir ke tahap
pengenalan. Cerita yang menggunakan alur ini biasanya berisi cerita kilas balik
seorang tokoh dalam menjalani kehidupannya.
3)
Alur Campuran atau Maju-Mundur
Adalah suatu jenis alur yang ceritanya dimulai dari tahap
klimaks. Pada alur ini, tahap klimaks yang telah dipaparkan di awal cerita
kemudian dimundurkan ke tahap pengenalan masalah. Hal itu bertujuan agar
pembaca atau penonton bisa tahu asal mula dari adanya konflik di cerita
tersebut. Agar lebih memahami lagi permasalahan atau klimaks tersebut, alur
cerita pada jenis alur ini dimundurkan kembali ke tahap pengenalan. Setelah
itu, baru dinaikkan ke tahap antiklimaks dan berakhir di tahap penyelesaian.
Contoh:
Yah, akhirnya mereka menjadikan
upacara ngaben itu sebagai angle penulisan. Lumayanlah untuk nilai keunikan.
Bukankah Bibi yang selama ini dikenal sangat modern, independen, dan berjarak
dengan adat bahkan sering mengkritik adat, ternyata di saat kematiannya akan
mengikuti ritus adat.
Bagi para pengejar berita, para
pengagum Bibi, rencana upacara itu dijadikan sebagai ungkapan kekaguman, betapa
Bibi, biarpun sudah mendunia, ternyata tetap setia pada tradisi. Waduh! Pejuang
kemanusiaan itu memang memiliki akar yang kuat. Akar tradisi dan kearifan
lokal. Sebagai bukti, betapa teguh kepribadiannya menghadapi berbagai perubahan
sekaligus berada dalam perubahan itu… terbukti biarpun berperilaku global…
upacara ngaben akan dilaksanakan… dst! dst!
Aku merunduk menahan sakit kepala.
(Cok Sawitri, 2004. Mati Sunyi)
Alur
cerpen Mati Sunyi adalah alur maju atau progresif. Peristiwa-peristiwa mengalir
dari awal ke akhir cerita.
c) Setting
Setting merupakan penjelasan mengenai
latar atau tempat, waktu, dan suasana yang terjadi dalam cerpen tersebut.
Contoh:
Haruskah aku bilang, bagi desa ini,
desa di mana Bibi dilahirkan dan dibesarkan hingga remaja, Bibiku bukanlah
siapa- siapa. Sekalipun di masa hidupnya Bibi dan almarhum suaminya pernah
menjadi pejabat di kabupaten. Dan jika dirunut dari keturunan, Bibi dan
suaminya adalah keturunan bangsawan. Biarpun setiap hari Bibi jadi berita,
setiap minggu mendapat penghargaan.., tetap saja bagi masyarakat desa ini Bibi
bukan warga istimewa.
(Cok Sawitri, 2004. Mati Sunyi)
Dari
penggalan cerpen di atas, latar cerpen Mati Sunyi adalah di desa dengan suasana
yang menyedihkan (ironis).
d) Tokoh dan Watak (Penokohan)
Tokoh merupakan pemeran yang
diceritakan dalam sebuah cerpen. Tokoh terdiri dari pemeran utama dan pemeran pendukung.
Watak merupakan gambaran sifat dari para pemeran. Watak terdiri dari tiga jenis
yaitu protagonis (baik), antagonis (jahat) dan netral.
Cara
pengarang menggambarkan watak tokoh melalui:
a. Penjelasan langsung dari pengarang (tertulis)
bahwa tokohnya berwatak baik, marah, sadis, dengki, dan sebagainya.
b.
Cara tidak langsung
– Dialog antartokoh
– Tanggapan/reaksi dari tokoh lain terhadap tokoh
utama
– Pikiran-pikiran dalam hati tokoh
– Lingkungan di sekitar tokoh
– Penampilan tokoh (rapi, bersih,
teratur)
– Bentuk fisik tokoh
– Tingkah laku, tindakan tokoh atau reaksi tokoh
terhadap suatu masalah
Contoh:
Bibi dan suaminya
telah lama meninggalkan desa ini, mengejar kemajuan. Ketika suaminya meninggal,
Bibi kemudian aktif di kegiatan kemanusiaan. Di era reformasi nama Bibi meroket
ketika menggerakkan aksi-aksi perdamaiannya. Namanya berkibar bukan saja di
tingkat nasional. Di kalangan internasional pun Bibi dihormati. Seruannya
didengarkan oleh para pemimpin dunia, juga para pemimpin spiritual.
(Cok Sawitri, 2004. Mati Sunyi)
Pada penggalan cerpen tersebut, tokoh
Bibi digambarkan oleh tokoh Aku (keponakannya) atau tanggapan/reaksi dari tokoh
lain terhadap tokoh utama. Selain itu, tokoh Bibi juga digambarkan melalui
penggambaran lingkungan sekitar tokoh. Hal ini tergambar pada penggalan
berikut.
Ya, di jalan-jalan
desa memang berkibar bendera setengah tiang. Tetapi hampir tiga hari ini, sejak
jasad Bibi disemayamkan di rumah warisan, hanya beberapa warga desa saja yang
datang melayat. Mereka yang melayat itu, aku tahu, bukan karena hormat pada
Bibi, tetapi karena mengingat hubungan dengan keluarga yang lain. Mereka
mengingat pertemuan dengan ayahku, dengan para paman juga bibi-bibi yang lain.
Sedangkan warga lain memilih pura-pura tidak tahu-menahu.
(Cok Sawitri, 2004. Mati Sunyi)
e)
Sudut pandang atau point of view
Sudut pandang merupakan cara pandang
pengarang saat menceritakan kisah pada sebuah cerpen. Sudut pandang dibagi
menjadi dua bentuk yaitu sudut pandang orang pertama yang terdiri dari pelaku
utama (“aku” merupakan tokoh utama) dan pelaku sampingan (“aku menceritakan
orang lain). Sedangkan sudut pandang orang ketiga terdiri dari serba tahu
(“dia” menjadi tokoh utama) dan pengamat (“dia” menceritakan orang lain).
Contoh:
Aku mengerti sikap
mereka. Keluarga lain pun sama-sama memahami. Pembicaraan mengenai sikap Bibi
semasa hidup terhadap masyarakat dan keluarga memang sudah lama menjadi pergunjingan.
Dan sudah barang tentu, para sepupuku, anak-anak bibiku, tidak menyadari bahwa
diam-diam masyarakat dan keluarga tengah menghukum Bibi dan keluarga.
(Cok Sawitri, 2004. Mati Sunyi)
Penggalan
cerpen di atas menunjukkan adanya sudut pandang orang penulis sebagai pelaku
sampingan. Penulis adalah
“aku ” dalam cerita tapi bukan tokoh utama. Keberadaan “aku” hanya sebagai
saksi/kawan tokoh utama. “Aku” adalah narator yang menceritakan kisah yang
dialami tokoh lain yang menjadi tokoh utama.
f)
Amanat
Amanat merupakan pesan moral atau
pelajaran yang disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Pesan moral yang
disampaikan biasanya dalam bentuk tersirat maupun tersurat.
Contoh:
Protes khas atas
sikap Bibi dan anak-anaknya yang memang jarang pulang ke desa, jarang punya
waktu untuk acara-acara keluarga, tengah bergulir, diembuskan dalam udara desa
yang tenang. Begitu tenangnya, setenang perdamaian yang diperjuangkan oleh
Bibiku.
(Cok
Sawitri, 2004. Mati Sunyi)
Dari penggalan cerpen tersebut, amanat yang bisa dipetik
adalah walaupun kita sibuk, alangkah baiknya jika kita meluangkan waktu untuk
keluarga.
Amanat yang bisa
diambil dari sebuah cerpen juga tergambar secara tersirat pada pengalan di
bawah ini.
Contoh:
Namun, Bibiku tidak pernah
melibatkan diri untuk mencari solusi dari persoalan di desanya sendiri. Yang
diperjuangkan Bibi adalah kemanusiaan nasional, internasional… seperti komentar
seorang tokoh, “Dia memang perempuan yang mendahului zamannya!”
(Cok
Sawitri, 2004. Mati Sunyi)
Amanat yang ada pada cerpen di atas adalah sebagai seorang
pejuang, alangkah mulia jika memperjuangkan hak-hak masyarakat di sekitar
(tempat kita tumbuh dan berkembang).
2.
Unsur Ekstrinsik cerpen
Pada
sebuah cerpen seringkali terdapat penambahan peristiwa yang terjadi di sebuah
lingkungan. Hal tersebut dinamakan dengan unsur ekstrinsik atau unsur yang
berasal dari luar untuk membangun sebuah cerpen.
Berikut
inilah beberapa unsur ekstrinsik pada sebuah cerpen:
1.
Terdapat latar
belakang dari pengarang. Biasanya latar belakang pada kisah cerpen berasal dari
pengalaman pribadi pengarangnya. Namun tak jarang jika pengarang mengambil
cerita dari kisah orang lain.
2.
Terdapat latar
belakang dari masyarakat. Latar belakang dari masyarakat ini akan membantu
berlangsungnya jalan cerita. Biasanya juga mempengaruhi isi ceritanya juga.
3.
Terdapat biografi
yang memaparkan biodata, riwayat hidup dan pengalaman secara menyeluruh dan
lengkap dari pengarangnya.
4.
Terdapat aliran
sastra yang mempengaruhi gaya bahasa yang digunakan oleh penulis saat
menyampaikan ceritanya.
5.
Terdapat kondisi
psikologis berupa keadaan senang, sedih, suka dan duka yang mempengaruhi mood penulis saat membuat sebuah cerita
pendek.
D. Unsur
Kebahasaan Cerpen
Unsur kebahasaan teks cerpen adalah unsur-unsur yang
membangun teks tersebut. Beberapa unsur kebahasaan teks cerpen antara lain ragam
bahasa
sehari-hari,
kosakata, majas atau gaya bahasa, dan kalimat deskriptif. Berikut ini
penjelasan mengenai
unsur kebahasaan
teks cerpen.
1. Ragam Bahasa
Sehari-hari
atau Bahasa Tidak Resmi
Cerpen merupakan cerita fiksi bukan karangan ilmiah (nonfiksi) yang harus menggunakan bahasa resmi.
Cerpen mengisahkan kehidupan sehari-hari. Kalimat ujaran langsung yang
digunakan sehari-hari membuat cerpen terasa lebih nyata. Anda bisa membaca cerpen Mati Sunyi dan menemukan bahwa Bahasa
yang digunakan adalah Bahasa sehari-hari yang mudah dipahami.
2. Kosakata
Seorang penulis cerpen harus mempunyai banyak perbendaharaan kata. Pilihan kata atau diksi sangatlah penting karena menjadi tolak ukur kualitas cerpen yang dihasilkan. Diksi menambah keserasian antara
bahasa dan kosakata yang dipakai
dengan pokok isi
cerpen yang
ingin disampaikan
kepada pembaca.
Pada cerpen Mati Sunyi, Anda akan mendapat kosakata yang bersifat
kebudayaan seperti kata ngaben. Yang
mengarah pada tema kepahlawanan adalah kata “diperjuangkan”, “penghormatan”,
“aktivis” dan sebagainya.
3. Majas (Gaya Bahasa)
Peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau
menyimpang dari arti harfiahnya. Majas disebut juga bahasa berkias yang
dapat
menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan
konotasi tertentu. Terdapat sekitar enam puluh gaya bahasa, namun Gorys Keraf (1990) membaginya menjadi
empat kelompok, yaitu
majas perbandingan
(metafora, personifikasi,
depersonifikasi, alegori, antitesis), majas pertentangan (hiperbola, litotes, ironi, satire, paradoks, klimaks, antiklimaks), majas pertautan (metonimis,
sinekdoke, alusio, eufemisme, ellipsis), dan majas perulangan (aliterasi, asonansi, antanaklasis, anafora, simploke).
Pemakaian majas pada cerpen Mati Sunyi, telah menghidupkan dan
meningkatkan efek keindahan pada cerpen tersebut. Adanya majas klimaks
tergambar pada kalimat-kalimat, “Para sepupuku tentu sulit mengerti. Mereka
sejak kecil jauh dari desa ini. Bahkan jauh dari negeri ini.” Penggunaan majas klimaks tampak mewarnai
indahnya puisi Mati Sunyi. Ini dituliskan dalam kalimat yang semakin memuncak, “Aku merasa tiba-tiba
begitu sendiri. Sendiri dan jauh dari dunia. Jauh dari teman-teman, jauh dari
semuanya. Jauh sekali. “
Majas personifikasi tampak juga digunakan
untuk mempercantik cerpen Mati Sunyi dengan kalimat, “Aku merasakan kengerian berindap-indap
di tiap wajah keluarga malam itu ketika duduk bersama untuk merapatkan rencana
upacara ngaben bibiku.” Kata berindap-indap
yang bersinonim dengan mengendap-ngendap seolah-olah menjadikan kengerian itu
sebagai seorang manusia.
Kalimat “Di era reformasi nama Bibi meroket ketika menggerakkan
aksi-aksi perdamaiannya. “
menunjukkan adanya majas hiperbola, yakni majas yang melebih-lebihkan atau
membesar-besarkan keadaan. Majas ini juga dituangkan dalam kalimat “Isak
tangis pun mulai pecah.”
Majas ironi dituangkan dalam kalimat “Begitu
pun dalam keluarga besar, hampir semua memang datang melayat, tetapi semua
bersikap sebagai tamu, tak ada yang berlama-lama, semua seakan memberi isyarat.”
4. Kalimat
Deskriptif
Contoh:
Ya, di jalan-jalan desa memang berkibar bendera
setengah tiang. Tetapi hampir tiga hari ini, sejak jasad Bibi disemayamkan di
rumah warisan, hanya beberapa warga desa saja yang datang melayat. Mereka yang
melayat itu, aku tahu, bukan karena hormat pada Bibi, tetapi karena mengingat
hubungan dengan keluarga yang lain. Mereka mengingat pertemuan dengan ayahku,
dengan para paman juga bibi-bibi yang lain. Sedangkan warga lain memilih
pura-pura tidak tahu-menahu.
(Cok
Sawitri, 2004. Mati Sunyi)
Paragraf di atas disusun oleh kalimat-kalimat deskriptif yang
menggambarkan suasana, tokoh, dan tempat
cerita.
Forum
Diskusi
Bagaimana hubungan struktur teks cerpen dengan
unsur-unsur teks cerpen! Jelaskan dengan ilustrasi dari cerpen Mati Sunyi karya
Cok Sawitri!
PENUTUP
Rangkuman
Cerpen adalah karya
sastra fiksi yang menceritakan satu peristiwa dalam sebuah alur tunggal dengan
tokoh-tokoh yang tidak mengalami perkembangan watak sehingga cerita menjadi
sederhana dan bisa dibaca dengan waaktu yang relatif singkat.
Cerpen memiliki
struktur abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda. Cerpen
dibangun oleh unsur intrinsik seperti tema, alur, penokohan, setting, sudut
pandang, dan amanat. Unsur ekstrinsik seperti pangangan penulis dan nilai-nilai
yang berkembang dalam masyarakat, juga membangun cerpen. Hubungan antara
struktur dan unsur dalam cerpen sangat erat. Unsur-unsur cerpen tertuang dalam
bentuk kosakata, kalimat, dan majas yang bermakna. Unsur-unsur cerpen tersebut
diikat oleh struktur cerpen sehingga tampak padu dalam uraian cerita.
Tes
Formatif
Untuk menguji pemahaman Anda tentang cerpen, pilihlah
jawaban yang tepat pada soal berikut!
1. Cerpen adalah salah satu karya sastra yang
berbentuk …
A. bait
B. baris
C. dialog
D. prosa
E. nonfiksi
2. Salah satu hal yang membedakan cerpen dan
puisi adalah …
A. Adanya alur
B. Adanya tema
C. Adanya amanat
D. Adanya imajinasi
E. Adanya gaya bahasa
3. “Hanya itu alasan Mama
melarang Anisa menikah dengan Handoko?” Bibir Anisa menyinggung sinis. “Oh,
alangkah piciknya pikiran Mama! Lalu apa artinya kemuliaan hati Mama selama ini
yang Anisa kagumi? Padahal dulu Mama tidak pernah mempermasalahkan status
Handoko yang ternyata belum mempunyai pekerjaan tetap. Demikian kakakku yang
selama ini mendukungku sekarang berbalik arah.
Konflik yang terdapat dalam kutipan cerpen tersebut
adalah …
A. Anisa dan Handoko tidak jadi menikah.
B. Anisa dilarang menikah oleh Mama dan kakaknya.
C. Mama yang berpikiran picik terhadap Handoko.
D. Keinginan Mama agar Anisa hidup bahagia.
E. Kakak tidak mendukung pernikahan Anisa dengan
Handoko.
4. Salah satu unsur
Instrinsik cerpen adalah …
A. Klimaks
B. Latar/Setting
C. Sajak
D. Typografi
E. Suspens
5 Salah satu unsur
Ekstrinsik cerpen adalah….
A. Gaya penyampaian cerita
B. Penokohan
C. Latar Budaya Pengarang
D. Tanggapan pembaca
E. Tampilan ilustrasi cerpen
6. Dua kegagalan yang lalu
berakhir ketika aku diterima di jurusan bahasa Inggris. Kutekuni masa
pendidikan tinggi dengan sepenuh hati. Kendala finansial mendorong ku untuk
merambah dunia kerja disamping kuliah. Pucuk dicinta ulam tiba. Suatu hari Kak
Ica, saudara sepupuku, datang kepadaku.
“Nanda, di sebelah toko Bunda ada kios yang
dijual. Bagaimana kalau kita patungan untuk membeli kios itu. Lalu kita jual
pakaian di sana?” kata Kak Ica.
Ia mengajak berpatungan untuk membeli kios itu.
Kami mulai berbisnis pakaian. Tidak kusangka, usaha itu menuai hasil yang
gemilang.
Tokoh aku dalam penggalan cerpen di atas adalah
….
A. Ica
B. Bunda
C. Nanda
D. Seorang Siswa
E. Seorang penjual kios
7. Ketika tubuhnya digerogoti penyakit dengan
enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda
Miskim pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya
menunggu di lorong.”begitulah enaknya jadi orang miskin,” batinnya,”dapat
fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu
berhari-hari.
Permasalahan pada kutipan cerpen di atas adalah
…
A. Tubuhnya digerogoti penyakit
B. Buruknya pelayanan rumah sakit
C. Susahnya menjadi orang miskin
D. Banyak bangsal yang kosong
E. Tidak mendapat fasilitas gratis
8. Bacalah kutipan cerita Berikut!
“Namaku
Aini,” Aini mengulurkan tangan sambil menyebut namanya.
“O,
iya,” jawab gadis yang belakangan diketahui bernama Deswita itu. Tampaknya anak
baru itu agak malas menyambut perkenalan Aini.
“Jika
kamu butuh informasi tentang sekolah ini, aku bisa bantu, kok,” lanjut
Aini.
“Maaf,
deh. Aku tahu dengan siapa aku harus berteman di kelas baruku ini,” Deswita
menjawab sambil sedikit menaikkan alis matanya.
Cara
pengarang menggambarkan watak tokoh Deswita pada kutipan cerita tersebut adalah
….
A.
diceritakan tokoh lain
B.
penggambaran fisik
C.
tingkah laku tokoh
D.
dialog antartokoh
9. Sebagai keponakan, tiba-tiba aku
dianggap sebagai salah satu narasumber yang pas untuk memberi komentar mengenai
Bibiku-mungkin karena aku juga aktif di beberapa kegiatan sosial. Apalagi
akibat koran lokal yang tahu aku ada hubungan keluarga dengan Bibiku, namaku
sontak populer dan akibatnya aku pun sibuk menjawab pertanyaan wartawan
nasional dan internasional. Sibuk memberi penjelasan mengenai banyak hal,
termasuk rencana upacara kematian, upacara ngaben.
(Mati Sunyi, Cok Sawitri.
2004)
Penggalan cerpen di atas menunjukkan
sudut pandang…
A. Pelaku utama serba tahu
B. Pelaku ketiga sampingan
C. Penulis sebagai penonton
D. Penulis sebagai pelaku utama
E. Penulis sebagai pelaku sampingan
10. “Ibumu memang terkenal, tapi apa gunanya keterkenalannya saat ini! Kamu
pikir semua orang akan datang membantu mengurus upacara kematian ibumu! Hanya
karena dia orang terkenal!”
(Mati
Sunyi, Cok Sawitri. 2004)
Kata
yang menunjukkan bahwa cerpen itu berlatar kebudayaan adalah….
A. upacara
B. terkenal
C. datang
D. ibumu
E. dia
Daftar Pustaka
Aminuddin.
2004. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensido
Atmazaki.
1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Baribin,
Raminah. 1985. Teori dan Apresiasi Prosa Fiksi. Semarang: IKIP Semarang Press.
Firdaus, Zulfathur Z dkk. 1986. Buku Materi Pokok Analisis dan Rangkuman Bacaan
Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka.
Harjasarjana,
Ahmad Selamet dan Yeni Mulyati . 1997. Membaca 2. Jakarta: Depdikbud. Haryadi.
2006. Retorika Membaca model, Metode, Dan Teknik. Semarang : Rumah Indonesia.
Hardjono, Sartinah. 1988. Prinsip-prinsip Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Jakarta: Depdiknas.
Hastuti,
Sri. 1996. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas
Niko
dan Rafa. 2004. Panduan Menulis Fiksi untuk Pemula. Yogyakarta; Platinum.
Rahmanto.
1999. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Subana.
2006. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Suharianto,
S. 2005. Dasar-dasar Teori Sastra. Semarang: Rumah Indonesia. Sumardjo Jakob
dan Saini K. M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Pradopo.
2005. Beberapa Teori Sastra Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1994. Membaca sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Kunci Jawaban
1.
D
2.
A
3.
B
4.
B
5.
C
6.
C
7.
B
8.
D
9.
E
10. A
Materi terkait:
https://sulursirih.blogspot.com/2021/04/pembelajaran-genre-teks-berbasis-masalah.html
jeda 17 des
Singaraja, 17 Desember 2024, Kegiatan Morning briefing pada masa jeda akhir semester ganjil tahun ajaran 2024, dilaksanakan dengan senam ber...
-
Soal:1) Daging pikayun sanè kawedar ring sang sareng akèh sanè matetujon mangda napi luir sanè kabaosang prasida karesepang tur sida kalaksa...
-
Untuk memperbaiki nilai Bahasa Indonesia, jawablah pertanyaan berikut dengan jujur! Topik 1: Peduli (Empati) 1. Apakah Anda mendengarkan tem...
-
Soal:1) Bacalah cuplikan teks editorial berikut! Kecenderungan generasi milenial atau mereka yang saat ini berumur 18 hingga 34 tahun untuk ...