Ulasan karya sastra adalah pembahasan tentang karya sastra, bisa berupa analisis karya, resensi, atau juga esai. Ulasan harus dibuat secara terstruktur, yakni berisi orientasi, tafsiran, penilaian, ringkasan.
Contoh Teks Ulasan Cerpen Nasihat Untuk Anakku
Teks Ulasan Cerpen Nasihat Untuk Anakku
Nasihat Untuk Anakku adalah cerpen karya Motinggo Busye. Cerpen ini merupakan satu-satunya cerpen yang ditulis Motinggo Busye dan mendapatkan hadiah dari sebuah majalah sastra. Karya tulis ini bercerita tentang banyak berubahnya keadaan dunia, perjuangan hidup, serta berbagai nasihat dari ayah untuk anaknya.
a. Tafsiran
Pada paragraf pertama menceritakan tentang keadaan negara Republik Indonesia yang berubah. Kemudian pada paragraf selanjutnya menceritakan tentang betapa sulitnya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam paragraf tersebut juga menceritakan mengenai akses transportasi yang sangat buruk pada masa itu.
Pada teks paragraf ke-4 dan selanjutnya menceritakan bagaimana sang penulis cerita merayakan ulang tahun sang Ayah. Sang Ayah saat itu membawa temannya ke warung kopi untuk merayakan hari ulang tahunnya. Di paragraf berikutnya menceritakan tentang rencana apa yang ingin digunakan dari hasil terbitnya buku sang Ayah.
Pada pertengahan cerpen, sang Ayah mendengar temannya bunuh diri dengan cara memotong nadinya dengan silet. Tentunya hal tersebut sangat memalukan. Dan pada bagian akhir, penulis memberi tahu untuk jangan takut membela kebenaran meski terkadang kebenaran dikalahkan oleh kenyataan.
b. Evaluasi
Cerita pendek ini disajikan dengan bahasa yang sulit untuk dimengerti. Apabila para pembaca sudah memahami cerpen ini, maka pembaca akan tersihir dengan cerita pendek yang satu ini. Cerpen ini juga menjadi sebuah motivasi yang luar biasa serta menjadi panutan dalam kehidupan. Sehingga cerpen ini sangat bagus untuk para remaja.
Karena pada cerpen ini sang penulis menulis nasihat-nasihat yang baik bagi para pembaca. Selain itu, dalam cerpen ini menginformasikan bagaimana susahnya hidup dan bagaimana keadaan hidup saat itu sangat minim.
c. Rangkuman
Dengan mengesampingkan kekurangan yang ada, teks ini benar-benar dibutuhkan oleh remaja di Indonesia. Hal tersebut karena banyak sekali nasihat untuk membangun pribadi yang lebih baik lagi.
Tugas XI DPIB1(19/20)
Bacalah cerpen 1-18 dari blog (luhariksariadi.blogspot.com)!
Buatlah ulasan dari salah satu karya sastra (cerpen 1-18) karya Luh Arik Sariadi pada blog (luhariksariadi.blogspot.com)!
Buatlah ulasan sesuai nomor absen:
Nomor absen 1 sd 10 buat ulasan dari cerpen 1
Nomor absen 11 sd 20 buat ulasan dari cerpen 2
Nomor absen 21 sd selesai buat ulasan dari cerpen 3
Tulis ulasan pada kolom komentar di halaman blog ini!
Ingat isi identitas Anda!
Rabu, 06 November 2019
Minggu, 03 November 2019
Cerpen 1-18
1. Kawin
Oleh
Luh Arik Sariadi
Mimpi
siapa yang diwujudkan sekarang?
Siapa
yang memenangkan dialog hari ini?
Bersaudara
enam orang membuat Made selalu bertanya di dalam hatinya. Sebagai anak kedua,
mestinya mendapatkan giliran kedua, tetapi tidak dalam hal keluarganya. Made
memiliki keluarga yang demokratis. Setiap ada masalah, selalu dirundingkan.
Perundingan tidak mesti dilakukan pada waktu khusus dan tempat khusus. Diskusi
mengalir begitu saja tanpa batas. Kalaupun sedang makan, kalau ada masalah
pasti akan segera dibicarakan sambil makan.
Apalagi
kalau masalah yang mendesak, sesibuk apapun keluarga Made, perbincangan selalu
ada. Walaupun Made sedang mandi, kalau
dia mendengar pembicaraan adik-adiknya, pasti Made urun pendapat.
Saudara-saudaranya pun tidak keberatan mendengarkan semua pandangan yang ada.
Mereka berbicara tidak ada giliran tertua atau termuda. Yang paling penting
adalah setiap ada waktu berbicara, hati mereka seperti terikat satu dengan yang
lainnya. Sepertinya Tuhan telah mengatur supaya giliran berbicara dimanfaatkan
setiap anggota keluarga.
Gagasan
yang inspiratif sangat di hargai dalam diskusi mereka. Apalagi bila disertai
dengan alasan-alasan juga cara-cara praktis untuk mewujudkannya. Made sering
mendapat kepercayaan untuk menentukan nasib keluarga karena Made pandai
berargumentasi. Kata-katanya sangat membius dan mampu mempengaruhi orang lain.
Di
dalam keluarga, Made sangat populer. Keputusan-keputusan yang dipilihnya selalu
mendapat dukungan dari saudara-saudaranya. Bahkan ayahnya juga seringkali
memuji Made dengan berlebihan di depan anak-anaknya yang lain. Made benar-benar
menjadi pusat perhatian.
Di
dalam otak Made, berjuta-juta gagasan sudah mendesak untuk memajukan keluarga.
Dari enam bersaudara, Made dipilih menjadi sentral pembicaraan. Made seperti
seorang ketua yang bisa memutuskan penyelesaian suatu masalah. Made juga sangat
dihormati karena ia sudah memiliki gaji tetap untuk menopang ekonomi keluarga.
Selama
ini, Made juga sangat loyal terhadap keluarga. Adiknya empat orang laki-laki.
Komang Suta, Ketut Marka, Putu Suteja, dan Nengah Karsa. Keempatnya
disekolahkan oleh Made. Komang Suta sudah menjadi pegawai bank swasta. Ketut
Marka bekerja sebagai pegawai kontrak di dinas pemadam kebakaran. Putu Suteja
bekerja sebagai pegawai di dinas pekerjaan umum. Nengah Karsa sedang kuliah di
jurusan hukum di perguruan tinggi swasta.
Kakaknya, Wayan Tresna hanya sesekali saja memberi uang saku kepada
adik-adiknya karena Wayan Tresna hanya seorang tukang ojek.
Biaya
potong gigi juga dikeluarkan oleh Made. Perhitungannya sangat tepat mengenai
biaya yang akan dibutuhkan dalam potong gigi. Dana yang dipinjamnya dari bank
untuk upacara potong gigi sangat besar dan ia mempertaruhkan surat
pengangkatannya sebagai pegawai negeri sipil. Dalam upacara itu, tiga ekor babi
yang besar dipotong untuk menyambut para tamu. Untuk tamu yang muslim,
dipesankan beraneka masakan yang terbuat dari daging kambing. Dengan upacara
potong gigii yang mewah, keluarga Made
menjadi naik derajat.
Sebelum
menjadi PNS, rumah Made sangat kotor. Temboknya hanya terbuat dari tanah yang
direndam beberapa hari. Sejak Made mendapat gaji tetap, rumahnya diperbaiki,
diganti dengan tembok bata yang terbakar matang. Pintu dan jendela rumahnya
menggunakan ukiran Bali. Sudah ada kamar mandi bertembok keramik di bagian
belakang rumah. Bagian-bagian rumah tertata dengan rapi. Ada bale-bale khusus
yang dibuat untuk kegiatan yang berbeda-beda. Segala kelengkapan rumah dipilih
oleh Made karena semua uang untuk itu bersumber dari Made.
Waktu
Wayan Tresna menikah, Made juga yang membiayai pernikahannya. Foto-foto
praweding untuk kartu undangan kakaknya dibuat di beberapa tempat dan latar
belakang. Ada latar masa kolonial yang dibuat dibekas-bekas peninggalan
penjajahan Belanda. Ada juga latar masa pendudukan Jepang dengan kostum kimono.
Beberapa foto diambil saat kakaknya mengenakan pakaian adat Bali madya dan
payas agung. Bagi Made, semua hal harus mendasar. Semua peristiwa yang terjadi
diusahakan terencana untuk masa depan yang lebih baik. Setiap pilihan tidak
boleh disesali karena telah dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum dilakukan.
Menurut Made, semua upacara yang digelar adalah pengabdian. Karena itulah,
berapapun biaya yang digunakan harus dikeluarkan dengan tulus dan tercatat, sehingga
suatu saat nanti akan menjadi sejarah.
“Pernikahan
hanya dilakukan sekali, Bli,” kata Made menasihati kakaknya.
“Tapi
Bli hanya seorang kacung, tukang ojek, dengan pekerjaan yang tidak tetap.”
“Tidak
masalah, Bli. Kita harus menghargai perjuangan bangsa. Kita harus mengenang
masa-masa perjuangan para pahlawan.”
“Bli
malu, De” jawab kakaknya dengan pelan.
“Mengapa
harus malu? Zaman sekarang sudah tidak zaman memelihara rasa malu. Kita harus
mensyukuri pemberian Tuhan dengan menggunakannya sebaik-baiknya.”
“Tapi
ini terlalu mewah dan tidak layak untuk Bli.”
“Bukan
masalah mewah atau murah.”
“Ini
baju-baju yang kamu sewa apa tidak membuang-buang uang? Ini pastilah mahal.”
“Bukan
masalah harga, Bli. Ini masalah pencatatan kebudayaan. Untuk mempertahankan budaya,
mengeluarkan uang tidak masalah. Dengan foto-foto praweding, kita akan mencatat
sebuah peristiwa kebudayaan. Sama halnya waktu Bli meluangkan waktu untuk
latihan nabuh. Berapa waktu terbuang kalau dihitung dengan uang? Lalu, kalau
kita lihat hasilnya dengan uang, tentu tidak seberapa. Berapa orang yang tulus
ikhlas mengabdikan diri kepada kebudayaan?”
“Tapi?”
“Sudahlah,
Bli! Foto-foto pernikahan Bli nanti akan dilihat oleh anak-anak Bli nanti. Juga
oleh keponakan-keponakan Bli. Mereka akan melihat betapa indahnya dunia ini
dengan berbagai jenis kostum. Lalu, nanti mereka akan bertanya pakaian apa,
dari mana, dan berbagai pertanyaan akan
muncul setelah melihat foto-foto Bli. Kalau semua foto tidak ada, bagaimana kita
memperkenalkan kebudayaan kita yang hampir punah.”
“Kamu
jangan terlalu berlebihan. Apa tidak terlalu gawat?” tanya Wayan Tresna dengan
menggaruk kepala belakangnya.
“Ya,
memang gawat dan memprihatinkan!”
Made
membuat alasan yang bisa diterima oleh akal sehat, bertujuan mulia, dan bisa
diwujudkannya. Semua anggota keluarga menerima gagasan itu. Walaupun hanya
lulusan SMP, Wayan Tresna merasa benar semua pendapat adiknya. Dirasakan memang
benar bahwa peserta tabuh di desanya semakin hari semakin sedikit. Yang datang
juga tidak mengunakan pakaian adat. Mereka yang datang hanya pakai celana
panjang. ataupun kalau memakai kamen, sesampainya di tempat latihan nabuh,
pastilah banyak yang merasa susah menggunakan kain. Maka itu, dilaksanakanlah
semua gagasan Made dengan penuh kebanggaan. Dalam pernikahan itu Wayan Trasna
menggunakan pakain dari beberapa kabupaten yang ada di Bali.
Walau
hanya seorang perempuan, Made mampu menatur keluarga dengan sangat baik. Made
mampu membimbing adik-adiknya menjadi orang-orang sukses. Masyarakat di sekitar
rumahnya juga mengakui posisi Made di dalam keluarga besarnya.
Karena
ketenarannya, banyak lelaki di desa itu pernah mendekati Made untuk dijadikan
pacar. Dari segi fisik, Made bukanlah gadis tercantik di desa itu, tetapi
karena semua anggota keluarga sering menceritakan Made kepada para tetangga,
maka terkenallah nama Made ke setiap laki-laki lajang. Namun, dengan
kemampuannya bicara, tidak ada laki-laki yang terluka kalau ditolak.
Dipikir
oleh ayahnya bahwa Made tidak sempat memikirkan dirinya sendiri. Selama ini,
Made sibuk di sekolah. Sore hari baru datang. Sesampai di rumah, Made mandi
lalu istirahat. Tidak ada laki-laki yang datang tiap malam minggu. Tidak ada
juga yang minta izin untuk mengajak Made nonton Band ke gedung kesenian. Di
waktu santai, Made hanya mengajak keponakannya ke taman kota atau ke pantai
Happy. Di rumah, kalau belum ngantuk, Made akan membaca beberapa buku dan koran
yang dibawa dari sekolah.
\Ayahnya
hampir lupa kalau Made seorang perempuan. Semua anggota keluarga sudah lupa
kalau usia Made sudah 35 tahun. Memang sudah sepatutnya perempuan meninggalkan
rumah, tetapi ayah dan adik-adiknya terkejut juga saat Made minta kawin.
“Saya
sudah saatnya mencari pasangan. Bape, saya mau kawin.”
Mendengar
kata-kata Made, ibunya antara senang dan khawatir. Sebagai seorang perempuan,
ibunya sangat memahami hati anaknya. Apalagi mereka sama-sama perempuan. Ibunya
sangat bahagia kalau nanti Made memiliki anak yang sepintar da selincah Made.
Ibunya memang sudah sangat merindukan cucu dari anak perempuan satu-satunya.
Ibunya sudah lama membeli tas untuk nengok cucu. Kebaya merah sudah
dipersiapkan sejak lama oleh ibunya. Sokasi yang bertuliskan Made Resini juga
sudah dibungkus dengan kresek digudang.
Namun,
di balik kebahagiaan itu, ibunya juga memendam rasa takut sebab hanya Made yang
berani mengkritik ayahnya. Hanya Made yang bisa menenangkan putra-putranya yang
lain. Bagaimana mungkin keluarga mereka bisa berjalan tanpa Made. Siapa yang
meluruskan para lelaki jika Made pergi? Kesedihan itu membuat ibunya gagu, tak
sanggup berkata. Kegelisahan itu juga yang membuat ibunya gemetar. Maka, ibunya
tidak berani berpendapat sebelum ayahnya bicara.
“Matheeuw
namanya, Bape.”
“Siapa
lelaki itu?” tanya ayahnya dengan gemetar.
“Lelaki
berkebangsaan Inggris. Orangnya sangat baik.”
“Apa
tidak ada lelaki yang baik di Buleleng?” Ayahnya berbicara sangat pelan karena
bimbang. Bagaimana harus dihadapi anak perempuan kesayangannya?
“Bukan
begitu, Bape.”
“Apa
Bali sudah kehabisan laki-laki yang baik sesuai dengan seleramu?” tanya Wayan
Tresna dengan wajah memerah. Saudara tertua Made sebenarnya tidak berani
bicara, tetapi karena kepergian Made benar-benar tidak diinginkannya. Karena
itu, tanpa menatap Made, ia bicara mewakili lelaki Bali.
“Bukan
begitu, Bli.”
“Lalu
apa, De?” Ayahnya bertanya dengan penuh kecemasan.
“Beri
penjelasan, Mbok! Apa Mok rela disebut gundik kalau menikah dengan bule?” tanya
Ketut Marka.
“Ya,
Mbok. Belakangan ini, perempuan yang menikah dengan Bule sering dikira hanya
mencari uang bule. Lihat juga para tetangga. Nanti dikira Mbok hanya
menginginkan uang mereka.” tambah Putu Suteja.
“Apa
Mbok sudah kehabisan uang untuk mengurusi kami sampai-sampai memilih bule
sebagai suami?”
“Tidak.
Bukan begitu.”
Alasan
apa yang bisa diberikan Made kali ini? Harta benda tidak pernah menjadi
perhitungan baginya. Walaupun dia hanya PNS, kepandaiannya memanfaatkan
internet membuat dia menjadi orang kaya. Alasannya menikah sudah ada. Made
menikah karena memang ingin menikah. Tetapi mengapa memilih bule, sama sekali
belum ada alasannya. Ia tidak punya alasan yang mungkin disampaikan kepada
keluarga tercintanya.
Alasan
klasik karena cinta sudah tidak bisa diterima di keluarga ini karena tanpa
cinta pun ayah dan ibu Made bisa menikah dan melahirkan anak-anak yang sehat.
Alasan agama juga sudah tertutup karena perempuan Bali memang harus pergi dan
mengikuti suaminya. Alasan ketampanan Matheeuw juga bukan alasan yang tepat
karena di Bali masih banyak ada lelaki yang tampan. Kalau alasan baik hati
sudah dipatahkan sejak awal, apalagi yang bisa dijadikan alasan?
“Matheeuw
tinggal dari Inggris, kelak akan kembali ke Inggris. Bagaimana ibu nanti
menjenguk cucu-cucu yang sepintar kamu? Janganlah jauh-jauh menikah, De.” kata
ibunya dengan bibir gemetar.
“Kamu
sendiri yang bilang kalau kita harus melestarikan budaya, tetapi mengapa
sekarang kamu meninggalkan kebudayaan kita?” balas Wayan Tresna.
“Saya
hanya ingin kawin, Bli.”
Teori
apa yang bisa digunakannya untuk menangkis semua keraguan keluarganya. Seorang
perempuan walau pergi dari rumah, kebudayaan itu tidak akan mudah untuk hilang.
Memang ada banyak perempuan yang lupa dengan kebudayaan Bali setelah menikah
dengan bule, tetapi Made orangnya pintar. Tidak mungkin dia melupakan
kebudayaannya demi seorang lelaki.
Made
terus berpikir. Dia mencari jawaban yang tepat untuk semua pertanyaan yang
diajukan saudara-saudaranya, juga orangtuanya. Dia bertanya pada dirinya
sendiri. Ia menggali berbagai alasan yang kreatif, inspiratif, dan inovatif
karena dia tahu benar bahwa keluarganya membutuhkan gagasan-gagasan yang baru.
Keluarganya bukan sembarang keluarga! Maka, saat itu pandangan mata Made lepas
jauh. Sementara, saudara-saudaranya berdecak dalam hati, bertanya-tanya, dan bimbang
harus menyetujui atau tidak. Sebab, mereka telah terbiasa diatur oleh Made.
Apalah jadinya keluarga itu tanpa Made. Di dalam hati ayahnya pun terbersit doa
supaya Made tidak punya argumentasi yang inovatif. Ibunya diam-diam juga
komat-kamit, entah apa yang diucapkan dalam doanya. Apakah berdoa untuk
kemerdekaan putrinya? Tapi, kemerdekaan dari apa? Selama ini, Made menjadi
penguasa di rumah. Di dalam hati ibunya, Made adalah sosok pemimpin yang hebat.
Namun, dia juga sempat berpikir mungkin saja putra-putranya telah menyadari
bahwa Made telah lama memimpin di rumah, lalu menyetujui saja pernikahan Made
dengan Matheeuw.
Cerpen
ini pernah dimuat di Bali Post, tetapi lupa edisi kapan….ketika menikah, saya
pindah rumah dan kelipingnya entah dimana.
2. Bukan Sekadar
Penulis
Oleh
Luh Arik Sariadi
Aku
terancam dipecat. Aku bekerja sebagai staf di sebuah perusahaan penerbitan.
Hampir setiap hari, aku duduk di kursi yang sama. Aku bertugas mencatat setiap penulis yang
hendak menerbitkan buku. Tidak banyak penulis mempercayakan tulisannya kepada
perusahaanku. Namun, aku tidak merasa terusik karena takut perusahaanku suatu
saat mungkin bangkrut. Aku yakin perusahaanku akan baik-baik saja karena yang
bekerja sebagai pimpinan perusahaan adalah pamanku sendiri yang ditaktor.
***
Paman
terus menerus menangis di ruangan yang sangat berdebu. Aku sangat sedih tiap
kali menemuinya. Paman selalu memelas agar aku kasihan kepadanya. Paman pernah
memberi sebuah cincin emas yang sangat indah kepadaku supaya aku melakukan
keinginannya-hasrat atau nafsu menguasai sesuatu. Paman juga memintaku menjual
jam tangan yang sangat mahal supaya aku bisa meminta bantuan kepada orang lain untuk melakukan
misinya. Apapun yang aku minta pasti dikabulkan walaupun aku belum berhasil
melaksanakan tugas.
“Tugasmu
kali ini mencari perempuan hebat, Luh Astiti!” kata paman dengan lembut.
Perempuan
itu memiliki tahi lalat di pipi bagian kiri. Tubuhnya setinggi angkutan
pedesaan, tapi tetap kelihatan menarik karena tubuhnya seksi. Katanya, kulit
Luh Astiti sawo matang, tapi mengkilap. Kalau perempuan itu memakai pakaian
tertutup, seperti jubah, orang-orang mungkin mengira ia adalah anak keturunan
Eropa karena bola matanya tampak kebiruan. Perempuan itu sering memakai softlens berwarna biru.
Luh
Astiti adalah seorang atlet. Ia pernah menjadi juara di Pekan Olahraga Nasional
dalam mewakili daerah. Perempuan ini juga pandai menulis esai. Kalau mewakili
sekolah dalam lomba menulis karya tulis, dia sering menjadi juara. Kalau tidak
juara satu, juara 2, atau paling rendah juara 3. Di sekolah, dia mau menari
tari Pusparesti tiap kali perpisahan kakak kelas, atau ulang tahun sekolah.
Matanya yang bulat, tepat terletak di wajahnya yang bulat. Gerak tarinya yang mataksu membuat dia selalu terpilih
sebagai penari terbaik di sekolah. Dengan tubuh yang tinggi, dia juga berbakat
menjadi model dalam kejuaraan modeling di kabupaten. Kalau saja dia diizinkan
pulang malam oleh orangtuanya, dia pasti akan mengikuti lomba modeling di
tingkat provinsi.
Sepengetahuan
paman, Luh Astiti hanya berpacaran dengan seorang laki-laki saja sejak SMA
kelas XI. Hubungannya ditentang oleh orangtuanya karena Luh Astiti menyukai
lelaki yang jauh lebih muda darinya. Perempuan itu memotong pendek rambutnya.
Kepada teman-temannya di facebook, ia
mengaku ‘belok’. Bapaknya memang lebih suka kalau Luh Astiti keluar rumah
dengan penampilan seperti itu. Maka dimulailah hidup baru Luh Astiti!
Hidup baru itu semacam kemerdekaan baginya.
Semula dengan penampilan feminim, ia sulit mendapat izin untuk keluar rumah.
Namun, dengan hidup baru, orangtuanya tidak merasa takut walaupun keluar malam.
Luh Astiti sering juga mengajak teman-teman perempuannya menginap di rumah.
Memang sering orangtuanya justru mengundang teman-teman Luh Astiti ke rumah
untuk masak-masak. Mereka memanggang ikan laut. Sesekali membeli kelinci untuk
dijadikan gulai. Hampir setiap malam minggu ada pesta di rumah Luh Astiti. Kata
paman, Luh Astiti pernah bercerita bahwa tidak begitu senang dengan kemerdekaan
yang didapatkannya.
“Luh,
Luh! Kesenangan apa ini? Apakah hatimu benar-benar bahagia?” kata Luh Astiti
saat bercermin.
“Luh
Astiti sangat mencintai Suka” kata paman sambil menelan ludah kesedihannya.
“Apa
yang bisa saya lakukan, Paman?”
“Cari
dia!”
“Suka?”
“Bukan.
Cari Luh Astiti,” kata paman saat menggenggam kedua pergelangan tanganku.
Aku
gemetar. Di mana kucari perempuan itu? Apakah Luh Astiti kabur dari rumah? Aku
berpikir pastilah Luh Astiti kabur dari rumah lalu kawin lari dengan Suka.
Remaja zaman sekarang sering berpikiran sempit. Kalau orangtua tidak peduli
dengan kesukaannya, mereka bisa berulah. Apa mungkin Luh Astiti sama seperti
remaja lainnya yang dibutakan oleh cinta? Atau jangan-jangan Luh Astiti telah
‘belok’ mengoprasi alat kelaminnya menjadi laki-laki dan tidak balik-balik?
“Kira-kira di mana dia, Paman?” tanyaku sambil
meneduhkan hati paman yang meringis.
“Coba
cari dulu di rumah teman-temannya!” kata paman sambil menyerahkan handphone kecil. “Ini handphone Luh Astiti,” tambahnya pelan
dengan muka penuh luka.
Luh
Astiti pergi tanpa membawa handphone.
Bagaimana mungkin dia bisa dikatakan kawin lari, berjanji di suatu tempat
dengan Suka? Kuperiksa handphone-nya.
Tidak kutemukan sms yang baru masuk atau penerima pesan satu pun. Mungkin
setelah berjanji di suatu tempat, Luh Astiti segera menghapus penerima pesan?
Ah, tidak mungkin, tetapi ya bisa saja. Apa yang tidak mungkin di dunia ini?
Aku yakin kesepakatan itu telah ada sebelum handphone
ditinggalkan.
“Tidak
mungkin!” kata paman. Luh Astiti bukanlah orang yang meninggalkan orangtua
hanya karena cinta kepada laki-laki. Paman tidak percaya dengan yang kukatakan.
Bagi Luh Astiti, cinta itu hanya kata-kata. Dia tidak pernah menangis karena
cinta. Dia tidak pernah tertawa liar karena cinta. Walau pacarnya sangat muda,
ia tidak pernah terhanyut dalam bujuk rayu Suka. Apalagi Suka baru tamat SMA,
Suka tidak punya cukup uang untuk melarikan Luh Astiti.
Aku
melongos, menatap sebuah celah di kamar itu. Dari celah tampak berbinar-binar
cahaya yang mendesak ingin tahu percakapan kami. Aku begitu yakin kalau Luh
Astiti kawin lari dengan pacarnya. Bibirku mengerjit. Satu mata kananku
memikirkan hal-hal yang tidak baik tentang Luh Astiti. Barangkali dia kesumat
oleh cinta. Bukankah cinta bisa mengalahkan segalanya? Hati yang kaku bisa jadi
lunak. Hati yang lembek bisa beku gara-gara cinta. Perempuan yang lembut bisa
menjadi pembunuh, penyiksa, dan menyakiti laki-laki. Cinta pula bisa mengubah
kebencian menjadi ketulusan dalam melakukan apapun. Cinta itu bisa merasuk,
menjelma sebagai hutan, bisa juga menjelma menjadi laut. Sembari membersihkan
sisa makanan di sela gigi, aku meyakinkan paman bahwa Suka telah memenangkan
cinta Luh Astiti.
“Tidak
Mungkin! Dengan apa dihidupi Luh Astiti yang cantik itu?” tanya paman kepadaku
yang ragu atas pertanyaan.
Luh
Astiti menggunakan parfum yang sangat mahal. Tiap bulan ia membeli parfum
seharga empat ratus ribuan dan dipesan secara khusus dengan menjadi member
suatu perusahaan. Setiap ada katalog baru, dia akan memesan dua, tiga sampai
lima pakaian yang disukainya. Luh Astiti menyukai ayam betutu dengan pelecing
kangkung. Satu porsi harganya lima belas ribu. Dengan es kelapa muda dan
rempeyek, sekali datang di warung makan kecil, ia sudah menghabiskan dua puluh
ribu. Kalau dia mentraktir teman-temannya, dipilihlah restoran di dekat pantai
sehingga harganya bisa mencapai lima kali lipat.
Terpikir
olehku kalau Luh Astiti menjadi pelacur. Gaya hidupnya sangat tinggi. Menu
makanannya terpilih. Pakaian mengikuti trand.
Perawatan wajahnya sangat mahal. Kosmetiknya menggunakan bahan-bahan alami.
Walau wajahnya sangat datar, jarang tertawa dan jarang menangis, tetapi ia
masih meluangkan waktu untuk bermain game
di pusat-pusat perbelanjaan bersama keponakan atau teman-temannya. Luh Astiti
membelikan es krim, makanan ringan, dan kadang-kadang pakaian untuk keponakan-keponakannya.
Karena itulah, tidak mungkin Luh Astiti kabur bersama anak pengangguran.
Bagaimana
nanti dia menghadapi kehidupannya kalau tidak mencari pekerjaan sebagai
pelacur? Sebab, sebagai penulis sudah tidak mungkin, kecuali dia menggunakan
nama samaran. Tapi, mungkin agak sulit diterima oleh penerbit, kecuali dia
mengganti gaya penceritaan yang sudah melekat dalam tulisan-tulisannya. Juga
tidak mungkin dia menjadi olahragawan lagi, sebab semua orang akan
mengenalinya. Selain itu, tidak mudah di daerah ini menjadi seorang atlet yang
mendapat kesempatan untuk unjuk gigi. Menjadi seorang atlet di daerah ini tidak
mungkin hanya mengandalkan kemahiran sebagai olahragawan, tetapi juga perlu
koneksi agar bisa mendapatkan kesempatan bermain. Ah, begitu pelik aku
memikirkan hal-hal buruk tentang nasib Luh Astiti. Rasanya sudah putus asa
mencarinya!
“Paman,
di mana saya cari dia? Saya sudah pasang iklan orang hilang. Saya juga sudah
menyebar banyak orang untuk menemukannya. Mobil milik paman juga sudah saya jual
untuk memberi ongkos kepada informan yang kira-kira tahu Luh Astiti. Sudahlah
Paman! Mungkin dia sudah jadi pelacur!”
“Tidak
Mungkin!” gertak paman kepadaku, lalu menarik nafas panjang menahan amarahnya.
Kata paman, Luh Astiti bukanlah perempuan yang haus seks. Dia juga bukan orang
yang bodoh sehingga dia harus menjual tubuhnya untuk bertahan hidup.
Penghasilannya selama ini mungkin tidak banyak, tetapi masih cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang mewah.
“Tapi
itu kan dulu, Paman! Sekarang siapa tahu?”
“Tutup
mulutmu!”
“Paman
boleh saja marah kepada saya, tetapi dunia zaman sekarang selalu memberi
kemungkinan, bahkan untuk hal-hal yang buruk sekalipun” jawabku ketus.
“Ya,
benar. Tetapi tidak benar untuk Luh Astiti!”
Paman
sangat marah kalau aku berpikir hal yang tidak-tidak tentang Luh Astiti.
Menurut paman, Luh Astiti sangatlah bermoral. Religius. Taat beragama.
Penampilannya memang membuat orang risih. Celana jeans yang pendek, kaos ketat,
dan baju kotak-kotak yang terbuka. Tidak terlihat sama sekali kalau dia orang
yang santun. Tidak kelihatan dia sebagai seorang perempuan yang baik-baik.
Apalagi kalau libur panjang, ia sering membuat tato temporer di kaki dan
punggungnya. Namun, paman begitu yakin kalau Luh Astiti adalah orang yang baik.
Orang yang jujur. Dia bisa menempatkan diri pada tempatnya. Kalau ke kantor, ia
selalu berpakaian rapi. Kalau di luar, itu adalah wilayah pribadi untuk
mengekspresikan diri.
“Aku
sangat yakin. Luh Astiti adalah orang yang benar-benar kubutuhkan saat ini.
Tolong kamu cari!” paman memelas kepadaku dengan kepala tunduk.
“Paman,
apa hanya dia satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan Paman?”
“Belum
tentu juga.”
“Lalu
buat apa susah-susah mencarinya?”
Paman
diam. Matanya entah berkaca-kaca karena apa? Kemeja putih yang dikenakannya
juga sudah basah. Di benaknya entah ada apa mengalir? Aku hanya mengira-ngira
setiap kali menemui paman. Aku selalu berharap paman mau jujur denganku.
Mengapa hanya Luh Astiti yang dicarinya? Siapa perempuan itu? Bagaimana rupanya
sekarang? Mungkin sudah operasi plastik. Apa mungkin dia anaknya yang tidak
diakui dan sekarang sudah diakui oleh paman? Ah, pikiranku menjadi liar
menduga-duga.
Selama
ini paman tidak pernah menyimpan rahasia. Aku sudah sejak kecil bersama paman.
Yang kutahu anaknya hanya satu, Mbok Dewi. Mbok Dewi sudah meninggal waktu
berusia 8 tahun. Fotonya terpasang di kantor. Tapi kata paman, Luh Astiti
seusia dengan mbok Dewi. Rupa mereka berdua saat berusia 30 tahun tidak mungkin
sama, kecuali tebakanku benar bahwa Luh Astiti anak kandung paman. Barangkali
dari istri-istrinya yang tidak sah. Atau bisa saja Luh Astiti itu wanita
simpanan paman yang tidak kuketahui.
“Sudahlah
jangan terlalu banyak bertanya. Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Atau aku tidak
bisa lagi memakaimu.”
“Paman?”
“Kerjakan.
Tolonglah. Jangan bertanya. Di sini tidak aman untuk mengatakan mengapa Luh
Astiti sangat kuperlukan.”
“Lalu
apa yang bisa kulakukan agar saya bisa menemukan dia paman?”
“Cari
dia!”
“Ya,
saya mengerti, Paman. Tapi bagaimana caranya mencari? Segala upaya telah saya
lakukan. Wajahnya saja saya tidak tahu.”
“Paman
pernah mendengar kabarnya, sepuluh tahun lalu. Ia menjadi anggota sebuah
perkumpulan Lalu, karena jiwanya belum kuat untuk menerima ilmu tenaga dalam
yang dipelajarinya, maka dia gila. Tetapi lima tahun kemudian, aku mendengar
namanya. Katanya dia menjadi dukun.”
“Apa?
Dukun?” tanyaku kaget.
“Ya.”
“Masalah
Paman tentu bukan dukun penyelesaiannya. Lalu
buat apa masih mencarinya?”
Menurut
paman, Luh Astiti bukanlah dukun sembarangan. Konon dengan kekuatan pikirannya,
dia mampu membaca sampai sepuluh tahun masa lampau, atau sepuluh tahun
mendatang. Sebagai seorang dukun, ia tidak menerima pasien. Hanya beberapa
orang saja ditolong dan sembuh. Itulah sebabnya banyak warga di sekitar rumahnya
enggan berobat ke sana. Apalagi masih banyak juga yang menyangsikan kalau anak
semuda dia sudah bisa menembus cakrawala alam semesta.
Asal
muasal keterkenalannya adalah waktu Luh Astiti kuliah di perguruan tinggi
swasta. Sebagai mahasiswa hukum, dia adalah perempuan termuda yang berani
tampil berbicara berdasarkan realitas. Bisa dibilang dia ahli hukum. Di ruang
kuliah, dia selalu berdebat dengan mahasiswa yang sudah agak tua dan biasanya
hanya mencari gelar saja untuk kenaikan gaji. Dia juga pandai bicara di
forum-forum terbuka. Pendapatnya selalu menjadi pertimbangan bagi pengambil
keputusan. Sejarah dipelajari dengan baik. Tidak ada nama-nama yang dilupakan.
Karena itulah, setelah menyelesaikan Sarjana Hukum, dia langsung bekerja di
notaris. Sembari bekerja di notaris, ia tetap menulis, mengkritisi setiap
kebijakan pemerintah.
Tulisan-tulisannya
di media masa nasional seperti menebak-nebak, atau lebih tepatnya seperti
seorang peramal, atau mungkin bisa dikatakan dukun. Tebakannya tentang pemimpin
daerah sudah disampaikannya sebelum ada calon yang mendaftarkan diri. Dia itu,
mampu menebak presiden yang akan memimpin bangsa. Dia menuliskan nama-nama yang
akan terjerat hukum karena korupsi. Dia itu perempuan yang luar biasa.
Paman
terus menerus memuji Luh Astiti. Aku berusaha kagum, tetapi belum ada dasar
untuk mengagumi perempuan itu, kecuali cerita yang masih aku ragukan. Semua
cerita paman tentang Luh Astiti seperti fiksi. Cerita paman terpenggal-penggal
dan membuat aku curiga bahwa paman hanyalah pembohong. Yang semakin kuat dalam
pikiranku justu bukan Luh Astiti, melainkan sifat paman. Aku ragu dengan sifat
paman yang sebenarnya.
Aku
curiga jangan-jangan paman memang bersalah. Aku berpikir paman bisa dibayar
untuk menerbitkan tulisan-tulisan para pejabat, sebagaimana dia bisa membayarku
untuk mencari orang yang sama sekali tidak kukenal. Aku benar-benar takut
mengikuti perintah paman. Perusahaan memang bisa berjalan tanpa paman, tetapi
kalau sidang telah memutuskan bahwa paman bersalah karena telah meluluskan
tulisan-tulisan yang mengejek pemerintahan tertentu, bagaimana? Aku benar-benar
takut. Kalau aku tidak bisa menemukan Luh Astiti, mungkin saja paman dituduh
bersekongkol untuk menjatuhkan pemerintahan. Ah, itu hanya pikiranku saja.
Paman
tidak pernah menempatkan Luh Astiti dengan jelas pada kasus yang dihadapinya.
Paman hanya memujinya, dan sebaliknya aku hanya mendapat ancaman akan dipecat
dari penerbitan paman kalau tidak bisa menemukan Luh Astiti.
“Luh
Astiti mengetahui kasus ini! Dia memiliki video dan foto-foto yang bagus untuk
dimuat di buku untuk aktivis ham. Tulisan yang terakhir dikirimnya sangat
bagus. Sebagai penulis muda, dia harus diselamatkan! Tulisannya harus
dibukukan. Dia tidak boleh dinodai oleh gosip apapun! Dia harus benar-benar
bersih dari segala pandangan! Sebab, tulisan yang dibuatnya ini benar-benar
fakta dan mampu menghancurkan atau menghidupkan negara kita. Kuncinya pada dia.
Ini soal para pejabat! Dia bukan sekadar penulis. Dia harus diselamatkan!” kata
paman mengancamku.
“Paman…Apa
yang mengancam negara ini?”
“Berhenti
membantah atau kau dipecat!”
Aku
tidak bisa mendebat lagi. Walau dia pamanku, aku hanya karyawan, dia pimpinan
tertinggi. Perusahaan ini miliknya, aku hanya karyawan biasa. Begitulah,
karyawan tidak bisa mengetahui rahasia perusahaan, begitu pula negara ini,
harus ada yang dirahasiakan. Banyak orang yang hebat di negara ini selalu
menghilang entah ke mana. Orang-orang hebat selalu pergi, tidak terpilih, atau
ketika terpilih justru tidak punya pilihan, dan pembangunan negeri ini selalu
terhenti. Itu rahasia negeri ini.
Denpasar, 9 Desember 2015
Denpasar damai
ketika pilkada serentak.
3. Tiba di Ibu Kota
Beberapa
menit lagi senja
tiba
di ibu kota
kita akan bermimpi lagi
Sehabis
mengajar di sekolah swasta ternama, aku tiba-tiba ingin duduk sendiri di kamar.
Aku menyadari ada banyak mimpi berserakan di kamarku. Sisa-sisa cahaya matahari
masih gelisah dan tampaknya sangat resah. barangkali senja adalah perpisahan
bagi sinar-sinar matahari dan kamarku. Cahaya di atas ubun-ubunku yang
menyelinap melalui celah jendela yang telah kututup, sama sekali tidak rela
meninggalkan mimpi-mimpi yang berumah di ruang kamarku. Kilaunya masih beradu
argument dengan fotolu, dengan sebuah lukisan dari cat minyak, dengan gitarku
yang berdebu, dengan serulingku yang terbungkus rapi, dengan stik drum, dan
dengan sebuah cermin di depanku.
Cahaya-cahaya
itu berserakan meronta-ronta seperti letupan kembang api di angkasa saat
kutabrak dengan tubuh kurus. tidak begitu menarik, tetapi cukup memikat saat
kulihat tubuhku telah melakukan kudeta untuk ruang dan waktu di kamarku.
“Aku
tahu apa yang kau mau,” bisikku kepada surya senja. Sebetulnya aku masih ingin
mengenal senja, tetapi karena terlalu banyak jumlahnya dan menyengat tubuhku
yang lebih bersih dari tahun-tahun sebelumnya, dengan terpaksa aku harus
mengusirnya. Aku paham bahwa dengan mengusir sebagian berkas cahaya, aku bias
menikmati malam beberapa menit lagi. Saat itu adalah waktu yang paling baik
untuk menduga-duga, mimpiku yang mana akan terkabulkan esok harinya.
Dengan
menebak, aku tidak bisa memindahkan perhatian cahaya menuju kamarnya sendiri.
Senja berumah di kedalaman hati. Untuk mencapai hati, ia harus tenggelam
melewati laut biru di depan rumahku. Dia tidak perlu lagi menjaga mimpi-mimpiku
ketika aku bekerja. walau semestinya aku harus berterima kasih. Kepada senja,
aku tidak mungkin mengajaknya untuk tetap di kamarku.
Suka cita yang semestinya aku tunjukkan kepada senja,
sama sekali tidak kutunjukkan. Kalau aku mau berterima kasih kepada sisa siang
itu, aku bisa menarik bibirku ke samping dengan kedua bagian yang tertutup
sambil menyipitkan kedua mata. Aku bisa menahan kantuk dengan menarik telingaku
supaya aku kelihatan lucu dan menunjukkan betapa senja sangat kurindukan. Ah,
bagaimanapun, senja telah menyembunyikan mimpi-mimpiku pada sandikala.
Menurut mitos yang pernah kudengar, Sang Kala akan
melahap siapa saja yang terbuai oleh beberapa menit menjelang gelap.
Menit-menit itu berlangsung sangat cepat dan mengambil apapun yang kita
sayangi, termasuk kau yang sangat aku cintai. Sang Kala adalah makhluk yang
tidak kompromi terhadap siapun, termasuk terhadapku. Walaupun aku seorang guru
favorit di sekolahku, Sang Kala tidak peduli. Dengan sihir yang dimilikinya,
dia bisa merabunkan mataku. Aku bisa saja duduk dengan tenang, dengan alasan
masih lelah sehabis melahap letusan-letusan magma yang muncrat dari
pikiran-pikiran siswaku, tetapi aku harus tetap waspada dengan kehadiran Sang
Kala yang katanya tiba-tiba muncul saat kita melamun bersama senja.
Sang Kala pernah membuat senja tidak berdaya. Senja
bergelimpangan saat aku tidak mampu menjaga sebuah mimpi. Senja mungkin merasa
bersalah karena tidak mampu menahan Sang Kala yang mengambil mimpiku untuk menjadi
pemimpin di kerajaan impianku.
”Paduka Ratu Putri, maafkan hamba karena lalai.”
”Ya?” tanyaku dengan tenang.
”Waktu itu, hamba sedang bermain dengan foto Paduka. Aku melihat lesung pipi Paduka. Paduka tersenyum walau rambut Paduka tampak
kusut.” kata senja bercerita melaporkan keberhasilan Sang Kala Merampas
mimpiku.
”Lalu?”
”Walau Paduka tampak kotor, dengan kaos hadiah bergambar
obat nyamuk bakar, hamba melihat mata Paduka yang sangat bening. Foto itu
seperti tidak ada beban. Paduka waktu itu, pastilah sangat bahagia.”
”Ya, kau benar.” Aku dulu suka memakai baju pemberian
orang. Aku sering diberi baju kaos yang berisi iklan. Aku berlari-lari di teras
rumah kalau sedang senang karena ayahku membawa kaos sepulang kerja. Kaos itu
diberikan majikannya yang sedang kampanye calon Wakil Bupati. Aku menyanyi
sampai malam, bahkan sampai tidak mandi karena sangat menyukai kaos berwarna
biru itu.
”Maaf, jari Paduka yang menutup mulut itu sangat lucu.”
Aku berpikir. Jariku dikatakan lucu. Aku merasa biasa
saja. Namun, aku bukan orang yang membiarkan orang lain menilaiku tanpa standar
atau alasan yang jelas. ”Mengapa?” tanyaku kepada seberkas cahaya yang menunjuk
ke arah foto.
”Lucu jari Paduka karena pendek dan tambun.”
”Itu saja?” Aku belum percaya bentuk jariku membuat
cahaya terhibur.
”Paduka meletakkan jari itu tepat di depan mulut yang
tertutup. Apa maksud Paduka?”
”Wow, itu hanya gerakan spontan.” Aku menjelaskan dengan
sederhana, sesederhana hatiku waktu itu.
Aku bukan orang yang selalu mempertimbangkan hal-hal,
kecuali penilaian orang terhadap diriku. Bisa dibilang untuk berfoto, aku tidak
pernah banyak pertimbangan. Aku suka berpose, itu saja. Mengenai fotoku yang
menutup bibir dengan telunjuk, sama sekali tidak kupertimbangkan dengan matang.
Sebetulnya ada banyak foto. Temanku mengambilnya waktu perpisahan. Kira-kira
usiaku waktu itu 23 tahun. Baju biru yang kukenakan juga tidak ada pertimbangan
macam-macam. Aku suka karena warnanya dan itu pemberian orang. Aku takut
dinilai tidak menghargai pemberian orang lain. Itulah sebab utama, aku terbiasa
menyenangi baju hadiah. Aku memakainya dengan sangat bangga. Dengan bangga aku
difoto berulang-ulang dengan pose yang berbeda. Kuambil satu foto tanpa banyak
pertimbangan waktu teman-temanku menunjukkan hasil jepretannya.
Sambil mengenang lagi kata-kata senja waktu itu, aku
ambil plastik di tasku. Aku tadi membeli kertas rokok, tembakau dan korek api.
Harganya seribu lima ratus rupiah. Aku mencoba menggulung tembakau. Ah!
Ternyata aku telah lupa cara mirit.
Aku membasahi ujung kertas dengan menyentuhkannya pada ujung lidah. Maksudku,
kertas itu akan berhasil membungkus tembakau yang harumnya telah melesap ke
paru-paruku. Rupanya aku telah kehilangan kemampuan menggulung rokok. Semenjak
tinggal di ibu kota, aku lebih suka membeli rokok yang telah dikemas dengan
label cukai pajak. Aku kesulitan!
Aku sudah lama tidak pulang pada senja begini. Aku selalu
menghabiskan waktu untuk mampir ke rumah teman-teman sekadar untuk menunjukkan
kemahiran menghembuskan asap rokok. Aku habiskan sebagian gajiku untuk membeli
rokok. Aku telah berani merokok di hadapan banyak orang, walau biasanya aku
hanya merokok di kamarku.
”Paduka seorang teladan, mestinya berhenti saja merokok.”
Senja menasihatiku. Senja selalu menyiram malam sebagai sesuatu yang indah,
sekaligus menghancurkan hatinya karena malam mengusirnya dari kamar ini. Senja
harus berpisah dengan mimpi-mimpiku karena sudah waktunya aku berteman gelap di
kamar.
Kadang-kadang, kalau aku ingat nasihat senja, aku bisa
tidak merokok sampai beberapa minggu. ”Ya, tetapi bukan karena nasihatmu aku
tidak merokok!” kataku membentaknya.
Senja teramat sering melarangku merokok, sering pula aku
membentaknya. Kalau aku tidak merokok sampai seminggu, itu karena aku memang
kehabisan uang untuk hidup di kota ini. Hari ini, ketika aku kembali ke
kamarku, aku harus belajar lagi cara menggulung tembakau, seperti waktu masih
di desa bersama penduduk yang kedinginan di bawah rerimbunan pohon cengkeh.
Hari ini, betul-betul terpaksa aku kembali ke kamarku untuk menghitung banyak
mimpi yang telah dicuri Sang Kala.
Kali pertama pencurian itu terjadi, aku sedang menghisap
rokok mild yang kurus. Yang sangat menonjol adalah jariku yang bagi senja
sangat lucu. Aku melepaskan asap rokok ke langit, membumbung tinggi,
menebarkannya berupa gelang-gelang, lalu terburai ke seluruh ruang.
”Puput Raning Darmika Sasih Lokha,” kata Senja mengeja
namaku.
Aku tersentak. Aku menunggu agak lama, sampai senja mau
melanjutkan ucapannya setelah menyebut namaku dengan sangat jelas. Aku ingin
mengetahui puji-pujian yang akan disampaikannya kepadaku. Aku ingin dia berkomentar tentang fotoku dengan pose menutup mulut. Dengan
hati yang mulai curiga, aku tidak sabar menunggunya bicara lagi.
”Bicaralah!”
”Begini, Paduka tanpa pertimbanan menutup mulut saat
tubuh Paduka dipindahkan ke foto, apa Paduka orang yang selalu diam, ah, apa
selalu membungkam orang? Ya, maksud saya,
ketika ada yang hilang di kerajaan Paduka?”
”Maksudmu?” kejarku. Aku menduga-duga. Apa yang hilang dari kamarku? Mengapa hilang? Aku
mengejar maksud ucapan senja dengan kedua mataku yang merayap ke setiap tempat.
Aku juga memegang kepalaku agar tidak meledak. Dadaku mulai sesak, makanya
kupegang juga. Pelan-pelan pertanyaan yang belum dijawab itu menelusuri
perutku hingga sangat sakit jadinya. Aku gemetar.
Tidak ada satu benda pun yang hilang dari kamarku. Tidak juga ada yang lenyap
setelah kugeledah seluruh milikku.
Pulpen dan buku masih lengkap di dalam tasku. Aku
mencatat semua mimpi di buku harian itu. Aku bergegas memeriksa saku baju dan
celana yang bergantung di balik pintu. Aku heran dan sangat takut kehilangan.
Belum tentu aku kehilangan karena semua yang aku miliki masih tetap berada di
kamarku, walau tempatnya agak berantakan. Untuk menenangkan diri, aku ambil anggur
koleson yang kusembunyikan di kolong almari tempat menyimpan pakaian dalam. Aku
akan minum tiap kali kesepian karena teman-temanku di kota ini teramat sering
sibuk. Aku resah karena tidak berhasil menemukan mereka untuk sekadar
bercerita, dan sudah biasa aku menghisap aroma anggur yang kuat.
”Jangan panik, Paduka.” kata senja menenangkanku.
”Apa yang hilang?”
”Hari ini Sang Kala datang lebih cepat. Mungkin Paduka
datang agak telat. Saya sudah berusaha menjaga mimpi-mimpi Paduka agar bisa
diingat-ingat waktu malam, tetapi Sang Kala telah mengambilnya.”
”Mimpiku telah diambil? Dicuri?”
Senja mengangguk.
“Mimpi apa?” bentakku dengan maksud bertanya. Kalau saja
senja punya nyali, tahu gertakan dan rayuan, tentu dia sudah pergi sejak dulu,
meninggalkan aku. Syukurlah ia tidak punya nyali. Dia hanya punya kesetiaan. Dia sangat tulus menunggu sampai gelap benar-benar datang. Tanpa senja, aku
pastilah tidak pernah bisa menerima malam. Pastilah mataku menderita sehabis
siang, aku harus tidur. Ketika senja, aku bisa berpikir sejenak untuk
membedakan mimpi dan realita.
”Teramat banyak impianku. Kalau aku tidur, aku bisa
terbangun sampai sepuluh kali saat mimpi itu datang. Aku kepanasan, walau AC
sudah hidup. Sang Kala mengambil mimpiku yang mana?”
”Sebelum gelap itu datang, rebutlah kembali mimpi itu
dari Sang Kala!”
”Mimpi apa?”
”Menurut hamba, Paduka, mimpi apapun itu, teramat sering
Paduka kecurian. Paduka tidak menyadarinya karena Paduka teramat sibuk
merokok dan minum. Teramat sering.”
”Cukup!”
”Paduka, hari ini Sang Kala telah mencuri mimpi Paduka
yang paling dasar. Mimpi paduka untuk memiliki hati yang besar untuk menerima
hamba atau malam.”
”Jangan seenaknya!”
”Benar. Paduka sering melewatkan senja dan bergegas
menikmati malam, sementara malam tidak pernah Paduka gunakan untuk bermimpi
lagi. Paduka lupa menulis dan menghasilkan cerita untuk sunyi.”
Senja di ibu kota menyisakan mimpi bagi malam. Saat kau
terlelap, kau tidak akan punya mimpi lagi. ”Ayo, bangunlah Paduka! Atau paling
tidak terjagalah agar bisa bermimpi lagi!”
Aku terlalu asyik dengan indahnya kota ini. Sebagai guru
swasta di kota sebesar ini, gajinya lebih besar dari pegawai negeri sipil. Itu
membuatku tidak perlu bermimpi lagi. Dan sebagai hukumannya, aku dipecat dari
sekolah, sebab sekolah memerlukan guru-guru yang selalu bermimpi. Senja
benar-benar telah tiba, aku harus kembali ke desa, semoga aku bisa bermimpi
lagi.
Oleh Luh Arik
Sariadi
Tukadmungga-Sukasada, April 2010
4. Mendekap di
Kegelapan
Luh
Sukerti duduk membungkus lembar-lembar uang kertas. Sambil meneteskan air
matanya, ia memilah untuk siapa saja uang kertas itu akan diberikan. Tembok
yang hanya bisa menahan laju angin sedang membekukan uang-uang kertas itu.
Udara malam sebenarnya telah membekukan air mata Luh Sukerti, tetapi panas di
dadanya telah membakar syaraf-syaraf di matanya, hingga memeleh dan membuat
deras air matanya. Oksigen yang biasanya masuk dengan teratur di desa Jinang,
tiba-tiba datang tersendat-sendat menuju ke seluruh tubuh Luh Sukerti.
Desa
Jinang, desa berudara sejuk sepanjang hari, sungguh tidak mampu menyejukkan
hati Luh Sukerti yang sedang menghitung uang. Uang berserakan di atas gipan.
Dua anak Luh Sukerti bahkan dalam tidur nyenyaknya ikut gelisah dan membuat
uang itu sulit ditarik oleh Luh Sukerti. Galung dan Tenang seakan tidak rela
kalau uang itu dibungkus-bungkus dan dikirimkan entah ke mana. Luh Sukerti
tidak pernah bercerita tentang luka hati kepada anak-anaknya, tetapi entah
mereka tahu kesedihan ibunya, uang-uang itu terjepit di kaki, pinggul,
punggung, dan beberapa lembar terbang jauh ke seberang ranjang.
Dengan
kekuatan hati, Luh Sukerti memungut uang itu kembali. Ia masukkan lagi
uang-uang itu. Ia ingat begitu sering ia melakukan pekerjaan membungkus uang ke
dalam kresek.
***
Luh
Sukerti bekerja sangat rajin. Memiliki majikan seorang keturunan Tionghoa,
membuatnya selalu rajin dan disiplin. Ia selalu bangun lebih awal dari
majikannnya. N’Cik Ong selalu meminta segelas besar kopi. Tacik An selalu minum
teh yang direbus sejak jam 4 pagi, sampai tersisa setengah dari teko besi,
kira-kira isinya seliter. Luh Sukerti sangat bangga bekerja di rumah
majikannya. Kedua majikannya sangat sayang kepadanya. Tidak seperti kata orang
bahwa keturunan Tionghoa yang tinggal di kota kecil Sanga, selalu dikatakan
pelit. Luh Sukerti merasa sangat bahagia melayani dua majikan yang sangat
sibuk, tetapi tetap perhatian kepadanya.
Pagi
merangkul pasar di kota Sanga. Pasar sayur mayur bergegas sibuk. Puluhan
keranjang turun dari mobil berisi terong ungu dan dipikul ke pedagang-pedagang.
Tauge yang dibungkus daun pisang pada keranjang-keranjang dibagi-bagi untuk
pedagang pengecer yang sejak sejam sudah menunggu kedatangannya. Sawi hijau
yang terbungkus karung plastik meneteskan air ke kepala buruh pasar saat
diusung sampai dua tumpuk besar. Pedagang daging ayam sudah tampak berjejer
sejak tengah malam. Kedua tangan para pedagang sangat lihai memotong daging. Di
sebelah pedagang daging ayam, pedagang dengan cekatan membungkus tempe dan tahu
dengan paket seribu atau dua ribu. Mereka sudah ditunggu pedagang pengecer atau
pedagang masakan. Perempuan-perempuan tua dengan handuk di kepalanya, sedang
membungkus terong hijau yang mulai digemari untuk sambel tuung. Biasanya, sambel
tuung dipadukan dengan jukut undis
dan base gerang.
“Luh,
N’Cik tidak suka makan sambel tuung walaupun
I Luh mengatakan ini enak.”
“Ya,
N’Cik, maaf. Saya pikir N’Cik akan suka. Ini adalah makanan saya di rumah.
Sangat lezat. Kalau begitu, N’Cik bisa makan sup jamur saja hari ini. Besok saya
akan buatkan N’Cik babi kecap.”
“Ah,
Luh kamu memang mengerti kesukaan Tacik. “ jawab majikan laki-laki Luh Sukerti.
“Ehem….
N’Cik itu memang susah makan. Ini tidak suka, itu tidak suka. Sudah berapa
orang disuruh masak, mereka selalu cemberut karena selalu N’Cik tidak suka.
Akhirnya mereka memutuskan berhenti.”
“Ya,
Tacik, maaf. Saya yang salah karena membuat makanan tidak tanya-tanya.”
“
Ya, sudahlah….jangan bahas soal mereka yang tidak mampu bekerja di sini. Luh
Sukerti kan beda sama mereka. Dia diejek tidak apa-apa, itu masukan demi
keterampilan masaknya. Makin hari dia harus makin pintar memasak. Nanti dia
masak untuk suaminya kan harus enak.”
Luh
Sukerti memikirkan lelaki seperti apa suaminya nanti. Di dalam benaknya, lelaki
yang dicintainya adalah lelaki yang tampan dengan tubuh lebih tinggi dari
dirinya. Warna kulitnya bisa sama, bisa lebih putih, dan bisa juga lebih hitam,
tidak masalah baginya. Dia rela mengabdikan dirinya kepada laki-laki yang nanti
menjadi suaminya. Namun, lelaki seperti apa suaminya? Dia hanya bisa berharap
dan berdoa, yang memutuskan adalah Tuhan.
Hari
ini, Luh Sukerti memasuki pasar lebih pagi dari hari sebelumnya. Ia akan
membeli daging babi untuk membuat babi kecap yang sangat disukai N’Ciknya.
Dengan mata yang masih kusut, berayun tangannya dengan lincah. Tubuhnya yang
kurus menyusup tanpa halangan yang berarti mencari bahan-bahan masakan untuk
makan sehari kedua majikannya. Kakinya melangkah lebih lebar agar segera sampai
di dagang daging babi. Dia akan membeli daging babi dengan kulit babi yang
masih muda. Walaupun majikannya memiliki kulkas yang besar, Luh Sukerti lebih
suka ke pasar setiap hari karena pasar tidak terlalu jauh sehingga daging yang
didapatkannya akan lebih segar. Apalagi, majikannya hanya dua orang, tentunya
tidak boleh mengecewakan keduanya.
Kedua
majikannya memiliki empat anak yang sudah membuka usaha sendiri. Anak laki-laki
yang pertama, membuka toko bahan-bahan
bagunan di kota Den. Anak kedua yang perempuan sudah menikah ke luar negeri
dengan orang Tiongkok asli dan membuka usaha pengalengan ikan di Singapura.
Anak ketiganya, yang paling cantik dan paling sering pulang ke kota Sanga
bersama suaminya. Anak ketiganya, walau tinggal di kota Sura, selalu datang
tiap tiga bulan. Anak keempat majikan Luh Sukerti sedang kuliah kedokteran di
Australia. Hampir setiap hari anaknya itu menelepon majikannya hanya sekadar
bertanya sudah sarapan atau sudah makan? Makan apa hari ini?
Luh
Sukerti sebagai pembantu di rumah itu terkadang malu kepada anak majikan yang
tinggal di Australia karena selalu membuat menu makan babi kecap untuk
majikannya. Kadang-kadang, Luh Sukerti ditegur agar membuatkan makanan yang
lebih sehat, kaya serat, dan tidak memakai bumbu penyedap untuk kedua
orangtuanya, tetapi apaboleh buat? Luh Sukerti hanya seorang pembantu yang taat
terhadap perintah majikannya.
“Mbok
Suker, tolonglah Papah dibuatkan sup
lengkap dengan wortel, jagung, dan sebaiknya tidak isi kol karena tidak baik
bagi Papah yang sudah tua. “
“Ya,
Qeek Cin. mbok selalu menyarankan seperti itu, tetapi N’Cik maunya babi kecap
saja. Kalau tidak ada, N’Cik tidak akan makan.”
“Ah,
itu susahnya Papah. Padahal, sudah
sering diperingatkan dokter. Sekarang anaknya kuliah kedokteran, tidak
dipercaya juga. aneh kan?”
“Ya,
Qeek Cin, benar…tapi mbok sudah tambahkan acar yang dibuat dengan wortel atau
timun. N’Cik pasti akan baik-baik saja. Babi kecapnya juga hanya sedikit
dibuat, mbok sering dengan sengaja bangun siang biar habis daging
babinya…hehehe.” Luh Sukerti tertawa di hadapan kedua majikannya saat menelepon
anak termuda yang benar-benar perhatian kepada kedua orangtuanya.
Luh
Sukerti sangat bahagia jika ada anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya.
Dipikirnya, bahwa dirinya belum bisa berbakti kepada kedua orangtuanya. Luh
Sukerti belum bisa pulang membawa uang untuk kedua orangtuanya yang ada di desa
Tukah, 9 kilometer dari kota. Kalau numpang ojek, biayanya hanya sepuluh ribu,
tetapi uang sepuluh ribu sangat berharga bagi Luh Sukerti yang hanya
mendapatkan gaji tiga ratus ribu perbulan di rumah ini. Maka, satu-satunya cara
yang harus ditempuhnya adalah mendapatkan lelaki yang mencintai keluarga dan
bisa mengantarnya pulang membawa uang untuk kedua orangtuanya.
Seorang
anak harus bisa mengirimkan uang untuk orantuanya yang sudah tidak bekerja.
Itulah yang selalu dinasihatkan kepada Luh Sukerti oleh Tacik tempatnya
bekerja. Kedua majikannya selalu mengirimkan uang kertas untuk para leluhur
yang telah meninggal dunia pada bulan Chengbeng, bulan kebaktian kepada para
leluhur yang berumah abadi di kubur atau Nyolo. Luh Sukerti selalu ikut ke
kuburan kalau kedua majikannya berziarah ke kuburan.
Uang-uangan
kertas diletakkan di atas kubur yang sudah dibersihkan dari tanaman liar –perdu
dan ilalang. Air bercampur bunga akan disiramkan ke seluruh kuburan secara
bergantian oleh semua orang yang datang, termasuk Luh Sukerti.
Dua
hari sebelum kebaktian ke kuburan, Luh Sukerti akan masak berbagai masakan cina
seperti bihun goreng, bakmie, capcay, sayur hijau tauki, mie goreng, mishua,
babi kecap, bakwan goreng, krupuk babi, dan kolobak. Semua masakan itu akan
dibawa ke kuburan dengan mobil lalu disajikan untuk para leluhur yang sudah
meninggal dunia. Setelah menaburkan air bunga, kedua majikannya menata
masakan-masakan itu dengan ketulusan bakti kepada para leluhur. Keyakinan bakti
terhadap orangtua sangat kuat melekat di dalam hatinya sejak ia bekerja sebagai
pembantu, walau gajinya sangat kecil. Sebab, dilihatnya kedua majikannya sangat
loyal dan benar-benar menjadi teladan bagi hidupnya. Suatu hari nanti, ia akan
memiliki suami yang memahami tugas bakti kepada orangtua.
Hari
ini, Luh Sukerti telah selesai memasak. Babi kecap dan acar untuk N’Cik. Sayur
hijau dengan jamur dan ampas tahu menjadi sup untuk Tacik.
“Luh,
oe sudah makan. Sekarang kamu boleh makan. Jangan lupa bangunkan Komang Sudira.
Sudah jam 7 ini, suruh dia makan!”
“Ya,
Tacik.” jawab Luh Sukerti.
“Luh,
buatkan juga kopi. Kamu jangan disuruh terus, tapi ingat selalu. Apa kebiasaan
laki-laki, kamu harus paham. Komang Sudira juga ngopi kan?”
“Benar,
N’Cik”
Nah,
itu….layani juga dia, kan kalian mau menikah. Sudah selayaknya kamu melayani
dengan baik. eh….bukan melayani yang tersembunyi-sembunyi ya….”
“Ah,
N’Cik bisa saja. Atas restu N’Cik dan N’Cik kami akan segera menikah. Entah apa
yang harus kami lakukan untuk membalas jasa.”
“Tidak
usah dibalas, yang penting tetap rajin bekerja di sini, bantu kami. Di sini
juga sepi. Anak-anak tidak ada….anggap saja ini rumah kalian daripada kontrak
rumah mahal-mahal.” jawab Tacik yang merupakan keturunan Cina dan Jawa Solo.
Ucapannya lembut. Rambutnya yang keriting tidak mencerminkan sifatnya. Kata
orang, orang yang punya rambut keriting adalah orang yang pelit, kenyataannya
majikan perempuannya tidak pelit. Dia sangat baik.
“Nanti
kalau kalian tidak mau tinggal di sini sama kami, kalian bisa tinggal di rumah
timur. Itu rumah juga kosong…yang penting buatkan oe babi kecap yang enak.”
“Ah,
N’Cik itu perkara gampang.” jawab Luh Sukerti dengan santai dan senyum.
“Kalau
sempat, pulanglah. Bawakan bapak ibumu babi kecap dan nasi. Nanti kan ada kirim
barang ke desa Tukah. Suruh Komang bawa, sekalian berbakti sama calon mertua…”
Luh
Sukerti menganggap kedua majikannya itu sebagai orangtuanya sendiri. Banyak
ajaran yang diberikan untuk persiapan kehidupan Luh Sukerti dengan Komang
Sudira. Komang Sudira lumayan tampan dan benar-benar lelaki idamannya. Walaupun
kadangkala menjengkelkan karena pakaiannya urak-urakan dan sering diprotes oleh
kedua majikannya, Luh Sukerti benar-benar jatuh cinta kepada lelaki itu.
Komang
Sudira adalah lelaki rajin yang memiliki dua ibu. Karena tidak ingin melihat
kedua ibunya sering bertengkar dalam serumah, Komang Sudira memutuskan tinggal
di rumah besar majikannya sekalian menjaga toko elektronik di dekat pasar.
Komang Sudira sangat gigih walau dibayar murah oleh majikannya. Pikiran Luh
Sukerti dengan kekasihnya sama, yakni bekerja untuk membahagiakan orangtua.
Komang Sudira sering mengantar Luh Sukerti pulang dengan izin majikannya.
Mereka
pulang tidak sampai sejam, kalaupun lebih dari sejam, majikannya tidak pernah
ribut, kecuali ada pembeli yang minta barang dikirim secepatnya, maka keduanya
segera kembali ke toko. Bagi Luh Sukerti dan Komang Sudira, kedua majikannya
benar-benar sosok orangtua yang diidam-idamkan. Kedua majikannya tidak pernah
bertengkar sampai melempar piring atau memukul pintu. Majikannya juga selalu sayang dengan
anak-anaknya walaupun kadangkala kerinduan menyergap kedua majikannya,
barangkali doa bagi anak-anaknya justru akan membuat anak-anak mereka sukses di
rantau.
Ini
sungguh berbeda dengan Luh Sukerti dan Komang Sudira.
“Nanti
kalau kita jadi orangtua, anak-anak kita tidak akan seperti kita yang selalu
dimarahi kalau tidak pulang. Kita dibilang lupa sama orangtua, padahal kita di
sini hidup serba terbatas. Semestinya mereka bersyukur kita sudah pulang,
tetapi mereka malah mencela dan mengatakan kita anak tidak berbakti. Mau
bagaimana lagi kita bekerja?” kata Komang Sudira saat malam mingguan di atas
loteng majikannya.
“Ya,
benar. ..tetapi kita tidak bisa ubah keadaan. Laki-laki di Bali ditakdirkan
tidak boleh jauh dari orangtuanya. Dia punya tanggung jawab sebagai penerus
generasi yang akan mengokohkan adat istiadat”
“Wah….kata-kata
dari mana itu? Pintar juga tahu takdir, generasi, adatistiadat, seperti pernah
sekolah saja?” jawab Komang Sudira sambil mengejek.
“Tahu
dari Tacik dan N’Cik.” jawab Luh Sukerti dengan bangga menyanjung majikannya.
Keduanya
sangat bangga dengan majikannya yang selalu mengajarkan aturan kehidupan. Mana
yang bisa diubah, mana yang tidak bisa diubah. Harus jelas. Bagi keduanya, usia
belasan tahun bukanlah usia yang pantas untuk menikah, tetapi keduanya cukup
berani memutuskan untuk menikah setelah lewat usia tujuh belas tahun. Majikannya meminta agar keduanya tidak
menjalani seks bebas. Kalau memang sudah cinta, lebih baik menikah. Suka duka
akan lebih nikmat dan mendewasakan seseorang. Hanya saja majikannya selalu
berpesan agar keduanya tidak segera memiliki anak. Pernikahan bisa saja
dilakukan saat usia cukup, tetapi punya anak harus dipikirkan dan direncanakan.
Karena
itulah, keduanya mengubah pikiran yang semula berpikir bahwa anak harus
membalas budi jasa orangtua dulu baru boleh menikah, selanjutnya mereka
memahami bahwa budi jasa orangtua tidak akan pernah bisa dibalas sebab itu
adalah ikatan yang selalu bergerak. Anak diasuh oleh orangtuanya, kelak anaknya
yang akan mengasuh orantuanya. Walaupun nanti Luh Sukerti menikah, tetap harus
ingat dengan kedua orangtua. Itulah ajaran yang disepakati. Maka, setelah
menikah Luh Sukerti setiap minggu pulang menengok orangtuanya, kadang-kadang
membawa oleh-oleh alakadarnya.
Kalau
liburan, kedua anaknya akan dibawa ke desa untuk menguatkan sebuah ikatan.
Walaupun Luh Sukerti dan Komang Sudira sangat disayang oleh kedua majikannya,
mereka tetap harus mendekatkan diri kepada keluarga yang sesungguhnya.
***
Luh
Sukerti kembali memastikan jumlah kantong plastik yang dibuatnya. Air mata
masih mengalir sambil terisak-isak. Ia takut kedua anaknya akan bangun kalau
tahu bahwa ibunya menghitung uang sambil menangis. Uang-uang kertas itu
dibungkus dengan plastik dan dimasukkan ke dalam rantang yang berisi nasi. Luh
Sukerti sudah membungkusnya dengan rapi untuk suaminya yang ada di penjara.
Tidak
pernah dalam benaknya akan menikah dengan seorang pengguna narkoba. Setahun
lalu, suaminya digrebek di sebuah kamar kos bersama “cewek café” –cewek yang
pada malam hari bekerja di café remang-remang dan pada siang hari bebas
melayani laki-laki tanpa perantara pemilik café. Sudah berpuluh-puluh juta uang dikirim ke
lapas untuk kebebasan suaminya, tetapi Komang Sudira makin kecanduan dan
terlibat narkoba lagi.
Entah
sejak kapan Komang Sudira berubah, dia tidak menyadarinya karena itulah Luh
Sukerti merasa bersalah kepada anak-anaknya. Baginya, keterlibatan suaminya
dengan narkoba adalah kesalahannya karena ia lupa bahwa suaminya adalah
laki-laki yang harus tinggal di rumah dan meneruskan keturunan bersama
anak-anaknya. Luh Sukerti tetap keras hati mempertahankan kemauannya untuk
tinggal di rumah majikannya sementara Komang Sudira berhenti bekerja karena
malu terus menerus tinggal di rumah majikan.
Komang
Sudira mencoba peruntungan bekerja ke Kuta sebagai penjaga keamanan café di
tepi pantai. Entah sejak kapan Luh Sukerti mulai kurang memperhatikan suaminya,
karena itu dia sangat bersedih. “Akhir kisah yang sangat menyedihkan….tidak
seperti telenovela.” kata Luh Sukerti sambil menangis.
Malam
sangat dingin. Kedua anaknya sudah berhenti mengigau. Keduanya tampak lelap dan
mungkin memikirkan agar ayah mereka kembali bersama mereka. Uang-uang kertas
itu sudah terbungkus rapi. Ia ke luar kamar untuk kembali menenangkan hatinya.
“Luh,
jangan bersedih lagi.” kata majikan perempuannya.
“Sangat
sulit, Tacik. Kebaktian saya kepada suami sangat kurang. Sudah saatnya saya
menebus semua kesalahan itu.” kata Luh Sukerti sambil memeluk majikannya.
“Jadi,
kamu akan memberikan uang kepada petugas lapas?”
“Benar,
Tacik. tidak ada pilihan. Saya harus mengembalikan ayah kepada anak-anak. Uang
yang Tacik berikan sudah saya bungkus untuk dikirim diam-diam untuk petugas
lapas.”
“Sebaiknya,
biarkan saja Komang dihukum. Dia kan hanya kurir, beberapa tahun dipenjara akan
membuatnya sadar.”
“Tidak,
Tacik. Kasihan anak-anak. Mereka sudah sering berpisah dengan ayahnya, kini
ancaman penjara seumur hidup, bahkan hukuman mati akan didapatkan ayahnya,
bagaimana bisa saya diam diri?”
“Tenangkan
hatimu. Komang hanya kurir dan kebetulan pemakai. Biarlah dia dipenjara dulu.”
“Maaf,
Tacik. Saya tidak patuh. Uang Tacik akan saya kembalikan dengan terus bekerja,
bahkan seumur hidup saya, saya bersedia.”
“Bukan
uang masalahnya. Kamu sudah saya anggap anak sendiri. Uang seratus juta tentu
kamu tahu itu tidak seberapa. Masalahnya, suamimu perlu dikasi pelajaran. Dia
tidak akan dihukum mati! Dia masih bisa diperbaiki! Nanti kita rawat dia saat
dia di lapas. Tentu kamu sudah dengar Qeek Cin saat telepon kan? Pengguna
seperti suamimu masih bisa sembuh!”
“Tapi
saya harus berbakti kepada suami, saya akan kirimkan uang untuknya agar bisa
dipakai beli obat dan bayar petugas lapas agar memperlakukan Komang denan baik.
Syukur-syukur dia bisa dibebaskan.” jelas Luh Sukerti sambil menangis.
“Tidak
mungkin. Dia akan tetap dipenjara dan biarkan saja. Uang itu untuk sekolah
anakmu.”
Majikannya
selalu mengajarkan bahwa bakti harus ditunjukkan kepada orangtua atau leluhur
atau sanak saudara karena dia tidak mampu lagi bekerja. Malam mencekam. Air
mata Luh Sukerti mengalir makin deras. Di hadapannya kota Sanga telah
menjadikannya ibu yang sangat bahagia karena melahirkan anak-anak yang selalu
menjadi juara kelas. Di kegelapan kota Sanga pula ia kehilangan suaminya karena
lupa memegang erat ikatan yang telah dibuatnya. Suami yang sangat dicintai
telanjur diizinkan merantau hanya karena gengsi menjadi pembantu, dan kini
mendekam di kegelapan terjauh. Barangkali air matanya telah sampai di Kuta
tempat suaminya sebagai sungai, tetapi entah suaminya paham betapa sungai itu
mengalir untuk menghidupkan dan bentuk lain dari bakti Luh Sukerti yang tidak
sebatas kata-kata.
Singaraja, 1 April 2016
Ketika kegelapan menimpa para
pejabat-narkoba dan suap
5. AKU INGIN MENJADI
GURU LAGI
Oleh Luh
Arik Sariadi
Adakah
orang yang peduli denganku? Mungkin ada
orang yang mencoba mengintimidasiku. Barangkali juga ada yang berusaha mengubah
karakterku. Bahkan, ada yang sampai hati tidak peduli aku. Aku ingin menjadi
guru lagi di sekolah yang siswanya tersenyum tulus. Ah, tidak apa-apa aku rindu
karena tidak ada apa-apa dalam diriku hingga tidak ada apa-apa hari ini, hanya
rindu.
***
Warung
makan ini ditata seperti panggung pertunjukan. Dagang sebagai pemainnya berada
di tengah-tengah. Pembeli duduk melingkari pedagang, kecuali di bagian
belakang, mirip seperti sebuah konsep lama bahwa pemain tidak boleh
membelakangi penonton. Jalan raya yang tertata di depan warung bukan hal yang
patut ditonton karena peristiwa-peristiwanya semakin tidak menarik. Pengemudi
terlalu rapi membawa motor atau mobilnya. Yah, yang paling menarik di warung
ini adalah cara pedagang mempersiapkan pesanan. Mereka seperti menari dan sangat
terkenal. Lelaki berkaca mata tebal itu duduk di bangku paling belakang. Ia
hanya bisa menyaksikan wajah pedagang dari celah-celah tumpukan daging yang
digoreng kering.
Aku
lapar dan masuk ke warung makan itu. Sudah tidak ada tempat duduk. Sebagai
warung pertama yang menjual nasi be
guling, warung itu selalu ramai. Setiap menit orang silih berganti
menempati setiap meja. Tidak pernah ada meja yang kering, Ada saja yang
meninggalkan sisa makanan, bahkan aku hari ini tidak mendapat tempat duduk.
Walaupun
tidak ada meja kering, pembeli selalu kelaparan dan siap menempati tempat duduk
yang masih hangat. Mereka mau saja membeli sepiring nasi dengan es teh atau es
jeruk. Mereka sangat bangga masuk ke warung itu. Tentu karena mereka lapar dan
tentu juga karena pedagang yang menyajikan makanan sambil melakukan gerak-gerak
dasar tari. Belum lagi asap dupa yang harum terus menerus dinyalakan, tidak
pernah putus menebar wangi.
Aku
mulai mendekati laki-laki muda itu. Usianya kira-kira sepuluh tahun lebih muda
dariku. Makanya aku tertarik minta bagian kursi di warung itu walau berdesakan.
Aku
tanya dia, “Kenapa membeli nasi di sini?”
“Kakak
wartawan ya?” ia bertanya balik.
“Apa
saya kelihatan seperti wartawan?”
“Begitulah.”
Lelaki
itu menatapku seperti aku seorang wartawan.Aku penasaran mengapa dia
berangggapan seperti itu. Apa yang menarik dariku hingga ia menawariku sebuah
pengakuan bahwa aku seorang wartawan. Dengan pengetahuanku yang terbatas, aku
ingin mengetahui alasannya yang membuatnya menebakku sebagai seorang wartawan.
“Penampilan
kakak kacau!” begitu ia berkata saat aku mencoba membuat pertanyaan. Lelaki itu
seperti tahu apa yang ingin kutanyakan.
“Lalu?
Apa saya tampak seperti pemabuk? Tukang palak atau apa? Kacau bagaimana?”
“
Bukan seperti pemabuk, tetapi seperti wartawan!” jawabnya ketus.
Saya
diam dan masih berpikir mengapa lelaki muda yang menurutku cerdas karena pakai
kaca mata, mengira aku seorang wartawan.
“Menurutmu
wartawan itu bagaimana?”
“Kacau!”
jawabnya tegas.
“Ya,
kacau bagaimana? Penampilannya atau sikapnya yang kacau?”
“Ada
yang kedua-duanya.”
Aku
ambil tusuk gigi dan menggunakannya untuk membuat tulisan-tulisan di meja
makan, juga untuk menghilangkan kejenuhanku terhadap lelaki itu.
“Eh,
maaf. Kita belum kenalan, Dik. Nama saya Ratih.”
“Ratih?
Oh, ya…”
“Namamu?”
“Penting
ya? Buat apa, Kak?”
“Yah,
sekadar tahu saja.”
“Kalau
begitu tidak perlu.”
“Perlu,
tentu perlu.”
“Untuk
dimuat di suat kabar? Misalnya begini, ‘Laki-laki Bali Tidak Ramah Lagi’ begitu
ya?” Remaja ini sangat gelisah. Dimainkan pulpen yang baru saja diambilnya dari
saku celana.
“Oh
tidak, kecuali kalau kamu lelaki yang menarik, bisa juga.” Jawabku sambil
tertawa.
“Berarti
kakak wartawan?” tanyanya lagi.
Aku
berulang-ulang menjawab bahwa aku bukanlah wartawan. Yang aku tahu wartawan itu
sebuah profesi, tetapi aku tidak tahu kalau wartawan itu kacau seperti pendapat
pemuda itu. Dasar! Aku betul-betul dipermainkan oleh pemuda itu. Ia bukan
seorang remaja, tetapi sangat dewasa. Ia
bisa bergaul dengan orang seusia aku. Bahkan, ia bisa mempermainkanku
pada usia tiga puluh enam tahun. Jangan-jangan ia hanya menebak-menebak dan aku
terjebak dalam percakapan yang tidak penting. Aku pun harus bisa menebaknya.
“Pacarmu
tidak ikut makan?”
“Pacar
saya? Dia di sekolah dan saya bolos.”
Hah,
aku merasa senang karena tebakanku benar. Dia punya pacar. Anak-anak seumurnya
paling takut kesepian, maka mereka cari pacar. Lelaki muda itu mungkin benar
sedang bolos. Aku lihat celana abu-abu masih dikenakannya. Hanya seragam
putihnya ditutup dengan jaket Balibong, eh Bilaboong. Merk terkenal tetapi
banyak di pasar dijual bebas meski palsu. Mereka kreatif dan suka meniru.
Mereka membuat celana ketika sebuah merk laris manis di pasar. Mereka mestinya
harus mengembalikan kejayaan lama, pandai meramalkan yang terbaik bagi dirinya.
Mereka harus belajar lagi padewasaan agar
bisa menghasilkan karya yang luar biasa, laris hingga sepanjang zaman, atau
paling tidak tiga dekade. Itu baru namanya usahawan. Tidak seperti sekarang,
pemalsu lebih banyak! Hah, memalsu barang tidak perlu dewasa ayu.
Mhh…lelaki
muda itu memilih merk yang tepat, Bilaboong. Pasti tidak terdaftar, tetapi
tepat untuk mewakili sikapnya, entah pembohong atau kelihatannya saja
pembohong, pokoknya Bilaboong.
“Kenapa
bohong? Eh, kenapa bolos?”
“Cah,
lihat, Kakak mulai bertanya-tanya lagi. Wartawan bukan?”
Seandainya
aku wartawan, memangnya pemuda ini akan lari? Apa dia akan meninggalkan
makanannya? Aku kembali heran. Pemuda itu barangkali termat penting mengetahui
aku wartawan atau bukan. Bisa jadi ia punya pengalaman pahit dengan wartawan.
Mungkin dia pernah memukul wartawan. Dari sikapnya yang agak ketus, pasti dia
telah melukai wartawan, mungkin mengata-ngatai wartawan. Bisa juga dia pernah
bertemu wartawan yang membuatnya sebel karena banyak pertanyaan. Dia mungkin
saja suatu hari seorang pendiam dan karena wartawan, dia menjadi tampak
cerewet. Bisa juga ia pernah masuk penjara karena sebuah kasus, perjudian di
dalam kelas barangkali. Mengapa ia sangat takut? Apa dia tidak tahu kalau
wartawan membuat berita dengan kode etik tertentu. Seorang wartawan
rasanya tidak mungkin memasukkan sebuah
peristiwa yang tidak penting untuk dikabarkan. Mereka memilih orang-orang
penting untuk dibicarakan.
Laki-laki
itu mungkin masih mempersiapkan pertanyaan untuk memastikan bahwa aku wartawan
atau tidak, atau barangkali ia masih tetap pada pendiriannya menganggapku
wartawan. Ketika aku bertanya makananya enak atau tidak, ia tidak menjawab. Dia
punya masalah apa? Mungkin laki-laki ini melihat video porno dari sebuah kamera
di sekolah dan mereka tertangkap sehingga mereka memilih bolos daripada
diintrogasi terus. Kalau aku seorang wartawan, berita seperti itu tidak
penting. Aku rasa, pemuda ini akan melepas kaca mata tebalnya dan memilih
berjalan dan merangkak seperti seorang yang buta daripada masuk surat kabar
dengan cara itu.
Dilihat
dari tampangnya, tidak mungkin lelaki itu terlibat dalam pembuatan video porno.
Pasti ada yang salah. Ini dugaanku saja. Siapa tahu tampang alep-alep begitu
justru jadi otak pembuatannya. Aku sekali lagi tidak mau bertanya. Aku takut
ditanya lagi. Aku tidak mau ia terus menganggapku wartawan meskipun aku
wartawan atau tidak. Mestinya pemuda itu tidak perlu takut. Kalau dilihat dari
gayanya bicara, ia orang pandai, tentu pandai memilah-milah kegiatan. Ia juga
sopan, meskipun kelihatan sedikit ketus. Ah, aku paham dia pasti orang asli
Buleleng. Dia santun walau sesekali menudingkan jarinya saat bicara. Dia
berbicara berapi-api. Gaya bertuturnya agak cepat. Dia tidak suka basa-basi.
Kalaupun ingin berbasa-basi, pasti didahului dengan tertawa, dengan mulut yang
terbuka lebar. Kalau mau bicara serius, pemuda itu menatap mata lawannya dengan
mata terbuka lebar. Sangat fokus. Aku pun berulang-ulang ditatap dengan cara
itu. Syukurlah aku telah lama menetap di Buleleng. Aku tidak perlu merasa
tersinggung karena ditatap dengan cara itu.
Ah,
tidak tahu juga. Dengan tatapan seperti orang-orang akan mengira dia tukang
palak yang memeras sopir-sopir saat keluar dari terminal dengan muatan yang
cukup banyak. Dengan tatapan seperti itu, ia akan tampak lebih ketus bagi orang
luar Buleleng. Apalagi saat ia bersendawa di sembarangan tempat dengan suara
yang menjijikkan. Hah, orang-orang pasti akan mengira bahwa dia memang
kelihatannya saja sopan, tetapi ialah produser film porno, atau dia
kelihatannya saja berandalan makanya menjadi kambing hitam.
Wah,
aku tidak mau menduga-duga lagi. Aku tidak pernah mengenal seorang wartawan.
Bahkan aku sering heran, bagaimana cara mereka mendapat berita yang bagus luar
biasa! Pernah aku membaca berita tentang pembunuhan Munir. Di sebuah majalah
yang sangat terkenal, aku baru paham mengapa Munir harus mati muda. Mengapa
juga seorang yang cantik seperti Sukma Ayu meninggal, begitu juga Michael
Jackson meninggalkan istananya. Semuanya diulas dengan sangat bagus pada sebuah
majalah. Mereka kukagumi melebihi kekagumanku terhadap polisi. Namun, hingga
kini aku tidak kenal wartawan-wartawan hebat itu.
Aku
menyebutkan wartawan itu kepada pemuda itu. Namanya Juniartha dan Bre Redana.
Pemuda itu mengaku telah mengenal kedua orang yang kusebutkan. Juniartha
diketahuinya tinggal di Denpasar dengan seorang istri yang cantik. Jun katanya
wartawan yang cerdas. Dia sering menulis berita
dalam bahasa Inggris. Menurut pemuda itu, berita yang dibuat oleh Jun
biasa saja, tidak seperti kenyataannya. Pemuda itu mengatakan bahwa Jun jauh
lebih cerdas dari berita yang ditulisnya. Orang-orang tidak akan mengira kalau
dia cerdas. Tubuhnya gemuk dan tampak lucu, mirip seperti tokoh Jin dalam
sinetron Jin dan Jun.. Pemuda itu
dengan bangga menuturkan bahwa ia pernah bertemu dengan Jun di sebuah acara
sastra.
“Saat
itu Jun mengulas Sutasoma. Luar biasa! Dia menceritakannya dengan cerdas!”
katanya memastikan perkenalannya dengan Jun.
Aku
hanya mengagumi pemuda itu karena telah bertemu dengan Jun, mendahuluiku.
Seandainya aku wartawan, pastilah aku akan menemukannya juga. Aku akan
pura-pura mencari berita di sana. Ah, apalah artinya aku di sana. Aku terlalu
angkuh untuk mengakui bahwa seseorang telah menjadi guru terbaikku dalam suatu
hal. Aku sering menjadikan kemampuanku sebagai hal yang kuperjuangkan sendiri.
Mungkin
sangat berbeda dengan pemuda itu. Pemuda itu dengan bangga menyebut Bre Redana
sebagai gurunya. Dia mengatakan bahwa Bre Redana mengajarinya berkisah. Aku
tidak begitu saja percaya karena Bre Redana tinggal di Jakarta setahuku. Dia
wartawan nasional yang tentunya sulit ditemukan. Kalau pemuda itu mengatkan
pernah bertemu dengannya itu pasti omong kosong. Itu paling mimpinya saja.
“Di
mana kau bertemu Bre Redana?” tanyaku agak kasar.
“Hah?
Oh…aku sering membaca tulisannya. Bapakku seorang dosen. Dia berlangganan surat
kabar itu-surat kabar nasional.”
Mh…Aku
menarik nafas lega. Ternyata dia memang tidak pernah bertemu dengannya. Dia
sama denganku, hanya mengenal Bre Redana dari tulisannya. Walau aku hanya
membeli surat kabar itu sekali dalam sebulan, aku sangat mengenal tulisannya.
Kalau pemuda itu lebih banyak tahu, lantas apa yang membuatnya risih jika aku
seorang wartawan. Masih belum ada jawaban yang pasti.
Dia
seolah mengguruiku dengan mengatakan bahwa dengan membaca tulisan-tulisan
seseorang, apalagi sampai membicarakannya kepada orang lain, itu berarti kita
telah berguru kepadanya. Aku menjadi tersentuh dengan kata-katanya. Ya,
kata-katanya masuk akal. Aku tidak mungkin bisa berbicara dengannya kalau aku
tidak punya refrensi tentang pembicaraan kami. Tidak mungkin aku tidak bisa
menebak masalah yang sedang dialaminya, kalau dia bukan murid seorang penulis
kisah yang hebat. Dia memang murid Bre Redana! Namun, apa masalahnya hingga ia
harus bolos?
“Apa
kamu orang penting hingga harus berurusan dengan wartawan?
“Tidak.”
“Apa
kamu mengalami peristiwa penting, seperti menyelamatkan anak bupati dari
penculikan?”
“Tidak.”
“Pernah
tertangkap kamera TV di sebuah mini market?”
“Tidak.”
“Pernah melecehkan guru?”
“Tidak.”
“Pernah
dianiaya guru?”
“Tidak.”
“Terlibat
narkoba?”
“Sama
sekali tidak.”
“Terlibat
pembuatan video porno?”
“Tidak
pernah.”
“Ada
masalah dengan teman atau pacar?”
“Kami
baik-baik saja.”
“Apa
kamu sedang malas belajar?”
“Jangan
salah. Aku selalu dapat juara I.
“Mungkin
kamu punya masalah dengan orangtuamu?”
“Ah,
apalagi itu!” jawabnya semakin ketus.
“Lalu
apa? Punya masalah dengan wartawan?”
“Aku
hanya ingin bolos! Tidak ada apa-apa, selain bolos!” jawabnya sambil menatap
mataku.
Ia
bergegas pergi. Lelaki bertubuh gemuk itu tidak punya masalah dengan orang
lain. Tidak ada apa-apa di rumahnya. Tidak ada apa-apa pada temannya. Tidak ada
apa-apa di sekolah. Di rumah juga tidak ada apa-apa. Aku meneriakinya, “Betul
tidak ada apa-apa?” Mungkin dia benar-benar masih muda, tidak ada apa-apa
kecuali gairah remaja. Aku benar-benar menjadi rindu, merindukan siswa-siswa
yang pernah kuajar. Mereka menyapa dan kukatakan salamnya diganti saja dengan I Love You. Kami benar-benar sangat
dekat, tidak ada jarak dan akhirnya aku diminta memundurkan diri karena
melindungi siswa yang malas belajar di sekolah, justru mengajak mereka
mengunjungi kota-kota wisata. Aku meminta mereka datang ketika aku memimpin
demonstrasi untuk menggagalkan revisi undang-undang. Sungguh, kerusuhan itu
tidak bisa kulupakan. Mereka benar-benar sedang jatuh cinta dengan masa
mudanya, dan aku sangat merasakan kerinduan yang teramat dalam ketika sudah
duduk menjadi pemimpin fraksi di gedung rakyat. Di kursi ini, aku tidak bisa
lagi berbicara atau menulis seenaknya sebab partaiku memiliki aturan-aturan
yang tidak bisa dilangar. Ketika menjadi guru, aku bisa saja berbicara dalam
bentuk fiksi dan menceritakannya kepada siswaku betapa indah dunia ini.
Sukasada,
1 Juli 2009
6. Ruh Adat
Oleh Luh Arik Sariadi
Nari namaku. Harus kutinggalkan rumahku. Rumah yang
isinya kedok bagi penggosip. Aku terbiasa mendengar gosip tentang si anu dan si
ini. Selanjutnya yang kudengar adalah gosip tentang keluargaku. Gosip tentang
berbagai hal yang memilukan tentang penggusuran tanah mertuaku.
Gosip melalui celah yang tidak lagi bisa menghamburkan
cahaya. Gosip begitu saja menyebarkan kata-kata di antara tetangga yang terlalu
lama terombang-ambing oleh kata reformasi. Gosip tidak henti-hentinya berpikir
untuk mengacaukan keamanan. Gosip juga merampas waktu istirahat tidur siang.
Rasanya tidak ada lagi waktu, kecuali untuk bergosip.
***
Mulanya yang digosipkan adalah tentang kehadiran keluargaku
di desa Yeh Tegeh. Sudah bertahun-tahun kami menetap di tanah ini. Sejak gunung
agung meletus, eh, sejak jaman PKI tahun 1965. Kebetulan kakekku bukan
orang yang diberi garis merah. Keluargaku bergaris kuning karena sungsunganku
bergaris kuning. Aku dan keluargaku adalah warga pendatang yang mengabdi
di sebuah puri dengan bendera kuning. Di mata warga kakekku sangat baik karena
berusaha berputih senyum di hadapan Ratu. Kakekku mendapat kepercayaan
kira-kira sudah 25 tahun. Saat itu, barangkali aku belum lahir. Dengan bantuan
kakekku, puri selalu menyantuni orang-orang tua yang miskin atau sengaja
dimiskinkan oleh penguasa.
Puri tempatku bermain, tempatku memiling bunga rumput
kapas. Aku bermain-main dengan lumpur di antara sapi yang
dicamuk. Pekerjaanku menangkap belalang dan segera menyantapnya mentah-mentah.
Ada beberapa kawan yang geli melihat aksiku, tetapi aku harus tetap
melakukannya karena aku harus menjaga putik padi dari sengatan belalang.
Aku adalah cucu seorang abdi di rumah seorang pembesar di
desa yang tampak kering. Musim kering, hanya di sawah Ratu Lingsir setetes air
riang menghibur liat. Setiap tiga bulan, selalu memanen kelapa. Ah, aku hanya
seorang cucu, tetapi tugasku adalah mengawasi warga yang datang dan
berpura-pura ingin membantu. Abdi-abdi tidak rela kalau pekerjaannya diambil
alih oleh seorang warga dari luar puri. Makanya, aku selalu berjaga dengan
membawa cerita bahwa yang mendekati puri saat panen kelapa akan ditembak oleh
Ratu. Aku merasa tanah itu adalah tanah keluargaku karena kami sepanjang hari
menghabiskan setiap detik dengan alam itu.
Ratu, lelaki tua dengan kepala licin. Ia mengusap-usap
rumah kumisnya yang kosong belanga. Kalau ia sudah datang, aku pun akan
bersembunyi di balik kain nenekku. Anak-anak kecil sebayaku, teman SD-ku
serentak tidak menyentuh apapun di puri. Itu semata-mata karena aku yang
menyebar gosip bahwa kami yang ketahuan mengambil sesuatu dari puri akan
ditembak. Eh, itu juga aku dengar dari kata kakek ketika terdengar suara
senapan angin meletus di angkasa.
Usiaku 25 tahun. Sekarang aku telah berhenti menjadi
penggosip di rumahku. Tiba saatnya kami digosipkan. Aku, bapakku, ibuku,
nenekku, mertuaku, dan teman-temanku yang mampir selalu menjadi siaran ulang di
setiap gang. Aku tidak tahu, apa yang mereka bisikkan. Aku tidak bisa ikut
menjadi penggosip karena terakhir aku mendengar bahwa mertuaku terlibat
penggelapan tanah desa. Kalau aku pulang dari tempatku memetik kangkung, mata
mereka selalu pergi dan datang seenak hati dengan penuh benci. Ingin rasanya
mengetahui apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Namun sia-sia, aku hanya
seorang buruh pemetik kangkung di tepi sungai dekat muara kali di ujung laut.
Ada teman sekelasku waktu di SD mengatakan bahwa
keluargaku tersiar sebagai keluarga korup. Aku bimbang, dari mana gosip itu
merebak? Katanya lagi, aku adalah sisa-sisa kekuasaan Ratu. Duh, Ratu, perca
apa yang kau siapkan untuk keringat kami? Baunya tidak ketahuan, tetapi rasanya
pedas dan melumat hati keluargaku? Di dunia ini, kau adalah pahlawan, nian hilang
usiamu, kuasamu pudar.
”Pak, maaf nggih. Saya dari pihak desa adat hanya ingin
mendata tanah yang Bapak tempati”, kata pesuruh desa.
Ayahku segera memangilku. Ia memintaku memfotokopi sebuah
kuitansi. ”Foto kopi di koperasi desa.” suruh ayahku di hadapan pesuruh desa.
Aku bergegas menuju ke tempat yang direkomendasikan. Aku
membacanya. Yang digandakan adalah kuitansi pembelian hak guna pakai yang
ditandatangani oleh mertua dan bapakku. Jumlah nominalnya adalah enam juta
rupiah. Jumlah itu tercantum untuk membeli hak guna pakai sebuah tanah. Aku
tahu bahwa tanah yang dimaksud adalah tanah yang di atasnya berdiri sebuah
dapur dan kamar mandi. Sekarang tanah itu telah menjadi dapur yang mewah dan
kandang peternakan dua ekor babi. Ayahku mempermaknya untuk calon menantunya
dan untuk lapangan pekerjaan baru diusia tua.
Aku sudah selesai menggandakan kuitansi itu. Petugas desa
itu segera pergi dengan selembar kuitansi yang palsu. Aku bertanya kepada
ayahku, ternyata ayahku menolak memberi keterangan. Yang sendu hanya gelisah
dari tetanggaku. Mereka mungkin saja menguping pembicaraan ayahku. Atau sekadar
membaca percakapan mata dan bibir tanpa suara. Aku berpura-pura tidak tahu agar
ada yang bergosip lagi ke rumahku, tetapi sia-sia. Mereka tidak mau lagi berbagi
kata dengan keluargaku, apalagi bercerita tentang tanah mertuaku.
Aku Nari, seorang penari joged mulanya, selanjutnya
disebut pemetik kangkung setiap sore. Aku dinikahi oleh seorang anak pedagang
batu permata. Yang memakai cincin bermata besar di kesepuluh jarinya adalah
mertuaku. Ia satu-satunya orang tua yang kaya cincin. Kalau makan ia selalu
pakai sendok. Sepeninggal suamiku aku tetap menuntun seorang anakku di rumah
mertuaku. Kalau ada yang mencari urusannya lebih penting dari makan. Yang
datang memang saudagar tanah. Mertuaku tidak suka berbisnis di dalam rumah. Ia
lebih memilih dibonceng dan dibawa keluar oleh tamunya. Entah ke mana. Ia
kembali dengan pisang goreng untuk anakku.
Tamu biasanya datang siang hari. Ayahku adalah tamu yang
datang malam hari. Ayahku pun datang bukan kehendak hatinya. Sebelumnya
mertuaku memintaku untuk menyampaikannya kepada ayahku. Karena itulah ayahku
datang. Malam tidak biasa menerima tamu. Malam tidak ada bisnis di mertuaku.
Malam adalah waktu santai di ranjang penyalin.
”Duduk,” kata
mertuaku.
Ayahku duduk. Ia menyuruhku membuat kopi.
Kali ini aku tidak ingin kehilangan gosip. Aku ingin tahu
apa yang dibicarakan oleh kedua lelaki. Aku takut kalau aku ingin dipulangkan
ke rumah orang tuaku karena semalam aku telah menerima tawaran menari lagi.
Sebelum meninggal karena sakit, suamiku tidak keberatan asalkan untuk anak
kami, tetapi siapa tahu mertuaku keberatan.
”De, kemarin aku mendengar bahwa pesuruh desa datang ke
rumahmu. Ada apa dia?” gerutu mertuaku kepada ayahku.
Ayahku gugup. Ayahku lebih muda daripada mertuaku,
kira-kira sepuluh tahun. ”Saya tidak tahu, eee”
”Tidak tahu bagaimana? Aku dengar kamu sendiri yang
menemani pesuruh desa itu di ruang tamu, benar?”
”Ya benar. Eh, saya tidak tahu dari mana ia tahu kalau
saya telah membeli sebidang tanah Bli”
”Maksudnya, mereka sedang menyelidiki tanah itu?”
”Ya. Mereka meminta kuitansi. Mang!” Segera ayahku
memanggilku. ”Belikan Bapak rokok”, katanya. Aku pergi.
Warung-warung tutup. Hanya ada mini market yang buka. Aku
memohon agar bisa membeli sebatang rokok di sana. Dengan sedikit memelas, ada
seorang pemuda juga membantuku memohon agar diizinkan membeli sebatang saja.
Hah, aku harus membeli sebungkus. Kunsumtif! Dengan sengol kanan dan senggol
kiri, ya, aku dikasi sebatang rokok oleh pemuda itu. Aku masih memikirkan apa
yang sedang dibicarakan dua lelaki tua di rumahku. Aku segera pulang. Ayah
sudah tidak ada. Kata mertuaku aku terlalu lama membeli rokok. Aku segera
tidur.
Keesokan harinya, kepala desa, kelian desa, dan datang
melipun keluargaku. Wartawan dari Bali, dari Jawa, bahkan wartawan yang
berbahasa Inggris mengambil foto dan sempat meminta keterangan. Mertuaku
digelandang beramai-ramai. Katanya mertuaku sering menjual tanah desa semasa
Ratu Lingsir hidup. Ayahku juga digelandang. Rumah yang membesarkanku telah
disita desa.
Penduduk tampaknya tidak heran. Rupanya mereka tahu bahwa
ayahku dan mertuaku adalah abdi setia Ratu lingsir. Mereka mengatakan bahwa
Ratu Lingsir pernah melakukannya kepada kepala desa kami yang sekarang. Ada
yang mengatakan hukum karma pala. Ada pula yang mengatakan bahwa kepala desa
yang sekarang adalah keluarga yang diberi garis merah, jadi bukan rahasia lagi
kalau kami digelandang juga, diperlakukan sama seperti ketika aku kecil. Ketika
aku menarik danyur dan melarang kawan lain, terutama teman sekelasku untuk
menyentuh seutas danyur sekalipun.
”Ini perlakuan tidak adil. Adat sudah tidak adil! Aku
lebih baik pindah agama!” kata mertuaku. Watawan merekam dengan baik momen itu.
Dengan ekspresi marah luar biasa, fotonya pasti jelek. Terus saja mereka
menggelandang keduanya. Ada beberapa kaur desa yang membuka segel untukku.
Beberapa tiga puluh menit peristiwa penting telah terjadi
di desaku, penangkapan ayah dan mertuaku. Di pangkuanku, tangis tak
habis-habis. Koran lokal bergambar foto mertuaku dan orang yang tidak kukenal
terlihat di halaman pertama. Judulnya adalah Gigit Adat: Sedia Jual Tanah.”
Namaku Nari, kebetulan aku adalah seorang penari, idaman
para penduduk desa, karena itu aku tidak digelandang ke penjara. Namun, aku
tidak tahu bagimana besok ketika di leherku bercokol kalung dari sisa-sisa
daging kekuasaan Ratu dan darahku terlihat kuning, karena itu aku harus pergi
dari puing-puing kata mertua dan ayahku, ”Pindah Agama” untuk sekadar
mempertimbangkan barangkali.
Tukadmungga,2008
7. Menidurkan
Bapakmu Dulu
Oleh Luh Arik
Sariadi
Pohon sawo mengirim daun kuning ke
rumah tetangga. Berkumpul dan mendengarkan cerita yang setiap hari terjadi.
Sebelum disapukan, ia akan tetap menunggu tuan rumah untuk bercerita. Daun
lancip merayu-rayu Lina untuk bermain di halaman, tetapi yang tampak masam
wajah Lina yang setiap hari mendengar dongeng. Lina gadis kecil. Ia senang
mendengar dongeng. Sebetulnya, daun sawo bersedia bercerita tentang pangeran
yang akan menjemput Lina kalau sudah dewasa, tetapi Lina enggan bergaul dengan
sekumpulan daun yang terhempas dari tetangga sebelah yang halamannya luas dan
memiliki pohon tertinggi.
Lina menangis. Kedua bola matanya
pecah karena tertusuk kaca yang tertahan. Lantai sudah basah dengan air
matanya. Ia menggapai tanah. Digenggam, dilempar, dan kenalah matanya sendiri.
Lina berusia lima tahun. Teman
seusianya sudah sekolah di Taman Kanak-kanak Nusantara. Lina mengetahui
temannya memiliki mug untuk tempat air yang berbentuk hanphon yang bisa
dipencet dan mengeluarkan suara. Ia menangis menjerit karena ingin memiliki
benda seperti itu.
Lin-lin. Mestinya tidak perlu menangis! Ah, ia tetap menangis. Sudah sebam matanya.
Tangannya basah oleh air mata dan diusap terus kelopak matanya hingga tanah
menggumpal di kedua matanya. Lili nama panggilan anak kecil itu. Ia sangat
sedih karena setiap kali ia ingin jajan, tangannya harus merogoh tanah di
dapurnya. Ibunya di atas ranjang melihat tangis Lina. Namun, ibunya terlalu
banyak pekerjaan, ia akan merendam cucian, lalu memasak, tidak ada waktu untuk
Lina.
”Lina, sebaiknya pergi
bermain dengan anak yang lain. Kamu anak manis. Pinjam saja mainan temanmu,
sebentar. Ya, sebentar. Mereka tidak akan marah.”begitu nasihat ibu Lina.
Lina tersedak-sedak.
Batuknya karena sesak. Ia tidak mendapatkan mainan yang diinginkannya. Kelopak
matanya sangat produktif. Ia terus menangis. Lina, tampaknya bukan anak manis
seperti yang dikatakan ibunya. Ah, Lina cengeng!
”Lin, cari kakakmu saja.
Dia pasti sedang istirahat sekarang. Ia bertugas menjaga kantin, siapa tahu ada
temannya yang tidak mengambil uang kembalian. Nah, kamu bisa belikan itu bubur.
Jangan menangis Nak ya...” ibunya merayu lagi sambil mendadar bijih kopi di
atas penggorengan tanah.
Lina menangis.
Menyapu-nyapu tanah di dapur ibunya. Ia tidak akan berhenti menangis
barangkali, kalau belum dibelikan mug. ”Lina jangan maksa ibu biar marah, Nak.
Ibu bekerja dulu.” kata ibunya sambil menggaruk penggorengan.
Hihi-hihi, Lina tidak
putus-putus bernyanyi kesedihan. Ia belum TK, buat
apa mug? Mestinya kalau sudah bersekolah, baru dia boleh meminta mug. Kasihan
ibunya mendengar dia menangis terus. Ih, Lina mungkin bukan orang yang
pengasih, seperti ibunya. “Lin, kamu berhenti menangis, eh, wajahmu jelek.”
kata tetangga yang mendengar tangisan Lina.
Lina
tambah histeris. Ibunya sudah selesai mendadar kopi. Lina sudah berapa
kubik mengeluarkan air mata? Sayang sekali ayahnya tidak ada di rumah. Kalau
Bapaknya ada di rumah pasti Lina dipukul. Lina punya bapak yang sadis luar
biasa. Kalau ada yang menangis di rumahnya, Sang ayah akan panik dan ia akan
mengamuk. Buh, enak saja ngamuk. Yang kasihan kan Lina. Sudah sejak pagi buta
ia menangis. Sudah sedih, dia dipukul lagi oleh ayahnya. Yah, itu biasanya yang
terjadi.
”Lina, kamu tenangkan diri. Jangan sampai ayahmu tahu
kamu menangis. Nanti dipikir ibu yang memukulmu. Nanti kita dipukul, Nak.” Ibu
Lina penyabar ya...ya? Ibu Lina sehabis bekerja tampak lelah. Ia minum seteguk
air. ”Lin, kakakmu kok belum pulang ya? Ini sudah petang. Apa kakakmu tidak
langsung pulang? Dia pasti masih jaga kantin atau menghitung hasil
penjualannya. Kamu cari dah. Jemput kakakmu, ya...!”
Lina terisak-isak. Angin sudah tidak ada rupanya. Lina
menangis lebih kencang karena sesak. Coba saja kalau dibiarkan terus menangis?
Wah, bapaknya akan segera datang dengan sebotol arak atau tuak. Petang begini
biasanya bapaknya sudah menerima kabar kemenangan atau kekalahan sehabis
memasang toto gelap. Bapaknya tidak kalah tidak menang, sama saja. Ia pasti
akan minum-minum dan ibunya akan panik.
Ibunya memelas, ”Lina, mandi sana. Sebentar ayahmu pulang. Nanti dimarahi kalau
belum mandi.”
Lina masih saja menangis.
***
“Bapakmu semalam mabuk. Ditubuhnya bersumbah akohol dan
bau, cih. Ibu jijik melihatnya. Namun apa boleh buat, ibu takut dipukul.
Bapakmu membawa botol. Isinya whine.
Di tangan yang satunya, bapakmu memegang kupon togel. Katanya di desa kita,
hanya dia yang kalah. Bapakmu menangis. Ibu kasihan melihatnya.
Nak, ibu sangat sedih lagi ketika bapakmu mengatakan
bahwa ia dilarang ke sebuah kafe di kawasan Lovina. Uh, ada kafe Oge. Di sana
bapakmu dipukul beramai-ramai karena waktu di kamar karoke habis, tetapi
bapakmu malah tidak keluar. Petugas katanya sudah mengetuk-ngetuk pintu
kamarnya, tetapi ia belum mau keluar. Bapakmu sudah meminta perpanjangan waktu,
tetapi tetap saja petugas tidak bersedia karena pelayan yang ikut di dalam
kamar bapakmu tidak menyahut.
Sekarang marak terjadi pembunuhan di kamar hotel. Kemarin
ada berita, ada tamu di kamar hotel terbunuh dengan sadis. Bapakmu kan tamu
juga di kafe Oge. Kalau pub-pub, kafe-kafe seperti yang diceritakan bapakmu
tidak menyediakan kamar, bapakmu pasti tidak singgah di sana karena mabuk. Ya,
kan Nak? Daripada bapakmu kecelakaan di jalan? Uek....uek....,
sriut....gedabyug! Eh, kalau dibayangkan ibu ngeri. Eeh...bapakmu pasti lelah
dan payah karena dikeroyok beramai, apalagi sedang mabuk. Sayang sekali kakakmu
sekolah. Coba kalau tidak sekolah pasti
ibu suruh menjaga bapakmu biar tidak lama-lama di kamar orang. Ibu takut kalau
nanti bapakmu terbukti sebagai pembunuh karena dijebak. Sekarang penjebakan
terjadi terus, menimpa orang kecil yang kebetulan nakal. Bapakmu nanti dibunuh.
Kasihan dia. Mengapa dia lebih memilih ibu ya? Mestinya dulu dia mencari
perempuan sepuasnya, sesuai selera, yang diidamkan banyak lelaki. Tidak seperti
ibu. Eh, ibu tidak ada apa-apanya dengan perempuan yang berumah di Oge.
Nak, nanti kamu jangan ke pantai. Ibu takut kalau kamu menemukan
bapakmu di sana. Katanya sih bapakmu sehabis tidur di kamar dan mendapat mimpi,
ia akan segera membawa uangnya ke cukong togel. Penghasilannya menjual kerang
kan tidak tetap. Lagi pula ia masuk persatuan nelayan. Ibu takut kalau bapakmu
dipukul remuk oleh teman-temannya, seperti kejadian beberapa hari lalu. Kamu
lihat kan bapakmu hancur karena tidak membayar arisan persatuan, padahal
bapakmu sudah lebih dahulu menerima uang arisan.
Begitu terus bapakmu. Membuat masalah di mana-mana. Onar jadinya. Tetapi....kasihan juga dia.
Daripada di rumah ngamuk terus. Rumah sudah hancur, tambah lebur jadinya. Kita
berdoa supaya bapakmu tidak datang ya...
Nak, bapakmu meskipun hancur, masih juga tampan. Orang di
desa kita sangat terpukau melihat bapakmu. Sayang, istrinya jelek. Hidungnya
pesek. Kulit hitam. Miskin. Tetapi ada baiknya juga kan ibu? Ya, paling tidak
ibu bisa bertahan dengan kemiskinan bapakmu. Siapa yang mau dengan bapakmu
kalau bukan ibu.Itu tentu karena ibu rajin bekerja sampai-sampai tidak ingat
ngurus kamu. Meskipun tampan, bapakmu miskin juga. Yah, ibu akui, bapakmu
memiliki seekor ayam yang bertelur, dan telurnya sudah kita jual atau bapakmu
sendiri yang minum mentah-mentah.
Nak, kira-kira kamu tahu bagaimana rupa bapakmu waktu
bapakmu marah sehabis mukul kamu? Hah, kalau diingat-ingat. Bapakmu seperti
binatang. Sayang, ia tampak seperti binatang. Coba saja bapakmu tidak tampan,
misalnya perutnya buncit, matanya kecil, mulutnya besar, giginya banyak dan ada
bulu banyak di seluruh tubuhnya. Hih,
kamu pasti akan lucu dan tertawa melihatnya. Ya, meskipun demikin, kamu jangan
bersedih tertawa ya! Bapakmu akan tambah marah. Nanti kamu dipukuli. Kamu mau
luka-luka seperti ibu? Ibu menjadi pincang karena berkali-kali dihajar bapakmu
gara-gara tidak dibuatkan kopi?
Kamu tahu, Bapakmu dapat salam dari Mbah Brodin? Ibu
sudah menyampaikannya, yap, bapakmu langsung pergi dan tidak jadi marah di
rumah.
Ah, tapi ibu merasa berasalah. Pulangnya sangat larut. Di
sekujur tubuhnya ada luka-luka. Mungkin bekas kata-kata yang menagih janji.
Atau dia kena umpatan dan tendangan para penjaga kafe Oge. Sial, kafe itu
jahat. Mestinya sebelum masuk bapakmu dicegah, disuruh menunjukkan uang, baru
dikasi minum. Ibu berpikir, mengapa Bapakmu tidak dibunuh sekalian di kamarnya.
Kasiahan dia tangannya sering patah dan keseleo, tetapi penjaga kafe terus saja
memukulnya, bahkan di rumah, bapakmu tambah marah. Kamu lihat sendiri rumah kita. Rumah bukan, kandang bukan.
Bapakmu tidak pernah bosan. Sebetulnya ibu sudah tahu
dulu bapakmu suka minum tuak, tetapi
ibu tetap cinta bapakmu. Ibu juga melihat di samping bapakmu,
perempuan-perempuan muda duduk di sebelahnya, menemaani bapakmu yang sedang
berjudi. Yah, tidak masalah. Ibu suka dia. Karena itu, meskipun sekarang
bapakmu selalu ke kafe-kafe seperti Arjuna mencari cinta, aku rela. Hanya saja,
ada beberapa orang yang datang ke rumah kita dan kamu tahu bukan, mereka
mengambil kayu bakar yaang ibu cari setiap hari. Kata mereka, bapakmu punya
utang kemarin karena ngebon tuak di dagang patokan di Panji. Ibu mana berani
melarang perempuan-perempuan muda dan cantik itu mengambil kayu bakar. Mereka
membawa laki-laki ad sekitar lima orang. Ah, ibu lelah sebenarnya mengurus
orang-orang yang datang itu, tetapi kalau tidak diurus, ibu takut kalau bapakmu
tidak diizinkan nongkrong di Bangkiang Sidem atau di sekadar duduk di pinggir
kali sambil melirik perempuan mandi di dekat bendungan di mana? Itu di
Pancoran.
Ya, kita sabar saja Nak. Daripada bapakmu mati. Biarkan
saja dulu ia bersenang-senang. Habis, kita sudah menasehati, tetapi tidak
digubris sedikit pun.
***
Lina menangis. Kukunya sudah ada yang patah karena
terlalu lama menggaruk tanah. Kasihan dia. Bibirnya sampai merah karena
menangis. Hidungnya juga merah karena dipencet agar ingusnya keluar saat
meangis. Ia sudah berulang-ulang batuk. Ibunya sudah tidak tahu lagi bagaimana
caranya agar Lina tertawa lagi.
“Tunggu, Nak. Sebentar akan kuceritakan dongeng untukmu.
Jangan menangis. Ibu harus menidurkan bapakmu dulu.” kata seorang perempuan di
rumah berbatas tembok tanah. Tubuh ayah Lina dibungkus debu. Kain yang
dikenakannya sudah robek. Dadanya telanjang. Mulutnya kering. Gigi atasnya
lepas tiga, barangkali dipukul oleh teman-temannya.
Lina berhenti menagis. Pada usia lima tahun, ia paham
penderitaannya akan hilang, sebab ibunya terlalu sering disiksa. Lina
benar-benar tidak sudi melihat bapaknya lagi. Seakan-akan tangisan Lina adalah
doa untuk mengakhiri kebiasaan buruk bapaknya.
”Lina, menangislah! Bapakmu sudah mati, kamu kehilangan
ayah. Menangislah dan tunjukkan bahwa dirimu bersedih!”
Lina mengabaikan perintah ibunya.
8. Kota Senyum
Oleh Luh Arik Sariadi
Sari, kuperkenalkan namaku kepada setiap senyum bahagia.
Hari Selasa, seorang laki-laki datang ke
rumahku. Ia dari kota, kota Senyum. Lelaki bermata tajam datang dari kota itu
hendak mencari pengantinnya di desa yang kering ini. Desaku sangat kering
hingga setiap bunga yang berhasil melewati musim kemarau tumbuh dengan bunga
beraneka nama dan beribu kumbang berebut mengisap madunya. Hanya angin yang
tiba-tiba menyelamatkan bunga dari kumbang sebab madu telah tumbuh menjadi biji
dan jatuh ke tanah. Yang jatuh itu akan bahagia karena tumbuh lagi. Namun yang
terhisap sebelum pembuahan, madunya telah hilang. Manisnya telah lenyap. Hanya
tubuhlah yang tampak memberinya semangat bertahan melewati musim. Dan, akulah
kembang itu, terhisap saat malam menyergap
lalat-lalat. Esoknya, jejak-jejak lalat itu tak habis terhapus selama
dua, tiga, bahkan belasan cuaca yang telah mengubah kota Senyum menjadi sebuah
dongeng.
”Kota Senyum, pasir putih dan ombak yang teguh membanting
angin,” kata Tut De. Saat aku memperkenalkan diri, ia banyak bercerita tentang
kota itu. Ia pernah berjanji akan mengantarku melihat kotanya. Tidak ada
dermaga, tetapi banyak orang berlabuh di kota itu. Tidak ada perahu di pantai
kota itu, tetapi banyak kelompok masyarakat mengail uang di sana. Tidak ada
sampan yang terikat di pohon-pohon tua, tetapi sepasang kekasih sering bertekad
menerjang laut menuju impian. Tidak ada ruang kosong di pasir-pasir, tetapi
pantai itu telah jadi rumah bagi jiwa-jiwa yang bebas. Berbagai senyum yang
terjerat air laut pasang menyatu di tepi-tepi gelap, dan teriaknya membuat kota
itu lebih dikenal sebagai kota senyum, entahlah.
Di kota itu, bocah-bocah kecil tak perlu menadahkan
tangannya untuk mendapatkan uang dari orang yang punya rezeki lebih. Bocah-bocah
kecil boleh bertugas sebagai sebuah strobery pada segelas juss. Mereka boleh
berlarian menghamburkan pasir di kota itu.
Kota Senyum menyediakan berbagai merk minuman dari
berbagai negeri. Tut De terus bercerita tentang kota kelahirannya. Ia sangat
fanatik terhadap softdrink. Hanya
satu perusahaan yang dipercayai menghasilkan minuman yang membasuh bibir
tebalnya. Itu semata-mata karena ayahnya bekerja di perusahaan itu. Bukan,
karena ia mencintai produk dalam negeri atau ingin mengikuti anjuran iklan di
televisi yang dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Agnes Monica atau
Luna Maya. Hah, dia pastinya seorang yang fanatik!
”Kalung-kalung yang dijual di kota itu adalah
kalung-kalung yang bisa memberi faedah. Bisa membuat orang sukses. Aura setiap
pemakainya akan terpancar binal. Kamu boleh membeli kalung yang terbuat dari
karang-karang, nanti aku yang bayar,”
katanya pelan sembari mengenduskan hidung saat kusuguhkan secangkir
kopi. Aku belum menjawab tawarannya, belum bilang bersedia ikut ke kotanya atau
tidak, tidak menganggukkan kepala saat ditawari cerita kalung.
”Wangi farfum yang melekat di tubuhmu, serupa serpihan
angin tatkala para dewi mencuci rambut di telaga di kotaku,” bisiknya menggoda
aku yang sedang berpikir dan menimbang-nimbang tawarannya.
***
Ia mengatakan diriku seperti bayi, bahkan berkali-kali
menyebutku bayi. Katanya itu panggilan sayang untukku. ”Yi...Yi...” Memangnya
mengapa bayi itu? Kami tidak bersahabat lagi. Tut De lebih memilih
menghinaku lewat SMS. Kalau kami bertemu, Tut De selalu berbicara yang
indah-indah. Ia sangat cerdas. Ia tahu semua lorong di kota Senyum. Dengan
lesung pipinya, aku tidak pernah menamparnya meski ia selalu mengucapkan
kata-kata aneh di SMS atau surat. Saat bertemu, aku selalu suka ucapannya.
Manis! Namun, aku tidak boleh tergoda lagi.
Sekali
lagi aku mengatakan dalam hatiku bahwa aku tidak suka disebut bayi. Aku seorang
sarjana. Aku punya banyak relasi. Aku bekerja dengan tanggung jawab. Aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan sangat cepat dan tepat. Jika
atasanku menugaskan aku untuk melakukan penelitian di kelas yang aku ajar, aku
bisa menyelesaikannya. Berkali-kali aku telah memperoleh juara menulis
penelitian tindakan kelas sehingga mampu mengharumkan nama sekolah tempatku
bekerja. Aku telah pula mengantarkan siswa-siswaku dalam olimpiade-olimpiade
dan mereka selalu mendapat juara, meski tidak selalu mendapat juara I. Waktu
ada sertifikasi guru honor, aku mendapat nilai yang paling besar. Fortofolio
yang aku kumpulkan dengan sungguh-sungguh tidak diragukan lagi. Semua
sertifikat dan piagam penghargaan aku dapatkan dengan kerja keras. Penilai,
satupun tidak membubuhkan kata ”palsu” pada fortofolioku. Semuanya asli! Jadi,
apa aku bayi?
Makanya aku tidak mengerti mengapa Tut De selalu
menatapku sebagai bayi. Kata bayi diucapkan sambil tertawa sangat menyesakkan
bagiku. Dan, aku memilih berpisah darinya meski hanya pisah ranjang. Di ranjang
yang berbeda pada rumah yang sama, kami selalu SMS-an. Tak pernah ada dialog
langsung. Hubungan kami renggang.
Setiap malam, setelah ia datang dari pekerjaannya
mengejar target berita, ia tidak pernah lupa kirim SMS tentang kota Senyum,
kota kelahirannya yang sempurna. Aku selalu tertarik dengan kota Senyum karena
semenjak menikah dengannya, sekalipun aku tidak pernah diajak berkunjung ke
kota itu.
Kami
berdebat tentang kota Senyum dan selalu berakhir dengan amarah. Aku tidak suka ia menceritakan kota itu lagi karena kota itu seperti
imajinasi saja.
Aku punya niat bertanya tentang kota Senyum ke setiap
orang di kantorku. Karena aku hanya ingin mengecek keberadaan kota itu, aku
betul-betul berlaga bodoh kepada orang-orang.
”Pak Gusti, kota Senyum itu seperti apa?” tanyaku kepada soulmate-ku. Paling tidak
dialah orang yang paling dekat denganku untuk sementara. Aku percaya ia akan
memberiku jawaban yang sebenarnya dan pasti sangat lengkap. Pak Gusti, sering
membantuku dalam menyelesaikan tugas-tugasku di sekolah. Barangkali karena
usianya yang sangat besar, ia tahu banyak hal. Pengalamannya banyak. Ia sering dikirim ke kota metropolitan untuk
mengikuti pelatihan. Putra sulungnya juga bertugas di kepolisian. Pasti Pak
Gusti mengetahui kota Senyum.
”Kota Senyum pasti mengenalku, hingga kamu tanya itu
kepadaku, bukan?” tanyanya memberi jawaban atas pertanyaanku.
”Yah, saya tidak tahu, mengapa Pak tanya lagi ke saya?”
”Ha-ha, jadi tidak tahu kota itu?”
”Tidak.”
”Betul-betul
tidak tahu?”
”Betul.”
“Pak hanya tahu kota itu pernah menjadi kota terlarang.
Pemerintah pusat pernah melarang setiap orang yang hendak pergi ke kota itu.
Pemerintah menyiarkan bahwa ada wabah di kota itu.”
”Wabah?” tanyaku heran dan betul-betul heran. Selama aku
membicarakan kota itu bersama Tut De, suamiku, dia tidak pernah menceritakan
bahwa kota itu pernah kena wabah. Lantas, aku bertanya-tanya mengapa Tut De
tidak pernah menceritakannya. Mengapa memangnya wabah itu tidak diceritakan.
Itukah sebabnya, Tut De tidak pernah membawaku ke kota Senyum?
”Pak,
sekarang saya ada jam mengajar. Nanti saya bertanya lagi. Tidak keberatan kan?”
“Tentu.”
Sejak itulah, pertemuanku semakin intens dengan Pak
Gusti. Kami membicarakan kota Senyum setiap ada waktu. Bahkan, Pak Gusti
bersedia meluangkan waktu istirahatnya untuk menamaniku membahas kota Senyum.
Seusai menjemput istrinya, ia datang ke lapangan tenis. Aku ingin tahu banyak
tentang kota Senyum, makanya aku segera membeli seragam olah raga dan alat-alat
tenis. Aku menunda pekerjaan sore yang bisanya aku kerjakan setelah istirahat
siang. Aku bermain sedikit saja. Aku bukan olahragawan. Alasanku bermain tenis
hanya ingin mengetahui kota Senyum. Nanti setelah aku tahu kota senyum, aku
tidak akan berolahraga lagi.
Menjadi olahragawan sangat berat. Aku lebih suka duduk di
depan laptop dan menjelajahi dunia maya. Aku tak pernah takut terkena penyakit
pinggang, alat pencernaan atau penyakit-penyakit yang menyertai kebiasaan duduk
lama di depan laptop. Dan, selama ini aku sangat senang dengan hidup karena aku
punya dunia baru. Aku tidak perlu takut kehilangan orang-orang yang berada di
dekatku. Hah, kalau saja dunia maya bisa menjelaskan keberadaan dan keadaan
kota Senyum, tentu aku tidak perlu menjadi olahragawan. Aku tidak perlu
mengeluh sakit pinggang atau sakit pergelangan karena memukul bola yang berat.
Belakangan, aku menyesal mengapa aku membuang waktu untuk menegangkan ototku.
Membuang gaji honorku untuk membeli peralatan olahraga. Dan, membiarkan aku
terlibat dalam gosip-gosip yang menyakitkan.
Menurut mereka, aku perebut suami orang! Aku dijauhi oleh
orang-orang yang selama ini kuajak membuat proposal untuk memperoleh dana block grant yang diperuntukkan bagi
pengembangan sekolah menengah kejuruan. Kepala sekolah juga telah
memperingatkanku dengan nada ancaman. Katanya ada yang melaporkan
gerak-gerikku. Kepala sekolah tahu semuanya yang tidak mungkin semua benar.
Karierku betul-betul diujung tanduk!
Malam-malam, saat aku bermimpi untuk kali pertama pada
tidurku suatu hari, suamiku SMS.
”Sudah kau kunjungi kota Senyum itu?”
”Mana mungkin? Kau hanya punya cerita, tetapi tidak
pernah mengantarku ke sana.” jawabku kepadanya dengan tanda seru lebih dari
sepuluh.
”Masak?”
”Maksudmu?”
”Bukannya kamu punya lelaki tua sekarang?”
”Lelaki tua? Untuk apa?”
”Jadi, kau punya lelaki tua?”
”Siapa maksudmu?”
”Hah,” jawabnya tiga huruf.
Aku seperti seekor tupai yang dicemooh oleh senapan
angin. Aku tidak mungkin menggedor pintu kamarnya malam-malam. Aku telah
berjanji tidak akan menemuinya kalau belum menemukan kota Senyum itu.
”Hentikan guyonan yang mengacaukan itu!” jawabku.
”Bukannya kamu yang mengacaukan segalanya!”
”Ya? Oh, baiklah lebih baik aku tidur supaya tidak lagi
mengacaukanmu!” jawabku kesal.
”Ya sudah. Mimpikan lelaki tua itu ya, Yi!”
Aku semakin tidak bisa tidur. Ia menyebutku Yi lagi. Aku
benci sebutan itu. Lagi, aku memikirkan siapa lelaki tua yang dimaksud suamiku.
Apakah yang dimaksud Pak Gusti? Hah, kepada siapa harus kuceritakan bahwa yang
kucari dari Pak Gusti hanyalah kota Senyum. Bukan cinta atau kasih sayangnya.
Untuk hal kasih dan sayang, aku tidak butuh lagi. Aku telah mendapatkannya dari
dunia maya. Bahkan, aku tidak perlu lagi belaian suamiku. Aku telah kenyang
dibelai oleh imaji-imaji kota Senyum.
Ah, akhirnya aku merasa perlu menjelaskan kepada suamiku.
Setelah lewat tengah malam. Aku sms suamiku lagi, tetapi dengan kata-kata
berkulit mauku biar dia tahu bahwa aku sangat ingin bersamanya ke kota Senyum.
”Beberapa
dada mendekapku dengan nafas. Betapa kulitku
ditusuk ribuan penghuni dunia. Ada cahaya, jejak yang ditinggalkan di mataku.
Tidak ada bisikan kecuali tertutupnya pintu-pintu menuju ranjang pengantin.”
Esoknya,
Tut De menjawab, ”Kau bahagia bukan?”
Jawaban
macam apa itu. Dipikiranku ia tidak lebih dari lelaki bodoh yang tidak mengerti
perasaan perempuan. Aku pikir gajinya lebih dari cukup untuk mengantarku ke
kota Senyum. Hah, itu hanya impian yang siasia. Aku betul-betul
diperlakukan seperti bayi.
Mbok Luh Komang, perempuan pertama dan orang kesekian
yang kutanyai tentang kota Senyum. Mungkin dia lebih mengerti perasaan
perempuan yang tidak pernah menyepelekan setiap hal. Namun, aku tidak bisa
terlalu berharap. Meski ia perempuan, ia hanya seorang tukang cuci pakaian. Aku
telah lama mengenalnya. Ia selalu datang ke rumahku untuk mencuci pakaian suamiku.
Karena ia pembantu suamiku, aku tidak mau ia tahu aku. Namun, ia menyerahkan
satu juta uang yang didapat dari saku pakaian suamiku. Sejak itu, aku mulai
membuka diri untuknya. Barangkali ia bisa menceritakan kota Senyum.
”Mbok Luh, selama ini aku sesekali lihat kamu
berbincang-bincang dengan suamiku.”
”Tidak,
Bu. Saya tidak ada apa-apa dengan suami ibu. Saya hanya tukang cuci.” Katanya menghentikan ucapanku.
”Hei, aku belum selesai bicara.”
”Bu,
saya punya suami yang sering mengantar saya kemari. Jangan khawatir. Lagi saya
sudah monopos.”
“Ya...Tapi saya hanya ingin menanyakan satu hal. Yang
tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu di tempat ini.”
”Apa itu?”
”Mbok Luh tahu kota Senyum?”
”Ya.”
”Jadi tahu?”
”Ya. Bu Sari memang harus sering tersenyum. Terutama
kepada suami.”
”Hah, itu bukan maksudku. Yang kumaksud sebuah kota yang
dihuni oleh manusia.”
”Ya.. itu maksud saya, Bu. Ibu seperti
seorang bayi di sebuah kota Senyum seperti yang disebut-sebut Bapak.”
“Apa yang kamu ketahui tentang bayi dari suamiku?” Aku
bertanya sangat marah. Seolah Mbok Luh Komang tahu segalanya. Aku benar-benar
merasa suamiku telah membicarakanku kepada semua orang. Itu
lagi-lagi penghinaan.
”Bapak
sering menyebut-nyebut nama Ibu sendirian di ruang bacanya, ‘bayi manisku’
begitu katanya,” jawab Mbok Luh Komang.
“Ah,
kau bohong! Dia itu sering menghinaku! Bayi! Bayi! Apa itu?”
“Bayi itu simbol. Ia sebuah realitas yang sangat terang
dan jelas membawa sifat kemakhlukan dan keinsanian. Kepolosan. Ketelanjangan.
Dan, keapaadaan.”
Aku merasa menjadi sangat mulia ketika Mbok Luh Komang
mengatakan hal itu. Aku tidak percaya kata-katanya. Lagi pula suamiku tidak
menunjukkan ia menyukaiku. Buktinya, ia tidak pernah mengantarku menuju ke kota
Senyum. Dan biarlah kami berpisah karena ia pembohong.
Mbok Luh Komang meski meyakinkanku bahwa suamiku memujaku
dengan menyebutku bayi, sungguh aku tidak akan terpengaruh dengan keputusanku
pisah ranjang sampai ia mewujudkan impianku.
”Betul, Bu. Bapak menyebut Ibu dengan mesra, ’bayiku’
begitu berulang-ulang.”
”Bayiku! Bayiku! Bayiku!” kataku mencemooh katanya. Di
dalam hatiku aku memang terbuai setelah Mbok Luh menjelaskan arti bayi.
Menurutnya, bayi itu sebuah realitas, bakal keindahan, kehidupan, dan masa
depan manusia. Bayi itu asasi dan paling dasar. Bayi ketakbersalahan. Seorang
bayi menyimpan keutamaan manusia. Ada harapan yang bercokol menumbuhkan manusia
secara asasi. Manusia tidak mungkin menjadi manusia jika tidak menyimpan
harapan. Hanya itu caranya menutupi kebohongan? Dia merayuku? Kapan dia bawa
aku ke kota Senyum?
”Bayi itu benih harapan.” katanya, eh maksudku kata
temanku yang cerdas.
Sukasada, Juni 2009
9. Tokoh-Tokoh dalam
Pertunjukanku
Oleh Luh
Arik Sariadi
Duduk
di teras rumah sendiri membuat aku menatap taman dengan leluasa, menelanjangi
segala rahasia yang disimpannya. Duduk sambil mengayunkan kaki menghadap
hamburan debu membuat aku merasuk kepada debu yang bimbang dengan biasa, meniup
sesak ke arah taman. Aku berharap satu rahasia kudapatkan hari ini untuk
menegaskan bahwa aku bisa melakukan apapun karena aku berhasil mengungkap
tokoh-tokoh yang bermain pada pertunjukan debu, dedaunan, terik mentari, air,
dan angin. Jika sesosok telah terungkap sebagai tokoh utama, maka aku tinggal
menunjuk bahwa tokoh-tokoh lain hanyalah antagonis atau figuran. Saat itu aku
bisa bangga karena rahasia tokoh utama telah kudapatkan dan tokoh-tokoh lain
bisa kutaklukkan dalam ceritaku. Tidak akan ada yang mampu menandingi
kemampuanku menentukan jalan cerita. Maka peristiwa-peristiwa yang kubuat pun
adalah peristiwa-peristiwa yang sangat berarti bagi mereka, pemain-pemain
hebat.
Selain
aku, tidak ada yang bisa menentukan hidupku sendiri karena akulah sang
sutradara. Mereka hanya mengikuti. Hanya memerankan. Lalu aku berhak tertawa
untuk pertunjukan mereka yang konyol. Tidak bisa kuingkari bahwa suatu hari
akupun bisa bersedih karena aku terlalu kejam dalam menentukan sebuah peristiwa untuk mereka. Kalau sudah
menangis, aku hanya bisa minta maaf. Tidak peduli aku telah salah memberi
kejadian atau memang mereka mantap dalam mengolah wajah mereka.
Kulihat
dengan memejamkan mata, mereka mencoba improv gerak yang kuajarkan. Aku
langsung saja mengepakkan tangan ke uadara dan mereka harus menerima bahwa
tindakan mereka di panggungku keliru. Dia mencoba mempengaruhi pikiranku dengan
bergerak-gerak lembut dan mendekati hidungku. Barangkali dia tidak tahu bahwa
aku punya penciuman yang tajam. Aku punya kemampuan membaca pikiran mereka.
Gerak lembut dan tawaran-tawaran mereka hanyalah negosiasi untuk mengalihkan
perhatianku. Mereka ingin aku menjauhi sebuah bayangan di mataku yang terpejam.
Mereka ingin merampas seseorang dari hatiku yang sedang resah. Meski mereka
mencoba bernyanyi dan menari sambil terbang di angkasa, tampaknya menuju
pantai, aku tidak akan terpengaruh karena aku lah sutradaranya.
Tanah
kering telah membesarkan aku dalam damai. Akar yang tegar, begitulah kira-kira
pagi memanggilku. Siang pun menjelma semakin memendarku dengan kaku. Ia menguji
ketegaranku dengan menusukku. Barangkali menusuk dengan cahaya yang panas
adalah sebuah pilihan baginya. Atau barangkali tugas berat, sebab aku sahabat
pagi, siang, dan malam. Tiada cahaya yang lebih sabar selain siang. Menunggu
bulan datang sangatlah rashasia. Menggantikan pekerjaan menyinari, menemaniku,
dan mematangkan aku dengan peristiwa-peristiwa tanpa lelah. Menjadi pemain
dalam pertunjukan cahaya itulah kebanggaan. Aku tidak mau menjadi pemain dalam
pertunjukan angin, air, atau kabut karena akulah sutradaranya. Kusadari betul
bahwa aku sebagai akar tidak mungkin hidup tanpa air. Air itu musuhku meski aku
akar yang lemah. Setiap hari begitu. selalu begitu. Begitulah aku bermusuhan,
tanpa sebab. Begitulah aku bersahabat, tanpa sebab. Sebuah rahasia adalah
senjata untuk musuhku, juga sebagai kepercayaan untuk sahabatku.
Suatu
hari hujan datang deras menungguku yang sedang menanti sepucuk bunga tumbuh.
Belum tahu bunga akan jadi musuhku atau jadi sahabatku kelak. Dia memintaku
menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk mengisi kekosongan.
“Bagaimana
pendapatmu tentang lilin?”
“Tidak
mengerti” jawabku kepada siang.
“Aku
bertanya bagaimana dia? Bagaimana karakternya? Atau apa saja yang kamu ketahui
tentang lilin.”
Aku
sungguh tidak tahu maksud pertanyaan hujan. Mungkinkah hujan telah tahu bahwa
aku membenci air tanpa sebab? Aku ketakutan. Jangan-jangan hujan mengetahui
bahwa aku telah menjadi sutradara pertunjukannya. Harga diriku akan hilang jika
dia mengetahui bahwa aku ingin menjadi penguasa, sekalipun dalam lamunan. Aku
mulai berpikir, memperkirakan peristiwa-peristiwa untuk menjebak hujan biar
tidak menerjangku.
Aku
mencoba melahirkan tokoh baru dalam perbincangan kami, mungkin dia tidak tahu.
Dengan kemampuanku mengungkap alam, aku menciptakan kabut. Sebelum hujan
menerjangku, akan datang kabut. Aku tahu bahwa angin sangat mencintai kabut
meski kabut tidak pernah sungguh-sungguh mencintai angin. Aku mengetahui bahwa
kabut hanya mencintai air. Air pun mencintai kabut. Kabut dan air pernah
kutemukan bercumbu di angkasa. Mereka menghancurkan tapa para dewa. Dewa Siwa
pernah terperanjat menyaksikan percintaan air dan kabut. Aku geli melihat Dewa
Siwa sangat kagum dengan ciptaan Dewa Brahma. Dengan halilintar Dewa Brahma
menumbuhkan cinta antara air dan kabut. Air liur Dewa Siwa sampai mengalir dan
dia lupa melebur tokoh-tokoh yang tidak boleh aku mainkan dalam pertunjukanku.
Air
menari-nari mengitari liuk-liuk kabut di atas bukit. Siapapun akan tergiur
untuk memiliki kabut yang sangat cantik. Geraknya sangat lambat, itulah yang
membuatnya semakin sensual. Air mana tahan hanya melihat kabut dari kejauhan.
Air tidak mungkin melewatkan hari itu hanya dengan menari-nari. Air suka
menggoda! Namun, saat bersama kabut, air tidak mau melirik angin, atau para
dewa. Air betul-betul tahu saat-saat yang tepat untuk muncul sebagai
protagonis. Aha…aku telah berhasil menciptakan sebuah peristiwa. Hujanpun tidak
bisa turun, kecuali Dewa Siwa telah sadar bahwa aku terpaksa membuat kabut
meliuk-liuk. Kalau bebatuan pun semakin mengeras karena senang juga dan tidak
ingin terguyur oleh hujan, sungguh aku
tidak sengaja.
Dewa
Siwa punya istri yang cantik juga. Katanya sangat setia dan pencemburu. Dewa
Siwa tidak akan berpaling berlama-lama karena dia akan menyesal. Seandainya
istri Dewa Siwa tahu kalau suaminya mengintai kecantikan kabut, Dewa Siwa tidak
akan punya istri lagi. Kapan Dewa Siwa mencari-cari kesalahan istrinya? Kapan
Dewa Siwa mengekang nafsunya? Kapan Dewa Siwa berhenti bertapa? Kapan Dewa Siwa
berhenti membinasakan makhluk-makhluk yang tidak disuakainya atau
makhluk-makhluk yang tidak setia kepadanya. Dewa Siwa pandai menguasai dan
menghancurkan dengan kutukan. Tersadar bahwa Dewa Siwa punya kutukan yang maha
dahsyat kepada semua makhluk di dunia ini, maka kuhentikan kehadiran Air.
Kubiarkan air menyerbuku serupa hujan. Dengan gugup, aku pun berpura-pura
bertanya lagi.
“Lilin? Hanya satu yang kutahu dia punya
cahaya.”
“Menyinari?”
“Tentu.
Ah, tunggu! Mengapa bertanya tentang lilin?”
“Tidak
ada apa-apa.” Jawabnya kepadaku.
Aku
bingung. Ini siang dan dia bertanya tentang lilin. Sudah lelahkah siang
berteman denganku? Aku menjadi semakin heran ketika ia bergegas kembali ke
rumah ibunya. Siang pergi tanpa sepengetahuanku. Dengan hujan, ia tinggalkan
jejaknya kepadaku. Dia tinggalkan aroba debu yang telah hanyut oleh
rintik-rintiknya. Lantas aku tidak bisa percaya kalau esok ia kembali dengan
senyumnya, menemaniku melewati jalan setapak yang telah terburai resah.
Dapatkah aku sendirian menatap rerumputan yang telah kering? Apa yang harus
kujawab jika sesaat lagi belalang bertanya tentang siang? Bagaimana aku bisa
menggambarkan wajah siang kepada angin jika siang pergi dengan segera.
Mungkinkah
siang serupa cupak? Memakan semua nasi yang dibungkus oleh daun jati? Di setiap perjalanan menghabiskan bagian-bagian
Jaya Prana. Di hutan muda, cupak bersembunyi sambil mencopet-copet ulat blatung
yang telah dibakar. Itu perbekalan untuk setahun sampai raksasa tewas di tangan
mereka. Siapa yang harus kuperankan jadi putri yang berhasil diperistri Cupak
lewat penipuan?
Aku
pun bosan dengan pertunjukan tanya jawab itu. Pertunjukan musim kemarau harus
usai aku tidak bisa menjawab pertanyaan hujan. Barangkali itulah sebabnya aku
takut menanti seseuatu bersama hujan.
Dingin
sudah kuundang untuk membangun suasana baru dalam pertunjukanku sekali lagi.
Ini pertunjukan tentang manusia. Pertunjukan yang tidak menarik sebetulnya,
tetapi harus kupentaskan di panggungku karena aku tidak ingin berlama-lama pada
satu peristiwa atau tinggal lebih lama pada peristiwa yang belum kupentaskan.
Sesekali,
seorang sutradara memang harus mengecap jadi pemain supaya tidak seenaknya
memberi karakter pada setiap tokoh. Seorang sutradara harus juga memainkan
peran yang bermacam-macam agar punya kedalaman tentang karakterisasi dan supaya
kelak tidak menangis lagi tatkala pementasannya gagal. Untuk itu, pada sebuah
musim kuciptakan dua tokoh, aku dan dia.
Dia
dan aku sama-sama tahu bentuk tangan. Tanganku kuat, menggenggam sangat erat.
Telapak tanganku merah, tentu dia ingat. Garis-garis kesehatanku mungkin kurang
tegas, tetapi dia juga pasti ingat bahwa aku minum multivitamin biar bisa hidup
lama. Aku selalu makan sayur dengan daging yang berimbang sesuai dengan saran
dokter. Dialah yang paling tahu bahwa garis tangan itu telah menebal dengan
garis lurus menjulang dari tengah-tengah antara ibu jari dan telunjuk menuju ke
pergelangan tanganku. Dia yang sangat tahu rahasiaku karena hanya kepadanya aku
bercerita.
Mengenai
garis rezeki pun dia tahu. Kami dulu sama-sama baca buku palmastry. Kalau dia
membaca rezeki sedang tidak bagus, dia tidak akan mau ditraktir makan walau
sekadar membeli nasi goreng di depot Jakarta,
milik warga berdarah tionghoa. Aku pekerja keras. Mengisi hari libur, aku
tidak bisa hanya duduk menyaksikan acara musik dengan tiga pembawa acara atau
sinetron dengan iringan lagu-lagu dangdut. Juga tidak mungkin aku hanya
jalan-jalan ke pantai dan laut. Aku telah terbiasa bekerja. Kalau sehari saja
aku tidak mengerjakan sebuah pekerjaan, kepalaku sering sakit. Menurutku,
pekerjaan itu harus kusukai meski hasilnya tidak cukup untuk membeli soft drink. Aku biasa menerima
pengetikan, pembuatan kartu nama, cetak buku. Ah, maksudku aku bekerja sebagai
buruh musiman. Kalau rezekiku bagus dia minta dibelikan baju kaos di plasa,
satu-satunya pusat perbelanjaan dengan eskalator di kotaku. Ah, dia memang agak
gila! Dia tidak mau meminta dibelikan, tetapi dia sering minta untuk diantar presiran. Dengan senang hati aku
mengantarnya. Kau kalau punya rezeki pasti juga akan memanjakan kekasihmu,
bukan?
Tentu.
Walau kau tidak tahu seseorang akan berjodoh atau tidak denganmu, kau tetap
memberi sesuatu. Masalah jodoh memang sulit ditebak dari garis tangan. Beberapa
kali kami membaca garis tangan bersama. Dia membaca garis tanganku sambil
bertanya tentang masa lalu. Aku orang jujur. Aku menjawab tanpa malu bahwa aku
telah berhubungan intim dengan laki-laki lain sebelum dengannya. Aku ingin
suatu hari hubungan kami berjalan tanpa ada penyesalan, apapun alasannya. Dia
setuju saat memegang tanganku. Dia juga
tahu berapa aku akan melahirkan anak, tidak peduli dengan siapa aku menikah.
“Satu
anak gagal tumbuh dirahimmu.” Katanya datar.
“Lagi?”
tanyaku pelan.
“Kau
akan menikah setelah usia tiga puluh tahun.”
“Lalu?”
“Jika
menikah di bawah usia itu, kamu akan mengalami kegagalan.”
“Berapa
kali aku akan gagal sebelum usia tiga puluh tahun?” tanyaku lagi.
“Berapa
kali maumu?”
“Sekali
saja.”
“Dikabulkan,”
jawabnya dengan canda sambil membelai rambutku.
“Kalau
begitu, kau lelaki yang paling malang karena hanya kamu yang menerimaku apa
adanya. Berarti kau baik. Kau pastilah lelaki yang handal dan bertanggung
jawab. Kau pasti banyak dicintai perempuan. Dan, pastilah kamu seorang pangeran
dulu.”
“Ah,
kamu berlebihan. Aku tidak tahu. Aku hanya ngawur. Kita kan baru belajar
bersama-sama. Kau jangan berlebihan menilaiku. Siapa tahu ramalanku salah. Kamu
pun salah. Ah, kamu tidak boleh hanya berpatokan dengan satu buku semacam ini.”
Katanya sambil melempar buku ramalan itu ke arahku. Seolah-olah ia mulai geli
dengan buku itu. Aku pun mulai menganggap buku itu sebagai olok-olok. Kutarik
tangannya untuk mempraktikkan buku ramalan itu.
“Mari
kubaca garis tanganmu!”
Ia
tidak mau diramal. Dia menyembunyikan kedua tangannya di balik kaos Jogja. Aku tidak mau kalah
mengolok-olok. Meski aku perempuan, aku punya tenaga yang kuat. Tangannya
kudapatkan. Aku meramalkan bahwa tidak akan pernah ada pernikahan dalam
kehidupannya. Garis parabol telah membentang kuat di bawah jari manis dan
kelingkingnya. Garis pernikahannya pun tidak jelas. Lagi pula ada garis
semak-semak memutus garis pernikahannya. Aku tidak bisa mengerti, dia sangat
kucintai mengapa punya garis seperti itu? Mungkin aku memang ditakdirkan
menikah tua atau sama sekali tidak menikah? Apakah aku akan bersamanya sampai
tua? Sampai dia menemui ajalnya? Sampai dia tidak punya satu alasanpun untuk
menunda pernikahan
“Tidak
mau gagal,” jawabku dari dalam hati yang paling resah.
“Benarkah?
Denganmu aku akan gagal juga?”
Dia
hanya diam. Bukankah selama ini diam diartikan ya? Haruskah kuhentikan
pertunjukan ini lagi? Aku telah gagal sebagai pemain atau sutradara.
Kusembunyikan wajahku di hadapan debu. Kututup rapat-rapat
pertunjukan-pertunjukan tanpa klimaks yang menakjubkan karena aku tahu tidak
ada tokoh yang bisa kukendalikan, bahkan di panggungku sendiri. Kepada semua
tokoh-tokoh yang telah kupermainkan, kusampaikan sebuah pernyataan maaf dan “Don’t think of me” kataku pelan saat
kugenggam erat tanganku di teras yang telah berembun.
Singaraja,
Juli 2009
10. SEORANG DUKUN YANG BERCITA-CITA MENJADI GURU
Oleh Luh
Arik Sariadi
Mata
yang bergetar,
Kata-kata bagi jiwa yang gusar.
Aku lagi tidak takut. Aku menebang tanaman di sekitar
halaman rumah. Yang kutebang meneteskan getah yang sangat segar,
serupa air terjun Gigit. Aku memukul pot-pot yang bergantungan di depan rumah
seperti seorang pemain kasti. Aku menendang pot-pot di teras rumah. Aku
menggigit anak ayam yang demam karena musim hujan. Aku menelannya
mentah-mentah. Tetanggaku barangkali berpikir bahwa aku sedang meramal
seseorang. Nenekku yang sangat renta seperti menyaksikan kerauhan. Dewa apakah yang menjelma
bagai prahala? Dewa apakah yang merasa tidak puas dengan sesajen yang
dipersembahkan setiap pagi dan sore? Mereka pasrah dalam hitungan detik. Mereka
ketakutan tampaknya. Aku sadar melakukannya. Tidak ada kesurupan. Aku sangat
sadar. Saat itu namaku Ketut Sarining. Sekarang pun namaku Ketut Sarining.
Sampai kapanpun tetap namaku Ketut Sarining. Dan, jangan pernah ada yang
memanggilku dengan nama sapaan. Itu tidak boleh. Aku hanya Ketut Sarining,
seorang dukun yang bercita-cita menjadi guru.
***
Pagi-pagi, matahari tercekal oleh awan di atas bukit
Wanagiri. Ia menangis mereka-reka wujud yang hendak menolongnya dari
penculikan, seperti kemarin atau beberapa bulan lalu. Aku hendak menolongnya,
tetapi aku masih kusut. Semalam ada upacara besar di kamarku. Aku memutar-mutar
sembilan kartu. Aku membakar dupa tujuh batang dan mengucapkan mantra-mantra.
Hanya ada dalam hati.
Kalau aku mengucapkan mantra-mantra itu, dadaku
membusung. Ada udara yang mengalir ke telinga, hidung, dan mulut. Bibirku
tertutup sehingga udara itu hanya berhembus melalui hidung. Mataku saat itu
terpejam rapat. Di dalam kelopak mata itu, ada gelap. Hanya ada lintasan-lintasan
cahaya yang bergerak melingkar-lingkar di kegelapan itu. Kalau mantra itu sudah
habis kubaca, barulah aku membuka mulut dan menyemburkan air ludah ke kartu
yang jumlahnya sembilan.
Kartu-kartu itu berisi tulisan, nama-nama dewa di
sembilan arah. Yah, walau ramalan itu ngawur, ada saja yang mau kuramal. Di
sekolah tempatku mengabdi, guru-guru lain bertanya tentang peruntungannya.
”Bagaimana nasib saya?” tanya Ibu Ratna kepada aku yang
sedang memutar-mutar kartu ke delapan arah, kecuali kartu yang ada di tengah,
yaitu kartu Siwa. Putarannya disesuaikan dengan pertanyaannya. Kalau
pertanyaannya hanya tiga kata dan ada kata-kata tambahan, sehingga jumlahnya 9
kata, maka aku akan memutar kartu-kartu itu sebanyak sembilan kali. Jawabannya,
ada penghidupan yang bagus.
”Berapa anak saya?”
Aku mengatakan kepada Ibu Ratmi bahwa ia harus membuat
sesajen berupa nasi berbentuk gunung dengan lauk serpihan garam laut ditambah
minyak asli buatan sendiri. Sesajen itu diletakkan di atas meja dengan air
segelas kecil. Kalau nasi yang tersisa setengah tinggi bukit itu, maka ia akan
memiliki anak lebih dari sembilan. Itupun kalau ia mau. Kalau ujung nasi itu
jatuh atau dimakan cicak, itu berati anak yang dilahirkan akan lebih banyak
perempuan. Begitu aku menjelaskan kepadanya karena ia mendapat kartu Wisnu
setelah aku memutar-mutar kartu hingga ia betul-betul selesai berbicara.
Aku terus memutar kartu, hampir tiap malam. Sudah empat
belas kali. Aku sendiri tidak tahu apa aku tepat menghitung jumlah kata yang sudah diucapkan
oleh Pak Suar. Aku sudah mengeluarkan keringat. Ini seperti waktu aku bermain
teater. Aku memerankan Maling dengan dialog yang sangat panjang. Lalu, aku
lupa. Dialog keberapa gilirannya. Pak Suar pada akhirnya mendapat kartu Rudra
atas pertanyaannya, “Saya lulus atau tidak sertifikasi guru?”
Dengan berat hati harus aku jelaskan bahwa pertarungannya
berada di antara teman satu kelompok. Masalahnya tidak ada pada jumlah
sertifikat yang dimiliki atau jumlah karya tulis yang dibuatnya, meskipun pada
kenyataannya guru-guru lain mengetahui bahwa Pak Suar bukan guru yang disukai
di ruang guru.
”Bapak sekarang harus menggunakan kekuatan yang Bapak
miliki untuk melenyapkan rasa iri yang muncul dari tiga orang guru yang sangat
dekat dengan Bapak. Tiga orang ini akan menghampiri Bapak di lobi depan nanti
siang. Ketiga orang inilah yang harus Bapak waspadai!” kataku dengan penuh
keyakinan.
“Saya
dapat pacar atau tidak?”
“Hari ini, bulan ini, atau tahun ini?”tanyaku balik.
”Ya, sekarang.”
”Ibu kan sedang
bersama saya sekarang. Saya pastikan sekarang tidak dapat. Tapi nanti dulu.
Saya akan lihat kartu Ibu.” kataku sambil memutar kartu.
”Ah,
usia ibu sudah di atas tiga puluh tahun. Sangat sulit
mencari lelaki perjaka. Kalau ibu mau dapat lelaki perjaka, itu butuh waktu lama
karena orang itu adalah orang desa yang miskin, tetapi ganteng, Bu.” begitu aku
menjelaskan kepada Ibu Raning, guru honorer yang sekarang menjadi calon
legislatif.
”Ya, kalau yang tidak perjaka tetapi belum menikah, itu
ada?”
”Ada. Itu sangat dekat dengan Ibu. Kalau ibu mau dengan
dia, Ibu akan segera jadi PNS. Dan, itu artinya, Ibu harus memundurkan diri
menjadi caleg.” jawabku sambil berbisik.
”Kalau yang du...”
”Nah,
yang duda paling bagus itu Ibu. Punya anak tiri dua tidak apa, itu justru bagus
untuk Ibu.” Jawabku menyela.
“Lho, Ketut dari mana tahu kalau saya sedang didekati
oleh seorang duda?”
Aku hanya tersenyum sambil menunjukkan kartu yang
didapatkannya. Aku hanya menerka-nerka saja. Kebetulan tebakanku benar. Aku
tidak tahu apa aku terlalu angkuh untuk menjawab secara kebetulan. Kalau suatu
hari ternyata kata-kataku salah, maka aku telah menghancurkan nasib Ibu Raning.
Kasihan dia. Tetapi, lebih kasihan lagi kedua anak duda. Mereka pasti
memerlukan ibu yang sangat menyayanginya. Seandainya aku kelak punya uang yang
lebih banyak, aku akan membuat panti asuhan yang nyaman untuk anak-anak yatim.
Mereka boleh tidur di rumah masing-masing setiap hari Jumat sampai Minggu.
”Tut, apakah Ibu bisa menjadi anggota dewan pada Pemilu
ini?” tanya Ibu Raning sekali lagi.
Ia sering meninggalkan siswa untuk kampanye. Dia menjadi
caleg nomor tiga dari sebuah partai ternama. Di Bali, Partai itu masih punya
nama, meskipun beberapa tahun telah tenggelam seiring jatuhnya sebuah kekuasaan
di negeri ini. Dia pasti menjadi anggota legislatif menurut logikaku. Namun,
menurut kartu ini, dia akan menjadi caleg, tetapi banyak orang yang akan
menghinanya. Kalau dia tidak menjadi caleg, dia bisa memiliki kedudukan yang
lebih besar. Ia akan menggetarkan ibu kota provinsi dengan sepak terjangnya
sebagai seorang perempuan.
”Bisa.” kujawab dengan tegas.
“Apa saya punya bakat selingkuh?” tanya Ibu Sri kepadaku
yang sedang melamun memikirkan jawaban-jawaban ngaur untuk Ibu Raning sebagai
basa-basi.
Ibu Raning diam ketika gilirannya diambil alih oleh Ibu
Sri. Tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Aku tidak khawatir kalau ia
kenyataannya tidak menjadi caleg. Banyak orang menghinanya dari belakang karena
ia sebetulnya seorang yang tuli. Ketika memenuhi syarat sebagai caleg, semua orang
tahu kalau ia bisa dengan mudah mendapatkan surat keterangan sehat karena
kerabatnya ada yang menjadi dokter, pegawai pemda, dan ada di kepolisian.
”Tunggu. Tunggu.dulu. Saya akan lihat wajah Ibu dulu
sambil memutar kartu-kartu ini. Sampai saya puas melihat menghitung bulu mata
Ibu, baru saya akan berhenti memutar kartu ini.” jawabku selagi ingat bahwa aku
sedang meramal Ibu Sri.
Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. Apa maksud
perkataannya. Apakah di dalam benaknya ada perasaan cinta kepada salah seorang
guru di ruang ini? Apakah ia sedang jatuh cinta, barangkali ketika suaminya
pergi jauh bekerja ke kapal pesiar, ia menerima tamu dan mendekatinya, sehingga
ia tergoda? Aku merasa heran mengapa pertanyaan itu diitanyakan kepadaku?
Apakah dia memang ingin selingkuh sekarang? Makanya dia mengatakan itu tanpa
ragu kepadaku di hadapan guru-guru lain. Guru-guru yang laki-laki dan suka
selingkuh, pastilah mengira kalau Ibu Sri memang kesepian. Ia membutuhkan
teman, paling tidak untuk mengantar-jemput anaknya yang masih duduk di taman
kanak-kanak. Aku meras kaku, bertanya tanpa tahu yang pasti, apakah aku pantas
menjawab pertanyaannya?
Sebelum aku menjawab, aku berjalan dulu ke belakang. Di
ruang guru ini ada dapur kecil. Ada dua buah mangkuk. Sepuluh gelas yang baru
dicuci oleh Ibu Suyasi. Dia guru yang paling rajin. Dia pernah bercerita
kepadaku tentang kehidupannya yang pinda-pindah kerja. Semula menjadi guru
honor, selanjutnya melamar pegawai Pemda dengan ijazah SMA. Selama delapan
tahun menjadi pegawai Pemda dan pindah profesi lagi menjadi guru matematika di
sekolah itu. Menurut teman-teman di sekolah, dia begitu karena tahu kalau
sekarang ada sertifikasi guru. Namun, itu mungkin pendapat orang-orang yang iri
kepadanya. Menurutku, dia memang sudah digariskan bertemu dengan orang-orang
yang memudahkannya pindah-pindah kerja. Itu kata-kata kartu yang kuputar.
Di dapur itu, aku kembali ingat bahwa di ruang guru ada
Ibu Sri yang menungguku. Entah ia memintaku menjawab bahwa ia punya bakat
selingkuh atau aku harus mengatakan bahwa dia tidak punya bakat itu. Aku keluar
saja. Aku tidak perlu memikirkan sesuatu. Yang keluar dari mulutku, itulah
hasil ramalannya.
”Ibu berbakat selingkuh.” kataku sehabis mencuci tangan
dari dapur.
Mukanya merah, tetapi itu bukan berarti aku pandai
meramal. Itu bukan berarti aku mengatakan yang benar. Itu juga bukan berarti
bahwa dia memang berbakat selingkuh. Ini baru akan terbukti sampai lima tahun
mendatang. Ibu Sri akan sering ditinggal suaminya.
“Apa
saya bisa bertahan dengan hanya menjadi guru honor di tempat ini?”
Pertanyaan Yani sama dengan pertanyaanku sendiri kepada
kartu-kartu itu. Setiap hari Minggu malam, aku memutar kartu-kartu itu. Hari
Minggu adalah hari kelahiranku. Aku ingin mengetahui karierku di masa
mendatang. Aku ingin kelak bisa membuat penerbitan majalah. Aku ingin mengajak
teman-teman yang tidak punya uang empat puluh sampai delapan puluh juta bekerja
bersamaku. Uang itu biasanya harus diberikan kepada oknum pejabat daerah untuk
memutuskan seseorang menjadi PNS setelah seseorang mendapat surat keputusan
kepegawaian. Surat itulah yang digadaikan ke bank untuk mendapatkan uang bagi
oknum-oknum yang tidak pernah bisa dibuktikan itu. Semua orang sepertinya tidak
mau membuktikan hal itu karena memang tidak ada bukti. Padahal, itu sudah
menjadi rahasia umum. Kalau mau, seseorang bisa menjebloskan orang lain yang
terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan. Inilah tolong-menolong. Yang pernah
menolong tidak akan dikhianati. Yang ditolong harus tahu balas budi.
Aku berpikir kalau aku punya uang sebanyak itu, untuk apa
aku menjadi PNS. Aku lebih suka hidup dalam ketidaksepakatan waktu. Aku mau
memanfaatkan waktu secara induvidual. Aku tidak mau menunda untuk pergi
memancing, meskipun aku seorang perempuan.
Tentu aku tidak mau bernasib sama dengan calon iparku
yang memberikan uang kepada seseorang bahkan membatalkan rencana pernikahannya,
hanya karena seseorang yang menjanjikan surat keputusan pengangkatan menjadi
PNS. Setelah semua uang diberikan, orang itu justru balik menuntut iparku
karena dianggap mencemarkan nama baik. Aku takut bermimpi menjadi PNS.
Di kartu yang kuputar sendiri. Aku mendapat jawaban yang
mengada-ada. Mengadakan peristiwa-peristiwa besar dalam hidupku. Aku menemukan
kartu Wisnu. Itu artinya ada kemakmuran di dalam hidupkku. Harta melimpah dan
sebuah panti. Namun, meskipun ada anak-anak panti di dekatku, tetap aku ingin
menghabiskan hari-hari di salah satu kamar sebuah panti. Sendiri. Mereka hanya
bisa menemuiku kalau mereka ingin mengetahui masa depannya. Aku tidak ingin
keluar kamar kalau tidak ada yang memerlukan aku. Aku merasa yakin bahwa
terlahir menjadi dukun di sebuah panti asuhan, bukan PNS. Namun, aku takut
kalau ternyata aku hanya seorang dukun cabul, yang terjebak dalam tawa
anak-anak panti –karena itulah aku harus bekerja –menjadi PNS.
***
Barangkali itulah yang menyebabkan aku terlihat sangat
aneh di hadapan tetanggaku, bahkan di mata orangtua dan saudara-saudaraku. Aku
bukan sosok yang suka menyendiri, lalu melamun sepanjang hari. Aku adalah
penyendiri tetapi bergerak aktif. Aku seperti olahragawan. Aku berlari sendiri.
Aku berjalan sendiri. Aku duduk sendiri. Aku memutar kartu-kartu itu sendiri
dengan kreatif.
Aku tidak percaya bahwa aku tidak lulus tes CPNS. Ini
sungguh berbeda dengan ramalan kartu-kartu yang kuputar sendiri. Bajuku
basah oleh air asin. Tidak ada kemenyan atau dupa. Tujuh batang dupa sudah
padam. Sudah ada amarah yang membakar suasana. Sudah ada yang hangus dan
mengeluarkan asap sebagai penghubung antara alam manusia dengan alam dewa. Aku
memutar lagi kartu-kartu itu.
“Tidak
ada yang bisa disuap lagi! Semua mata sedang mencari mangsa, kegelapan sudah
lenyap bersamaan dengan itu kecerahan juga lenyap. Semua samar semuram nasibmu,
berhenti menjadi dukun! Kau itu guru yang harus menerangi anak-anak dalam
kemuraman, kemiskinan, dan kebimbangan dengan pengalaman pasti yang dapat
menyakinkan mereka atas ilmu-ilmu yung kau miliki!” kartu-kartu itu berkata
lalu hangus terbakar sendiri.
Bali,
Desember 2008
11. Meme Poli
Merta duduk di atas pohon jambu biji. Ia
menggerak-gerakkan kakinya. Sambil memetik daun-daun jambu biji, dia juga
komat-kamit menggetarkan bibirnya yang agak moncong. Sepertinya dia sedang
membaca mantra. Ia persembahkan gerakan matanya yang indah. Mata bulat menusuk
tajam setiap gerak jambu biji. Ketajaman mata itu mampu membuat semua makhluk
terhipnotis. Yang ditatap Merta menjadi tunduk, takluk. Ketajaman mata itu
mampu meremukkan setiap pandangan dari penjuru musuh. Hidung yang ditarik saat
menghirup udara pagi menandakan bahwa ia sedang menatap tajam musuhnya. Apakah
akan ada perang? Siapakah musuh Merta saat menatap tajam?
Dengan meletakkan bola mata agak ke atas, Merta telah
menjadi raja di atas pohon jambu biji. Pohon itulah istananya. Daun jambu biji
jatuh satu persatu, seakan-akan mereka tahu masalah yang dihadapi Merta.
Ranting-ranting ikut terbius oleh beban berat yang dialaminya sejak remaja
dalam mengemban pesan Meme Poli. Meme Polikah ibu suri yang telah menasehatinya
sebagai raja?
Menghitung daun-daun jatuh hanya dilakukan oleh Lubdaka
dalam malam perenungan Siwaratri. Sangat tidak wajar kalau Merta melakukan hal
yang sama seperti Lubdaka. Setiap perayaan Siwaratri sudah dijelaskan bahwa
dosa tidak bisa dihapus hanya dengan memetik daun-daun. Dosa tidak akan pernah
terhapus hanya karena membaca mantra gayatri selama seratus delapan kali. Merta
tidak mungkin lupa dengan pesan para guru yang menghalangi setiap niat untuk
menyakiti makhluk sesama. Merta tidak penah membunuh binatang atau tumbuhan,
lalu dosa apa yang dibuatnya hingga harus seharian berada di atas jambu biji.
Bertengger di atas jambu biji bukanlah perkara mudah.
Ranting-ranting kelihatan sangat licin. Batangnya pun kecil-kecil. Banyak orang
desa ngeri melihat Merta naik pohon itu, tetapi tidak satupun orang
melarangnya. Banyak orang di desa Tegal mengetahui kesukaan Made Merta dalam
memelihara tanaman. Di lahan rumahnya sangat banyak terdapat tanaman yng tidak
dimiliki tetangganya. Tidak mungkin ia naik pohon itu hanya untuk memetik
daun-daunnya. Tidak mungkin Merta berbuat kasar pada tanaman itu! Dibiarkanlah
Merta naik sampai ke ranting yang paling kecil. Orang-orang tidak peduli
kepadanya, bukan karena gila tetapi karena mereka percaya Merta tidak akan
melakukan hal-hal bodoh, mesti sering putus asa atau memecahkan barang-barang
di rumahnya.
***
Pagi mengguncang setiap mimpi. Meme Poli menggeser pintu
dengan pelan. Ia tidak ingin anak-anaknya berhenti bermimpi, lalu mengganggunya
berjualan belayag ke pasar di ujung
gang. Sambil menjinjing keranjang yang terisi penuh, Meme Poli keluar menyibak
cahaya yang masih kabur. Embun baru saja sampai ke lantai kayu, tetapi Meme
Poli sudah menginjaknya. Apa boleh buat? Sebagai seorang janda, Meme Poli harus
menghidupi kedelapan anak laki-lakinya. Anak pertamanya, Kenak meskipun sudah
bekerja di Denpasar, belum bisa membantu pangan mereka. Kenak hanya bekerja
serabutan di Denpasar. Lagi, Meme Poli tidak mau membebani anak sulungnya
karena ia ingin anaknya mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan. Usia Kenak
sudah empat puluh tahun, tetapi belum menikah.
Sehabis menutup daun pintu yang telah lepas itu, Meme
Poli mengangkat keranjang ke atas kepalanya. Ia tiba-tiba ingat pesan Merta,
anak keduanya.
“Me, nanti bangunkan saya kalau Meme mau berangkat ke
pasar!” kata Merta menjelang tidur.
“Mau ke mana Made?” Meme Poli bertanya kepada Merta
karena tidak biasa Merta bangun pagi. Anak keduanya bekerja di hotel dengan
sistem sift. Merta selalu mendapat
giliran siang sampai malam. Meme Poli hafal jadwal anaknya. Siang hari
setibanya di rumah, Merta belum berangkat. Merta biasanya menunggu Meme Poli
selesai menanak nasi.
Sebelum berangkat ke hotel, Merta akan makan dengan uyah lengis tandusan. Sehabis mencuci
tangan, Merta menyeduh kopi sendiri. Meme Poli tidak pernah melarang anaknya
minum kopi karena hanya kopi dan gula yang bisa dibeli dengan gaji anaknya.
Merta tidak mampu membeli air mineral yang diionkan. Dia juga tidak mampu
meminum susu fermentasi yang sering diiklankan di televisi. Meme Poli sangat
paham dengan anaknya.
Bekerja sebagai cleaning
service di hotel kecil tidak bisa diandalkan. Hotel kecil di kota kecil
tidak banyak yang mengunjungi. Kadang-kadang Merta tidak digaji sampai tiga
bulan. Meme Poli maklum karena sudah pernah berkunjung ke tempat anaknya
bekerja. Dia mengetahui keadaaan hotel dengan sangat baik. Dia juga mengenal
baik pemilik hotel. Meme Poli hanya bisa berharap menjelang perayaan tujuh
belasan. Merta sering diminta lembur untuk sekadar menjual rokok di hotel.
Di depan hotel ada tugu bersejarah. Tugu itu hanya akan
ramai kalau anak-anak sekolah diperintahkan berkunjung ke tugu itu. Banyak
siswa dari luar kota yang berkunjung saat perayaan kemerdekaan RI. Seminggu
sebelum perayaan kemerdekaan, Meme Poli menjual belayag juga setiap sore. Meme Poli tidak mau bersaing dengan hotel
dengan menjual rokok, meskipun dia mengetahui siswa yang berkunjung lebih
banyak yang membeli rokok daripada membeli belayag. Kalau ada yang mau membeli rokok, Meme Poli
menunjukkan hotel yang kebetulan hanya ada satu di lokasi itu. Tidak ada
pedagang asongan seperti di kota-kota besar. Selain itu, suana mencekam
menyelimuti tugu itu. Siswa-siswa SMA atau SMK hanya sekadar duduk atau sekadar
mendapat karcis masuk sebagai bukti kunjungan. Meme Poli telah hafal semua
bagian tugu sehingga ia bisa menggambarkan suasana tugu kepada para siswa.
Pada perayaan kemerdekaan, Merta sering tidak pulang
sampai seminggu karena sibuk melayani anak sekolahan yang berkunjung. Di hotel
itu, hanya ada satu karyawan. Pagi hari, hotel itu dijaga oleh majikannya yang
fasih lima bahasa, makanya pemilik hotel tidak mencari karyawan. Merta tidak
bisa berbahasa asing makanya hanya ditempatkan di bagian belakang. Pembersihan
di hotel dilakukan pada siang hari. Memang sepi! Setiap bulan hanya ada satu
atau dua orang yang menginap di hotel itu. Padahal, ada lima belas kamar di
hotel itu. Tamu yang menginap di hotel itu lebih banyak dari Belanda. Mereka
menginap paling lama dua hari. Pada hari kedua, tamu yang berkunjung akan
dihibur oleh kelihaian Meme Poli dalam memainkan lesung. Meme Poli diminta
berpura-pura menumbuk padi, tetapi sebetulnya yang penting bukan peristiwa
menumbuk, melainkan suara yang keluar dari lesung kayu. Para tamu akan
mengambil gambar Meme Poli dengan latar belakang tugu pahlawan.
Meskipun hotel itu sepi, pemilik hotel tetap
mempertahankan hotel itu karena memang ada wasiat dari ayahnya yang
menginginkan keutuhan hotel. Merta pernah bercerita kepada Meme Poli tentang
sejarah hotel itu. Katanya hotel itu pernah menjadi tempat tidur para tentara
Belanda yang dilatih untuk mengintrogasi orang pribumi dengan cara halus. Para
tentara ingin mengetahui peta kekuatan Buleleng dalam mempertahankan ibu kota
kerajaan. Orang-orang pribumi yang mau membocorkan rahasia raja Beleleng akan diberi uang.
Merta suka jika ibunya datang ke hotel. Hotel menjadi
ramai dengan kedatangan Meme Poli karena sedikit latah. Kalau tidak ada
pengunjung, Meme Poli boleh menginap di hotel, tetapi Meme Poli tidak pernah
menginap karena pagi buta harus berjualan belayag.
Berulang-ulang pemerintah daerah ingin membuka kawasan
itu menjadi kawasan wisata yang maju, tetapi para pemilik tanah tidak pernah
mau menjualnya kepada orang lain. Mereka lebih suka menjadi petani. Mereka
tidak pernah takut dengan intimidasi karena pemerintah provinsi telah
mengeluarkan larangan untuk membuka lahan itu sebagai kawasan wisata bisnis.
Pemilik hotel pun setuju dengan pendapat pemilik tanah.
Merta pernah diminta menjadi perantara oleh seorang tamu
hotel. Rencananya Merta akan diberi imbalan atau uang rokok sebesar 50 juta
rupiah kalau berhasil merayu pemilik sawah. Merta sangat senang. Merta akan
menjadi orang kaya jika berhasil membantu tamu hotel. Sayang, pemilik sawah
mengusir Merta.
Peristiwa pengusiran itu diceriakan kepada Meme Poli,
namun Meme Poli hanya tertawa. Meme Poli tidak bermaksud mengejek anaknya,
hanya peristiwa itu tampak lucu ketika diceritakan oleh anaknya. Tampaknya
Merta tersinggung dan mendobrak pintu yang sudah rusak. Lantas ia pergi. Meme
Poli lari menyusul anaknya.
“Mau ke mana, Made?”
Merta tidak menoleh sekalipun. Langkahnya semakin cepat.
Kakinya yang membentuk huruf o tampak tidak berdaya mengikuti kehendak hatinya.
Meme Poli ingat bahwa anaknya belum makan. Sambal bawang yang disediakan untuk
Merta masih di langgatan. Meme Poli
kelelahan mengejarnya.
Di depan rumahnya, ia bersimpuh. Kepada Jro Gede penunggu
karang ia memohon supaya anaknya kembali. Made Merta belakangan ini sering
emosi. Sesekali mendobrak rumah kayu dan mengejutkan adik-adiknya. Dengan
harapan ada perubahan pada Merta, Meme Poli berkaul akan maturan canang ketipat
supaya Merta lebih sabar.
Selama ini, Meme Poli membesarkan anak-anaknya dengan
berkaul dan menjual belayag. Pernah Made Merta memarahi ibunya karena sering
berkaul. Made Merta sebetulnya bersembunyi di balik pohon jambu yang besar.
Segera Meme Poli dimarahi karena tidak mengejarnya, dan malah bersimpuh di Jro
Gede Petengen.
“Meme, berhentilah memohon kepada Jro Gede!”
“Tidak. Selama ini Meme bisa membesarkan kalian karena
Meme sering memohon kepada para dewa!” Kata Meme Poli. “Made, bagus. Kamu sudah
dewasa. Ibu tidak mungkin mengejar Made terus!” Tambahnya sambil menarik sabuk yang berserakan di tanah.
***
Sudah aku sampaikan. Meme Poli tetap saja membuat kaul-kaul
yang tidak mungkin diingatnya kalau Meme Poli sudah semakin tua. Setelah Meme
Poli meninggal, Made Merta tidak bisa membayar kaul-kaulnya. Putranya yang
pertama hilang. Made Merta tidak bisa membayar kaul karena sudah tidak bekerja
lagi. Kakinya semakin mengecil. Ada yang bilang sebelum meninggal, Meme Poli
pernah berkaul akan menyerahkan Made Merta sepenuhnya kepada semesta untuk
menjadi pemangku kalau Made Merta diterima lagi di hotelnya. Sebelum Made Merta
memohon pekerjaan lagi, hotel itu telah diambil oleh pemerintah untuk dijadikan
tempat bersejarah. Tempat itu tidak dibuka untuk bisnis. Tempat itu hanya untuk
menyimpan benda-benda bersejarah. Yang berkunjung ke tempat itu hanya membayar
seribu rupiah sekali masuk. Itu hanya untuk biaya perawatan. Kalau Made Merta
masuk, dia juga tetap harus membayar uang masuk.
Mana mungkin Made Merta bisa masuk? Made tidak diterima
bekerja di mana-mana karena ia hanya punya pengalaman di hotel itu. Tubuhnya,
kecil, semakin kecil. Kini mengayun-melayang seperti layang-layang. Aku hanya
bisa menatap Made Merta dari bawah pohon, sebagai tontonan sehabis mengajar
sejarah di SMK ternama.
Sukasada,
akhir tahun 2009 yang tidak terlupakan,
awal tahun 2010 yang harus dilupakan.
Oleh Luh Arik Sariadi
12. Air Mata Ini Dibiarkan Mengalir
Oleh Luh Arik Sariadi
Sudah lima tahun Ketut Rai bekerja menjadi tukang sapu.
Setiap hari ia membersihkan pasar, mengangkat sampah-sampah dan membuangnya ke
tempat pembuangan sampah yang ada di luar pasar. Tempat pembuangan itu ada diseberang jalan, tetapi dengan tangkas ia
menghindari kendaraan bermotor yang melintasi jalan tanpa henti. Ketut Rai
tidak pernah merasa susah. Selalu ada senyum dan tawa di pasar ketika pagi-pagi
buta Ketut Rai datang ke pasar.
Banyak orang berpikir, apa yang disusahkan Ketut Rai,
pekerjaannya tidak begitu susah. Pekerjaan menyapu tidak perlu mengolah otak.
Pekerjaannya amat mudah dan gajinya lima ratus ribu perbulan. Gaji itu sama
dengan gaji pegawai kontrak di dinas-dinas atau guru honor. Jelas saja Ketut
Rai masih dianggap lebih beruntung daripada para lulusan perguruan tinggi yang
harus mengeluarkan berjuta-juta rupiah untuk mendapatkan pekerjaan sebagai
pegawai yang berseragam. Pegawai kontrak dan petugas kebersihan di pasar digaji
sama, makanya para pegawai yang berbelanja ke pasar seperti mendapat bonus
hiburan setelah mendengar tawa Ketut Rai.
Itu menurut pikiran mereka, tentu tidak segampang itu
hidup Ketut Rai. Tiga tahun lalu ia kawin dengan Made Mara, lelaki pendiam yang
tidak jelas pekerjaannya. Ketut Rai sudah punya dua orang anak dan mereka
tinggal di pondok yang disewa seharga seratus lima puluh ribu rupiah sebulan.
Sisa gajinya cukup untuk membeli makanan.
Akan tetapi, dalam beberapa hari ini suaminya marah-marah
saja. Tampaknya ada masalah. Anaknya yang berumur satu setengah tahun sakit di
rumah. Sakitnya bercak darah. Kata seorang tetangganya, sebaiknya anak itu
diberi pepermin. Harganya tidak seberapa hanya lima belas ribu rupiah. Segera
Ketut Rai membelikannya dan hanya diberikan tiga kali sehari.
***
Hari sudah tanggal 28, tiga hari lagi baru gajian.
Uangnya tinggal delapan ratus rupiah saja. Padahal, ia sangat memerlukan uang.
Ia mencoba meminjam uang ke tentangganya tetapi mereka sama juga hidup dengan
keterbatasan. Kemanakah ia akan pergi lagi meminta tolong? Di pasar memang ada
banyak pedagang yang ia kenal dan pastilah mau meminjamkan uang untuknya,
tetapi ada larangan bahwa pegawai tidak boleh meminjam uang dari pedagang di
sana. Barang siapa yang melanggar aturan itu, akan membuat orang itu dipecat.
Pekerjaan sebagai kuli, temannya sendiri juga sangat gampang dipecat karena
meminjam uang untuk membeli es Doger yang baru saja termasyur di kota ini. Kini
keluarga kuli pengangkat buah itu berantakan karena anak-anaknya pergi mencari
nafkah sendiri dan tidak kembali. Kalau ia dipecat, akan ada yang langsung
mengisi posisinya sebagai tukang pasar, karena banyak orang tidak punya
pekerjaan. Ada lulusan D3 akuntansi juga sebagai tukang sapu di sana karena
tidak ada lowongan pekerjaan yang lebih baik lagi. Itupun diketahuinya dari
keakraban mereka.
Susah payah dipertahankan pekerjaan menjadi tukang sapu. Anaknya yang sakit juga ditinggalkan bekerja supaya pasar tetap bersih.
Dirasakan pedih sakit anaknya oleh Ketut Rai. Ketut merasa dirinya bukan ibu
yang baik. Ia gelisah di pasar. Ia tahu suaminya tidak suka mengurus anak,
apalagi kalau sakit. Pekerjaan mengurus orang sakit memang susah. Namun, ia
sudah menjelaskan kepada suaminya supaya bertahan di rumah sampai ia pulang
dari bekerja. Dijelaskan bahwa pekerjaannya akan hilang kalau sehari saja ia
tidak bekerja.
Kalau diingat-ingat anak-anaknya merintih kelaparan,
semakin cepat ia menyapu supaya pekerjaannya cepat selesai dan bisa pulang
dengan membawa uang. Tetapi, dia tidak tahu, di mana uang itu akan didapatnya.
Ia berencana meminjam uang kepada menteri pasar. Dan untuk menambah
penghasilannya, ia akan segera pergi ke pura kahyangan jagat untuk nunas
kercen. Biasanya pura selalu ramai dikunjungi orang, terutama siswa-siswa yang
bersekolah di sekitar pura itu. Suatu hari ia memang pernah melihat siswa
menghaturkan kercen 500 rupiah dan sampai waktu yang lama, pemangkunya tidak
datang-datang. Mungkin ia bisa mengambil kercen itu untuk membantu penyembuhan
anaknya. Ketika pasar sudah bersih pada jam 3 sore, Ketut langsung menemui
menteri pasar. Diceritakannya sakit yang diderita anaknya, sehingga ia minta
tolong diberi pinjaman uang.
Menteri Abraham termenung mendengar cerita kuli yang
meminta tolong kepadanya. Ia tahu, ia dapat merasakan betapa sedih orang yang
berpakaian hitam di depannya itu. Dia pun mempunyai anak tiga orang.
Penghidupannya pun serba kurang sekarang, tetapi dulu ia pernah senang. Karena
pernah merasakan susah itulah, ia tahu sedihnya. Sebagai anak muda, Ketut Rai
berani menikah dengan orang yang tidak karu-karuan. Mungkin saja karena teramat
lugu, ia ditipu. Mungkin juga cinta buta. Namun, tidak mungkin ia membahas hal
itu. Apalagi Ketut Rai baru kali pertama meminjam uang.
Selain ada rasa iba, Abraham juga mengamati bentuk tubuh
Ketut Rai yang sangat kecil, tetapi masih ada sisa-sisa kecantikan di wajahnya.
Diam-diam, Abraham menyimpan perasaannya dalam-dalam.
Ia ingat pekerjaannya dulu di Balikpapan. Sangat senang hidupnya ketika itu.
Sedikit pun ia tidak pernah merasakan susah. Kekayaannya melimpah. Banyak
kekayaan orangtuanya. Apapun yang dimintanya, Abraham selalu mendapatkannya. Di
Jakarta ia punya mall, tetapi diurus oleh karyawannya. Gajinya sekarang tentu
tidak seberapa dan kalau dihitung tentu tidak cukup untuk membantu Ketut Rai.
Tidak ada orang yang tahu bahwa Abraham sebenarnya orang yang kaya. Abraham
meninggalkan pekerjaannya di sana karena muak dengan kehidupan kota yang penuh
pembodohan dan dusta. Bali dipilihnya sebagai tempat terakhir karena ia merasa
harus membantu orang-orang kurang mampu, tentu sambil menikmati keramahan orang
Bali. Dan menurutnya, di pasarlah tempat yang paling baik untuk melakukan
keinginannya.
Terlepas dari keinginannya itu, Ketut Rai adalah godaan.
Sejak setahun ia bekerja sebagai menteri pasar, diamati terus Ketut Rai. Ketika
Ketut Rai meminta tolong, saat itulah saat yang tepat untuk melakukan
keinginannya dan menunjukkan rasa sayangnya. Abraham tidak mau membantu orang
kalau tidak minta tolong. Dia akan membantu orang lain kalau orang itu meminta
tolong. Itulah yang dipercayainya sebagai kunci utama orang susah.
” Tentu.” jawab Abraham dengan tenang setelah melamun.
”Maksud Bapak?”
” Ya. Kamu akan mendapat bantuan uang. Berapa yang kamu
butuhkan?”
”Saya perlu uang cukup banyak, tetapi tidak mungkin saya
meminjam uang melampaui kemampuan saya membayarnya. Separuh gaji saya saja,
Pak.” jawab Ketut Rai dengan santun.
Supaya tidak jelas terlihat rasa sayang Abraham kepada
Ketut Rai, diberikanlah uang yang diinginkannya. Tidak kurang tidak lebih,
diambilkannya dari kas dan dicatat di buku pengeluaran kas. Ketut Rai diminta
menandatangai buku itu.
Ketut Rai sangat bahagia dan begegas pulang setelah
mengucapkan terima kasih. Dengan perasaan girang, ia mempercepat langkahnya.
Timbul harapannya kembali. Apalah gunanya ia menceritakan kepedihannya kepada
orang lain, karena kepedihan itu telah bergeser. Tidak ada gunanya, tidak
sedikitpun ia boleh menceritakannya karena mungkin saja teman-temannya akan
merasa iri karena dengan mudah dijalani hidup.
Kuli-kuli yang lain juga punya susah, tetapi tidak berani
bercerita kepada menteri pasar karena pak manteri terlihat hidup biasa-biasa
saja. Sangat beruntung Ketut Rai. Dengan keberaniannya dan mempertaruhkan
kehidupannya, ia memberanikan diri menghadap kepada seorang lelaki yang
ditakuti orang karena ialah yang menentukan berhenti atau tidak seseorang
bekerja di pasar. Sungguh dilema, ia bahagia tetapi teman-temannya juga
mengalami hal yang sama. Hidup dalam kemiskinan, tetapi canda membuat kepedihan
itu tidak tampak jelas.
Ketika ingin menyebrang jalan, tiba-tiba bergerak hatinya
untuk kembali menemui pak menteri. Ia ingin teman-temannya bernasib sama juga
seperti dirinya. Tanpa ragu lagi, ia menemui kembali pak menteri.
”Ada apa lagi, Tut?” tanya Abraham.
“Maaf, saya lancang Pak.”
“Kenapa?”
“Saya tahu Bapak orang baik. tidak seperti kelihatannya.”
“Lalu?”
“Saya mohon pekerjakan kembali dua orang kuli yang
kemarin Bapak pecat.” Ketut Rai tidak sadar berbicara dengan orang macam apa,
tetapi raut mukanya sangat memelas dan menyentuh hati Abraham.
Abraham tidak langsung mengiyakan. “Memangnya ada
hubungan apa kamu dengan dua lelaki itu?” tanya Abraham pelan.
“Tidak ada apa, Pak. Saya hanya kasihan terhadap nasib
anak-anak mereka. Pak Gede Lugra dan Sudarsana itu anaknya sedang sakit. Pak
Gede anaknya sakit kencing manis. Pak Sudarsana anaknya harus dioperasi karena
usus buntu. Karena itulah mereka tidak bekerja selama beberapa hari. Tetapi
bukankah pasar tetap bersih? ”
“Waw, dari mana kamu tahu itu?”
“Saya sudah menjenguknya, Pak.”
“Mengapa sampai menjenguk mereka, apa dia tidak punya
keluarga?”
“Maaf Pak. Kami terbiasa begitu. Asalkan tahu kalau teman kami sakit, kami akan menjenguknya. Apalagi kami
satu tempat bekerja.”
”Oh, jadi begitu... Lalu, apakah aku harus menjenguknya
juga?”
”Pak Gede pasti senang dijenguk.”
“Walau aku telah memecatnya?”
“Ya, Pak.”
Pak Abraham tidak percaya bahwa Ketut Rai selain cantik,
ramah, ia juga baik. Dia tidak memementingkan dirinya sendiri.
“Bawalah surat ini ke rumah Pak Gede dan Pak Dar.”
“Apa ini Pak?” tanya Ketut Rai.
”Bawa saja ke sana. Mungkin perlu ongkos?”
”Oh tidak, Pak. Tetapi tolong pertimbangkan lagi, Pak
masalah mereka.”
Pak Abraham mengangguk. Ketut Rai bergegas pergi.
Sebetulnya satu hal yang teramat penting adalah keberanian Ketut Rai. Abraham
sudah membuang jauh-jauh perasaan cinta dan sayangnya karena dirinya sadar
bahwa mereka sudah sama-sama punya pasangan dan anak.
Ketut Rai menyampaikan surat itu kepada Pak Gede dan Pak
Sudarsana. Mereka gembira dan menyampaikan terima kasih karena telah diminta
kembali bekerja di pasar sebagai kuli. Tersiarlah kabar bahwa Ketut Rai menjadi
pahlawan perempuan yang menyelamatkan hidup dua laki-laki itu. Berita di pasar
memang cepat tersebar. Namun, belakangan ada yang ragu kalau Ketut Rai
benar-benar pahlawan. Ada yang mengira Ketut Rai berselingkuh dengan pak
Abraham. Berita itulah yang santer beredar.
***
”Jangan bohongi aku!” teriak Made Mara sambil memukul
kepala Ketut Rai. Anaknya yang sakit juga melihat kejadian itu, tetapi tidak
mampu berbuat apa.
Ketut Rai merasa dirinya tidak berharga lagi tetapi tidak
dilawannya. Air yang disiramkan di atas kepalanya bercampur dengan air matanya.
Air mata yang bertubrukan dengan sinar matahari di pipinya segera mengering.
Dia tidak pernah bercinta atau berselingkuh dengan Pak Abraham, tetapi orang
mengatakan yang aneh-aneh. Kembali lagi melimpah air mata, tetapi rumah yang
lebih banyak lubangnya itu membuat matahari datang dan mengeringkan air
matanya. Di dalam hati Ketut Rai berkata, ”Kapankah air mata ini dibiarkan
mengalir, seperti air menghapus debu saat musim kemarau?”
13. Bicaralah
Saat Kesunyian Menghadirkan Kesedihan
karya Luh Arik Sariadi
Mari kita tandai kesunyian dengan menghadirkan kesedihan.
Mari kita rayakan kesenyapan dengan melahirkan kegembiraan.
Menggema lagu itu dalam bayangan yang samar-samar terlihat pada
sebuah cermin. Itu semua berkat cahaya yang hadir pada sudut kamar bagian
bawah. Itu cahaya yang selalu dinanti oleh bayangan, meskipun hanya dari kaki,
apa namanya? Footlight ya? Aku menatap cermin karena cahaya. Aku menatap
kegelapan karena cahaya menjadi samar ketika aku semakin kuat menatap cermin.
Entahlah… tampak bayangan yang lemah dari tubuh kurus seorang
perempuan. Perempuan itu berambut sepinggang, bisu dan bergerak,
bergoyang-goyang di cermin. Menatap asap rokok melalui cermin, matanya menjadi
semakin sipit dan keriput, tidak seperti usianya yang hanya tiga puluh empat
tahun. Sesekali ia membuatku heran karena bibirnya dibuat miring ketika asap rokok mengejar
bayangan lain di cermin. Sembari mengedip-ngedipkan mata, ia tersenyum.
Rokoknya telah habis dibakar meski agak lembab. Mulutnya basah, tetapi tidak
sanggup menghentikan kepulan asap dan nyala api. Merah bibirnya tidak
menunjukkan bahwa perempuan itu perokok.
Aku pikir, dia tidak sedang bersedih. Tidak juga sedang ada
masalah. Tidak ada setetes air mata pun jatuh di lantai yang dingin. Wajahnya
yang putih juga tidak memerahm mulus tanpa jerawat. Aku rasa dia tidak sedang
bersedih. Dia mungkin sedang bahagia karena kulihat tersenyum-senyum. Aku dapat
merasakan senyum kebahagiaannya dari lesung pipi yang tidak pernah berhenti
mengunyah tawa. Sangat indah! Andaikan cermin bisa mengukur ruang dan
menjelaskan keadaan perempuan itu, tentu akan dijelaskan bahwa ruang yang
dingin telah menjadi hangat meskipun ruang menjadi sangat luas terbias warna
dan pengap. Mungkin kehangatan itu bisa membuat perempuan itu mengumpulkan
kesedihan sehingga tampak memiliki kepekaan rasa yang lebih tajam mendekapi
ruang yang kosong. Perempuan itu tampak tidak sedikit pun bersedih, bahkan, aku
menyimpulkan dia wanita yang tidak berperasaan karena merahasiakan kesedihan.
Aku telah lelah duduk di depan cermin, turut menatap bayangan
perempuan itu. Namun, perempuan itu tidak mau mengenali aku. Tatapannya
telanjur satu. Dua bola matanya yang coklat hanya untuk sebuah bayangan di
cermin. Dia tidak peduli aku berada di depan cermin. Dia angkuh barangkali.
Sungguh tidak bersahabat. Bahagia sendiri. Aku lantas hanya dapat merasakan
kehadirannya hanya menutup bayanganku.
Padahal, aku sangat ingin melihat juga bayanganku saat menggunakan
seragam biru. Aku kemarin mendapat baju seragam berwarna biru. Baju seragam itu
tidak boleh dipakai selain hari yang telah ditentukan. Ketua partaiku melarang
kami mengenakannya karena baju itu baju partai, baju suara rakyat. Jadi,
pakaian yang diberikan hanya bisa dipakai saat pertemuan-pertemuan resmi yang
berkaitan dengan kepentingan organisasi, seperti rakernas, munas, atau
kampanye. Aku berusha menaati perintah pimpinan sebab ini sebuah pilihan.
Ada banyak baju yang bisa dipilih. Ada baju merah, merahnya satu
warna tetapi gambarnya ada juga macamnya. Ada baju kuning, kuningnya
bervariasi, motif garis atau gambar, itu bisa dipilih. Ada baju hijau, sangat
sejuk dipandang, baju ini pula banyak pilihannya. Warna orange, warna, hitam,
warna putih, dan warna biru begitu memikatku. Barangkali karena aku suka lautan
atau menatap gunung. Laut dan gunung begitu indah saat kulihat dari jauh.
Baju biru, ditutupi bayangan perempuan itu yang menyulut rokok
dengan bahagia. Mungkin perlu kupecahkan cermin di hadapanku, tetapi itu sangat
picik! Bukan sifatku jika aku tidak memiliki sesuatu, maka orang lain juga
tidak memilikinya. Aku selalu bahagia berbagi, bahkan justru aku senang jika
orang lain menggantikan peranku, terutama peran jahatku. Hah, tapi ini baju
baruku, dan aku baru belajar ikut partai. Aku ingin melihat bayanganku dengan
baju biru. Aku sudah berhias, memakai bedak, memakai jepitan rambut, dan
membuat gaya tampil yang berbeda dengan orang lain agar tidak ada yang bisa
menyamaiku.
Sebagai seorang kader
partai, aku harus punya ciri khas, tidak boleh sama dengan kader-kader lain,
bahkan dengan kader partai lain, sama sekali tidak boleh. Aku harus
berkarakter, punya akhlak mulia, sopan santun, tau tata krama, dan hidup
sederhana. Aku tidak boleh sama dengan bayangan itu!
“Haha….Cermin ini milikku, sejak kau tinggalkan cermin karena
sibuk rapat, cermin ini milikku!” kata bayangan itu mendorong tubuhku menjauh
dari cermin.
Aku paham perempuan dalam cerminku merampas posisi strategis
berada ditengah-tengah cermin. Aku tidak pernah bisa menjaga bajuku. Sudah
empat almari berukuran dua meter kali delapan puluh centimeter di dalam
kamarku. Isi almari beraneka warna. Aku tidak memiliki pakaian yang diatur
dengan warna, tidak juga berdasarkan bentuknya. Aku selalu memasukkan atau
mengeluarkan baju yang aku suka.
Biasanya memakai baju sesuai dengan suasana hati. Kalau hati
sedang senang, aku selalu memakai baju merah. Dalam seminggu aku bisa
menghabiskan lima hari untuk berpakaian merah. Merah adalah warna kesukaanku.
Aku menjadi bersemangat saat menggunakan baju merah. Gejolak mudaku bergelora
saat baju merah membalut tubuhku. Kini, aku menjadi kader partai berwarna biru.
Semua pakaian merah tidak bisa kupakai lagi. Itu terlarang!
***
Malam semakin gelap. Aku membuka almari dan dan ingin ganti baju.
Rok mini baru saja kupakai. Menatap ke tumpukan baju, aku bingung harus pakai
yang mana. Baju-baju yang kumiliki semuanya kusukai. Ada satu baju yang paling
indah, kaos setelan berwarna hitam. Baju itu sangat indah karena dibelikan oleh
pacar untuk membuktikan kesetiaan cintanya.
“Gdubbbbbraaaaaaak!” Tiba-tiba baju di dalam almariku berhamburan
keluar. Dari almari keluar laki-laki yang koplo. Wajahnya pucat, mabuk. Di
bawah matanya, warna hitam tampak jelas seperti habis dipukul. Mata lelaki itu
memerah. Bau parfum sangat menyengat, parfum itu pasti produk mahal. Pasti!
Tapi lelaki yang muncul dari almariku tidak kelihatan seperti seorang
bangsawan, pengusaha, atau milioner. Keadaannya benar-benar buruk.
Aku sangat ketakutan melihat sosok lelaki kurus yang tidak kukenal
muncul dari dalam kamarku. Dari mana dia datang? Aku tidak tahu. Tadi setelah
makan malam, aku langsung ke kamar mandi, keramas, dan mengganti baju. Siapa
yang memasukkan seorang lelaki “poyok” ke dalam almariku. Aku gemetar. Lelaki
itu berbicara komat-kamit seolah-olah sedang membaca mantra untuk kesembuhan
dirinya. Dia bukan orang luar negeri, tetapi bahasanya ngawur. Tidak jelas. Aku
panik dan resah. Kumasukkan kembali lelaki itu ke dalam almari, itu pikirku
yang paling darurat.
““Gdubbbbbraaaaaaakkkk!” Muncul seorang lelaki tambun ketika aku
hendak mengembalikan lelaki poyok itu. Lelaki gemuk yang setinggi tubuhku,
kumisnya tebal. Hidungnya bulat. Sorot matanya begitu tajam. Jari tangannya
besar dan kasar. Lelaki itu keluar dengan cepat memukul lelaki kurus yang
kupapah. Lelaki kurus menjadi tersungkur. Aku semakin hilang pikir. Mengapa ada
makhluk kasar keluar dari almariku? Apakah ada lorong yang menghubungkan
kamarku dengan daerah-daerah lain melalui almariku?
Aku tidak bisa berpikir. Lelaki tambun menarik rambutku. Aku tidak
bisa mengelak. Kepalaku terasa sakit. Aku mencoba melepaskan tanganya, tetapi
lelaki itu begitu kuat. Aku di dorong menuju ke almari. Tubuhku lemah, ringsek
pada bagian almari yang terbuka. Pinggangku terasa sakit ditindih lelaki tambun
itu. Aku mencoba mendorong lelaki itu, tetapi tidak berhasil. Aku hanya mampu
menahannya. Air mataku keluar dengan cepat.
Di hadapanku seorang lelaki begitu sangat dekat menindih tubuhku.
Aku mencoba memainkan kedua lutut untuk menendang pantat laki-laki itu, tetapi
pegangan tangannya di almari begitu kuat. Aku tidak berdaya, pasrah terhadap
apapun yang akan terjadi. Entah aku dicabuli diperkosa, dianiaya,
dicabik-cabik, dibuat cacat, atau dibunuh, aku pasrah. Pikiranku memang kuat,
tetapi tubuhku lemah. Aku seorang perempuan, dia laki-laki.
Aku tidak bisa membebaskan diri dengan kecerdasan pikiranku. Aku
tidak bisa menunjukkan keterampilan persuasif yang bisa mempengaruhi lelaki ini
agar melepaskan tubuhku. Aku seperti orang yang sangat bodoh, tidak bisa
bernegosiasi. Sebagaimana cerita seorang perempuan yang memperdaya laki-laki
biadab dengan dongeng, bahkan aku tidak mendapat kesempatan untuk berbicara,
bagaimana mungkin berdongeng?
Anehnya, lelaki tambun ini tidak memperkosaku. Mungkin karena
tubuhku tidak sesuai dengan seleranya. Mungkin ia hanya ingin menyiksaku. Ah,
tidak, dia didak merusak wajahku, tidak memotong lidahku, tidak memotong
jari-jariku. Dia hanya menarik rambutku dan melengunciku di dalam almari.
Di dalam almari, aku sangat ketakutan, entah apa yang ingin
dilakukan lelaki tambun itu. Apakah dia lupa membawa pisau untuk mencincangku?
Ketika lelaki tambun itu beranjak menjauhi almari, ini adalah kesempatan bagiku
untuk melarikan diri. Aku berusaha mendobrak almari, tetapi kakiku tidak bisa
bergerak. Tangan-tangan yang kekar keluar dari baju-bajuku. Ada puluhan pasang
tangan yang memegang seluruh tubuhku. Aku ingin berteriak, tetapi mulutku
ditutup oleh tangan-tangan yang tidak bertubuh. Aku tidak bisa apa-apa. Aku
pasrah.
Dalam kepasrahan, tangan tangan itu jadi hilang. Sesaat aku bisa
bernafas, tetapi muncul lagi laki-laki yang memelukku. Menjijikkan! Kumis dan
janggutnya yang panjang, merajang tubuhku. Helai-demi helai kumisnya menancap
leherku. Rasanya sangat sakit. Jauh lebih sakit dari kumis yang baru dicukur.
Jenggot lelaki itu melilit pinggangku. Aku merinding, tetapi jenggot-jenggot
itu bergerak menelusuk setiap celah yang ada pada tubuhku. Jenggot-jenggot itu
menusuk kulitku hingga semua kulitku berdarah.
“Katakan, mengapa kau menyiksaku?”
“Aku hanya ingin memberi pelajaran kepadamu, wanita penggoda!”
Dengan kedua tangan, menarik wajahku, dan menunjukkan wajahnya yang
bergelambir. Seorang kakek yang tidak kukenal mengaku tergoda olehku.
“Siapa yang ku goda?”
“Aku!”
“Siapa kau?”
“Aku adalah rumah anak-anakku!”
“Siapa? Coba kau ulangi!”
“Aku adalah sungai tempat ikan-ikan mencari makan.”
“Ah? Siapa kau bilang?”
“Aku adalah tanah yang kau gali dengan truk-truk besar dan kau
pindahkan ke komplek perumahan mewah agar tidak banjir.” Lelaki itu sudah
ompong, tidak memiliki bibir yang kuat untuk mengucapkan kata-kata.
“Aku tidak paham dengan ucapanmu! Apa maksudmu?”
“Aku adalah pasar yang malas kau kunjungi karena tiap musim hujan
selalu becek.”
“Memang, aku tidak suka dengan kondisi pasar seperti itu? Lalu apa
maumu! Apakah kau salah seorang pedagang di pasar yang gulung tikar karena aku
lebih memilih supermarket daripada pasar?”
“Tidak! Aku adalah sekolah yang roboh setelah beberapa minggu
diresmikan.”
“Aku bingung dengan ocehanmu! Apakah kau seorang kakek yang sudah
pikun!” kataku berteriak di kuping lelaki tua aneh itu.
“Aku adalah panti asuhan yang membiarkan anak-anak diadopsi hanya
karena yang mengadopsi adalah orang kaya, padahal tidak ada yang bisa jamin
orang kaya tidak menelantarkan anaknya.”
“Ahhhh! Sudahlah, hentikan kegilaanmu kakek dungu!” Aku mencoba
melepaskan diri dari lilitan jenggotnya.
“Aku adalah uang sekoper yang ada di dalam lemari ini.”
“Apa maumu? Kau mau mengambil uang itu? Silakan kau ambil dan
lepaskan aku!”
“Aku tidak perlu uang ini! Aku adalah hutan yang menghasil kertas,
dan uang itu terbuat dari kertas bukan?”
“Sialan! Siapa kau hingga tidak ada mudah kukenali?”
“Aku adalah seorang kakek yang tidak ingin cucunya melakukan
hal-hal yang buruk.”
“Aku tidak punya kakek sepertimu! Kakekku tidak berjenggot! Dia
selalu bersih! Tapi, kalau memang kau kakekku, kenapa kau tusuk-tusuk seperti
ini! Dimana rasa kasihmu? Kau berbohong! Siapa kau?”
“Aku adalah kakek penjemput ajal.”
“Tidak! Itu tidak mungkin. Tidak mungkin aku mati semuda ini. Apa
alasan Tuhan mencabut nyawaku dalam usia tiga puluh empat tahun?
***
Aku telah lama menunggu.
Seorang perempuan belum selesai juga menggunakan cermin di kamarku. Betapa
kesal hatiku. Baju biru yang kugunakan sudah basah karena keringat. Sampai
kapan perempuan itu akan berdiri menutupi bayanganku? Aku benar-benar dibuat
kesal hingga tidak sengaja kutarik perempuan itu. Ia kudorong dan jatuh.
Ini saat yang tepat bagiku untuk bercermin lagi. Kulihat wajahku
di cermin. Bayanganku tidak ada bersamaan dengan bayangan perempuan yang
kudorong. Aku memindahkan tatapan ke arah pintu tempat perempuan itu terjatuh.
Tubuhnya lenyap. Ia sudah tidak ada di kamarku.
Suara di luar kamar samar-samar menjadi jelas. Kudengar suara
adikku berteriak.
“Paman, tolong rapikan karangan bunga itu. Setiap jam ada
organisasi yang datang dan membawa karangan bunga. Di depan karangan bunga
berjejer sangat banyak. Coba lihat, siapa lagi yang datang? Tanyakan dari
partai atau LSM? Pastikan semua yang datang dicatat dengan benar!”
Aku mau tahu siapa yang mati? Apakah perempuan yang kurus itu yang
mati? Dia mati karena kudorong lalu kepalanya terbentur dan…mati? Itu tidak
mungkin. Itu hanya beberapa detik yang lalu. Aku belum melihat ada orang yang
berteriak-teriak minta tolong untuk mengangkat mayat perempuan itu. Aku keluar
dari kamar. Kulihat mata ibu dan ayah sudah bengkak karena menangis. Kulihat
para tamu menghadap ke sebuah ranjang. Aku mendekati ranjang itu, dan kutemukan
tubuhku dibungkus kain putih. Aku telah mati.
Tuhan, aku masih bisa merasakan tubuhku tidak mungkin aku mati.
Pasti ini hanyalah mimpi? Aku tidak bisa terima tubuhku mati di usia tiga puluh
empat. Aku baru saja mendapatkan baju baru. Aku belum pernah memakai baju itu
untuk rapat. Aku tidak mau tubuhku telanjang hanya dibungkus kain putih.
Tuhan, tubuhku masih merasakan sakit. Pikiranku juga masih bekerja
dengan baik. Perasaanku juga masih peka. Aku bisa mendengar jeritan anak-anak
panti yang disiksa oleh pengelola panti. Aku masih melihat tanah-tanah diambil
untuk reklamasi. Aku belum berbicara tentang penggusuran pasar yang kumuh. Aku
belum mengumpulkan dana untuk sekolah-sekolah yang roboh. Aku baru saja
berganti partai dengan harapan bisa mewakili aspirasi rakyat. Belum sempat
kulakukan hal-hal yang baik, aku sudah mati. Mengapa Tuhan sudah mengambil
nyawaku?
Bicaralah saat kesunyian
menghadirkan kesedihan.
Suarakan kesenyapan dengan melahirkan kegembiraan.
Singaraja, Maret 2016
Ketika aku tidak bisa berbicara fakta, kutulis cerita ini.
14. Selalu Ingin Pergi Sendiri
Oleh Luh Arik Sariadi
Sudah
jam delapan pagi. Anak-anak Putu Rawi sudah berangkat menjadi kuli bangunan.
Burung-burung mulai berhenti berkicau, sebab aktivitas mencari makan harus
segera dilakukan. Burung-burung harus mendapatkan makanan untuk anak-anaknya
yang masih di sarang. Angin pagi bertiup lembut memberi semangat bagi para
burung untuk pindah dari pohon satu ke pohon yang lainnya.
Tidak
ingin kalah dengan para burung dan anak-anaknya yang menjadi kuli, Putu Rawi
segera keluar kamar dan melihat jalan yang masih ramai. Ia memastikan bahwa
anak-anaknya benar-benar sudah berangkat dan tidak balik lagi dengan alasan
lupa bawa air minum, baju ganti, atau benda-benda lain yang tidak sengaja
dilupakan. Dilihat juga cucu-cucunya sudah tidak terlihat lagi di ujung jalan.
Dua menantunya yang tinggal serumah dengan Putu Rawi sudah berangkat juga
mengais rezeki di luar rumah sejak setengah jam lalu. Dua cucunya sudah
bersekolah di sekolah dasar. Jam sepuluh kedua cucu kembarnya akan datang.
Hanya ada dua jam baginya memperoleh kesempatan untuk pergi meninggalkan rumah.
Tubuhnya
yang kecil dan kurus dengan cepat berjalan memegang pintu pagar yang masih
kokoh. Tidak seperti tubuhnya yang sudah berusia sembilan puluh enam tahun,
yang sudah bungkuk dan mungkin rapuh. Entahlah. Putu Rawi merasa yakin terhadap
tubuh, pikiran, dan perasaannya bahwa dirinya masih sehat dan belum membutuhkan
bantuan dari anak-menantunya untuk sesuap nasi.
Setelah
mengetahui tidak ada siapapun di rumah, Putu Rawi mengunci pintu kamar, pintu pagar,
dan membawa tas kain yang terbuat dari karung tepung. Di dalam tasnya, beberapa
botol minyak dengan bunga sandat yang telah kering siap dijual ke rumah-rumah
orang. Dengan semangat yang tinggi, Putu Rawi menapaki jalan yang diaspal
kasar. Berhenti di rumah penduduk dan menawarkan minyak rambut.
“Bibi
Rawi, tumben datang lagi?”
“Ya,
Bibi pikir minyak rambutmu masih.”
“Wah,
sudah sebulan, tentu sudah habis.” ujar Luh Payas.
“Bibi
tidak bisa jualan karena ada satpam di rumah.”
“Satpam
bagaimana maksud Bibi?”
“Ah,
itu anak Bibi, Ketut Lantang yang baru kembali dari Denpasar. Sekarang tinggal
di rumah.”
“Memangnya
kenapa dia? Apa dia tidak pernah keluar rumah sampai-sampai seharian tinggal di
rumah?”
“Ya,
dia kerja serabutan sekarang. Kadang-kadang di rumah. Kadang-kadang ada yang
telepon, baru berangkat.”
“Bibi,
memangnya apa pekerjaan anak Bibi?”
“Ya,
hanya serabutan. Kalau ada yang nyuruh antar ke seuatu tempat, dia akan pergi.”
“Jadi
ojek?”
“Ya,
kadang-kadang. Kadang-kadang jual plastik.”
“Wah,
kalau begitu Bibi bisa diantar anak, jangan jalan kaki begini.”
Putu
Rawi diam. Apa pekerjaan anak-anaknya, Putu Rawi tidak ingin berbagi cerita
kepada siapa pun. Dia juga tidak bisa bicara apapun, sebab di dalam hatinya dia
hanya ingin pergi sendiri. Dia tidak ingin diantar anak-anaknya. Setelah
menjual sebotol minyak rambut yang berisi kelabet,
dia bergegas ke rumah lain yang
sudah menjadi pelanggan.
Putu
Rawi selalu mengetuk pintu rumah orang. Ia ingin selalu membantu wanita-wanita
desa tampil menarik dengan minyak rambut ramuannya. Di dalam benaknya, entah
kapan dia terakhir mengetuk hati anak-anak dan menantunya. Atau mungkin dia
memang tidak pernah mengetuk pintu hati orang lain, dia hanya ingin pergi
sendiri-tanpa suami, anak, atau menantu untuk mencari anak sulungnya, Gede
Pasek.
“Ibu,
kalau mau ke mana-mana bicaralah kepada kami, saya kan bisa antar Ibu!”perintah
Ketut Lantang kepada Putu Rawi.
Putu
Rawi hanya diam ketika kepergiannya meninggalkan rumah diketahui oleh anaknya.
air matanya menetes.
“Jangan
memperburuk keadaan, Bu! Tangisan buaya seperti itu sudah sangat sering saya
lihat! Tolonglah hargai anak-anak. Memangnya Ibu mau beli apa sampai bekerja
setua ini?” Ketut Lantang benar-benar marah karena merasa dihianati. Dalam
benaknya, Ia merasa gagal menjadi anak. Dirinya merasa sangat rendah dan malu
melihat ibunya yang berusia 86 masih berjualan.
“Lihat
tubuh Ibu! Semua hanya tinggal tulang belulang, apa tidak cukup makanan yang
kami buat untuk kita? Makan ibu harus teratur. Jam 8 mestinya ibu sarapan.
Terima saja masakan menantu yang sudah berusaha menyediakan masakan untuk
disantap.”
Putu
Rawi tetap diam, bahkan membentur-benturkan kepalanya ke lantai bata. Merasa
sudah banyak bicara, Ketut Lantang berhenti agar ibunya tidak over action lagi. Putu Rawi ingat bahwa
dirinya harus segera kembali tepat jam sepuluh. Dia tahu kalau sampai
anak-anaknya tahu ia pergi lagi, dia akan dimarahi lagi.
Semua
pelanggan yang membeli minyak rambut selalu bertanya tentang anak-anaknya. Ia
hanya menceritakan bahwa dirinya memiliki seorang putra yang sangat rajin
bekerja. Anaknya pernah bekerja di Surabaya sebagai buruh pabrik semen. Anaknya
selalu datang tiap bulan untuk membawakan uang atau oleh-oleh berupa radio
bekas, tv bekas, atau jam dinding bekas. Anak sulung Putu Rawi sangat pandai
berhitung. Selain itu, anak sulungnya pandai membawa mobil pada usia sepuluh
tahun. Anak-anak yang sebaya dengan anak sulungnya bahkan belum bisa membaca
dan menulis. Putu Rawi sangat bahagia pernah bekerja sebagai pembantu di rumah tentara
Jepang, Tuan Nagohorima. Kebetulan istri tentara Jepang itu sepupunya, Made
Jempiring. Sebagai pembantu di rumah sepupu, Putu Rawi tidak bisa macam-macam,
sebab sekali bersalah senapan siap meledakkan tubuhnya.
Ketika
dirinya hamil, tentara Jepang itu menyuruhnya berhenti bekerja. Putu Rawi
diperlakukan dengan sangat baik. Setelah melahirkan, anak sulungnya dijaga dan
diberi pendidikan sebagaimana anak tentara Jepang, hanya saja tempatnya tidak
di sekolah, melainkan di belakang rumah. Tuan Nagohorima menyuruh bawahannya
mengajar anak sulung Putu Rawi. Gede
Pasek tumbuh dalam didikan tentara Jepang yang disiplin. Ketika bekerja di
pabrik semen, kedisiplinan itulah yang tampak menjadi karakternya. Oleh karena
itu dia disayang oleh bosnya.
“Wah,
Gede Pasek sudah bisa mengemudi pada usia sepuluh tahun? Hebat! Bibi
benar-benar beruntung. Tapi….Di mana Gede Pasek sekarang? Sudah dua puluh tahun
lebih dia tidak pernah pulang ya, Bi?”
Putu
Rawi selalu mengalihkan pembicaraan dengan topik pembicaraan yang lain ketika
pelanggannya bertanya tentang keberadaan putra sulungnya. Hampir semua
pelanggan tidak percaya bahwa Putu Rawi bahagia, sebab kalau benar Putu Rawi
memiliki anak yang hebat, manalah mungkin dia tetap berjualan sampai usianya
sembilan puluh enam. Orang-orang ingin tahu, betapa kejam anak-anak Putu Rawi
sampai mengizinkannya berjualan dengan jalan kaki dari dusun ke dusun.
Jari-jari Putu Rawi sangat layu. Kulitnya sudah kisut. Matanya tidak bening
lagi, tatapannya benar-benar lelah. Mungkin karena itu pula para pelanggan
membeli minyak ramuan Putu Rawi.
“Bibi,
apa tidak lelah berjalan setua ini? Saya saja yang masih berusia tiga puluh
lima sudah tidak kuat berjalan. Bibi ini luar biasa!”
Putu
Rawi sangat bahagia ada yang memuji dirinya. Senyum lebarnya hanya menyisakan
dua gigi dan gusi yang halus. Atas pujian pelanggannya, Putu Rawi mengeluarkan
resep sehat. Putu Rawi memberikannya Cuma-Cuma kepada pelanggannya. Pil Cina
yang selalu diminum Putu Rawi mungkin membuat tubuhnya tidak pernah merasa lelah
berjualan.
“Oh,
jadi pil ini yang selalu Bibi minum?”
Putu
Rawi merasa yakin bahwa pil itulah yang membuatnya tetap bersemangat. Pil itu
diberikan oleh Ketut Lantang. Setiap sebulan, Ketut Lantang selalu mebelikan
pil itu di Denpasar. Ketut Lantang memang anak yang paling perhatian terhadap
ibunya. Namun, di sisi lain Putu Rawi merasa Ketut Lantang adalah penghalang
kariernya sebagai penjual minyak rambut.
Walaupun
Ketut Lantang bekerja di Denpasar, ia selalu menelepon Putu Rawi untuk
mengetahui keadaan Putu Rawi. Kini, Ketut Lantang tinggal di rumah, tiga hari
dalam sebulan barulah ia ke Denpasar untuk mengirim dagangan, seperti tali
bambu, keranjang, dan berbagai dagangan yang didapatkannya di Singaraja.
Putu
Rawi merasa hidupnya semakin sulit sejak anaknya menghabiskan lebih banyak
waktu di rumah. Setiap hari, ada saja yang membuat Ketut Lantang jengkel.
Masalahnya, Putu Rawi mulai pikun dan keras kepala. Barang apapun diletakkan,
sangat lama untuk mendapatkannya. Ketut Lantang selalu marah kalau ibunya terlalu
lama nonton sinetron India.
“Bu,
Ketut hanya takut kalau TV jadi panas lalu meledak. Cobalah gunakan waktu untuk
istirahat. Ibu terlalu berambisi dalam hidup. Sejak muda bekerja, membuat
jajan, menjual nasi kuning, menjadi pembantu. Ingat, sekarang ibu sudah berusia
sembilan puluh enam.”
Putu
Rawi hanya diam entah merasa bersalah atau benar-benar yakin bahwa apa yang
dilakukannya sudah benar. Air matanya menetes. Ketut Lantang berhenti
memarahinya.
Putu
Rawi selalu begitu. Ketika anak-anaknya memarahinya sering kali Putu Rawi ingin
pergi dari rumah dan mencari anak sulungnya yang jarang pulang. Putu Rawi
sangat menyayangi Gede Pasek. Terlihat dari caranya memperlakukan Gede Pasek,
ketiga anaknya tahu bahwa Putu Rawi selalu tidak adil. Ia selalu memberi uang
lebih banyak untuk Gede Pasek. Kalau Gede Pasek datang, Putu Rawi menjadi
sangat senang. Dia selalu memberi uang kepada anak sulungnya secara
sembunyi-sembunyi. Rasa rindu kepada anak sulungnya memang berbeda. Kata
suaminya dulu waktu masih hidup, Gede Pasek mewarisi seluruh sifat Putu Rawi.
Mungkin karena itu, ingin selalu pergi sendiri secara diam-diam untuk menemui
Gede Pasek. Karena selalu Putu Rawi menemui Gede Pasek yang entah kemana sejak
kebebasannya dari lapas, maka anak-anaknya menjadi jengkel, terutama Ketut
Lantang.
"Bu,
Kak De sudah jelas lupa dengan kewajibannya, tidak perlu Ibu merindukannya.
Jaga perasaan anak-anak yang selalu ada di dekat Ibu" kata Ketut Lantang
dengan wajah sinis.
"Tidak
bisa semudah itu! Seorang ibu tidak bisa melupakan darah dagingnya, itu yang
harus kamu pahami!" jawab ibu dengan sedikit membentak.
"Ikatan
memang tidak bisa kita putus tetapi ingatan bisa mengabaikan asalkan ada
kemauan."
"Gede
berjuang demi keluarga kita, dia tidak mau sekolah demi memberi kesempatan
kepada kalian, adik-adiknya untuk melanjutkan pendidikan. Juga perlu kalian
ingat jasa kakakmu kalau dia tidak membeli rumah ini,dimana kita akan tinggal?
Coba pikirkan itu!"
"Ibu,
memangnya kami tidak pernah memikirkan kakak? Mengapa Ibu berkata demikian?
Ingat juga, saya sudah menggantikan tanggung jawab yang semestinya kami
tanggung bersama, terutama tanggung jawab lelaki, anak sulung!"
"Ya
benar,Ibu tidak pernah melakukan kewajiban!"
"Diam
dulu Bu, ini bukan soal Ibu, tetapi soal kakak. Ibu selalu melindungi kakak.
Itulah yang Ketut tidak suka dari Ibu. Ibu selalu membela kakak!"
"Bukan
membela, tetapi ibu hanya menekankan bahwa kamu tidak boleh membenci
kakakmu!"
"Ketut
tidak benci! Sekali lagi tidak! Ketut hanya tidak ingin Ibu menyakiti diri untuk
anak yang lupa dengan kita. Dulu waktu kakak terlibat narkoba, siapa yang
membebaskan? Ketut juga kan? Darimana Ketut dapat uang? Ketut jual tanah 4 are!
Ketut mengorbankan pacar Ketut! Bagaimana ibu bisa berpikir kalau Ketut tidak
peduli dengan Kakak? Sekarang Ketut ditinggalkan oleh pacar gara-gara Ketut
membatalkan pernikahan. Syukur di usia Ketut empat puluh dua tahun ada yang mau
diajak menikah dan kami sangat bahagia. Ketut tidak mau Ibu berpikir bahwa
Ketut tidak peduli dengan nasib Kakak."
"Memang
kamu yang urus kakakmu, ibu berterima kasih kepada kamu."
"Jangan
Ibu mengucapkan terima kasih, itu memang tanggung jawab Ketut. Ketut selalu
berusaha menjaga keluarga kita agar tentram. Jadi, Ketut mohon, berhentilah
merindukan kakak!"
"Tidak,
Ibu akan mencarinya sendiri!"
"Untuk
apa?"
"Untuk
menyadarkannya! Dia harus ingat masa masa sulit kita. Bahwa sekarang kita
berkecukupan karena dia. Kita tidak bisa berkumpul seperti sekarang kalau dia
tidak membeli rumah. Rumah ini memerlukannya."
"Bodoh!
Ketut tidak mengerti jalan pikiran Ibu! Mana mungkin kakak mau kembali ke
rumah. Di Denpasar rumahnya dua lantai. Semua tembok rumahnya berbahan marmer.
Stylenya perpaduan Eropa Bali. Dia tidak kekurangan apapun di sana. Ibu ingat
kan waktu lima tahun lalu kitake sana? Istrinya tidak senang melihat kita. Kita
tidak diizinkan masuk. Kakak waktu itumasih waras. Sekarang entah apa yang
membutakan matanya, bahkan menelepon kita dia tidak. "
"Itulah,
pasti terjadi apa-apa padanya...."
"Tidak,
Bu. Man Suka pernah ke sana beberapa minggu lalu untuk mengundang kakak agar
hadir di pernikahan anaknya. Tahu apa kata istri kakak? Dia bilang sudah tidak
ada hubungan lagi dengan keluarga kita. Betapa malu Man Suka waktu itu."
Putu
Rawi tidak bisa menjawab atau membantah lagi. Rasa rindu membakar jiwanya. Ia
seperti asap yang bisa melewati ruang-ruang yang membatasi tubuhnya. Dia selalu
mengintai, tiap kali rumah ssepi dia selalu pergi sendiri. Ia memutuskan pergi
ke Denpasar dengan naik angkutan umum yang berangkat jam 9 pagi. Ketika itu.
Anak-anaknya sudah berangkat kerja dan cucunya bersekolah.
Dia
tidak peduli sejam lagi cucunya akan datang dan mengetahui rumah kosong. Dia
berpikir sejam lagi, dia sudah dalam perjalanan ke Denpasar. Tidak mungkin ada
yang tahu karena ia tidak berpesan sedikitpun kepada siapapun.
"Tolong
jaga ibu kalian! Dia sudah pikun. Harus selalu dijaga. Kalau mau kemana mana,
dia harus diantar. Ini sudah tiga kali dia terjaring razia. Syukur dia bawa
KTP, kami jadi lebih mudah mengantarkannya." Kata petugas Dinas Sosial.
Ketut
Lantang marah! Dia tidak tahu harus bagaimana. Kakaknya tidak pernah mau
pulang, dan ibunya selalu ingin pergi sendiri mencari kakaknya. Sebagai anak,
dia selalu ingin mengantar ibunya, tetapi ibunya selalu pergi... ibunya selalu
ingin pergi sendiri seperti udara, mengendap-endap saat musim kemarau.
Tetabuhan
angklung menggema. Orang-orang yang melayat mengenang harum minyak yang diracik
Putu Rawi. Di dusun Kubu Lebah, Putu Rawi adalah orang tua yang sangat gigih.
Kalau warga lain mulai pikun sejak usia tujuh puluh tahun, Putu Rawi bahkan
tidak pernah terlihat pikun. Ketut Lantang dan Nyoman Anggara hanya bisa
mengantarkan kepergian sampai di pura Dalem. Sayangnya, bahkan kakak sulungnya
pun tidak datang saat tubuh Putu Rawi telah berusia seratus empat tahun dibakar
api. Putu Rawi benar-benar pergi sendiri, anak sulung yang selalu dirindukannya
tidak mau mengantar kepergiannya, entah karena apa…..
Singaraja,
3 April 2016
Apa yang bisa kita
lakukan? Bekerja? Bekerja? Kita lupa orangtua….
15. Bermain Bayangan
Oleh Luh Arik Sariadi
Gede Darya, bermain bayangan di sungai yang
mengalir di belakang panti asuhan.
***
Aku duduk di atas batu. Menatap ke arah bukit membuat pandanganku tidak
terbatas. Tanpa pernah puas menatap tumbuhan yang bergerak bebas ditiup angin,
dan sangat setia, aku bisa melewatkan hari tanpa makan di atas batu itu. Bukit
dengan ilalang menguning, menyebarkan bunga ke dahan pohon yang agak basah. Di
sinilah setiap hari kuhabiskan waktu untuk mendengar suara perempuan yang
sedang bernyanyi.
Setiap hari Kamis pada minggu ketiga, perempuan itu akan lewat. Aku bisa
melihat kendaraannya melintas dari atas batu. Aku hanya menarik leherku, agar
kepalaku bisa menghadap ke bawah. Satu-satunya jalan yang tidak tertutup
dedauanan, adalah jalan yang selalu membuat suara perempuan itu bergema. Sambil
menahan dingin, perempuan itu bernyanyi. Tikungan yang tajam, mungkin membuat
nyalinya ciut, lalu dengan lagu-lagu ia kalahkan jalan-jalan aspal.
Aku telah melewatkan suaranya yang
lentur. Aku telanjur menyibukkan diri dengan pekerjaan. Aku tidak bisa
menemaninya menyanyi. Aku tidak bisa menyanyi, tidak juga bisa mengiringi
lagunya dengan alat musik seadanya. Sangat sulit bagiku menjadi temannya.
Apalagi, aku mengetahui suatu hari ketika ada teman yang mengajaknya bernyanyi,
maka kesehatannya akan pulih. Sedang aku? Aku tidak bisa membuatnya tertawa.
Aku sering membuatnya bersedih. Banyolan-banyoolan yang kubuat tidak sanggup
membuatnya tertawa. Dia hanya mau tertawa saat ada nada yang salah dinyanyikan
atau dia akan tertawa kalau sudah merasa bahagia karena telah berhasil
menyanyikan lagu.
Bagiku pekerjaan akan bisa menghilangkan kerinduanku terhadap Gusti Ayu
Ariani. Bekerja sebagai desainer interior villa, aku selalu membawaku pada
sebuah kamar yang lengkap. Gusti Ayu Ariani ingin kamarnya selalu indah. Ada
sound, digital, dan mix untuk karoke. Ada televisi layar datar yang besar. Sofa
dan karpet merah yang menghangatkan. Anggur merah, bermerk Rose di atas meja
dan sebuah gelas ramping yang indah. Selalu kuingat gelas itu! Bekas bibir
dengan lipstik merah Gusti Ayu membuat tanganku bergetar saat mengukur setiap
sudut kamar.
”Aku harus bekerja!” jawabku ketika kekasihku, Mali menelepon. Aku tidak
ingin diganggu oleh kekasihku. Aku sedang menikmati pekerjaanku, sesekali
kuputar ringtone yang paling indah di dunia ini, suara Gusti Ayu Ariani selalu
menemaniku.
Udara bergerak lambat menyusup ke celah-celah jendela. Daun terong hijau
legam. Buahnya putih bulat dan segar. Cabai tumbuh subur di depan jendela pada
jarak semeter dari taman utama yang berada mepet dari pagar. Jagung mulai
berbuah. Bunganya bergerak-gerak sangat pelan. Asap dupa harum membangunkan
semua tanaman yang masih kedinginan sebab ombak terlampau jauh untuk menghentak
mereka. Ribuan kilometer jauhnya pantai, tampak indah dari bukit Sukasada.
Jalan-jalan di kota tampak diam, lengang, sebab pandangan dibatasi oleh jarak.
Burung-burung terlihat berkelepakan di langit biru tetapi tak terdengar suara pun.
Sungguh, suara-suara pun lenyap dari kota sebab suara tak mampu merambat di
ruang hampa, mendaki bebukitan, sungguh tak sanggup.
Namun, kesalnya aku mengetahui bahwa suara Mali sampai juga ke villa
tempatku bekerja. Telepon dan pesannya menghentikan lagu sedang kuputar
sepanjang hari.
Aku duduk menenangkan hati, mengabaikan panggilan dari Mali. Kuambil
speaker aktif kecil yang selalu kubawa di tas laptop. Kumainkan sebuah lagu,
penyanyinya tentu saja Gusti Ayu Ariani.
Sosok Gusti Ayu Ariani tidak akan pernah kulupakan. Terekam jelas dalam
hatiku, Gusti Ayu Ariani bernyanyi seharian menunggu suaminya datang dari
bekerja. Sebagai seorang istri anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ia selalu siap
ditinggal sehari dua hari, seminggu empat minggu, bahkan sebulan atau setahun
sebab tugas sebagai anggota dewan adalah pekerjaan yang mulia. Sebagai seorang
anggota dewan, suami Gusti Ayu Ariani selalu mencari aspirasi masyarakat sampai
ke pelosok-pelosok desa. Sesampainya di rumah, beliau akan kelelahan dan tak
sempat berdiskusi dengan Gusti Ayu Ariani. Bagi seorang wanita, tentu tegur
sapa, kesetiaan, cumbu rayu, selalu diharapkan dari laki-laki. Itu tidak pernah
didapat dari suaminya, Gusti Gde Agung Sukumara.
Gusti Ayu Ariani selalu menikmati hidup dengan bernyanyi di ruang karoke.
Sebagai seorang istri anggota dewan yang kaya raya, pekerjaan menyanyi menjadi
pekerjaan yang kurang terhormat. Ketika Gusti Ayu Ariani memutuskan menikah
dengan Gusti Gde Agung Sukumara, saat itulah ia harus berhenti jadi penyanyi.
Ah, dia tidak pernah berhenti menyanyi. Di ruang karoke lah dipenuhi kemauan
bernyanyinya untuk menyenangkan hati.
”Gusti Ayu, bagaimana bisa kamu menyanyi sendiri di kamar seperti ini?”
kataku sesekali ketika tinggal di rumahnya.
”Apa lagi yang bisa kukerjakan selain menyanyi di kamar ini?”
”Mengapa kamu tidak pergi bekerja? Bukankah sudah zaman modern, dan kamu
perempuan boleh saja bekerja, bukan untuk mencari uang tetapi untuk mencari
kesibukan.”
”Hei, bukankah menyanyi seperti ini aku sudah sibuk? Dasar anak desa!”
Aku tidak pernah marah dikata-katai oleh Gusti Ayu Ariani, sebab ialah
yang telah memungut aku dari yang mulanya hanya gelandangan sampai sekarang
memiliki nomor induk kependudukan. Bangga juga aku begitu disayang oleh Gusti
Ayu Ariani. Sebagai saudara angkat, aku dimasukkan pada daftar keluarga Gusti
Gde Agung Sukumara.
Di keluarga lain, seorang lelaki seperti aku tidak mungkin mendapat
pengakuan dengan mudah, sebab dikemudian hari mereka takut kalau anak atau
saudara angkat akan ikut menuntut warisan. Kepercayaan Gusti Gde Agung Sukumara
dan Gusti Ayu Ariani selalu kuhormati dan akan kujaga selamanya. Itulah janji
hatiku sejak menginjakkan kaki di rumah Gusti Ayu Ariani. Aku tidak peduli
dijadikan sebagai pembantu, tukang kebun, atau apa saja. Anehnya, pikiranku
tentnag orang-orang kaya mulai berubah. Aku diperlakukan dengan sangat
terhormat. Aku disekolahkan. Diantar dan dijemput oleh sopir khusus. Kadangkala
Gusti Ayu Ariani mengundang guru private
untuk menambah pelajaran agar aku segera meyesuaikan diri dengan jenjang
pendidikan reguler. Aku benar-benar seperti saudara bagi Gusti Ayu Ariani.
Akupun berusaha menyesuaikan diri, meluangkan waktu untuk tertawa bersama Gusti
Ayu Ariani.
”Maksudku, Gusti Ayu Ariani mengapa tidak bekerja ke kantor begitu....”
kataku sembari mengelap meja yang ditumpahi anggur merah.
”Untuk apa bekerja? Di rumah ini, seorang perempuan dilarang bekerja.
Suami telah melimpahkan harta benda. Segala fasilitas telah dilengkapi. Kartu
ATM tinggal digesek. Kalau mau belanja tinggal telepon dan bisa online, semuanya sudah
tersedia.”jawabnya panjang lebar.
”Kamu benar, sudah tidak perlu uang lagi, tapi untuk hiburan, maksudku.”
Aku berusaha mempengaruhi pikirannya. Aku ingin ia menikmati kehidupan di luar
rumah ini. Aku ingin dia melihat keindahan ciptaan Tuhan dengan matanya
sendiri. Aku yakin dengan menghirup udara segar di luar sana, ia tidak akan
mabuk-mabukan lagi.
”Hiburan sudah terjadwal. Kamu ingat kan, setahun lalu, kami berlibur di
air terjun. Wartawan meliput kebahagiaan kami sekeluarga. Semua orang ingin
mengetahui perkembangan penyanyi pop yang sangat cantik ini. Lantas, apa yang
terjadi? Aku hanyut dan kamu menemukanku.”
”Mengapa bisa kamu hanyut? Diliput wartawan dan begitu sulit
menemukanmu?”
”Apa maksud pertanyaanmu?”
”Maksudku, selama tiga hari kamu dicari beramai-ramai tidak ketemu juga,
dan syukur kamu selamat.”
”Apa? Jadi kamu ingin aku mati setelah tiga hari menghilang?”
”Maaf, cantik. Bukan begitu maksudku. Bagaimana usaha mereka mencarimu,
sampai-sampai begitu lama kau dibiarkan hanyut?”
”Ini konspirasi politik!”
”Apa itu?”
”Aku sendiri tidak tahu. Suamiku selalu mengatakan seperti itu tapi aku
tidak tahu artinya.”
”Apakah dia tidak bisa menjelaskan? Atau kamu tidak ingin mendapatkan
penjelasan?”
Gusti Ayu Ariani diam. Dia hanya memainkan kakinya, bergerak terus
menerus pada lipatan memanjang ke arah meja. Aku sudah selesai membersihkan
meja. Aku membuka pintu hendak keluar dari ruang karoke.
”Berhenti!”
”Ada apalagi, Gusti Ayu Ariani yang cantik?”
”Lancang! Kan sudah kubilang kamu lebih kecil dari aku, panggil aku mbok,
ibu, atau Gusti Ayu. Tidak usah berisi nama lengkap apalagi berisi rayuan
gombal!”
”Maaf, entah mengapa aku merasa dekat denganmu sejak pertama bertemu.
Kamu begitu cantik, ayu, dan suaramu bagus.”
Gusti Ayu Ariani tertawa terpingkal-pingkal mendengar kata-kataku yang
sangat serius. Di dunia ini, aku tidak pernah melihat perempuan cantik seperti
dia. Dia baik dan sangat setia. Sayangnya dia selalu dibuat bersedih oleh
suaminya.
”Eh, bocah! Rupanya kamu sudah menginjak dewasa! Hanya orang dewasa yang
pandai merayu. Mau jadi apa kamu? Masih bocah sudah tahu orang cantik. Coba
katakan, berapa orang cantik yang pernah kamu goda?”
”Maaf, aku tidak pernah menggoda orang cantik karena selama ini, aku tidak
pernah melihat orang secantik kamu!”
Gusti Ayu Ariani terus menerus tertawa, mengejekku yang dikiranya gombal.
Padahal, hatiku selalu berdebar setiap kali menatap matanya. Aku seperti ingin
berteriak memanggil namanya saat tak tahan menjaga denyut jantungku.
”Wayan Kayun....lucunya dirimu. Kamu seorang anak yang kupungut. Jaga
dirimu! Di dalam keluarga ini, kamu itu adalah seorang saudara angkat! Ingat,
kamu harus berhati-hati, siapa tahu ini bagian dari konspirasi!”
”Tidak! Aku tidak mau tahu ini konspirasi atau bukan. Yang aku tahu, dada
ini begitu bergetar ketika melihatmu!”
”Hei, bocah! Pergi sana!”
Gusti Ayu Ariani mengusirku, aku tahu dia tidak mengusirku dari rumah.
Dia sering melakukan itu, tetapi karena aku sangat mencintainya, aku tidak akan
pernah pergi darinya. Aku ingin selalu mendengar nyanyiannya. Aku ingin selalu
menemaninya. Aku tidak ingin dia kesepian di rumah yang sangat besar.
Anak-anaknya disekolahkan di luar negeri sejak SMP. Sekarang mereka sudah
bekerja di Jakarta. Keduanya dipersiapkan untuk menjadi anggota dewan. Betapa
sepinya Gusti Ayu Ariani tanpa aku? Eh, maksudku tanpa anak-anaknya. Namun,
mungkin benar juga aku terlalu gombal. Ketika kutinggal pergi, Gusti Ayu Ariani
bernyanyi kembali. Dia tetap hidup, bahkan sangat bahagia tanpa aku di sisinya.
Suaranya yang indah terdengar walaupun aku sedang membersihkan kamar yang lain.
***
Di kamar yang lain, suaranya tetap mengalun lembut. Kurapikan
pekerjaanku. Aku duduk sejenak, menatap ke arah jendela. Sesekali kuingin
membuat rancangan baru, ruang karoke yang bisa menghadirkan suara Gusti Ayu
Ariani di dalamnya. Desain interior yang lengkap, kupikirkan agar sebuah kamar
bisa diubah dengan cepat, menjadi pasar, menjadi taman kota yang ramai, menjadi
sawah dengan para petani yang menjerit mengusir
burung. Kubayangkan Gusti Ayu Ariani duduk di sebuah batu dengan memakai
kain kebaya menarik orang-orangan sawah dengan suaranya yang indah. Lantas, aku
ada didekatnya sembari meniup seruling. Begitu romantik!
Handphoneku berbunyi. Kulihat panggilan dari Mali berulang-ulang.
”Ya, aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Besok pagi aku mampir ke
rumahmu.” kataku kepada Mali untuk menghiburnya. Aku adalah lelaki bebas! Aku
tidak punya sanak saudara. Kesepian dan hanya Mali yang sering menelepon. Namun,
aku tidak ingin membuat ikatan dengan Mali. Bukan karena dia cantik, bukan
karena dia kaya, bukan karena dia wanita karier, tetapi karena sudah ada
seseorang di hatiku. Siapa lagi, Gusti Ayu Ariani. Ah, siapa tahun, walau usia
kami jauh berbeda. Dia lebih tua dariku sepuluh tahun. Tetapi kesepiannya
membuatku jatuh cinta.
Lagu-lagunya hanya penderitaan, lagu yang akan membuat orang berdesis
sedih. Tapi, tentu orang lain tidak akan pernah jatuh cinta seperti aku hanya
karena seseorang menangis saat bernyanyi. Aku benar-benar lelaki gila! Jatuh
cinta kepada orang yang telah mengangkatku jadi saudaranya.
”Darya, jangan mencintaiku!” aku ingat kata Gusti Ayu Ariani di ruang
karoke.
***
Gede Darya, bermain bayangan di sungai yang mengalir di belakang panti
asuhan. Bayangan Gusti Ayu Ariani dengan cepat mengalir ke hilir. Sungai ini
pasti bermuara ke laut, tempat abu Gusti Ayu Ariani terombang ambing seperti
hatinya yang goyah dalam kesepian.
”De...sudah waktunya memasak nih...!” Mali lagi-lagi menggangguku. Aku
masih ingin bermain bayangan di sungai. Aku harus segera meninggalkan bayangan
yang goyah. Aku harus menjaga amanah Gusti Ayu Ariani untuk selalu membantu
anak-anak telantar. Panti yang kutempati adalah wasiat darinya. Walau aku hidup
tanpa rasa cinta, sekalipun Mali sangat mencintaiku, tidak ada kebahagiaan lain
selalain menjaga panti ini. Panti ini adalah bukti cinta Gusti Ayu Ariani
untukku.
16. Kasih
Pengais Sampah
Aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanku sendiri tentang lelaki
tua itu. Aku kabur dari rumah sakit. Itu adalah pilihan yang sulit ketika
orang-orang memilih untuk menarik nafas terakhirnya di ICCU, itu ruangan yang
sangat menakutkan. Orang-orang di kamar itu menggunakan alat-alat yang tidak
bisa kupahami dengan perasaaan. Kadang-kadang aku ingin memahami perasaan ini
dengan pikiran, tetapi aku tidak sanggup.
Lelaki tua itu, Ketut Subrata terbaring lebih dari sebulan di
ranjang yang dingin. Korden pembatas atar pasien juga sangat dingin. Alat-alat kedokteran berbunyi sahut menyahut.
Ada dua puluh orang yang ada di kamar itu. Hampir semua pasien adalah nenek
atau kakek yang tidak tahan dengan panas dunia ini. Dada mereka sesak sehingga
harus diberi oksigen tambahan. Paru-paru mereka kembang kempis dan mungkin jadi
benar-benar beku sebab tidak biasa di daerah tropis, udara mencapai 10 derajat.
Itu tidak biasa bagi orang-orang yang terbaring di kamar itu.
Ketut Subrata mendapat bantuan pernafasan dari tabung yang sangat
besar. Selang kecil dimasukkan ke hidungnya sehingga dia tidak perlu menarik
nafas terlalu keras untuk mendapatkan oksigen. Mulutnya juga berisi selang
dengan diameter dua kali lebih besar dari selang oksigen. Selang itu digunakan
untuk memberi obat atau memasukkan makanan ke dalam perutnya. Ketut Subrata tidak
perlu mengunyah makanan karena makanan yang diberikan rumah sakit kepadanya
adalah makanan yang encer, lunak, dan mengandung obat sehingga mudah dicerna
olehnya.
Ketika kudatangi dirinya, aku tak bisa bertanya tentang bagaimana
perasaannya sebab semua telah jelas tergambar dari tubuhnya yang mulai beku.
Air matanya sudah tidak menetes lagi seperti waktu pertama kali kulihat
tubuhnya yang segar terbaring di kamar lain. Belum ada alat-alat yang berderap
seperti para pencabut nyawa yang akan segera sampai. Hanya ada infus yang
bertengger di pergelangan tangannya. Aku ingat waktu itu kedua kakinya memang
diikat, tetapi dia masih boleh berbicara, mengutarakan isi hatinya.
Di kamar ICCU, dia tidak bisa lagi mengutarakan isi pikiran, hati,
atau apapun yang menalir di dalam tubunya. Bahkan, dia tidak bisa lagi
mengatakan I Love You kepada istrinya yang selalu menjaganya. Padahal, selama
ini, dialah yang mengajari anak-anak RT untuk selalu mengatakan kata cinta
kepada setiap orang yang ditemui. Dia juga selalu mengajari siswa-siswinya
untuk mengatasi segala masalah dengan mengutarakan perasaan kepada orang lain
dan tidak lupa mengatakan I Love You.
***
Kau selalu datang ke panti ini. Ini adalah rumah yang sangat luas,
dua lantai, dan lapangan luas untukku bermain. Aku selalu menciptakan lagu-lagu
cinta untukmu. Saudara-saudaraku yang lain juga ikut menghafal lagu agar ketika
kau kembali aku bisa menyambutmu dengan kehangatan walaupun kita tidak ada
ikatan darah.
Bagiku, kau adalah cinta pertamaku. Kau mampu membuatku meneteskan
air mata dan berbahagia. Selama ini, aku dan saudara-saudaraku hidup tanpa
kekuatan cinta seperti katamu. Kau benar bahwa hidup tanpa cinta, kita tidak
pernah bahagia. Kau juga memperkenalkan kekuatan cinta kepadaku bahwa cinta itu
bisa kuraih bahkan hanya dengan memejamkan mata. Betapa indah hari-hariku
bersamamu.
Kau datang dan kami tersenyum seolah tidak ada penderitaan,
kecuali ketika kau hanya mengirim makanan untuk kami, itu adalah musibah. Aku
tidak bisa memelukmu lagi. Aku tidak bisa bercerita tentang prestasi belajar,
tentang teman-teman di sekolah. Dan, sudah sejak enam bulan kau tidak datang.
Aku selalu bertanya tentang keadaanmu kepada Pak Jineng.
“Apa yang sudah kujelaskan, tolong dipahami! Jangan bertanya
tentang orang-orang yang membantu kalian lagi!” Pak Jineng selalu berbicara
dengan berteriak-teriak. Tetapi aku tidak pernah berhenti menanyakanmu.
“Tidurlah! Sudah malam! Kalau kamu sakit, kita akan mengeluarkan
uang lebih banyak untuk mengobatimu! Sedangkan para donatur tidak memberikan
uang yang cukup untuk kalian!” Pak Jineng sangat kesal melihatku masih melamun
di jendela. Letak jendela sangat strategis untuk mengetahui laju mobil yang
akan masuk ke panti. Sejak senja tiba, aku belum juga meliat mobil merah marun
melintas menuju ke tinkungan di samping panti.
“Entah kapan Pak Subrata akan datang lagi ke sini? Cobalah cari
tahu Pak Jin….!”
“Aku tahu kau sangat disayang oleh Pak Subrata, tetapi bukan
berarti kau harus tahu segala tentangnya. Ayo, tidurlah, masih ada donatur yang
akan menyumbang untuk kalian, dan entah kapan itu akan datang? Besok kalian ada
jadwal renang ke Singaraja Hotel, lalu makan malam di tepi pantai Penimbangan.
Bukankan itu sangat menyenangkan?” Pak Jineng mencoba merendahkan nada
suaranya, tetapi tampak jelas wajahnya yang kesal kepadaku.
Aku sangat merindukanmu. Tetapi tiada guna lagi untuk
memikirkanmu. Seluruh cintaku kepadamu tidak bisa lagi membuat rindu ini
memudar. Aku mencoba memikirkan donatur-donatur lain yang membiayayai panti
ini, tetapi aku kembali fokus kepadamu. Aku ingin kembali ke masa-masa yang
pernah kita alami.
Ah, aku mungkin membuat kesalahan telah mengingat ajaranmu untuk
mencintai setiap orang yang kita jumpai. Aku kini tidak berdaya dan bisa mati
karena sangat mencintaimu. Aku ingin meminta maaf karena telah mengizinkanmu
pergi, padahal kau bisa menempati salah satu kamar di panti ini dan
membiarkanmu hidup bersama kami selamanya.
Bukankah itu cinta? Kau selalu berkata bahwa jika seseorang
mencintai setiap orang, maka dimanapun kita berada bersamanya kita akan
merasakan bahagia. Ah, aku kembali bingung tentang ajaran cinta yang kau
sebarkan kepada semua penghuni panti ini.
Mungkinkah ajaranmu sudah rapuh dalam ingatanku sehingga berulang
kali aku menyakinkan bahwa kau bernar-benar mencintai kami, berulang-ulang pula
kekesalanku kepadamu. Mungkin ada banyak donatur yang membiayayai hidupku,
tetapi kau memberi jiwa kepadaku. Aku ingin hidup.hidup.hidup.selalu agar bisa
bersamamu lagi.
“Rani, tidurlah! Kau ini keras kepala ya?” kata saudara sekamarku,
Nova.
“Tidur saja duluan!” jawabku sembali merentangkan selimut putih di
tubuh Nova. “I love you…” kataku
berbisik di telinga Nova.
“Ah, masih saja kau percaya ajaran Pak Subrata! Dia itu pembohong!
Sudah jangan ingatkan aku tentangnya!”
“Tidak, Nova. Betapa damainya hidup kita dengan kehadiran Pak
Subrata.” jawabku lirih.
“Tentu. Dia punya uang. Dia membiyayai panti kita. Coba dia tidak
punya uang, dia tidak akan membuat kita damai. Dia akan membuat kita gila!”
“Cukup! Jangan menghina orang yang telah berjasa bagi kita. Dia
datang dan menggerakkan kembali semua orang yang ada di panti ini. Kamu tentu
ingat ketika kita berusia delapan tahun?”
“Ya, ingat! Kita mengemis di jalan.”
“Yah, karena itulah. Ingat itu baik-baik. Pak Subrata datang dan memperbaiki
kehidupan kita. Kita diajari kasih sayang. Kamu tentu ingat bahwa kita pernah
saling memukul pada usia tujuh tahun hanya untuk mendapatkan uang logam dari
orang-orang yang lalu lalang.” Aku harus
mengingatkan Nova bahwa hidup perlu kasih sayang. Dia tidak boleh terus menerus
menganggap bahwa uang segalanya.
“Ya, benar kita berkelahi saat ada salah satu dari kita yang
mendapatkan uang lebih banyak. Benar bahwa Pak Subrata datang dan melarang kita
mengemis lagi. Padahal dengan menerima
uang Pak Subrata, kita juga mengemis kepadanya.”
“Tidak! Itu berbeda! Pak Subrata memberi kita pengetahuan,
menyekolahkan kita.”
“Nah, itu benar. Kita mengemis untuk bersekolah. Padahal, aku
tidak ingin sekolah. Otakku buntu, kau tentu memahami otakku, bukan?”
“Aku paham. Justru karena itulah kita harus terus belajar. Kita
harus membaca lebih banyak. Lihatlah, perpustakaan kita lebih banyak berisi
buku daripada perpustakaan di sekolah!”
“Dasar, kau memang kutu buku. Kau yang selalu memasan buku ini itu
kepada Pak Subrata, makanya perpustakaan jadi penuh dan kami yang bodoh-bodoh
ini kena getahnya. Kami harus setiap hari membaca. Uh….benar-benar melelahkan.”
“Itu demi kecerdasan kita! Kita harus berhasil. Nanti setelah kita
benar-benar dewasa, aku akan mendirikan panti asuhan seperti ini, eh…lebih
indah dari panti ini. Untuk tujuan itulah, kita harus saling mencintai,
berbagi, dan kita pasti bisa meraih mimpi.”
“Berhentilah membual Rani. Beberapa bulan lagi kalau tidak ada
donatur yang datang ke panti kita, kita akan diusir dan entah di mana kita akan
tinggal.” dengan nada mengeluh, Nova membuatku ikut menangis. Inilah
perasaanku, selalu bersedih setiap kali ada yang sedih. Menurutmu, perasaanku
ini adalah cinta.
Memikirkanmu membuatku semakin sedih. Entah di mana dirimu. Aku
sudah baca koran setiap hari, tidak ada berita tentangmu. Tidak ada fotomu di
internet. Sudah kudengarkan suara Pak Jineng saat berbicara bersama istrinya
secara tersembunyi, tetapi tidak juga kudengar kisah cintamu. Di manakah
cintamu berlabuh? Aku benar-benar sangat merindukanmu. Atas semua kerinduan
yang kualami, aku mendapat hukuman dari Pak Jineng.
“Kau akan segera ujian nasional, aku terpaksa harus menghukummu
agar kau bisa melupakan Pak Subrata! Kau tidak boleh keluar dari kamar selama
seminggu. Kau juga tidak boleh sekolah selama kau tidak melupakan Pak Subrata.
Ingat, kau juga hanya akan mendapat makan siang. Itu karena kau telah nguping
pembicaraan kami. Cobalah melupakan lelaki pembual itu!”
“Tidak! Mengapa Bapak selalu mengatakan bahwa Pak Subrata seorang
pembual? Padahal ketika dia datang, Bapak selalu menunjukkan rasa hormat dan
sependapat dengan kata-katanya. Tidakkah Bapak merasa diri memiliki kepribadian
ganda?”
“Cukup! Masuk ke kamar!” Pak Subrata menyeretku ke kamar.
Saudara-saudaraku tidak bisa berbuat apapun. Nova ingin membantuku, tetapi bola
matanya bukan bola mata orang pemberani. Dia hanya bisa berteriak tetapi tidak
berkutik.
“Nova tidur sama Ayu dulu! Sementara ini, Rani akan tidur sendiri
di kamar itu.” tegas Pak Jineng kepadanya. Dia selalu mengawasi kamarku agar
tidak ada yang bisa membantu aku. Pak Subrata, tahukah bahwa ajaran cinta yang
kau tanamkan kepadaku membuat aku akan kuat menghadapi hukuman yang diberikan
Pak Jineng kepadaku. Jika suatu hari aku mati, itu semua karena ajaran cintamu
sebab atas nama cinta, kau akan selalu kurindukan.
Malam bergerak sangat lambat, padahal aliran mataku begitu deras.
Kutahu malam tidak akan tunduk oleh air mataku. Mataku sudah sembab. Aku selalu
mengutuk ajaran cintanya sebagai kepalsuan. Angin berdesir dengan berat. Suara
jengkrik yang biasa mendobrak tembok-tembok panti, malam ini tiba-tiba lenyap
seolah tidak ingin bersaing dengan suara tangisanku.
“Rani, berhentilah menangis. Aku akan mencari informasi tentang
Pak Subrata. Tidur! Ayo tidurlah! I love you” bisikan Nova terdengar
samar-samar. Untuk malam ini, cinta Nova bagai harapan, dan aku menjadi takut.
“Jangan! Tidak usah kau cari informasi tentang Pak Subrata! Aku
akan berusaha melupakannya! I love you, Nova!”
Cinta Nova kepadaku telah berhasil membuatku tertidur. Istri Pak
Jineng mengetuk pintu, lalu membukanya sendiri. Mataku masih sipit dan terasa
tidak nyaman. Aku ringsek di lantai.
“Rani, bangunlah! Ini makan siangmu! Maaf, Ibu harus patuh
terhadap Pak Jin. Dia sebenarnya sangat baik, hanya cara bicaranya khas orang
Buleleng. Kau harus fokus belajar, agar ujianmu baik. Pak Jin sedang mencari
donatur agar kalian tetap bisa sekolah.”
“Bu, memangnya bagaimana keadaan panti ini? Dimana Pak Subrata?”
“Itulah, selama ini panti kita didanai oleh Pak Subrata. Donatur
lain memang ada, tetapi tidak rutin. Pak Subrata biasanya rutin memberi uang
untuk sekolah kalian. Kau sendiri tahu, sudah enam bulan lebih dia tidak
kemari.”
“Apa Pak Jin tidak ada usaha mencarinya? Memangnya di mana rumah
Pak Subrata? Tolong antarkan saya ke rumahnya, Bu….” aku memelas kepada istri
Pak Jineng, tetapi ia justru pergi.
“Kami tidak pernah tahu rumah Pak Subrata. Itulah kenyataannya.
Dia tidak pernah mau mengatakan di mana rumahnya. Bahkan tidak ada nomor handphone
dan KTP yang ditinggalkannya. Pak Jin sudah berusaha mencari infomasi, tetapi
entah dari mana lelaki tua itu? Maaf, kami telah memberi kalian harapan untuk
hidup tetapi kami sekarang tidak bisa berbuat apa, kecuali mencari donatur
lain.” Bu Made bergegas menutup pintu.
***
Aku kembali ke rumah sakit.
Aku tidak ingin lagi lelaki tua itu kembali. Tubuhnya sudah beku.
Mulut Pak Subrata sudah mengelupas. Entah berapa bulan lamanya dia menderita.
Aku ingin menghentikan penderitaanya. Hati ini telah berhenti bermimpi untuk
mendekapnya. Kasihan dia terlalu banyak alat dipasang di tubuhnya. Air
kencingnya merah bercampur darah menggantung di ranjang.
Tidak ada lagi saat saat terindah yang kunanti bersama Pak
Subrata. Aku tidak akan pernah menyesal pernah bersamanya. Walau kerinduan itu
telah hambar, mimpi untuk membuat sebuah panti yang penuh cinta masih ada. Itu
semua karena setiap gerak tubuhku selalu menghadirkan bayangnya. Tubuh
ringkihnya pastilah sangat lelah mengais sampah di tempat pembuangan akhir atau
mengayun sepedanya menuju ke desa-desa untuk mendapatkan barang-barang bekas.
Uangnya akan dikumpulkan untuk panti asuhan dan istrinya. Ternyata Pak Subrata
hanya seorang pengais sampah yang mendonasikan hidupnya untuk anak-anak
jalanan.
Bagiku, pernah memiliki Pak Subrata, sudah cukup. Aku meneteskan
air mata saat pak Subrata melepaskan cintanya di hadapanku. Kugegam erat
tangannya. Kuciumi jari-jarinya. Waktu yang tersisa kini akan jadi api yang
akan membakar kemalasan, kebencinan, kecemburuan, dan akan membuatku memahami
ajaran cintanya.
Mendekap
tubuhku di dinding kamar, sangat dingin dan malam-malam bersamamu jadi lenyap.
Aku beku dalam kepasrahan bahwa dingin inilah yang membawamu pergi dariku…
Oleh
Luh Arik Sariadi
Singaraja, 9 April 2016
17. Menabur
Debu ke Mataku
Udara kering mengalirkan pasir….
Teluk yang direklamasi menabur debu ke mataku…
Rasanya sangat perih dan mengharukan….
Apa yang bisa kulakukan? Aku penegak hukum. Aku seorang polisi
yang lulus dengan nilai terbaik pada setiap pendidikan. Setelah selesai dalam
pendidikan, aku mengabdikan diri kepada masyarakat untuk menegakkan hukum. Aku
sangat bahagia bisa mengabdikan diri polsek Tandor. Desa ini sangat kering.
Bebatuan bisa ditemui di sepanjang jalan yang kulalui saat patroli dengan seekor
kuda. Tebing-tebing yang tinggi dan curam ditumbuhi rerumputan yang menguning.
Air mengalir indah di bebukitan, tetapi air yang deras itu tidak bisa
menghidupkan tanaman di sekitarnya. Air hanya mengalir pada satu garis yang
tetap, ia tidak pernah melawan bebatuan yang kuat sehingga aliran air tidak
berubah. Begitulah kira-kira hukum yang harus kutegakkan.
Namun, apa yang bisa kulakukan? Aku seorang polisi yang harus
memberi kesempatan kepada siapapun yang menuntut orang lain. Aku harus mencari
bukti-bukti yang kuat untuk membenarkan sebuah tuntutan atau menyalahkan
tuntutan itu.
Di hadapanku, seorang perempuan muda membuat laporan. Tubuhnya
yang gemuk membuat kursi plastik di kantorku reot. Perempuan muda itu bernama
Suartini, usianya 35 tahun, alamatnya desa Palo, kecamatan Tandor, Kabupaten
Tandor, sebuah desa baru di kepulauan yang baru saja dibentuk dengan reklamasi. Suartini beserta isinya
membeli sebuah rumah mewah dua tahun lalu. Setengah tahun lalu, ia meminta ibu
mertuanya yang ada di Bali untuk tinggal bersama mereka.
Seperti menonton telenovela atau sinetron, aku bertugas mencatat
laporan Suartini.
“Pak, saya sering kehilangan sendok makan. Saya sangat kesal.”
kata Suartini sambil menggaruk rambutnya yang kriting dan dipotong pendek.
“Sendok makan?” tanyaku memperdalam laporannya.
“Ya, sendok makan yang terbuat dari stainlis….besi pernekel…oh,
sendok makan plastik juga pernah hilang.” katanya seperti derasnya air terjun
di atas bukit Tandor.
“Jadi, begitu….”aku merasa sangat aneh. Seorang perempuan yang
hanya sebagai ibu rumah tangga melaporkan kehilangan sendok makan.
“Wah, Bapak pasti tidak percaya? Saya juga tidak percaya. Awalnya
saya tidak mau melaporkan hal ini kepada polisi. Saya sudah tahu bagaimana
polisi.”
“Maaf, Nyonya….hati-hati bicara!” kata bawahanku yang sedang
mengetik setiap pernyataan Suartini.
“Catat saja dulu apapun yang disampaikan Nyonya Suartini.” kataku
dengan menahan keraguan laporan Suartini. Aku adalah abdi negara. Aku harus
mencatat setiap laporan yang diajukan oleh masyarakat. “Maaf, Nyonya…katakan
saja apa yang ingin dilaporkan!”
“Pak, saya awalnya tidak percaya akan kehilangan sendok makan
terus menerus. Saya sudah pusing memikirkannya sendiri.”
“Memangnya, di rumah dengan siapa Nyonya tinggal?” tanyaku untuk
melengkapi laporan.
“Saya tinggal dengan suami, dua anak, yang satu sudah SD kelas 2,
yang satunya lagi sudah kelas 4 SD. Oh, aku tinggal juga dengan seorang mertua
itu sudah kukatakan, dan sesekali datang orang yang membantuku untuk mencuci,
dia datang dua atau tiga kali dalam seminggu.” jawabnya tanpa henti. Perempuan
selalu begitu, cerewetnya sama dengan istriku. Walau istriku agak lebih kurus
dan lebih cantik, cerewetnya sama. Satu pertanyaan dijawab dengan panjang
lebar.
“Apa ada yang Nyonya curigai?”
“Kalau saya curiga kepada mereka, saya tidak akan melaporkan hal
ini kepada Bapak. Saya pasti akan memotong tangannya.”
Aku menasihati perempuan itu agar tidak melakukan hal-hal yang
melanggar hukum. Memotong tangan seseorang tentu akan dijerat hukum. Ah, tetapi
bahkan istriku sendiri sering mengucapkan ancaman-ancaman kepadaku, walau aku
penegak hukum. Aku selalu ingat ancaman-ancaman kepadaku saat bertugas keluar
kota. Istriku mengancam akan memotong kakiku, mencungkil mataku, memukul
kepalaku, menggorok leherku, bahkan memotong alat kelaminku. Aku tahu itu hanya
kecemburuan seorang istri kepada suaminya.
Aku adalah penegak hukum, tidak mungkin aku menyakiti atau
melaporkan istriku sendiri hanya karena aku diancam. Aku tahu istriku sangat
mencintaiku. Kecemburuannya sangat beralasan saat ada berita di televisi atau
koran bahwa seorang anggota kepolisian kepergok di kamar hotel dengan wanita
idaman lain. Aku juga memahami ketakutan istriku karena banyak polisi dililit
utang gara-gara terlibat judi. Bahkan, teman akrabku sendiri yang bertugas
sebagai polantas digugat cerai istrinya gara-gara terlibat narkoba dan
perdagangan perempuan. Jadi, jika istriku sering mengancamku, aku tidak akan
melaporkannya ke polisi. Selama ini aku telah meyakinkan istriku bahwa aku penegak
hukum.
Sama seperti memperlakukan istriku, kuminta juga bawahanku untuk
tidak menulis ancaman Suartini.
“Nyonya, apakah suami Anda sudah tahu kehilangan ini?”
“Ya, dia tahu. Saya mengadu kepadanya tentang sendok-sendok yang
hilang.”
“Lalu bagaimana tanggapan suami Anda?”
“Dia tidak pernah punya waktu untuk pengaduan. Dia sangat sibuk.
Dia pergi jam enam pagi. Dia bekerja sepanjang hari. Ketika petang dia datang
dan tidak mau diganggu. Dia capek ngitung uang. Oh ya, Bapak belum tanya apa
pekerjaan suami saya.”
“Ya, benar. Di mana suami Anda bekerja?”
“Di bank.”
“Oh…jadi suami Nyonya tidak menanggapi kehilangan itu?” tanyaku.
“Dia tidak peduli sama Anda?” lanjut bawahanku sebelum Suartini
sempat menjawab.
“ Eh….Pak. Jangan salah. Walau dia kelihatannya cuek, dia sangat
sayang kepada saya. Setiap saya mengeluh, suami saya pasti memenuhi segala
keinginan saya. Apapun yang saya minta.”
“Kalau begitu, minta saja apa yang hilang sekarang. Jangan
dilaporkan.” bawahanku menasihati Suartini, tetapi aku menghentikannya karena
aku penegak hukum.
“Tuan, polisi yang sangat saya hormati…saya ingin mengetahui siapa
pencuri sendok-sendok saya. Kalau mau beli tentu saya bisa membeli.”
“Maaf, Nyonya… Itu bagian dari penyidikan.” kataku untuk
melindungi bawahanku. Bagaimanapun juga aku memang harus mengumpulkan banyak
pernyataan yang bisa menguatkan perkataan Suartini.
Suartini pasrah. Aku mengusut suaminya yang menyayanginya,
membelikan rumah beserta taman yang indah. Perabot rumah tangga yang selalu
diganti tiap tahun. Sebagai seorang pegawai bank, mestinya dia memahami
ekonomi. Tidak baik menyayangi istri dengan memenuhi segala kebutuhan material.
Itu akan membuatnya kesulitan. Kemewahan yang diberikan oleh suaminya, akan
menjadi pertanyaan yang menyulitkan pada masa sekarang. Suaminya bisa saja
diselidiki apakah dia korupsi atau punya usaha lain atau warisan yang
membuatnya selalu hidup mewah. Ah, apa guna aku mempertanyakan kemewahan itu?
Mungkin sebagai laki-laki, aku tidak semujur suami Suartini yang
bisa memberikan apapun yang diinginkan istriku. Kemewahan, kemegahan, dan
kekayaan tidak pernah kuberikan kepada istriku. Istriku selalu mempertanyakan
rasa cintaku kepadanya. Selayaknya anggota polisi lainnya, selalu bisa
memanjakan istrinya, menyuruh istrinya berhenti bekerja dan hanya menunggui
anak-anaknya. Sungguh berbeda denganku, aku tidak meminta istriku berhenti
bekerja sebagai penjarit baju. Itu kulakukan karena istriku menyukai pekerjaan
itu dan beguna juga untuk menambah penghasilan tambahan. Sambil menjarit baju,
istriku bisa mengawasi rumah, bisa menjaga anak-anak, dan terutama mendidik
anak-anakku.
“Pak, jangan tanya lagi….saya sudah bilang, gaji suami saya lebih
dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami, jadi untuk apa saya
bekerja?” jawab Suartini saat kutanya kemana ia setiap hari.
“Jadi, Nyonya tidak pernah keluar rumah?”
“Benar.” perempuan itu mengipas-ngipaskan koran yang diambilnya
dari menjaku.
“Jadi, mengapa bisa sendok makan Nyonya hilang? Memangnya apa saja
yang Nyonya lakukan sampai tidak bisa menjaga sendok makan?” tanya bawahanku
sambil mengetik.
“Bapak, lihatlah tukang ketik Bapak. Betapa kurang ajar dia! Apa
perlu saya jelaskan sampai ke hal-hal yang kecil.”
“Maaf, kami harus melengkapi laporan Nyonya.”
Benarlah Suartini menjadi perempuan yang sangat gendut.
Melihatnya, sama sekali aku tidak tertarik. Dia melebihi montok. Pipinya
terlalu banyak lemak. Kulitnya banyak selulit. Pantas saja suaminya tidak
pernah peduli dengannya dan lebih memilih menyayanginya dengan kemewahan.
“Sudah jelas bahwa saya kehilangan dan polisi harus membantu saya
untuk menemukan pencurinya.” katanya sambil mendelikan mata tetapi dengan suara
berat.
Aku adalah penegak hukum, pastilah akan membantunya. Aku harus
mengumpulkan informasi yang mengarah ke pelakunya.
“Maaf, Nyonya, mari kita lanjutkan lagi. Apakah ibu pernah
bertanya ke mertua tentang sendok makan?”
“Pernah. Dia tidak pernah makan menggunakan sendok makan. Dia
hanya menggunakan jari-jarinya untuk makan. Jadi, menurut saya dia bukan
pelakunya.”
“Ya, mungkin saja. Tapi bagaimana tanggapan mertua ibu ketika
ditanya?”
“Dia bilang pasti ada yang mencuri sendoknya dan kami tidak tahu.
Mungkin rumah kami terlalu luas sehingga kami berdua tidak bisa mengawasinya
sepanjang hari.”
“Itu kata Nyonya apa kata mertua Nyonya?” jawabku memastikan.
“Sebenarnya itu pernyataanku. Maaf, aku benar-benar malu dengan
pernyataan mertuaku. Masak dia bilang sendok-sendok itu dimakan tikus. Setiap
malam terdengar suara tikus mengunyah sendok. Itu tentu tidak masuk akal.”
Mungkin saja benar kata mertua Suartini. Di dunia modern,
makhluk-makhluk diciptakan untuk menunjukkan matangnya teknologi. Bisa saja
tikus-tikus itu buatan manusia. Bekerja tengah malam saat orang-orang tertidur,
tanpa meninggalkan jejak bekas gigitannya. Bisa saja. Tidak! Itu tidak benar.
Aku penegak hukum. Aku tidak boleh berpikir aneh-aneh dan aku
harus mengumpulkan bukti yang benar-benar meyakinkan. Tikus mana yang harus
ditangkap kalaupun benar tikus memang pelakunya? Tentu aku akan menjadi bahan
tertawaan, sebab terlalu banyak tikus. Ada tikus yang tubuhnya kecil dengan
ekor pendek. Ada tikus bertubuh besar dengan bulu yang sudah rontok. Ada tikus
yang suka di got sehingga sulit dikenali karena tubuhnya dipenuhi lumpur. Dan
apakah menangkap tikus menjadi tugas polisi?
“Nah, Bapak tidak percaya kan? Saya juga tidak percaya. Manalah
ada tikus makan sendok?”
“Maaf, Nyonya, biarkan saya mengumpulkan laporan dengan cermat.
Coba ceritakan apalagi yang dikatakan mertua Anda!”
“Oh, jadi Bapak percaya bahwa ada tikus makan sendok di rumah
kami?”
Aku diam, dalam benakku memang tidak mungkin. Namun, aku seorang
penegak hukum. Aku tidak bisa menyembunyikan pernyataan sekecil apapun itu.
Bila tidak berarti, itu tidak masalah. Bagiku, data harus lengkap barulah kita
bisa menangkap seseorang dan memeriksanya. Seorang polisi juga harus punya
insting untuk mencium keberadaan pencuri sendok makan itu. Namun, apa yang bisa
kulakukan?
Perempuan di depanku, Suartini tidak pernah berpikir bahwa
mertuanya yang mencuri sendok makan. Mertuanya sudah tua dan tidak makan dengan
sendok. Tidak punya sanak saudara lainnya di Bali yang bisa dihadiahi oleh-oleh
sendok makan. Anak perempuannya yang menikah ke Solo sudah mapan, jadi tidak
mungkin mengambil dia memmengambil sendok untuk anak sulungnya. Anak keduanya
menikah di Jakarta di sebuah rumah makan, jelaslah tidak memerlukan sendok
makan untuk majikannya. Rumah makan tempatnya bekerja sudah banyak menggunakan
sendok-sendok mahal, lalu apa di rumahnya tidak punya sendok makan? Pasti
punya. Jadi, tuduhan yang mengarah ke mertuanya tidak ada alasannya.
Satu orang yang datang dua kali atau tiga kali dalam seminggu
adalah pencuci baju di rumah Suartini yang besar. Orang ini perlu dicurigai.
Apalagi tubuhnya kurus yang menandakan kurang makan. Rumahnya juga sangat
kecil, memiliki empat orang anak yang usianya berdekatan. Suaminya tidak
bekerja tetap. Hanya sesekali suaminya pergi menjadi buruh pengangkut pasir.
Untuk makan dengan jumlah anggota yang sangat banyak, pastilah memerlukan uang
yang banyak. Dia bisa saja mencuri sendok lalu menjualnya dengan harga murah
saat pulang menuju ke rumahnya. Aku sangat yakin pencuci baju itu pelakunya.
“Tidak! Tidak mungkin. Bukan dia.” kata Suartini.
“Nyonya, mengapa tidak mungkin?”
“Dia sudah bekerja sejak saya masih muda. Dia pernah bekerja di
rumah ibu saya. Lalu, karena kejujurannya, dia minta ikut ke sini bersama
keluarganya. Suamiku memberinya uang kontrakan pertama di sebuah rumah kecil.
Kami sangat baik kepadanya.”
“Maaf, Nyonya…kadang-kadang kebaikan tidak selalu berbalas. Banyak
kasus terjadi seperti itu. Majikan yang baik, pembantunya jahat dan menipu.
Kasus seperti ini sangat sering terjadi di daerah ini. Coba ingat-ingat dulu,
hal-hal yang mencurigakan tentang pencuci baju itu!”
“Tidak. Walaupun dia miskin, dia tidak pernah mencuri sedikit pun
di rumah saya.”
“Baiklah. Kita lanjutkan penyidikan. Setiap ada pencurian, apa ada
orang yang datang ke rumah selain orang-orang yang sudah tadi Anda sebutkan,
Nyonya?”
“Tidak. Tidak ada siapapun yang datang ke rumah. Pintu gerbang
rumah kami sangat tertutup. Bahkan hewan-hewan padang rumput di Tandor tidak
akan datang. Kami juga adalah keluarga pendatang yang jarang berkomunikasi
dengan masyarakat. Maaf, saya kesulitan bergaul dengan masyarakat. Saya
memiliki trauma yang berlebihan. Setiap ada orang kumal, dengan handuk dekil
yang digulung di kepala, saya ketakutan. Saya berpikir dia punya ilmu hitam
yang akan membuat sakit yang aneh-aneh pada tubuh saya.”
Di rumah semegah yang digambarkan Suartini, dia tidak punya pengaman
lingkungan rumah, rumahnya juga tidak dilengkapi CCTV. Walaupun orang luar
tidak bisa masuk ke rumahnya, bisa saja mereka mencuri sendok pada malam hari
dan mengendap-endap.
“Baiklah….kami sudah catat laporan Nyonya, kami akan
menyelidikinya.” kataku sambil bersalaman dengan Suartini. Betapa keras
tangannya. Keringat di tangannya sangat menjijikkan. Aku tidak bisa melupakan
pernah bersalaman dengannya. Itu membuatku selalu berdoa agar tidak bertemu dia
lagi. Ah, tetapi selama kasus ini belum terungkap, dia akan selalu datang dan
mempertanyakan kinerja kepolisian. Aku adalah lulusan terbaik, tidak akan
mengabaikan setiap laporan.
***
Aku penegak hukum. Aku mengintai selama sebulan rumah Suartini
tetapi tidak ada orang yang mencurigakan keluar masuk rumahnya. Pagi, siang,
dan malam bawahanku mengintai rumahnya. Tidak ada pencuri yang masuk dengan
mengendap-endap. Tidak ada asap yang mengepul sebagai media untuk menghilang
dan muncul lagi seperti kedatanan jin atau setan. Rumah Suartini begitu damai,
hanya ada tawa anak-anaknya saat mereka sudah pulang sekolah. Suaminya selalu
bekerja dan tidak ada keanehan. Namun, tetap saja Suartini melaporkan
kehilangan sendok.
Aku polisi, bertugas sebagai abdi negara yang harus menegakkan
hukum. Sebulan tidak berhasil kutemukan pencurinya, akan kutambah lagi
penjagaan secara sembunyi-sembunyi. Aku tidak mau nama baikku tercemar hanya
karena pencuri sendok. Aku menjadi biasa keluar masuk rumah Suartini. Aku
bahkan merasa bahwa keluarganya seperti keluargaku sendiri. Mertua Suartini
memang sangat ramah, baik, walau kadang-kadang memiliki cerita yang aneh-aneh
tentang sendok makan.
“Berhentilah datang ke rumahku! Sendok-sendok itu sudah hilang,
mau diapakan lagi?” kata suami Suartini.
“Tuan, kami sudah melakukan pengintaian selama sebulan, tetapi
walaupun begitu kami tidak akan menyerah. Beri kami waktu, Tuan!”
“Sudah! Cukup!”
“Tuan, kami tahu bahwa kami bekerja agak lambat, tetapi kami tidak
ingin gegabah.” Aku mencoba menjelaskan kepada suami Suartini. Tetapi dia
sangat marah kepadaku. Sebagai penegak hukum, aku tidak akan mudah menyerah
sebelum berhasil menangkap orang yang membuat kekacauan. Aku sebenarnya malu
karena tidak mampu menangkap pencuri sendok itu.
“Cukup! Hentikan penyelidikan ini! Kalian tidak perlu mencari
lagi, karena pelakunya ada di tempat ini.”
Kami berpandang-pandangan penuh tanya. Siapa di antara kami yang
mencuri sendok. Suartini menunjukkan wajah penasaran dengan menyingsingkan baju
dasternya ke atas. Ah, apa yang ingin dilakukannya? Dia pikir dengan
menunjukkan pahanya dia akan berhasil membuat orang mengaku. Mertua Suartini
mengambil sapu lidi dan bawang merah yang ditusukkan di ujung sapu lidi.
Menurutnya, sapu itu akan mampu
menunjukkan roh jahat yang telah mengacaukan kedamaian rumah anak laki
satu-satunya.
“Aku! Aku lah yang mencuri sendok makan di rumah ini!”
“Mengapa? Bukanya kamu yang selalu membelikan sendok makan
kepadaku? Lalu mengapa mengambilnya kembali?” kata Suartini mendekati suaminya.
“Karena aku sayang kamu. Aku tidak bisa membelikan apa-apa lagi.
Aku begitu menikmati pencurian itu. dan aku merasa bangga ketika kau bahagia
karena sendokmu kembali lagi.”
Apa yang bisa kulakukan? Apakah aku harus menegakkan hukum? Aku
adalah polisi lulusan terbaik pada angkatanku. Tetapi aku tidak bisa menghukum
suami Suartini. Motif yang menyebabkannya melakukan kejahatan hanya karena
cinta dan rasa sayangnya kepada Suartini. Lagi, pula dia sudah dimaafkan oleh
istrinya, jadi biarlah kasus ini kututup walaupun aku tidak akan mendapat
keharuman nama lagi.
Oleh
Luh Arik Sariadi
18. Jangan Terlalu
Diributkan
Sarining duduk menghitung uang. Sarining pilah uang sesuai dengan nilainya dan
dirapikan sesuai dengan gambarnya. Uang sepuluh ribu lebih awal dikumpulkan
dengan posisi kepala pahlawan yang sama. Dihitung jumlahnya masih terlalu
sedikit untuk membeli rumah. Besok Sarining
harus bangun pagi lagi untuk mengumpulkan uang.
***
Perjalanan
Sarining sebagai pedagang parfum sering kali dianggap bukan pekerjaan oleh
mertuanya. Pagi hari setelah memasak dan menyiapkan bekal kerja untuk suaminya,
Sarining langsung memakai pakaian rapi dan bersolek agar terlihat lebih cantik.
Langkah kakinya ke luar rumah mungkin sudah diintai oleh Samiasih, mertuanya.
Maka setelah Sarining pergi, mertuanya pun bergegas ke rumah tetangga untuk
menceritakan ketidaknyamanan hubungan mereka, menantu dan mertua.
Lima
tahun setelah menikah, Sarining hanya mampu memberi dua orang putri kepada
suaminya. Rumah mereka menjadi sangat ramai dengan gelak tawa anak keduanya.
Sesekali Andini, anak pertamanya bertingkah seolah-olah dia telah dewasa untuk
mengurus Misani, anak kedua Sarining. Sarining mempercayakan kedua anaknya
kepada mertua. Karena itulah, Sarining menjadi topik pembicaraan di setiap
rumah warga.
“Saya
seperti tidak punya menantu. Punya anak laki-laki satu, eh malah menikah dengan
wanita jalang itu!” kata mertua Sarining menurut kata tetangga. Sarining sudah
terbiasa mendengar laporan dan cerita tetangga. Sayangnya, ia tidak mudah
percaya kalau bukan mertuanya sendiri yang mengatakan. Bukankah saat ia
menikah, mertuanya turut hadir dan tampak bahagia dengan pernikahannya. Jadi,
masa bodoh saja ia terhadap kata-kata mereka.
Lagi
pula, memang benar seperti kata tetangga bahwa Sarining selalu pergi saat
suaminya tidak di rumah. Dandanannya menor, dengan lipstik dan rambut lurus
terurai lepas. Sebagaimana layaknya penjaja dagangan, penampilan adalah hal
yang sangat utama. Sarining juga memakai parfum yang sangat menyengat dan
menebar pesona ke seluruh jalan yang dilaluinya. Namun, hanya karena itukah ia
harus dibenci oleh mertuanya?
“Sarining
berhias menor tidak tahu apa pekerjaannya. Ibu tidak pernah tahu apa
pekerjaannya. Entah dia punya banyak uang atau tidak, ibu tidak tahu. Kalau dia
punya uang banyak, mestinya dia sudah beli rumah dan tidak numpang lagi di
sini.” kata mertuaku, sayangnya menurut tetangaku.
Menurut
Sarining, rumah tangga sebaiknya tidak terpengaruh oleh kata-kata orang lain.
Rumah tangga itu seperti perahu yang entah menyeberang ke pulau mana. Perahu
akan terbawa ombak dan mencari pulau terindah yang diinginkan penumpangnya.
Seberapa bisa dikayuh dayungnya menuju lautan, maka sebesar ombak pula
permasalahan yang ada dan sedalam lautan pun ilmu ketenangan harus dipakai
untuk mempertahankan hubungan itu.
“Sarining,
kamu tahu kalau ibu mertuamu sangat kesal terhadapmu?” kata tetangga Sarining
saat ia pulang dari berjualan. Ia lama berpikir. Apa yang telah membuat
mertuanya kesal? Jangan-jangan ini hanya gosip yang ingin memecah belah
kerukunan antara mertua dan menantu. Ini biasa terjadi di desa.
“Sarining,
jangan diam saja! Tahu tidak kalau mertuamu sangat membencimu? Ah, kamu pasti
berpikir untuk menyembunyikan permasalahan di antara kalian.” terus saja ibu
Soma memojokkan Sarining dan mungkin berharap agar Sarining semakin kesal.
“Tidak
tahu.” jawab Sarining datar. Dia penuh harapan agar kekesalan mertuanya
benar-benar nyata. Apa yang dikatakan tetangga sebaiknya ditemukan pula pada
wajah dan gerak-gerik mertuanya. Barulah ia akan bisa menjawab pertanyaan para
tetangga.
“Sarining,
mertuamu sudah keterlaluan. Dia menjelekkanmu hampir kepada semua orang di desa
ini. Apakah kamu tidak merasakan kemarahannya?”
“Mengapa
dia kesal? Saya tidak tahu.” kata Sarining dengan senyum agar yang diajak
bicara merasa bahagia dengan informasi yang diberikan. Apalagi yang bisa
dikatakan? Para tetangga selalu bercerita bahwa mertuanya sangat teramat benci
kepadanya.
“Sarining,
mertuamu kesal karena kamu pergi pagi pulang teramat sore, tapi sampai sekarang
kamu belum pergi dari rumah mertuamu.”
“Oh,
begitu.” Dijawab sederhana dan mungkin jawaban itu akan sangat menyakiti para
penggosip. Ia yakin bahwa bukan itu penyebab mertuanya marah. Sarining tidak
percaya kepada siapapun, kecuali mertuanya benar-benar marah dan menjerit
kepadanya.
Rumah
adalah surga bagi setiap orang. Rumah yang ditempati Sarining adalah hasil
kerja keras mertuanya. Dengan berdagang kertas di pasar, mereka bisa membangun
rumah dengan 4 kamar. Rumahnya sejuk. Di halaman tumbuh tinggi pohon mangga
yang lebih tinggi dari atap. Bunga-bunga bermekaran di depan rumah saat musim
kemarau. Kedua anak Sarining selalu menghabiskan waktu di halaman rumah.
Seperti kakek dan neneknya, mereka tampak memiliki bakat berdagang, sepanjang
hari mereka habiskan untuk menjadi pedagang dan pembeli. Mertua Sarining sangat
sabar menghadapi kedua anak itu.
Tidak
ada keluhan dari kedua putrinya tentang nenek atau kakeknya. Mereka berdua
hanya menceritkan beberapa kelucuan kakeknya yang ompong dan agak susah bicara.
“Ibu,
tahu tidak didi nenek tadi lepas saat tertawa.” kata Andini bercerita kepada
Sarining.
“Memangnya
mengapa kalian tertawa?” tanya Sarining.
“Itu,
kakek menyanyi. Suaranya tidak keluar. Lidahnya begitu sulit digerakkan.”
dengan suara cadel putri keduanya memberi jawaban.
“Oh,
tapi kalian tidak boleh mengejek kakek nenek kalian. Mereka sudah tua. Kalian
senang bermain dengan kakek nenek?”
“Ya,
senang banget!” keduanya kompak menjawab. Lalu, diceritakan pula kakeknya yang
terkena struk. Gerakan kakeknya yang terbatas di atas kursi roda membuat kedua
putri Sarining merasa kasihan dan mengingatkan Sarining untuk selalu menjaga
ayah mertuanya. Neneknya yang suka bernyanyi dan mengajari kedua putrinya juga
sering diceritakan oleh anak sulungnya. Walau Sarining hanya sempat bercerita
sebentar saja dengan anak-anaknya, dia tahu betapa penting mertuanya di mata
kedua anaknya. Mereka berdua sangat berbahagia. Mereka juga makan dengan
teratur. Tinggi badan mereka sesuai dengan anak-anak seumurnya. Apalagi yang
perlu diragukan Sarining?
Sarining
berusaha menyatukan satu persatu gosip yang didengar. Para tetangga mengatakan
bahwa dirinya tidak sanggup membeli rumah karena penghasilannya terlalu
sedikit. Sarining hanya penjual parfum keliling. Setiap rumah yang disinggahi
selalu memiliki cerita tentang rumah tangga. Setiap ia memasuki rumah orang,
ada saja yang mencurahkan hati untuk sekadar meringankan perasaan mereka
tentang mertua, suami, atau anak mereka. Maka ketika para tetangga menyampaikan
keluhan tentang mertuanya, dianggap saja sebagai cerita rumah tangga yang tidak
perlu diulas kembali di rumahnya.
***
Sarining
datang lebih awal dari suaminya. Hari ini ia merasa lebih lelah dari hari-hari
sebelumnya. Anak-anaknya masih di kamar lain bersama nenek dan kakeknya.
Sarining menghitung uang dan memilahnya berdasarkan catatan yang dimiliki.
Ternyata, uang yang dimiliki masih terlalu sedikit untuk membeli rumah, bahkan
untuk membayar uang muka rumah bersubsidi.
“Ning,
tadi aku berhenti di warung depan. Bu Made bertanya ada masalah apa antara kamu
dengan ibu?” tanya suaminya dari pintu yang menganga. Betapa terkejut Sarining
mendapati suaminya telah datang dan ia tidak menyadari kedatangan suaminya.
Sarining bergegas meletakkan uangnya di atas meja, lalu membuatkan kopi untuk
suaminya.
Sarining
merasa aneh karena suaminya pun bertanya seperti itu. Sarining merasa
permasalahan itu semakin berat. Sarining mencoba menenangkan diri dan berharap
tidak ada permasalahan yang antara mereka di rumah itu. Sarining sangat yakin
tidak ada permasalahan antara dirinya dan mertuanya. Sarining tidak pernah
merasa pernah membentak mertuanya. Ia juga tidak pernah mengeluhkan pola didik
anaknya kepada mertuanya. Pola asuhnya sangat baik karena kedua putrinya telah
tumbuh menjadi anak-anak yang santun. Tutur kata mereka sangat halus. Sarining
sangat percaya tidak ada masalah apapun antara dia dengan mertuanya.
“Tidak
ada.” jawab Sarining kepada suaminya yang sedang meneguk kopi.
“Jujur
saja! Apa salah ibuku hingga begitu kejam kamu terhadap ibuku?”
“Apa
maksudmu? Aku tidak pernah membenci kedua orangtuamu. Coba jelaskan mengapa aku
harus punya masalah dengan ibumu?” Sarining melempar pertanyaan yang selama ini
ditanyakan para tetangga dan disimpan baik-baik demi ketenangan rumah yang
ditempati. Sarining menumpahkan semua kegelisahannya kepada suaminya. Sudah
sejak bertahun-tahun dirinya mendapat pertanyaan dari tetangga dan itu tidak
perlu diributkan.
“Aku
tahu belum bisa membelikanmu rumah. Bahkan, aku tidak mengangsurkanmu rumah
bersubsidi. Kamu tahu bukan, pekerjaanku sebagai kuli bangunan tidak cukup
untuk disisihkan. Kamu sendiri bekerja tidak jelas dan aku tidak pernah
mempermasalahkannya. Semua tetangga bertanya-tanya tentang pekerjaamu.”
“Lalu,
apa kamu jawab?”
Suaminya
telah menjelaskan dengan baik sebagaimana ia sebagai suami yang menghormati
istrinya. Pekerjaannya hanya seorang penjual parfum keliling. Kepada tetangga
telah dijelaskan kehidupan kami tidak ada permasalahan yang diributkan hingga
kami saling membenci. Sarining sangat bahagia tinggal di rumah mertuanya. Dia
bahagia melihat kedua putrinya tumbuh sehat di rumah itu. Sarining juga tidak
pernah meminta untuk dibelikan rumah. Namun, kata-kata suaminya benar-benar
membuatnya marah dan kesal, tapi dia tidak tahu kepada siapa dia marah.
“Kamu
berjanji akan sehidup semati dan mampu hidup denganku. Ketika bunga yang kita
pegang berdua dilempar ke langit, kau begitu yakin akan selalu bersamaku. Kau
pun telah mempertimbangkan bahwa aku anak tunggal dan tidak mungkin berpisah
dari kedua orangtuaku. Lantas, mengapa setiap rumah kau ceritai bahwa kita
tidak mampu membeli rumah?” kata suaminya dengan tatapan yang penuh amarah.
Walau
ucapannya tidak berteriak, dia tahu benar bahwa suaminya sangat marah. Sarining
berusaha menyatukan setiap gosip yang didengar dari para tentangga. Tetangga
sering mengatakan bahwa ia tidak membeli rumah karena penghasilannya tidak
cukup. Itu benar. Sarining hanya heran mengapa suaminya ikut marah jika dirinya
tidak punya uang untuk membeli rumah.
“Kalau kamu bosan denganku, pergi saja dari rumah ini!” kata suaminya
yang membuat Sarining tersudut.
Dia
baru sadar bahwa permasalahan di dalam rumah ini sudah semakin berat. Namun,
dia tidak terlalu ribut. Dibiarkan suaminya marah. Sarining ingin tahu apa yang
ada di hati suaminya. Siapa yang menebar gosip bahwa dirinya ingin dibelikan
rumah. Siapa yang mengatakan dirinya ingin pergi dan berpisah dengan mertuanya.
Ia hanya ingin mengumpulkan uang untuk membeli rumah sebagai investasi di masa
tuanya. Dia ingin memiliki kos-kosan agar suatu hari nanti ketika dia tua, dia
tidak berkeliling sepanjang jalan. Bahkan sudah terpikir olehnya tidak mungkin
ketika ia tua ada yang mau membeli parfum. Apalagi telah dilihatnya kedua
orangtuanya dalam keadaaan yang tidak baik. Ayah suaminya hanya berada di kursi
roda, syukurlah ibu mertuanya merawat kedua anaknya sambil menjaga suaminya
yang tidak berdaya. Dipikirkan oleh Sarining, hari tuanya nanti seperti apa?
Diambil
kembali uang hasil penjualan parfumnya. Uang itu dibolak-balik sambil menunggu
apalagi yang dikatakan suaminya. Sesekali ditatap suaminya yang sedang kesal.
Dia tahu bahwa suaminya sangat menyayangi kedua orangtuanya. Namun, suaminya
mungkin lupa bahwa kadang-kadang ibunya sering pikun karena beban hidupnya.
Anaknya pernah bercerita bahwa neneknya sering berbicara tidak jelas dan
menyanyi sangat keras. Suaminya mungkin lupa bahwa ibunya sering menceritakan
ketakutannya kehilangan anak. Mungkin saja karena ketakutan itu telah menyusup
dalam pikirannya, lalu ia selalu bercerita kepada para tetangga tentang
keinginanku membeli rumah.
“Jangan
terlalu diributkan. Aku tidak sedikitpun punya masalah dengan ibu. Walaupun
kita punya rumah lagi, kita akan tetap tinggal di rumah ini.” kata Sarining
sambil memastikan uangnya telah rapi sesuai gambar dan nilainya.
Oleh
Luh Arik Sariadi
Langganan:
Postingan (Atom)
jeda 17 des
Singaraja, 17 Desember 2024, Kegiatan Morning briefing pada masa jeda akhir semester ganjil tahun ajaran 2024, dilaksanakan dengan senam ber...
-
Soal:1) Daging pikayun sanè kawedar ring sang sareng akèh sanè matetujon mangda napi luir sanè kabaosang prasida karesepang tur sida kalaksa...
-
Untuk memperbaiki nilai Bahasa Indonesia, jawablah pertanyaan berikut dengan jujur! Topik 1: Peduli (Empati) 1. Apakah Anda mendengarkan tem...
-
Soal:1) Bacalah cuplikan teks editorial berikut! Kecenderungan generasi milenial atau mereka yang saat ini berumur 18 hingga 34 tahun untuk ...